Cincin Bermata Tiga Bagian 32
Suasana
di dalam mobil BRV hening. Semua orang fokus pada pikiran masing-masing. Riski,
yang mengemudikan mobil, tampak fokus memacu kendaraannya menuju arah yang Pak
Otong perintahkan. Di sampingnya, Pak Otong menatap penuh arti pemandangan di
depannya. Lia dan Mala, yang duduk di kursi tengah, juga tampak asyik menikmati
pemandangan tengah malam di jalan tol yang lengang. Pak Setiawan sudah tertidur
lelap, hanya desahan napasnya yang terdengar memecah keheningan suasana. Pak
Haji Hanif memejamkan mata sambil menggumamkan kalimat tauhid dengan tasbih di
tangannya.
"Li,
loe enggak tidur?" tanya Mala, menolehkan kepala menatap Lia yang membuang
pandangannya ke kiri jalan. Gadis berkacamata ini menggeleng sebagai jawaban.
"Kalau
kamu ngantuk, tidur saja, bocah ingusan," timpal Pak Otong, melirik Mala
dengan sudut matanya. Mala mendengus. Lia menoleh dan tersenyum. Lalu, dia
merogoh saku celananya dan mengambil tasbih putih.
"Ya
udah, gue tidur aja ah," Mala memejamkan mata dengan kepala yang
disandarkan ke kursi.
Lia
memainkan tasbih itu dan sesekali mencium manik-manik yang berjumlah 33 itu.
Siluet Didi, yang dulu pernah mengisi hatinya, melintas di pikirannya.
Lia
dan Didi sedang asyik menyantap mie rebus di sebuah warung kopi. Malam itu,
Didi baru pulang kerja dan mengajak Lia menemaninya untuk makan.
"Emang
tadi siang sudah makan nasi apa, A?" tanya Lia sambil mengunyah
makanannya.
"Kalau
makan jangan sambil ngomong, pamali," jawab laki-laki yang masih
mengenakan pakaian seragamnya. Itu tampak dari logo perusahaannya yang ada di
saku kiri baju. Lia tersenyum.
"Maaf."
Lima
belas menit kemudian, mereka berdua telah menyelesaikan urusan makan. Saat Didi
ingin membayar tagihan makan dan minum mereka, tasbihnya jatuh bersamaan dia
mengeluarkan uang dari saku celananya. Lia memungut tasbih itu dan
memainkannya.
"Tasbihnya
bagus, boleh buat Lia enggak, A?" pinta Lia, masih terus mengeser-ngeser
biji manik-manik berwarna putih. Didi menoleh menatap Lia.
"Kalau
kamu mau, ambil saja dan jaga tasbih itu seperti kamu menjaga cinta kita,"
ucap Didi, meski sedikit berbisik, tetapi intonasi nada ucapannya membuat
desiran di hati Lia. Wajahnya bersemu merah seketika itu juga. Didi menepuk
punggung tangan Lia yang masih memainkan tasbih itu.
"Simpan
saja, tapi usahakan dipakai ya biar enggak mubazir," lanjutnya. Lia
mengangguk tersenyum. Didi segera membayar semua tagihan dan keduanya kembali
ke rumah Lia.
"Lia,
darimana kamu mendapatkan gelang manik-manik itu?" tanya Pak Otong, membuat
lamunan Lia buyar. Lia tersentak.
"Itu
namanya tasbih, Pak," jawab Mala yang belum tertidur.
"Bocah
ingusan," sentak Pak Otong.
"Saya
tahu, tapi darimana Lia dapat benda keramat itu?" Pak Otong kembali
bertanya.
"Dari
mantan pacarnya," lagi-lagi Mala menjawab, yang membuat Pak Otong
mendesah.
"Dasar
bocah ingusan," hardiknya pelan sambil menatap kembali ke depan.
Mala
memperhatikan jemari Lia yang masih memainkan tasbih itu.
"Li,
mending loe buang aja tasbih itu daripada keingetan terus sama si buluk
itu," ucap Mala, tanpa ditanggapi Lia yang tetap memainkan tasbih itu. Pak
Otong, yang kaget mendengar ucapan Mala, menolehkan kepala menatap Mala yang
duduk di belakang supir.
"Sembarangan
kamu, itu benda keramat tahu," semprot Pak Otong, tak suka mendengar
ucapan Mala. Mala mengerucutkan mulutnya.
"Gue
tahu, Li, dari tadi loe bukan dzikir tapi keingetan kan sama si Didi?"
Mala kembali menatap Lia yang tetap asyik memainkan tasbih itu. Lia tersenyum,
terbayang lagi saat bersama Didi dengan kasus tasbih itu.
"Didi
pamit pulang setelah ngobrol sejenak di teras rumah. Mereka duduk bersisian,
menatap taman kecil di halaman rumah Lia.
"Kamu
beneran mau tasbih itu, De?" tanya Didi, menatap Lia. Lia mengangguk.
"Kalau
A'A ijinin, Lia mau," jawab Lia, tertunduk tak kuasa membalas tatapan Didi
yang membuat debaran jantungnya kian memacu cepat. Didi meraih tangan Lia dan
menggegamnya, lalu mencium punggung tangan Lia penuh kelembutan.
"Ambil
saja dan dipakai dzikir ya, usahakan sholat malam," katanya, lalu melepas
tangan Lia dan beranjak berdiri.
"Balik
dulu ah, entar malah khilaf lagi dekat kamu," Didi tersenyum menatap Lia
yang ikut berdiri.
"Insya
Allah tahun ini kita segera menikah," lanjutnya dan pamit pulang.
Lia
tersenyum, mengingat kembali masa terindahnya bersama laki-laki yang telah
memberinya banyak harapan pada sebuah cinta yang dia damba. Tapi kenyataannya
justru bertolak belakang. Tiga bulan kemudian, Lia mendapat undangan pernikahan
dari Didi, laki-laki yang telah melambungkan hatinya, akan menikah dengan
wanita yang dijodohkan keluarganya. Hasrat hati ingin membuang segala kenangan
pada Didi, termasuk tasbih putih, tetapi entah mengapa Lia sangat berat
membuang tasbih itu.
Lia
sekali lagi mencium butiran manik-manik putih itu.
"Kan
gue bilang apa, loe pasti masih keingetan tuh sama si buluk," omel Mala,
sedikit membisik mendekati telinga Lia.
"Gue
tahu, Li, dari tadi loe mainin tasbih itu sambil nyium dan senyum-senyum sendiri,"
Mala menjatuhkan kepalanya di pundak Lia, yang diikuti Lia juga menjatuhkan
kepalanya ke kepala Mala.
"Saying
la, kalau dibuang, apalagi setelah mengalami kejadian ini, sepertinya tasbih
ini sangat membantu deh," jawab Lia, mencium lagi tasbih itu penuh arti.
"Iya
sih bener apa kata lo, tapi gue Cuma enggak mau aja loe keingetan terus sama si
buluk itu," lirih Mala menjawab, memejamkan mata.
"Ya
la, kan yang ditinggal kawin itu gue, kenapa jadi loe sih yang sewet
berkepanjangan?" balas Lia, ikut memejamkan mata.
"Mana
lagi loe ketularan Om Anto aja nyebut dia buluk," lanjut Lia dengan
intonasi tak sukanya.
"Yah,
abisan Didi itu item amat sih, beda jauh sama kulit loe yang bersih gitu,
Li," jawab Mala sambil mengusap lengan Lia, yang terlebih dulu disibaknya
lengan panjang kaos yang Lia pakai. Lia balas menepuk paha Mala.
"La,
Pak Otong kok enggak kedengaran ya ocehanya?" Lia membisik ke telinga
Mala, takut Pak Otong mendengarnya.
"Pak,
Bapak udah tidur ya?" Justru ucapan Lia membuat Mala penasaran, mengangkat
setengah badannya dan memperhatikan Pak Otong yang bersandar memejamkan mata.
Pak
Otong tidak tidur. Dia juga terbayang kebersamaannya dengan kakak kandungnya,
yaitu Ki Sastro.
Di
suatu malam, Pak Bejo, bapak mereka, menyuruh kedua anaknya duduk untuk
mendengar perintahnya. Lelaki berjanggut lebat dengan kumis melintang itu
menatap kedua putranya dengan tatapan tajam penuh arti.
"Besok
kalian berdua bapak ajak ke tempat Mbah Maut," ucapnya, yang membuat
Sastro dan Surotong terperangah mendengarnya. Karena nama itu adalah nama
seorang pesugihan yang menerima murid untuk mengikuti jejaknya.
"Ngapain
kita ke sana, Pak?" tanya Sastro balik menatap bapaknya. Tetapi hanya
sejenak, lalu dia kembali tertunduk.
"Bocah
edan," sentaknya.
"Kalian
berguru sama Mbah Maut biar keluarga kita tambah makmur gemar ripah,"
lanjutnya.
"Otong
enggak mau, Pak," Otong, anak bungsunya, menolak tegas atas kemauan
bapaknya. Bapak memelototinya.
"Sastro
juga enggak mau, Pak, takut," anak sulungnya ikut menolak perintah
bapaknya.
"Semprul
kalian, anak tak tahu diuntung," bentaknya kasar, dengan membanting
lintingan lisong yang dipegangnya.
"Kalian
tidak punya hak untuk menolak, besok pagi kalian harus pergi bersama bapak ke
tempat Mbah Maut," hardik Pak Bejo.
Pak
Otong mendengus, mengingat kejadian awal muasal dia terjebak berguru ke Mbah
Maut yang terkenal kekejianya.
"Kenapa,
Pak?" tanya Mala, yang merasa aneh dengan cara Pak Otong yang seolah
sedang membayangkan sesuatu. Refleks, Pak Otong menoleh memelototi Mala.
"Bocah
ingusan," hardiknya.
"Maaf,"
Mala membuang pandangannya.
"Pak,
saya mau tanya," Lia, yang sudah memasukan tasbihnya, mencoba mengisi
suasana dengan pertanyaan yang mengganjal ingin dia ketahui jawabannya. Pak
Otong berdehem.
"Apa
Bapak kenal si penghianat yang selalu disebut?" tanya Lia, yang membuat
Pak Otong menatapnya dari kaca spion.
"Iya
bener tuh, Li, cerita dong, Pak," timpal Mala bersemangat.
"Bocah
ingusan," umpatnya pelan.
"Kami
adalah saudara kandung," lanjut Pak Otong, yang membuat Mala dan Lia
terperangah. Bahkan Riski sempat menginjak rem.
"Astagfirulloh,"
refleks Mala dan Lia berseru kaget.
"Bocah
edan," omel Pak Otong pada Riski yang ikutan kaget.
"Maaf,
Mbak Alia, Mbak Mala," jawab Riski yang kembali menjalankan mobil.
"Sampean
tuh kenapa, untung enggak ada kendaraan lain," tanya Pak Otong yang masih
mengomel pelan.
"Maaf,
Pak, tadi refleks mendengar ucapan Bapak," Riski menjawab sambil terus mengemudikan
mobil BRV hitam milik Ustad Abas.
"Lah,
Bapak buat kita kaget tahu," ucap Mala yang menatap Pak Otong.
"Dah,
Pak, ceritain dong sambil ngisi waktu perjalanan kita," pinta Lia, dijawab
senyuman oleh Pak Otong.
"Ih,
tumben Bapak senyum, biasanya kan ngomel," ledek Mala, yang membuat Pak
Otong menoleh memelototinya.
"Bocah
ingusan," umpatnya, dan memulai bercerita siapa dirinya dan Ki Sastro.
Posting Komentar