Cincin Bermata Tiga Bagian 29

Table of Contents

Semua orang di luar mendekati pintu kamar Sifa, penasaran dengan apa yang terjadi. Umi Yani merangkul bahu Arya sementara Pak Setiawan telah masuk dan berdiri di pojok ruangan bersama Pak Anto. Taufik tetap di ruang tamu, dia tertidur, tapi sesekali terdengar ia memanggil nama Ririn, istrinya. Lia, yang sedang mengosok kedua belah telapak tangannya yang di dalamnya ada tasbih Ustad Abas, tampak berkomat-kamit membaca sesuatu. Terdengar dia melantunkan ayat ke-58 dari Surat Yasin. Pak Haji Hanif, Ustad Abas, serta Abi Tarno tak ketinggalan, seperti perintah Lia, mereka secara kompak membaca ayat kursi berulang-ulang. Mala juga tak diam, dia ikut membaca ayat kursi sambil tatapannya tetap difokuskan ke arah cincin bermata tiga.

 

“Lia, awas!” teriak Mala ketika dia melihat dari salah satu mata cincin itu keluar sebuah bayangan hitam yang menyerupai kelelawar.

 

“Awas, Lia!” Pak Setiawan refleks ingin melangkah menyelematkan putrinya, sigap Pak Otong mencekal lengannya. Pak Setiawan menoleh memelototinya.

 

“Anak kamu itu akan baik-baik saja, justru kita semua yang harus menyelematkan diri,” sentak kasar Pak Otong kesal.

 

“Cepat, yang lain keluar,” perintah Pak Otong ketus, dan semua orang pun melangkah keluar.

 

“Lia, ada satu lagi tuh,” Mala berteriak memberi tahu ketika keluar lagi bayangan hitam dari mata cincin yang lain. Lia tetap fokus mengosok kedua telapak tangannya dengan terus merapalkan ayat ke-58 Surat Yasin berulang. Pak Haji mundur sampai ke pojok dinding kamar yang diikuti Ustad Abas serta Abi Tarno.

 

“Coba, Bas, siram bayangan itu dengan air ruqyah,” saran Abi Tarno. Ustad Abas yang memegang sebotol air segera melakukan apa yang kakaknya perintahkan.

 

“Tahan!” bentak Pak Otong yang melihat gerakan Ustad Abas.

 

“Itu justru akan memperbesar ukuran binatang sialan itu,” Pak Otong menatap dua buah bayangan itu tanpa berkedip.

 

“Li, keluar satu lagi,” Mala memberi tahu ada satu bayangan lagi keluar dari mata cincin yang lainnya. Lia menarik napas dalam hingga dadanya terlihat mengempis, dan menghempasnya dengan sentakan yang membuat kedua bahunya terangkat.

 

“Bismillahirohmanirohim,” Lia membuka telapak tangannya dan mengarahkan ke segala arah, sinar putih itu laksana laser yang mengejar bayangan hitam itu.

 

Wuuusshhh... desiran angin itu menerpa seluruh ruangan, dan dentuman keras juga terdengar ketika sinar putih itu menghantam salah satu bayangan hitam yang menyerupai kelelawar, namun bertaring, berkaki, serta bermata bulat merah menyala. Serangan juga dilakukan bayangan itu, hanya Lia yang menjadi sasaran serangan bayangan hitam yang menderu sangat cepat. Kelebatan bayangan hitam menutup pandangan sekeliling, Lia cekatan dan trampil mengelak, menangkis serangan ke arah tubuhnya. Lia hanya mengeser kepalanya ke kanan atau kiri ketika bayangan hitam itu menyerangnya.

 

“Lia, awas!” berulang kali Mala berteriak ketika salah satu bayangan itu menyerang. Pak Otong mendekatinya dan meninju pelan pundak Mala. Mala menoleh memelototinya.

 

Lia masih tetap pada posisi berdirinya menahan serangan dua bayangan hitam itu yang terus saja berkelebat mendekatinya. Arahan sinar putih masih terus Lia arahkan ke arah bayangan hitam itu, dan sekali lagi dentuman keras terdengar memekakan telinga ketika salah satu bayangan hitam terkena sinar putih. Mala bersorak riang, “Semangat, Lia!” teriaknya, memberikan dukungan pada sahabatnya.

 

“Dasar bocah ingusan,” umpat Pak Otong kesal dengan sikap Mala. Mala menoleh, memanyunkan bibirnya.

 

Lia terus mengarahkan sinar putih bak laser yang menembak lawannya, tapi bayangan itu tampak lebih lihai. Lia mulai merasa kekuatannya menurun, dia segera mengeser berdirinya dan berteriak, “Allahu Akbar, Walillahilham,” lantas dia mengarahkan lagi telapak tangannya ke arah bayangan itu yang mencoba menghindari serangan balik Lia.

 

Wuushh... bayangan itu berkelebat, berbalik arah, dan menyerang Mala.

 

“Tiaraplah!” seru Lia yang melihat bayangan itu menuju ke Mala. Karena terkesima, Mala justru diam mematung, sejengkal lagi bayangan itu ingin mencengkram kepala Mala. Pak Otong terlebih dulu mendorong Mala hingga tersungkur.

 

“Aduh!” pekik Mala, jidatnya mendarat ke lantai. Buru-buru Abi Tarno berlari menolong Mala dan mengajak Mala keluar.

 

“Biarkan Mala tetap di sini, Abi,” Lia berucap sambil terus mengarahkan telapak tangannya ke arah bayangan hitam itu yang kini menyerangnya kembali.

 

“Li, ambil tasbihmu dan lemparkan ke bayangan itu,” seru Mala yang memegang keningnya. Dia merasakan jidatnya berdenyut sambil terus memfokuskan perhatiannya pada kondisi Sifa.

 

“Buruan, Li, nanti keburu cincin itu bereaksi,” lanjut Mala. Lia melangkah mendekati ranjang, tetapi bayangan hitam itu menghalanginya. Telapak tangan Lia diarahkan ke bayangan itu, namun bayangan itu dapat menangkisnya.

 

Melihat Lia kewalahan menahan serangan bayangan hitam itu, Mala sigap melangkah mendekati ranjang Sifa dan naik ke atas ranjang, mengambil tangan Sifa untuk meraih tasbih Lia. Namun tak sengaja, dia justru melepaskan cincin bermata tiga yang sejak tadi sudah bergerak berputar di jari manis Sifa.

 

“Lemparkan cincin itu, Lia,” berkata Lia ketika dia melihat Mala berhasil mengeluarkan cincin itu dari jari Sifa.

 

“Lempar ke mana, Li?” tanya Mala yang bingung harus berbuat apa.

 

“Ke arah bayangan itu, kita lakukan bersama, dihitung ketiga lempar,” perintah Lia kembali mengosok kedua belah telapak tangannya sebentar hingga hawa dingin dirasakannya.

 

“Satu, dua, tiga... Lemparkan, Li!” seru Lia mengomandoi.

 

“Bismillahirohmanirohim,” sekuat tenaga Mala melemparkan cincin itu bersamaan dengan sinar putih yang terpancar dari telapak tangan Lia.

 

“Lemparin tasbihnya juga, Li,” Lia terus mengumpulkan tenaganya dan memfokuskan pada telapak tangannya. Bayangan itu tampak sedikit lunglai terkena sinar putih, namun dia masih leluasa bergerak ke segala arah.

 

“Allahu Akbar,” Mala berteriak sambil melempar tasbih yang ada di pergelangan tangan Sifa. Dentuman keras sekali lagi terdengar, dan bayangan hitam itu jatuh mengelepar. Lia terus mengarahkan telapak tangannya hingga sejurus kemudian bayangan itu tak berkutik, perlahan ketiga bayangan itu mencair menjadi lender hitam disertai bau anyir yang sangat menusuk hidung. Semua orang menutup hidung dan mulutnya.

 

“Bagaimana kita hilangkan lender itu, Li?” tanya Mala yang sedikit lunglai serta mual. Lia diam menatap lendiran hitam itu. Tiba-tiba, sebuah bayangan putih berkelebat dan menghantam lender itu, seolah menyedotnya. Bayangan putih itu membersihkan lendiran hitam itu tanpa bekas apapun.

 

“Bagus, Lia, terima kasih,” sebuah suara yang lembut terdengar dari arah bayangan putih.

 

“Ambil tulang itu dan satukan semuanya, lalu kuburkan,” lanjut suara tanpa sosok.

 

“Kini tugas selanjutnya jauh lebih berat dan berbahaya, kamu harus lebih waspada dan siapkan ekstra kekuatanmu,” lanjut suara itu. Lia tertegun mencari sosok bayangan putih itu.

 

“Peri, dimana kamu, tunjukkan dirimu,” justru Mala yang berkata ingin melihat sosok suara itu.

 

“Sabar, Mala, belum waktunya kalian melihat aku, tapi aku pasti akan selalu membantu kalian,” jawabnya tertawa kecil tetapi sangat menyejukkan.

 

“Selamat tinggal, Lia, kita bertemu lagi di hutan jati itu,” aroma wewangian yang menyejukkan tercium dari kelebatan sinar putih.

 

“Segera kalian kesana secepat mungkin,” terdengar lagi suara itu, dan sesaat kemudian desiran angin memenuhi seluruh ruangan yang sekejap kemudian kamar berukuran 4x3 meter ini kembali seperti semula, seakan tak terjadi apapun. Tak lama kemudian Sifa terbangun dari tidurnya.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar