Cincin Bermata Tiga Bagian 34
Pak
Otong tertawa lebar. Ini hal yang aneh, karena biasanya dia hanya terkekeh
seperti seorang kakek-kakek tua renta. Tapi kali ini, tawanya seolah menandakan
usianya sepantaran Lia dan Mala. Kedua gadis itu tertegun, saling bertatapan.
Mala, yang mengerti maksud tatapan mereka, mengangkat sebelah bahunya.
"Kenapa
kalian?" tanyanya. Intonasi suaranya jauh berbeda dari biasanya. Lia dan
Mala diam, menyimpan pertanyaan. Namun, Mala, yang pemberani dan pemberontak,
tak kuasa menahan rasa ingin tahunya.
"Bapak
aneh," timpalnya, membalikkan pertanyaan.
"Kok
bapak, kenapa tiba-tiba berubah cara tertawa dan cara bicaranya?" Mala
menjelaskan rasa penasarannya. Lia mengangguk. Pak Otong mengibaskan sebelah
tangannya.
"Apa
kalian masih mau dengar cerita saya?"
"Iya
Pak, tapi jangan sebentar-bentar dijeda ya Pak, bikin penasaran aja,"
protes Lia.
"Baik,
Mba Lia," sahut Pak Otong. Lia dan Mala kembali bertatapan, tercengang
dengan kejanggalan Pak Otong yang memanggil Lia dengan sapaan "Mba".
Tanpa mempedulikan kedua gadis di belakangnya, Pak Otong melanjutkan ceritanya.
"Kami
berdua langsung ngacir ke kamar mandi yang terletak di luar bangunan rumah
inti. Sebenarnya, bangunan ini tak layak disebut rumah karena memang tata letak
barangnya sangat tak terurus. Bahkan bangunan ini tanpa pintu dan jendela.
Bangunan yang terletak di dalam hutan jati di sebuah bukit jauh dari pemukiman
penduduk ini terlihat seperti sebuah saung saja. Karena memang hanya ada tiga
tembok yang membentuk sebuah ruangan persegi empat dengan ukuran 5x6 meter.
Keseluruhan temboknya tanpa acian asli, hanya tumpukan batu bata yang disatukan
dengan semen dan pasir. Dalam ruangan
terbuka itu, bergelantungan benda-benda aneh beraneka rupa seperti cincin, kalung,
gelang, keris yang berukuran sejari telunjuk, tiga kepala rusa dengan tujuh
tanduk, juga ada puluhan jari manusia yang bergelantungan tanpa tali menali.
Masih banyak barang lainnya yang kesemuanya membuat merinding tengkuk
melihatnya. Keanehanya, seluruh benda itu tergantung tanpa pengikat apapun,
membuat mata terbelalak takjub."
"Ya
memang aneh, penuh magic. Ruangan yang berlantaikan tanah dengan taburan tulang
belulang berserakan tanpa ditata. Selain itu, aroma anyir terendus dari desiran
angin yang mengelitik hidung."
"Jarak
kamar mandi dari ruangan Mbah Maut itu sekitar 50 meter dan harus melewati
tumpukan bonggol pohon tua yang berbaris rapi, menuntun arah ke kamar mandi
yang hanya berpintu tirai hitam tebal. Air untuk mandinya pun adalah tugas
Sastro dan Surotong. Mereka mengisi tujuh tempayan yang menampung 25 liter dari
masing-masing tempayan. Hanya satu tempayan saja yang berada di dalamnya. Bila
ingin buang air besar, jambannya ada di ruang sebelah dengan spiteng menuju ke
sebuah empang yang berukuran 5x10 meter. Entah ikan apa yang menghuninya."
"Surotong
menatap gelapnya malam dengan langit yang tertutup dahan dan daun yang memenuhi
seluruh penjuru. Desir angin malam menyapu wajah ovalnya dengan rambut gondrong
sepundak. Surotong menyisir rambutnya, tertegun memikirkan nasibnya.
'Andai
saja aku bukan anak Bapak, pastilah aku bisa bersekolah dan menjalani aktifitas
yang sebenarnya,' gumamnya sendiri. Lalu dia mengusap muka dengan sebelah
tangannya.
'Nasib
oh Nasib,' umpatnya pada diri sendiri. Surotong tetap mengeluh pada dirinya
karena hati nuraninya sangat menentang kehidupan sesat orang tuanya. Terbayang
wajah ibunya yang tersenyum menatap Surotong yang menatap kosong ke depan. Ibu
yang meninggal ketika melahirkan dirinya. Sejak itulah Bapaknya berguru ke Mbah
Maut selama 5 tahun dan kembali tinggal di rumahnya. Sastro dan Surotong yang
dititipkan pada kakanya, diambil paksa dan dijadikan pesuruh Bapaknya untuk
menjalankan ilmu sesatnya. Pertentangan keluarga membuat perilaku Pak Bejo
semakin bengis hingga semua warga mengusirnya. Hingga Pak Bejo mengajak kedua
anaknya pergi dari Dusun Sekar, tempat tinggal mereka, dan menetap di kaki
Bukit Tegar yang letaknya 15 kilometer dari pemukiman penduduk."
"Lekas
sana Tong, nanti keburu disembur, mampus deh kamu," Sastro melangkah keluar
dari kamar mandi dan duduk di samping Surotong yang tak menjawab. Tetapi
langsung melangkah masuk ke dalam kamar mandi.
Tak
berapa lama kemudian, Surotong keluar dengan mengenakan pakaian bak seorang
pesilat, stelan perak dengan sabuk hitam mempertegas postur tubuhnya yang
tinggi kurus.
"Wah,
seragammu jauh lebih bagus daripada punya ku," Sastro menatap adiknya dari
ujung kepala hingga kaki dan mengomentarinya. Surotong mengibaskan sebelah
tangan, berjalan menuju ruangan Mbah Maut.
Lolongan
anjing dan srigala terdengar sayup-sayup dengan nyanyian serangga lainnya,
menambah rasa tersendiri di hati kakak beradik ini.
Langkah
dua pemuda ini sedikit patah-patah karena ketakutan memasuki ruangan. Di sana,
Mbah Maut masih pada posisinya, duduk bersila di atas tumpukan tulang belulang.
"Lekas
cecungguk, keparat!" Hardik Mbah Maut, memelototi kedua muridnya. Surotong
sedikit berlari, segera duduk di tempat yang telah dijelaskan sebelumnya dan
Sastro mengikutinya.
"Bagus,"
Mbah Maut berdiri dan melangkah mendekati keduanya. Lelaki bertubuh kurus dan
sedikit bungkuk ini mendekati Sastro terlebih dulu. Tangannya teracung dengan
sebuah lidi hitam.
"Sekarang
pejamkan matamu dan pusatkan pikiranmu pada benda yang kau genggam," Mbah
Maut mengulurkan sebuah tongkat kayu dengan ujungnya berbentuk tengkorak
manusia. Sastro mengamatinya sejenak lalu mengambilnya.
"Lekas
lakukan," perintahnya tegas dengan mengibaskan sebatang lidi itu ke
seluruh tubuh Sastro. Sastro merasa ada kekuatan aneh dari desiran lidi itu.
Dia merasa seolah sekujur tubuhnya bermandikan aroma anyir yang sangat pekat.
Tetapi hanya dia yang menciumnya. Sebenarnya Sastro merasa mual dengan aroma
itu, tapi rasa takutnya membuat dia menahan untuk tidak muntah. Sastro mulai
memejamkan mata sambil menahan gejolak perutnya yang terus ingin dikeluarkan,
seakan isi perutnya meminta mulutnya terbuka. Rasa takut akhirnya sedikit demi
sedikit mampu menenangkan perutnya yang masih merasa mual. Namun, baru dua
menit Sastro memusatkan perhatiannya, dia sudah tak kuasa menahan mualnya
hingga dia muntah sejadinya.
Raut
muka Sastro pucat. Surotong memperhatikan seksama semua yang terjadi pada
kakaknya. Sastro muntah darah berwarna hitam pekat dengan butiran kuning
sebesar biji papaya.
"Keluarkan
semuanya, jangan kamu tahan," ucap Mbah Maut yang justru terus mengibaskan
sebatang lidi yang dipegang.
Adegan
ini memang membuat perut Surotong juga ikutan mual, tapi dia tak mencium sama
sekali keanyiran dari angin yang dikeluarkan oleh kibasan lidi di tangan Mbah
Maut.
Sekitar
sepuluh menit Sastro muntah dengan cairan hitam yang membanjiri tulang belulang
di sekitarnya. Mukanya pucat pasi, tubuhnya lunglai. Tapi entah kekuatan apa,
Sastro masih duduk tegap meski sesekali mulutnya mengeluarkan rasa eneknya.
"Bagus
Sastro, itu berarti tahap pertama ilmumu sudah meresap. Sekarang tinggal kamu
sempurnakan sendiri dengan semedimu," ucap Mbah Maut yang berdiri di
hadapannya, tersenyum bangga dan penuh kepongahan.
"Lekas
pejamkan mata dan pusatkan pikiranmu pada apa yang kamu pegang," Mbah Maut
menepuk kedua bahu Sastro yang langsung diam mematung. Hanya dadanya yang
terlihat turun naik, bertanda dia masih bernapas.
Mbah
Maut melangkah mendekati Surotong. Dia menatap Surotong lekat dengan bulatan
bola matanya, seakan sedang memberikan sugesti pada Surotong. Surotong balas
menatapnya hingga cahaya perak keluar dari sorotan Mbah Maut dan masuk ke bola
mata Surotong.
Surotong
merasa ada hawa panas yang mengalir di seluruh tubuhnya, yang lama kelamaan
membuat dia merasa tubuhnya terbakar. Surotong mengeliat, bangkit berdiri,
mengibas-ibaskan tangannya, berlari tak menentu arah, seakan dia ingin
mengeluarkan hawa panas yang mengaliri seluruh tubuhnya.
Surotong
tak mempedulikan apapun. Dia tetap berlari tak menentu. Halangan bonggol serta
akar pohon seakan hanya sebuah kerikil belaka. Dia berlari tanpa alas kaki
sedangkan medan jalanan yang dilaluinya bertebaran ranting berduri. Anehnya,
Surotong hanya berlari sambil mengibaskan kedua tanganya tanpa berkata apapun.
Mulutnya seolah terkunci dan pandanganya pun tak menentu. Sembarangan dia
menolehkan kepalanya ke kiri kanan sambil terus berlari. Bila ada orang lain
yang melihat gerakan Surotong, seperti dia adalah seorang pendekar yang
memiliki ilmu meringankan tubuh. Karena lama kelamaan, Surotong seperti berlari
di atas tanah tanpa menjejaki kaki, meski kilatan bayanganya terus menerus
berpindah tempat.
Entah
berapa lama Surotong berlari tanpa henti. Tubuhnya terlihat semakin kuat, otot
tubuh yang kurus tersirat dari kulitnya yang sedikit gelap.
"Bagus
Otong," beberapa kali terdengar Mbah Maut mengucapkan kalimat itu.
Ketika
Surya menyemburkan sinarnya di antara ranting dedaunan pohon, Surotong masih
terus berlari tanpa arah dan terarah.
Langit
kembali gelap pun, Surotong masih terus berlari. Kekuatan aneh memicu
adrenalinnya untuk terus berlari. Ketika lolongan binatang malam mulai
terdengar, Mbah Maut bertepuk tangan dan membuat Surotong berlari ke arahnya.
Napasnya
masih teratur sempurna dan tak terlihat sedikitpun keletihan di wajahnya.
Justru kini tubuh kurus itu terlihat tegap dan gagah.
"Bagus
Otong, ilmu meringankan tubuhmu telah nyaris sempurna. Kini aku akan
mengajarimu beberapa kesaktian lainnya," Mbah Maut melepaskan jubah
hitamnya, melempar ke segala arah. Dengan kaos hitam yang kini melekat di tubuh
rentanya, Mbah Maut mendekati Surotong dan mengitarinya. Dua kali itaran Mbah
Maut, lalu menempelkan kedua belah telapak tangannya ke punggung Surotong.
Hawa
dingin kini mengalir di seluruh tubuhnya. Surotong diam, memfokuskan pikirannya
untuk menerima kekuatan yang disalurkan Mbah Maut.
Selesai
menempelkan telapak tangannya, kini Mbah Maut menotok beberapa tempat di
punggung Surotong.
Surotong
merasakan peredaran darahnya mengalir lebih teratur. Bahkan ada kekuatan dingin
yang terus mengalir di sekujur tubuhnya.
Selesai
memberikan 13 totokan, Mbah Maut kemudian menendang bokong Surotong. Bukannya
merasa sakit, justru Surotong merasakan kekuatan lain masuk dari dalam
duburnya.
Dua
kali menendang Surotong, lalu Mbah Maut berjalan mengitari lagi Surotong yang
tegap berdiri bak tentara dengan sikap sempurna.
Di
hadapan Surotong kembali, Mbah Maut melakukan hal yang sama. Dia menempelkan
kedua telapak tangannya ke dada Surotong. Lagi-lagi desiran dingin itu menambah
kekuatan baru di tubuh kurusnya. Surotong seakan mendapatkan dirinya lahir
kembali dengan kekuatan yang dia sendiri tak tahu apa.
Selesai
menempelkan telapak tangannya, Mbah Maut lalu menginjak kedua kaki Surotong.
Refleks, Surotong tiba-tiba mengangkat tubuh renta Mbah Maut hingga keduanya
terbang melayang, mengitari seluruh hutan belantara di sekelilingnya hingga
fajar menyingsing.
Posting Komentar