Cincin Bermata Tiga Bagian 25
Udara
malam itu terasa dingin dan hampa, seakan alam pun ikut merasakan kesedihan
yang melanda keluarga Lia. Bintang-bintang tampak redup, sinar rembulan pun
mengecil, seolah ikut meredupkan suasana. Aktivitas penghuni kompleks perumahan
tampak tak bernyawa. Suasana alam yang sunyi senyap itu seolah beresonansi
dengan kemelut batin keluarga Lia. Apakah ini sebuah pertanda?
“Sepi
amat ya,” gumam Mala, kepalanya menengok ke kanan dan kiri, mengamati
sekeliling. Lia mendesah.
“Lama
lagi taksinya,” umpat Lia, melakukan hal yang sama dengan sahabatnya. Mala
meraih bahu Lia dan merangkulnya.
“Gue
yakin loe dan seluruh keluarga loe pasti kuat ngelewatin ujian ini, Li,”
katanya, menjatuhkan kepalanya di pundak Lia. Lia membalas rangkulan Mala,
menjatuhkan kepalanya di kepala Mala.
“Thanks,
La. Loe ada buat gue,” bisik Lia, setitik air mata terasa memanas di pelupuk
matanya. Mala tak kuasa membendung rasa harunya. Dia melepas rangkulannya dan
langsung memeluk Lia, terisak.
“Kuat
ya, Li. Sebisa gue, insya Allah pasti gue bantu,” katanya dengan terisak,
mencoba mengungkapkan perasaannya. Lia juga terisak, memeluk Mala sambil
menepuk punggungnya. Haru biru menyaksikan dua sahabat ini terbenam dalam rasa
yang baru bisa mereka ungkapkan.
Selagi
keduanya tenggelam dalam ungkapan rasa, tiba-tiba Amanda berseru, “Kak, lihat
deh binatang apa sih itu!” Telunjuk kanannya mengarah pada seekor semut raksasa
berwarna hitam dengan mata merah menyala.
“Kaya
semut, tapi gede amat. Trus kok kaya gitu ya?” lanjutnya, masih terpana tak
percaya dengan apa yang dilihatnya. Mala dan Lia melepaskan pelukannya. Mala
menyeka air matanya, sedangkan Lia melepaskan kacamatanya dan membersihkan
butiran hangat yang membasahi pipinya.
“Mana
sih, Man?” tanya Mala sambil membersihkan pipi dengan punggung tangannya.
Amanda menoleh dan menunjuk kembali ke arah binatang aneh itu.
“Itu,
Kak,” tegasnya, menunjuk ke arah binatang yang berada tak jauh dari mereka
berdiri. Penasaran, Mala menyalakan senter dari ponselnya.
Betapa
terkejutnya dia ketika sinar senter itu mempertegas sosok seekor semut raksasa
dengan keanehannya.
“Astagfirullah,”
pekiknya, mundur selangkah sambil menutup mulut dengan sebelah tangannya. Lia
ikut memperhatikan arah yang Amanda tunjuk setelah membersihkan air matanya dan
mengenakan kembali kacamatanya.
“Astagfirullahalazim,”
dia ikut kaget dengan apa yang dilihatnya.
“Li,
itu binatang apaan sih…?” ucap Mala, masih tak percaya dengan apa yang
dilihatnya. Lia menoleh.
“Tenang,
La. Dan ini kayaknya binatang yang tadi mengigit Alif deh,” duga Lia. Lantas
dia melangkah mendekati binatang itu dan berjongkok.
“Loe
mau ngapain, Li?” seru Mala, melihat kelakuan Lia.
Lia
yang telah berjongkok tepat berhadapan dengan binatang itu tersenyum.
“Assalamualaikum,”
sapa Lia, mencoba berkomunikasi dengan binatang itu. Mala mendekati Amanda dan
mengandengnya. Rasa takut masih jelas tampak di raut wajahnya, tetapi melihat
apa yang Lia lakukan, kesadarannya membuatnya bersiap untuk melindungi Lia dan
Amanda. Mala mengajak Amanda melangkah mendekati Lia yang sedang berjongkok.
“Assalamualaikum,”
sekali lagi Lia berusaha menyapa binatang itu dan menatapnya lembut. Aneh,
justru binatang yang menyerupai seekor semut dengan antena panjang berwarna
merah, sama seperti bola matanya yang juga memancarkan sinar merah darah.
“Li,
kok warna merahnya sama kaya warna cincin bermata tiga waktu menyala?” kata
Mala, memfokuskan pengamatannya.
Mulut
Lia ingin mengucap sesuatu, tapi belum sempat dia berkata, justru ada kekuatan
aneh yang mendorong punggungnya hingga Lia jatuh tersungkur. Beruntung dia
terjatuh di samping binatang aneh itu.
“Lia!”
teriak Mala spontan ketika melihat Lia tersungkur. Dia bergegas ingin jongkok
membantu Lia berdiri, tetapi lebih dulu sebuah bayangan hitam berkelebat di
atas tubuh Lia. Bayangan hitam dengan sorot mata merah darah yang menyala itu
seperti kelelawar yang bertaring dan berkaki.
“Lia!”
teriak Mala, tak kuasa membayangkan tubuh Lia yang nyaris dicengkram kaki
bayangan itu.
WUUUSSHHH…
Bayangan itu sekali lagi berkelebat tepat di atas tubuh Lia yang masih
tersungkur. Sekali lagi Mala juga refleks berteriak, “Lia!”
Namun
bersamaan dengan itu, hadir juga kelebatan cahaya putih yang menabrak bayangan
hitam itu. Terdengar dentuman keras hingga membuat bayangan hitam itu terjatuh
ke tanah dan mengeliat sebentar lalu diam tak berkutik dengan lender hitam
membanjiri seluruh tubuhnya, disertai bau anyir yang memenuhi udara sekitarnya.
Sedetik kemudian, bayangan putih itu memancarkan cahaya kemilaunya dengan angin
berdesir hingga perlahan lender hitam dan bau anyir itu seketika lenyap.
Mala
mematung di tempat berdirinya, terpana dengan apa yang terjadi, sementara Lia
masih tergeletak telungkup. Bayangan putih itu mendekati tubuh Lia dan memberikan
sinar kemilaunya ke seluruh tubuh Lia, membuatnya perlahan mengangkat tubuhnya
duduk bersila di atas tanah.
Bayangan
itu menyerupai seorang peri dengan balutan pakaian putih yang menutupi seluruh
tubuhnya kecuali kedua matanya, dengan bola mata bulat yang memancarkan
keteduhan.
“Si…
siapa kamu?” terbata Lia, bertanya, menatap siluet seorang peri di hadapannya.
Wanita itu tersenyum dan menggosok-gosok kedua telapak tangannya, lalu
mengarahkannya ke wajah Lia. Lia merasakan hawa dingin merasuk ke seluruh kulit
wajahnya, yang terus mengalir ke seluruh tubuhnya.
“Lia,
kamu pasti bisa menyelesaikan konflik ini dan maafkan aku bila menjadikanmu
sebagai pelantara untuk melawan kejahatan itu,” ucap wanita itu lembut,
menenangkan.
“Apa
maksudnya?” tanya Lia, tak mengerti, menatap sosok putih di hadapannya.
“Jalani
saja setiap masalah ini dengan yakin bahwa kebenaran itu pasti. Tuhan sendiri
yang akan membantunya,” ucap wanita itu, kembali menggosok-gosokkan kedua belah
telapak tangannya, lalu memancarkan kilauan cahaya putih. Setelah dia membuka
telapak tangannya, segera dia memancarkan kilauan cahaya putih itu ke arah
semut yang masih berada di samping Lia. Kilatan cahaya putih itu membakar
binatang itu dengan seketika, tanpa berbekas dan bersisa apa pun.
“Sekarang
segeralah kalian ke rumah sakit dan kalungkan tasbihmu di kaki Alif yang
tergigit semut tadi,” suara bayangan putih itu memberikan perintah. Lia
menyimak, menatapnya.
“Nah,
Lia, selamat berjuang. Gunakan tasbihmu itu untuk membasmi semua kejahatan yang
dikirim untuk keluargamu. Juga gosokan telapak tanganmu, lantas arahkan ke
musuh yang sedang kau hadapi,” katanya. Dan seketika itu juga, dengan desiran
angin, bayangan putih itu sirna.
Lia
masih terdiam, mencoba menyadarkan dirinya dengan apa yang baru saja
dialaminya. Kemala yang juga sangat tak mengerti dari kejadian kesemuanya
sesaat kemudian mendesah dan mendekati Lia.
“Bangun,
Li,” katanya, mengulurkan tangannya ingin membantu Lia berdiri. Lia menoleh
menyambutnya, lalu berdiri.
Mala
langsung memeluk Lia dan menciumnya. Lia hanya menepuk-nepuk punggung Mala. Lia
melepaskan diri dari rangkulan Mala, tersenyum menatap sahabatnya.
“Perjuangan
kita kayaknya masih panjang deh, La,” ucapnya, mengigit bibir.
“Tenang,
Li. Kan kata orang tadi, kebenaran itu akan selalu Allah sendiri yang
membantunya,” kata Mala, menatap Lia penuh kasih sayang seorang sahabat.
“Kak
Li, itu kayaknya taksinya datang deh,” Amanda yang sedari tadi juga merasakan
ketakutan dengan apa yang terjadi, segera menoleh ke kanan ketika dia mendengar
deruan mesin yang mengarah mendekat.
Lia
dan Mala juga ikut menoleh ke arah datangnya sebuah mobil bermahkota yang tak
lama kemudian berhenti di depan mereka. Sang supir menurunkan kaca dan berkata,
“Dengan Aulia Safitri?”
“Iya,
Pak,” jawab Mala. Lalu dia membuka pintu belakang mobil itu.
“Manda
di depan ya, Kak,” pinta Manda, yang langsung berjalan ke arah pintu depan,
lalu masuk dan duduk di dalamnya. Sementara Mala dan Lia juga telah duduk di
dalam mobil.
“Kita
kemana, Mba?” tanya supir untuk memastikan tujuannya. Refleks, Mala dan Lia
saling bertatapan, karena mereka baru sadar ke mana Mama membawa Alif.
“Loe
telpon Bi Wulan aja, Li. Kan kayaknya nyokap loe lagi bingung ngatasin Alif,”
Mala memberi ide. Lia langsung mengambil gawainya dan mencari nama Bi Wulan.
Setelah menemukannya, Lia segera menekan tombol hijau.
Lama
nada dering berbunyi hingga habis, tapi belum juga ada balasan lawan bicara
mengangkat telepon. Lia mendesah dan mencobanya sekali lagi. Di dering ketiga,
Lia langsung berkata setelah lawan bicaranya menerima panggilannya,
“Assalamualaikum, Bibi di rumah sakit mana?”
“Waalaikumussalam,
di rumah sakit Ibu dan Anak yang di Jalan Gatot, Mba,” jawab Bi Wulan. Lia
langsung memerintahkan supir untuk membawanya ke tempat itu.
Posting Komentar