Cincin Bermata Tiga Bagian 33

Table of Contents

Pagi masih belum sempurna. Sinar rembulan masih samar terlihat, ditambah dengan suara jangkrik yang bersahutan dengan binatang malam lainnya.

 

Terlihat pintu kamar dibuka oleh seseorang, yang ternyata adalah Pak Bejo, bapak dari Sastro dan Surotong. Lelaki paruh baya dengan postur tubuh yang masih tegap gagah mendekati kedua anaknya yang masih pulas tidur.

 

"Bocah edan!" hardiknya, sambil menunjuk pintu kayu dengan tangannya.

 

Sastro dan Surotong tergagap kaget, membuka mata dan langsung duduk.

 

"Ada apa, Pak, malam-malam gini kok bangunin kami?" ucap Sastro sambil menguap.

 

"Bocah semprul!" makinya lagi, sambil menendang botol plastik di hadapan kakinya.

 

"Ada pasien darurat, Pak?" tanya Otong sambil mengucek-ucek matanya.

 

"Kalian itu pasiennya!" bentak Pak Bejo. Kata "pasien" disebut bila ada seseorang yang meminta tolong pada Pak Bejo untuk melakukan ilmu hitamnya dari jarak jauh.

 

"Cepat kalian berkemas dan kita jalan ke tempat Mbah Maut," perintahnya sambil memelototi anaknya satu persatu.

 

"Sekarang, Pak," Otong menolak secara halus. Pak Bejo, bapaknya, justru mendekati Otong dan *PLAK*, tanganya menampar pipi kanan anak sulungnya.

 

"Apa kamu?" Pak Bejo balik memelototi Sastro yang kaget dengan apa yang bapaknya lakukan.

 

"Kalau kalian melawan," lanjutnya sambil mengarahkan tanganya ke tenggorokan seperti memperagakan sesuatu, "Bapak buat mampus kalian!" bentaknya sambil mengeluarkan sebuah keris kecil dan menyodorkan ke depan muka masing-masing anaknya secara bergantian. Sastro dan Surotong menciut ketakutan karena ancaman bapaknya. Tetapi Surotong, yang memang menentang setiap prilaku bapaknya, mencoba membela diri.

 

"Otong takut, Pak," lirih dia bersuara, membuat Pak Bejo menendangnya.

 

"Bocah keparat, kamu itu laki-laki bukan banci!" omelannya dengan raut muka bengis. Otong tertunduk.

 

"Beri kami waktu untuk mengumpulkan keberanian, Pak," Sastro meminta keringanan.

 

Namun permintaannya justru membuat kakinya ditendang oleh Pak Bejo.

 

"Baik, sekarang Bapak tunjukin tempat kalian ngumpulin keberanian," Pak Bejo menatap satu persatu anaknya secara kasar. Lalu, berbalik badan dan mengangkat tangan tanda mereka harus mengikutinya. Mau tidak mau, Sastro dan Otong berdiri melangkah mengikuti bapaknya yang berjalan menuju sebuah gudang tua di belakang rumah.

 

Sampai di depan bangunan yang berukuran 5x6 meter itu, Pak Bejo segera membuka gembok yang menyantol di pintu. Terlihat tumpukan barang-barang bekas tertata rapi, tetapi ribuan sarang laba-laba memenuhi ruangan itu. Ruangan yang hanya ada satu ventilasi kecil di atas tembok kiri kanan.

 

"Masuk kalian!" bentak Pak Bejo, mendorong tubuh kedua anaknya yang jatuh tersungkur di dalam ruangan itu. Tanpa rasa iba sedikitpun, Pak Bejo segera menutup pintu ruangan itu.

 

"Setelah kalian berhasil mengumpulkan keberanian, baru Bapak buka pintu ini," katanya sambil menutup pintu dan memasangkan gemboknya kembali.

 

Pak Otong menarik napas dalam dan menghempaskannya penuh kekecewaan sambil mengusap wajahnya.

 

"Ih, jahat amat ya orang tua Bapak," timpal Mala sinis, tak suka dengan sikap Pak Bejo. Pak Otong menggeleng.

 

"Berapa lama Bapak dikurung di sana?" tanya Lia penasaran. Pak Otong menelan ludahnya lalu terkekeh dan melanjutkan kembali ceritanya.

 

Entah sudah berapa lama kedua kakak beradik ini disekap bapak kandung mereka di dalam ruangan yang nyaris tak pernah disentuh. Sastro dan Surotong hanya mampu diam menahan semua kekecewaan mereka.

 

Pada awalnya, Sastro memaki menyalahkan adiknya.

 

"Ini semua gara-gara kamu," ucapnya memelototi Surotong.

 

"Kenapa aku?" tanya Surotong mengangkat bahunya.

 

"Iya, coba kita nurut aja pasti kita enggak disekap seperti ini," omelannya tetap menyalahkan adiknya. Surotong mendengus.

 

"Sekarang bagaimana caranya kita keluar dari tempat keparat ini?" maki Sastro yang mencoba berjalan mondar-mandir.

 

"Ya sampai Bapak ngebukain pintunya," enteng Surotong menjawab, yang membuat kakak satu-satunya ini memelototinya.

 

Lama-kelamaan, Sastro akhirnya terdiam tak mampu bertindak apapun dan hanya menanti sampai kapan bapaknya mau membukakan pintu.

 

Ketika sebuah suara terdengar dari luar, Sastro segera berdiri.

 

"Bapak datang, kita ikutin aja apa maunya," ucap Sastro menanti sang bapak.

 

Pintu terbuka, siratan cahaya matahari masuk menghangatkan ruangan yang terasa pengap.

 

"Bagus kalian masih hidup. Sekarang bagaimana? Apa kalian sudah mendapatkan keberanian?" ucap Pak Bejo, berdiri bertolak pinggang menatap bengis kedua anaknya satu persatu.

 

"Sastro mau, Pak," kata Sastro membalas tatapan bapaknya.

 

"Bagus, cepat keluar dan bergegas berkemas," Pak Bejo menarik tangan Sastro menyuruhnya keluar, lalu dia menatap anak bungsunya dengan tatapan penuh pertanyaan.

 

"Otong juga mau, Pak," jawab Surotong yang mengerti apa arti tatapan bapaknya.

 

"Bagus, coba dari kemarin kalian manut sama Bapak kan urusannya lebih lancar," omelannya dalam nada senang karena kedua anaknya meneruti apa maunya.

 

Di dalam mobil, Pak Otong lagi-lagi mendesah berat dan mengubah posisi duduknya.

 

"Emang ngapain sih, Pak, orang tua Bapak nyuruh Bapak dan kakak Bapak ke tempat Mbah Maut?" tanya Mala serius, membuat Pak Otong terkekeh.

 

"Bocah ingusan," omelannya.

 

"Kami disuruh ngilmu sama Mbah Maut agar keahlian kami lebih tinggi lagi," jawab Pak Otong.

 

"Tapi itu kan ilmu hitam, Pak," sela Mala protes.

 

Pak Otong tak mempedulikan perkataan Mala, dia kembali bercerita. Lia ta'zim mendengarkan.

 

"Setelah kami menempuh perjalanan yang melelahkan, akhirnya kami sampai di pondok Mbah Maut. Lelaki yang sudah tua renta ini masih tampak gagah. Usianya yang lebih dari seratus tahun hanya terlihat dari lipatan wajahnya, sedangkan perawakan tubuhnya masih tegap dan penuh wibawa, meski jarang sekali dia terlihat berjalan karena seluruh waktunya dihabiskan untuk bersemedi, kecuali dia sedang menurunkan ilmunya kepada orang-orang yang ingin berguru padanya. Kesaktian Mbah Maut sudah menjadi momok yang sangat menakutkan. Bagaimana tidak, jika ada seseorang yang menentangnya, hanya dengan meludahinya maka orang itu akan mengelepar mati tak berdaya.

 

Itu penyebabnya Sastro dan Surotong merasa takut dengan Mbah Maut.

 

"Bagus, Bejo, akhirnya kamu datang," sambut Mbah Maut yang duduk bersila dengan alas tumpukan tulang belulang.

 

"Iya, Mbah, ini dua anak saya, saya persembahkan untuk menjadi murid Mbah," jawab Pak Bejo sopan. Mbah Maut mengangguk-angguk sambil menghisap lisongnya.

 

"Mana sesajian untukku?" pintanya menatap Pak Bejo. Pak Bejo segera meraih tas yang digeletakkan di sampingnya. Tanpa membukanya, dia langsung memberinya pada Mbah Sastro.

 

"Semuanya ada di dalam tas, Mbah, lengkap seperti persyaratan Mbah," lanjut Pak Bejo setelah tasnya berpindah tangan. Mbah Maut mengangguk-angguk sambil memeriksa isi tas.

 

"Bagus," ucapnya puas.

 

"Tinggalkan cecunguk dua ini biar mereka jadi muridku, tinggal kamu, Bejo, cari tumbal yang saya perintahkan," Mbah Maut mengibaskan tanganya menyuruh Pak Bejo segera keluar.

 

"Baik, Mbah, nanti malam saya cari tumbal itu dan langsung saya sajikan pada Mbah seperti biasanya," Pak Bejo berkata sambil bangkit berdiri, membalikan tubuhnya dan melangkah meninggalkan ruangan itu.

 

Sejak saat itu, Sastro dan Surotong resmi menjadi murid Mbah Maut.

 

Pada awalnya, mereka hanya disuruh mencari kayu bakar dan mengambil air dari sumur yang jaraknya satu kilometer. Diperlakukan seperti ini membuat Sastro dongkol karena tak mengerti mengapa Mbah Maut memerintahkan mereka bekerja seperti budaknya saja, padahal kan kedatangan mereka justru katanya ingin dijadikan muridnya.

 

Tak berani protes, Sastro hanya bisa ngudumel setiap kali melakukan tugasnya. Sedangkan Surotong merasa sedikit lega karena baginya lebih baik menjadi kacung saja daripada harus ngejalanin belajar ilmu hitam yang memang dia ingin sekali menentangnya.

 

Pak Otong selalu menjeda ceritanya dengan menarik napas atau mendengus.

 

"Berapa lama Bapak dan kakak Bapak tidak diajari jadi murid Mbah Maut?" tanya Mala yang memang sangat penasaran dengan cerita Pak Otong. Pak Otong mengangkat kedua bahunya, mendesah.

 

"Sekitar lima bulan saja," jawabnya, lalu kembali bercerita.

 

Waktu itu, tepatnya malam Jumat Kliwon, Mbah Maut memanggil kami berdua.

 

"Sastro dan Otong, duduk di sini kalian," perintahnya dengan menunjuk sebuah tempat yang berupa singgasana terbuat dari tumpukan tulang belulang. Kami berdua menurutinya, meski rasa takut menyertai.

 

"Otong, kamu duduk di sebelah kanan, dan biar Sastro di sebelah kiri," perintah Mbah Maut yang masih duduk di tempatnya biasa.

 

Dua singgasana ini terlihat berbeda. Yang sebelah kanan tampak cahaya perak terpancar dari tumpukan tulang belulang itu, sedangkan cahaya hitam tersembur dari tumpukan sebelah kiri.

 

Karena takut, maka kami berdua hanya menurut tanpa berkomentar.

 

"Surotong, mulai sekarang namamu hanya Otong," ucap Mbah Maut menunjuk Otong dengan sebatang lidi yang diambil dari pinggir telingganya.

 

"Kamu itu tak berbakat menjadi penjahat, tak seperti bapakmu dan kakamu, makanya sinar yang keluar dari sana adalah berwarna perak," terang Mbah Maut, membuat Otong menelan ludah.

 

"Tapi bapakmu meminta aku menjadikan kalian berdua muridku, tapi aku tak mau memberikan kamu ilmu hitamku. Biar kamu hanya ku ajari ilmu kanuragan saja," jelas Mbah Maut menatap Otong dengan tajam.

 

"Sedangkan kamu," Mbah Maut mengarahkan tatapannya ke Sastro, "Mulai malam ini kamu bertapa di tempat itu sampai waktunya akan ku bangunkan kamu," lanjut Mbah Maut menjelaskan dengan terus menunjuk-nunjuk ke Sastro dengan sebatang lidi di tangannya.

 

"Ingat, kamu bertapa bukan tidur," tambahnya.

 

"Nah, sekarang kalian bersihkan diri kalian sebersih mungkin, lalu gunakan pakaian yang ada di bawah kaki kalian," perintahnya sambil menunjuk sebuah lubang di antara tumpukan tulang belulang.

 

Kompak kakak beradik itu membungkuk mengambil sebuah kantung berwarna berbeda dari lubang di bawah kaki mereka. Otong mendapat bungkusan berwarna perak, sedangkan Sastro berwarna hitam.

 

"Segera lakukan dan secepatnya kalian kembali ke tempat semula," perintah Mbah Maut, yang membuat Sastro dan Otong beranjak meninggalkan Mbah Maut mengerjakan apa yang disuruhnya.

 

Di dalam mobil BRV, Pak Otong menyandarkan tubuhnya, memejamkan mata.

 

"Terus gimana, Pak?" kini Lia yang bertanya penasaran, sedangkan Mala mengangguk.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar