Cincin Bermata Tiga Bagian 31
Baru
saja Pak Setiawan ingin mencoba tidur, tetapi dering ponselnya berbunyi. Bapak
tiga orang anak ini segera mengambil gawainya yang disimpan di tas selempang
yang selalu dibawanya. Dia melihat layar monitor dan melihat nama yang tertera.
"Pak
Udin," gumamnya dalam hati. Meski bertanya-tanya kenapa paranormal yang
dikenalnya ini menelponnya, dia segera menekan tombol hijau.
"Ada
apa, Pak?" langsung Pak Setiawan membuka pertanyaan.
"Bapak
sudah di mana?" balik si lawan bicara bertanya.
"Nyaris
masuk pintu tol, emang kenapa sih, Pak?" sedikit kesal Pak Setiawan
menjawab.
"Maaf,
tadi istri saya menelpon Bude Ratmi dan kami sudah mengetahui persoalannya. Dan
maaf juga kemarin kami enggak bisa bantu," jelas Pak Udin di seberang
obrolan.
"Nah,
maksud saya, sekarang saya ingin ikut membantu. Jadi, biar saya menyusul ke
sana," sambungnya menjelaskan. Pak Setiawan mendesah.
"Mobil
kami sudah penuh, Pak, dan jarak kami pun sudah lumayan jauh," Pak
Setiawan berusaha menolak secara halus.
"Suruh
dia menyusul," Pak Otong yang menjawab, membuat Pak Setiawan menjauhi
benda persegi panjang itu dari telingganya.
"Kita
butuh bala bantuan sebanyak mungkin, apalagi teman kamu itu pasti
paranormal," lanjut Pak Otong yang membuat Pak Haji, Pak Setiawan, Pak
Anto diam tertegun. Bahkan Ustad Abas sempat memperlambat laju kendaraannya
mendengar ucapan Pak Otong.
"Kita
harus membantu gadis manik-manik itu," Pak Otong menolehkan kepala ke
belakang dan ujung bola matanya mengarah ke Lia yang tertidur pulas.
"Suruh
dia menyusul sama orang bapak," kini Pak Otong menatap tajam ke arah Pak
Haji yang duduk di belakangnya.
"Gimana
caranya? Trus Bu Arya di rumah sama siapa yang ngejagainya?" Ustad Abas
yang berkomentar.
"Tenang,
semua serangan sudah selesai. Sekarang kita basmi sarang utamanya, jadi Bu Arya
dan anaknya aman," jawab Pak Otong menoleh ke Ustad Abas.
"Kita
menepi di sebuah tempat saja dan suruh mereka segera menyusul. Yang di rumah
sakit cukup berdua saja, sisanya suruh temanin Bu Arya," perintah Pak
Otong.
"Saya
setuju, Pak," Pak Haji Hanif bersuara dan langsung menelpon Ardi meminta
untuk segera menyusul. Pak Setiawan pun memberikan jawaban pada Pak Udin
tentang rencana yang sedang mereka susun hingga percakapan jarak jauh itu
terputus.
"Berarti
Abi Tarno bisa ikut juga tuh," Ustad Abas memberikan pendapatnya.
"Iya,
Pak," singkat Pak Otong menjawab dengan memfokuskan pandangannya ke depan.
Dia juga mengangguk-angguk berkomat-kamit.
"Mampus
kamu penghianat," umpat Pak Otong ketus.
"Tunggu
perang sesungguhnya," sambungnya penuh rona sebuah keyakinan akan
kemenangan.
Setengah
jam kemudian, sebuah mobil Avanza putih berhenti di samping mobil BRV yang
berisi rombongan pertama. Semua orang telah turun menunggu Pak Udin dan yang
lainnya dengan duduk santai di sebuah kedai kopi yang buka 24 jam.
"Ah,
lumayan hilang ngantuk gue, Li. Seger deh sekarang," ucap Mala yang telah
menuntaskan semangkok mie rebusnya serta segelas air putih hangat. Lia
tersenyum.
"Kaya
mau perang aja lo, La," jawab Lia yang memperhatikan kedatangan Pak Udin
serta Ardi, Riski, dan Abi Tarno.
"Kita
jalan sekarang," perintah Pak Otong yang telah berdiri di samping mobil
BRV. Semua orang beranjak berdiri. Pak Setiawan membayar semua tagihan makan
rombongan ini.
"Bocah
ingusan kamu di sini saja sama gadis manik-manik itu," ucap Pak Otong
ketika menegur Mala yang tengah melangkah mendekat tanpa Lia karena Lia sedang
meminta kantong plastik untuk berjaga-jaga. Mala mengerucutkan bibirnya sambil
mengangkat dagunya.
"Bocah
ingusan," sentak Pak Otong melotot melihat respon wajah Mala. Biarpun
kesal, tapi dalam hati Mala tertawa diperlakukan seperti itu oleh Pak Otong.
"Kamu
di sini saja sama bocah ingusan itu," Pak Otong berkata pada Lia yang
melangkah mendekati Mala. Lia mengangkat sebelah bahunya tersenyum.
"Orang
aneh," ucap Mala berbisik ketika menggandeng lengan Lia. Lia mencubit
kecil lengan Mala sambil tertawa.
"Hahahahhahah...seprtinya
doi itu ngefans deh La sama lo," goda Alia yang dibalas cubitan di
lengannya.
Mobil
BRV kini dikendarai Riski yang di dalamnya duduk Pak Otong di samping supir.
Mala dan Lia duduk di kursi tengah, sedangkan Pak Haji Hanif dan Pak Setiawan
duduk di kursi belakang. Di mobil Avanza yang dikendarai Ardi ada Ustad Abas,
Abi Tarno, Pak Anto, Taufik, dan Pak Udin.
"Kira-kira
masih berapa lama lagi kita sampai, Pak?" tanya Lia pada Pak Otong yang
duduk di depan.
"Sekitar
satu jam lagi. Kalau kamu bisa tidur, silahkan biar konsentrasi kamu lebih
fokus enggak ngantuk," jawab Pak Otong santai. Lia mendesah mengubah
posisi duduknya.
"Alif
gimana, Pa?" tanya Lia membalikan sebagian tubuhnya menatap papanya yang
terlihat letih.
"Sudah
jauh lebih baik," singkat Pak Setiawan menjawab.
"Mama
terus ama siapa jadinya di rumah sakitnya?" Kembali Lia bertanya.
"Tetap
sama Bi Wulan. Tadi Umi Yani sama Bude Lilis pulang ke rumah Tante Arya,"
jawab Pak Setiawan.
"Alhamdulillah,"
Mala yang menimpali.
"Emangnya
kenapa?" timpal Pak Otong merespon ucapan Mala. Mala merengut, tetapi dia
sempat menjawab.
"Ya
bersyukurlah semuanya baik-baik saja."
"Dasar
bocah ingusan," umpat pelan Pak Otong. Lia tersenyum menepuk paha Mala
yang menjatuhkan kepalanya di pundak Lia.
"Oh
ya, apa Bapak kenal orang yang ngirim cincin itu?" tanya Lia yang berusaha
mencari informasi dari Pak Otong. Pak Otong melirik ke arah Lia yang dia tatap
dari kaca spion dalam.
"Itu
bukanya keluarga kamu sendiri," jawabnya yang langsung disanggah Lia.
"Ehiya,
itu saya tahu. Tapi maksud saya siapa yang ngebantuin Tante Ririn?" Lia
memperjelas pertanyaannya.
"Semprul,"
Pak Otong mengepal tangannya dan meninju pahanya sendiri.
"Dia
itu penghianat," singkat jawabnya.
"Apa
maksudnya?" Refleks Mala bertanya yang membuat Pak Otong terkekeh.
"Kenapa
ketawa, Pak?" Sewot Mala merengut. Lia memberi isyarat dengan tepukan di
paha Mala.
"Dia
itu serakah dan kebablasan ngilmunya. Pake nyari tumbal segala lagi. Yah,
kesempatan tuh si ratu jahat itu memanfaatkannya," jelas Pak Otong yang
membuat semua orang terkesima.
"Dah,
kamu enggak usah pikirin yang terpenting siapkan dirimu untuk ngelawan
penghianat itu," Pak Otong mengibaskan tangannya.
"Emang
Lia bisa apa ngelawan yang tadi Bapak bilang ratu jahat?" Mala masih
penasaran siapa ratu yang dimaksud.
"Ya
bisa lah, temanmu itu," Pak Otong mengarahkan ujung bola matanya pada Lia.
"Namanya
Aulia, Pak, dan saya Mala," ucap Mala menerangkan namanya agar Pak Otong
tidak menyebutnya bocah ingusan. Pak Otong terkekeh.
"Iya,
saya sudah tahu," jawabnya santai yang membuat Mala geregetan.
"Udah
tahu namanya tapi kenapa enggak di sebut?" Gerutunya sendiri.
"Bocah
ingusan," sentaknya pelan membuat Lia tertawa. Mala menoleh menatap Lia.
"Ngapa
lo ketawa, Li?" Tanyanya kesal.
Lia
tersenyum sambil menepuk paha Mala.
"Li
itu sudah ada yang ngebentengin dan gelang manik-manik itu adalah senjata
saktinya. Di tambah gosokan telapak tangannya adalah dewa penyabut nyawa untuk
si penghianat itu," jelas Pak Otong yang membuat Mala, Lia, Pak Setiawan,
Pak Haji Hanif, dan Riski tertegun. Suasana hening, semua orang berusaha
berpikir dengan pemahamannya masing-masing.
Posting Komentar