Cincin Bermata Tiga Bagian 28

Table of Contents

Kediaman Arya tampak sepi. Semua orang duduk di kamar Sifa; Pak Haji Hanif masih duduk di tepi ranjang, terus melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Abitarno dan Umi Yani, istrinya, juga sedang mengaji, duduk di lantai pojok ruangan. Sementara Arya duduk di samping Sifa yang masih terbaring pingsan setelah tiga kali mengalami kesurupan sepeninggalan Lia dan yang lainnya. Pak Anto, yang tampaknya keletihan, tertidur di samping putri tunggalnya.

 

Mobil yang dikendarai Ardi telah sampai di depan rumah Arya. Riski, Lia, dan Mala segera turun ketika mobil telah terparkir dengan sempurna. Baru saja Lia dan Mala ingin melangkah masuk ke halaman rumah, terdengar deruan mobil lainnya tiba juga di depan rumah. Mobil BRV yang dikendarai Ustad Abas terparkir di belakang mobil Ardi.

 

"Itu papa kamu, Li," ucap Mala yang memperhatikan siapa yang datang. Lia tersenyum menangguk. "Kok papa bukannya ke rumah sakit sih," gerutu Lia ketika melihat papanya turun dari mobil. "Ihh, si dukun itu lagi," Mala mengernyitkan mata dan mengalihkan pandangannya ke arah lain ketika melihat Pak Otong turun dari pintu depan. "Bocah penakut, tunggu," Pak Otong lantang memanggil Mala. Mala tak menoleh, dia merengut mendengar ucapan Pak Otong. Lia menyenggol lengan Mala menandakan bahwa dialah yang dipanggil.

 

"Tuh dukun manggil lo, La." "Bodo amat," umpat Mala tak suka. Lia tertawa. "Wush, enggak boleh gitu, Bu," goda Lia yang membuat Mala tambah merengut. "Bocah penakut," sekali lagi Pak Otong memanggil. "Mala," Pak Setiawan membantu menyebut nama untuk menjelaskan panggilan Pak Otong. Mala membalikan tubuhnya kompak bersama Lia, menatap Pak Otong yang melangkah mendekatinya.

 

"Kenapa kamu kasih tulang itu ke orang lain," Pak Otong menatap bengis Mala karena dia merasa Mala tak bisa dipercaya. Mala mencengkram lengan Lia kuat, menandakan ketakutannya akan sikap Pak Otong yang terlihat marah.

 

"Dia memberinya ke Pak Ustad kok, Pak, bukan ke siapa-siapa," Lia yang menjawab. "Kamu harus ikut ke hutan itu untuk nghadapin Sis Astro," kini Pak Otong menatap Lia yang juga menatapnya. "Sastro?" Lia mengernyitkan dahinya. "Iya, segera kita ke sana biar masalah ini secepatnya tuntas," jawab Pak Otong. Lia menarik napas, mengangkat bahu, dan membalikkan tubuhnya, melangkah memasuki rumah, diikuti Mala yang masih menggandengnya.

 

Semua orang telah berada di kamar Sifa. Pak Otong yang berdiri di depan pintu segera memerintahkan Lia untuk bertindak. "Cepat keluarkan gelang manik-manikmu dan gelangkan di tangan anak itu."

 

Semua orang menoleh dan menatap Pak Otong, tak mengerti. "Bener tuh, Li, buruan deh lo gunain tasbih lo," pinta Mala yang mengerti maksud Pak Otong. Lia segera mengambil tasbihnya dan mendekati Sifa yang masih seperti tertidur pulas.

 

"Maaf tante," Lia meminta izin agar Tante Arya menyingkir sebentar karena dia ingin mengelangkan tasbih itu ke tangan Lia. Anto yang tertidur telah bangun dan keluar untuk menemui Pak Setiawan dan Taufik yang duduk di ruang keluarga. "Bismillahirohmanirohim," ucap Lia, mulai memasukkan tangan Sifa ke lubang tasbihnya. Ketika manik-manik tasbih menyentuh cincin bermata tiga, tiba-tiba cincin itu bercahaya terang dan menyilaukan. Pak Haji Hanif yang duduk di sebelah kanan sempat menutup matanya karena silau, begitu juga Arya dan Lia.

 

"Awas, Li!" teriak Mala yang melihat ada sesuatu seperti butiran hitam sebesar kacang hijau keluar dari tiga mata yang ada di cincin itu. Refleks Pak Haji dan Lia menyingkir. "Astagfirullah," keduanya bersamaan mengucap istighfar karena kaget dengan apa yang dilihatnya. "Tante, cepat keluar biar Lia sama Pak Haji dan Pak Ustad juga Abi aja yang ada di ruangan ini," Lia memberi perintah. Arya dan Umi Yani segera melangkah keluar.

 

"Loe tetap di sini, La, focus, bantuin gue," lanjut Lia tegas kepada Mala yang dibalas anggukan. "Awas, Lia," kini Ustad Abas yang menarik tangan Lia karena butiran hitam itu semakin banyak keluar dari mata cincin itu.

 

"Pak Haji, Lia pinjam tasbihnya," Lia mengulurkan tangan meminta tasbih dari Pak Haji. "Pak Ustad dan Abi, siapin air rukiyahnya," lanjut Lia tegas dan penuh wibawa, seolah itu bukan Lia yang sebenarnya. "Li, awas..." Mala berteriak sambil menarik lengan Lia. Lia mundur dua langkah dari tempat tidur itu, tapi hanya sebentar karena dia kembali mendekati ranjang itu dan duduk di samping Sifa yang masih tertidur.

 

"Lia, lihat cincin itu," Ustad Abas menunjuk cincin bermata tiga itu yang berubah warna, pancarannya menjadi asap hitam dan berbau anyir. Sejenak Lia tertegun, menatap cahaya hitam itu, dia menutup mulutnya menahan bau anyir yang terlalu pekat. Mala sigap mengambil masker dari dalam tas selempangnya dan memakaikannya ke Lia karena itu masker hijab.

 

"Nih, lo pakai, udah gue olesin minyak kayu putih," Lia membiarkan tangan Mala memakaikan masker itu. Lia menatap cincin itu sambil membaca Ayat Kursi berulang kali. Ketika Lia membaca yang ketiga kalinya, cincin itu berubah lagi warnanya, kini dia menyala merah darah seperti biasanya dan bau anyir itupun lenyap.

 

"Li, lihat tuh Sifa ngompol," Mala menunjuk selangkangan Sifa yang keluar air. "Astagfirullah," Lia memekik karena air itu berwarna merah darah. "Turun, Lia," perintah Pak Haji, Lia segera turun dan melemparkan tasbih Pak Haji ke arah selangkangan Sifa.

 

"Lahaula walakuata illabila aliyul azim," teriak Lia sekuat tenaga melempar manik-manik yang berjumlah 33 itu. Wuusshhh... angin mendesir dari lemparan Lia yang membuat genangan air itu membeku.

 

"Subhanallah," serempak Pak Haji Hanif, Ustad Abas, dan Abi Tarno berucap. "Lia, cincin itu bergerak," pekik Mala yang melihat lingkaran di jari Sifa berputar. "Astagfirullah alazim," seru Lia yang melihat ketiga mata cincin itu mengeluarkan lender hitam.

 

"Innalillahi wa innalillahi rojiun," ucap Pak Haji. "Li, buruan pakai senjata terakhir loe," Mala memberikan sesuatu ingatan pada Lia. Lia tertegun, menatap Mala yang berdiri bersandar di dinding. "Apa, La?" Lia tak mengerti maksud Mala. Mala mendesah mengangkat bahu. "Coba bas kita siram jari Sifa dengan air rukiyah," Abi Tarno memberikan saran. Ustad Abas segera mengambil sebotol air yang ditaruhnya di atas meja belajar Sifa, membuka tutupnya, dan melangkah mendekati ranjang. Belum sempat Ustad Abas menyiram jari Sifa, tiba-tiba ketiga mata cincin itu kembali mengeluarkan butiran hitam dan mengarah ke Ustad Abas.

 

"Awas bas," Abi Tarno sigap menarik tubuh adik iparnya hingga dia terjatuh dari ranjang, tetapi selamat dari serangan butiran hitam itu. Tak tinggal diam, Pak Haji Hanif mengeluarkan kain putih dari saku kemejanya, melebarkannya, dan ingin menutup tangan Sifa yang ada cincin bermata tiga. Sebelum kain putih itu mendarat di atas cincin terjadilah sebuah keanehan karena kain itu terbakar, tapi apinya berwarna hitam pekat dan beraroma anyir.

 

"Jangan gegabah, biar gadis itu yang menyelesaikannya," Pak Otong berkata sambil matanya mencari keberadaan Lia. "Mana dia?" tanyanya karena tak menemukan Lia. "Ke kamar mandi, Pak," Mala yang menjawab karena dia tahu bahwa Pak Otong mencari Lia.

 

Belum sempat Pak Otong berkomentar, suara pintu kamar mandi terdengar terbuka, Lia melangkah keluar. "Buruan, Li, lakukan sesuatu," pinta Mala yang menghampiri Lia. "Lihat tuh kain putih Pak Haji terbakar," Mala menunjuk ke arah serpihan kain yang terbakar dan menyisakan bau anyir yang sangat pekat. Lia tersenyum, manis sekali guratan senyum yang menghiasi wajah Lia, Mala terbelalak ketika menyadari betapa wajah Lia kini tampak berbeda.

 

"Subhanallah, loe cantik banget Li," Mala lebih memfokuskan tatapannya meneliti setiap jengkal garis wajah Lia. Lia menepuk bahu Mala. "Thanks La," ucapnya santai namun intonasinya sangat berwibawa. "Cepat serang cincin itu sebelum dia ngeluarin hal aneh lainnya," perintah Pak Otong yang membuyarkan kekaguman Mala pada wajah Lia yang tak seperti biasanya.

 

Lia menoleh ke Pak Otong lalu menatap satu persatu orang yang ada di kamar itu, setelahnya dia melangkah mendekati ranjang. "Pak Ustad, Lia pinjam tasbihnya," pinta Lia mengulurkan tangan ke arah Ustad Abas, Ustad Abas merogoh saku celananya dan memberikan tasbih berwarna biru muda itu pada Lia. "Mana manik-manik kamu?" tanya Pak Otong yang kecewa karena Lia memakai tasbih orang lain. "Sudah dipakaikan ke tangan Sifa," Mala yang menjawab.

 

"Kita baca Ayat Kursi bareng-bareng ya," Lia memerintah lalu dibertahlil dengan tasbih itu. Tepat di akhir biji tasbih, Lia mengosokannya ke dalam dua belah tangannya. Semua mata terbelalak ketika menyaksikan sesuatu yang terpancar dari tasbih itu.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar