Cincin Bermata Tiga Bagian 26
Mobil
yang dikendarai Ardi melaju dengan tergesa, ingin segera sampai ke rumah sakit
terdekat. Dia telah menyalakan lampu hazard, pertanda meminta jalan terlebih
dahulu pada kendaraan lain. Riski yang duduk di sebelahnya juga melambaikan
tangan, meminta kendaraan lain mengalah. Semua kaca mobil sengaja dibuka untuk
memperlihatkan bahwa mereka sedang membawa seseorang yang sangat kritis yang
membutuhkan bantuan medis secepatnya. Beruntung, jalanan tidak begitu macet
meski kendaraan masih terlihat cukup ramai.
Bu
Ratmi terisak, mengusap-usap kepala anak bungsunya sambil terus memegang sendok
yang digigit Alif agar kedua bibirnya tak terkatup rapat. “Alif, kuat ya,
Sayang,” lirihnya penuh isak, dia terus mengusap kepala anaknya yang
dipangkunya. “Sabar, Bu. Istighfar,” bujuk Bi Wulan, membesarkan hati Bu Ratmi.
Terdengar Bu Ratmi lirih beristighfar sambil terus meratapi kondisi putranya
yang masih menggeletak seperti orang kejang.
“Saya
izin telpon Bapak ya, Bu?” pinta Bi Wulan, merasa Pak Setiawan harus tahu keadaan
Alif. Bu Ratmi tak menjawab, hanya mengangguk. Asisten rumah tangga ini
mengambil ponsel dari dalam tas selempangnya, lalu mencari nama Pak Setiawan.
Nada dering terdengar beberapa kali setelah Bi Wulan menekan tombol hijau.
Ketika nada sambung berhenti, tanda lawan bicara menerima panggilan, seketika
itu Bi Wulan bersalam, “Assalamualaikum, Pak,” ucapnya. Dan dijawab Pak
Setiawan.
“Maaf,
Pak. Saya mau bilang kalau Mas Alif sedang dibawa ke rumah sakit ibu dan anak
yang di Gatot,” ungkapnya, memberi penjelasan. Pak Setiawan tersentak kaget dan
berkata, “Emang kenapa, Alif, Bi?” tanyanya, ingin mengetahui apa yang terjadi
dengan Alif.
“Bingung
ceritanya, Pak, tapi tadi Mas Alif digigit binatang entah apa, eh tiba-tiba
tubuhnya kejang. Itu makanya Mas Alif kita bawa ke rumah sakit,” jelas Bi
Wulan. Di seberang, Pak Setiawan mendesah, menjatuhkan punggungnya ke sandaran
kursi.
“Ya
sudah, Bi, secepatnya saya ke sana. Tolong beri yang terbaik untuk Alif ya,
Bi,” jawab Pak Setiawan menanggapi cerita Bi Wulan. Telepon pun terputus, dan
Bi Wulan kembali membesarkan hati Bu Ratmi, biarpun sesekali dia terlihat
mengusap airmatanya.
Tak
berapa lama kemudian, mobil itu telah berada di depan pintu UGD. Riski cekatan
membuka pintu, begitu juga Bi Wulan. Seorang security sigap menolong, mengambil
Alif dan langsung membopongnya membawa ke dalam ruangan. Petugas medis dengan
sangat trampil dan cekatan segera menangani Alif yang masih terlihat
menggeletak, lima belas menit kemudian Alif baru tampak tenang setelah sebuah
jarum infus tertanam di lengan kirinya, juga obat pereda kejang yang disuntikan
melalui duburnya. Alif juga mendapat bantuan oksigen untuk pernapasannya.
Selama proses medis, Bu Ratmi hanya menyaksikan dari jarak satu meter, tetap
didampingi Bi Wulan. Ardi yang tadi mengurus birokrasi pendaftaran telah duduk
bersama Riski di lobi ruang UGD.
“Alhamdulillah,
kondisi anak itu sudah tertangani,” ucap Ardi menghela napas. “Kasihan keluarga
ini, kelihatannya mereka mengalami serangan yang luar biasa,” ucap Riski yang
duduk di sampingnya. Ardi mengangguk.
“Loe
udah telpon Pak Haji Ki?” tanya Ardi, menoleh ke Riski yang mengoyang-goyangkan
kakinya.
“Udah,
anak perempuan itu sekarang pingsan abis ngamuk lagi,” jawabnya.
“Masya
Allah,” timpal Ardi.
Dari
kejauhan terlihat Lia, Mala, dan Amanda melangkah mendekat. “Itu kakanya,” ucap
Riski, melihat Lia yang hampir mendekat.
“Assalamualaikum,
Mas,” Lia terlebih dulu memberi salam ketika sudah berhadapan dengan Ardi dan
Riski.
“Waalaikumussalam,”
jawab Ardi sambil berdiri. “Duduk, Mba,” dia mempersilahkan Lia untuk duduk.
“Enggak
usah, Mas,” jawab Lia, tetapi Amanda lah yang melangkah dan langsung duduk.
“Kalau
Kak Lia enggak mau, biar Manda aja yang duduk,” ucapnya yang kini telah duduk.
“Gimana
keadaan adik saya, Mas?” kembali Lia bertanya sambil kepalanya diarahkan ke
dalam ruangan, menyapu semua tempat dengan pandangan matanya. Mala justru
mendekat ke depan pintu kaca dan mencari keberadaan Alif.
“Alhamdulillah,
adik Mba sudah tenang,” jawab Ardi yang berdiri di samping Lia.
“Masuk
aja, Mba, tapi kalau bisa satu orang aja, biar enggak ditegur perawat,” timpal
Riski memberi saran. Mala membalikan tubuhnya, menatap Lia.
“Loe
aja sana, Li, yang masuk. Gue sekalian nunggu Mama sama Papa,” ucap Mala, tanpa
berkomentar Lia bergegas masuk.
Lia
melangkah sambil terus mencari keberadaan Alif. Beruntung, Bi Wulan ingin ke
kamar mandi, dan Lia melihatnya. Gadis penyuka buku novel ini melangkah
mendekatinya, begitu juga Bi Wulan yang melihat Lia segera menghampirinya.
“Mana
Alif, Bi?” tanya Lia ketika sudah berhadapan dengan Bi Wulan. Tanpa menjawab,
Bi Wulan membalik tubuh, melangkah menunjukkan ranjang Alif.
“Ma,”
ucap Lia lirih, meraih bahu mamanya yang duduk di samping ranjang Alif. Bu
Ratmi menoleh, tersenyum sedikit getir.
“Gimana
Alif, Ma?” tanya Lia sambil mengusap-usap kaki kanan adik bungsunya.
“Alhamdulillah,
tinggal tunggu ruang rawat inap aja,” jawab Bu Ratmi sambil mengusap
airmatanya. Lia mengeser posisi berdirinya, mendekati mamanya.
“Mama,
tenang aja, Alif akan baik-baik saja kok,” Lia berusaha menenangkan mamanya.
“Tadi
sewaktu nunggu taksi, Lia dan Mala juga Amanda mengalami kejadian aneh,”
lanjutnya, dan menceritakan apa yang terjadi. Bu Ratmi tertegun, menatap anak
sulungnya sambil mendengar cerita Lia.
“Kalau
gitu, cepat kamu kalungin tasbih itu di kaki Alif,” perintah Bu Ratmi sebelum
Lia menyelesaikan ceritanya.
Lia
merogoh kantung celana panjangnya, tapi dia tak menemukan tasbihnya. Dicobanya
merogoh saku yang sebelah, tetap saja tak ada tasbih itu.
“Yah,
mana lagi tasbih itu,” ucapnya panik sambil terus bolak-balik merogoh saku
celananya.
“Kok
enggak ada ya, Ma,” Lia tampak sangat putus asa ketika dia tidak menemukan
tasbihnya.
“Emang
kamu taruh di mana tasbih itu?” tanya Bu Ratmi yang ikut panik, menyadari benda
yang mungkin bisa mengobati Alif tak ada.
“Tadikan
Lia enggak ngeluarin tasbih pas kejadian itu, tapi… Dimana ya tasbih itu?”
tanya Lia, yang tampak sangat mengkhawatirkan keberadaan tasbihnya. Lemas, dia
duduk di pinggir ranjang sambil mengigit bibir, tertunduk mencoba berpikir di
mana keberadaan tasbih itu.
Sedetik
kemudian dia berdiri.
“Lia
keluar dulu ya, Ma,” pamitnya lalu melangkah keluar ruangan. Bu Ratmi menatap
tubuh Lia yang menghilang, membelok ke depan.
Mala
yang melihat Lia melangkah keluar segera berdiri dan menghampirinya. Mereka
bertemu di depan pintu. Mala segera meraih lengan Lia yang tampak kebingungan,
dengan wajah yang sedikit tegang.
“Kenapa,
Li?” tanya Mala, penasaran melihat raut muka Lia. Lia mendesah.
“Alif
enggak kenapa-napa kan, Li?” kembali Mala bertanya, karena dia yakin Lia
menyimpan sesuatu. Lia menggeleng.
“Tasbih
gue, La,” lirih dia bersandar di sebuah tiang.
“Tasbih
lo kenapa?” tanya Mala, semakin tak mengerti.
“Tasbih
gue hilang,” jawab Lia lunglai tertunduk.
“Astagfirulloh,”
refleks Mala terpekik, menutup mulut mendengar jawaban Lia.
“Terus
gimana, Li, padahal kan kata Ibu Peri itu loe disuruh ngalungin tasbih itu ke
kaki Alif,” ucap Mala ikut bersandar di tiang. Lia mendesah, mengangkat
bahunya.
“Gimana
caranya gue nolong adik gue ya, La,” putus asa Lia menjatuhkan kepalanya di
kepala Mala. Mala meraih bahu Lia dan merangkulnya. Keduanya diam berpikir di
tengah keputusasaannya.
Sejurus
kemudian ponsel Mala berdering, dia mengambilnya dan melihat nama yang tertera
di layar monitor.
“Mama,”
ucapnya lalu menekan tombol hijau menerima panggilan.
“Assalamualaikum,
Mama. Dimana?” Mala memberi salam terlebih dulu langsung bertanya keberadaan
orang tuanya.
“Waalaikumussalam,
Mama sama Papa di parkiran nih, Kak. Kamu dimana?” jawab Mamanya.
“Masih
di lobi UGD, Ma,” jawab Mala.
“Ya
udah, Mama ke sana deh, Kak,” setelahnya sambungan telpon terputus. Kini
bergantian ponsel Lia yang berdering, dia mengambil dari dalam tas, tetapi
sebuah benda bersamaan jatuh ke lantai. Lia menatap ponselnya, melihat nama Bi
Wulan tertera di layar.
“Li,
itu tasbih loe,” Mala berjongkok memungut benda manik-manik berwarna putih yang
berjumlah 33.
“Alhamdulillah,”
lega Lia berucap, lalu menekan tombol hijau.
“Ada
apa, Bi?” tanya Lia ketika berbicara jarak jauh dengan asisten rumah tangganya.
“Mas
Alif, Mba, dia kejang lagi,” sedikit panik Bi Wulan mengatakan kondisi Alif.
Tanpa berkata, Lia menutup pembicaraan, menaruh kembali ponselnya ke dalam tas,
dan meraih tasbihnya dari tangan Mala.
“Ikut
masuk, Lia,” ajak Lia yang juga meraih lengan Mala mengandengnya.
“Manda
ikut, Kak,” Manda berdiri mendekati Lia yang bersiap melangkah masuk. Lia
membalikan sebagian tubuhnya, menatap Amanda.
“Kamu
di situ aja, Man, nanti ada Tante Linda, dia udah di parkiran,” cegah Lia, yang
membuat Manda manyun duduk kembali.
“Dah
di sini aja sama kita,” ucap Ardi menenangkan Manda yang masih mengerutkan
dahi, tak diijinkan masuk.
Posting Komentar