Cincin Bermata Tiga Bagian 24
Mobil
BRV yang dikendarai Ustad Abas telah berhasil keluar dari kawasan yang memang
jarang sekali dijamah penduduk sekitarnya. Mereka beranggapan jalan itu adalah
sebuah jalan kematian. Setiap kali ada penduduk yang ingin memasuki kawasan
itu, pastilah mengalami kejadian magis yang membuat nyali langsung lunglai dan
balik kanan lagi untuk pulang. Kalaupun ada orang yang ke sana, sudah
dipastikan orang itu ingin menemui seorang dukun yang namanya serta kebengisan
tindakannya sudah membuat bergidik bulu tengkuk. Kejahatan Ki Sastro kerap kali
menimbulkan keresahan penduduk sekitar, tetapi mereka tak ada yang berani
melawan dukun yang selalu menebarkan aroma anyir di sekitar hutan jati itu.
Penduduk hanya bisa bersumpah serapah dan berharap ada seseorang yang bisa
menghentikan kejahatan Ki Sastro.
Pak
Setiawan telah selesai berbicara dengan Lia di telepon. Putri sulungnya telah
menceritakan tentang semua yang terjadi. Pak Setiawan menghela nafas panjang
setelah menutup telepon, sengaja dia lostspeaker ketika berbicara dengan Lia di
telepon. "Berarti suruh gadis itu kumpulkan semua tulang yang sudah
ada," ucap Pak Otong setelah Pak Setiawan menutup telepon. Ustad Abas yang
mendengar perintah Pak Otong segera menimpalinya. "Tulangnya ada sama
saya, Pak," jawabnya membuat Pak Otong menoleh dan memelototinya. Mengerti
apa maksud tatapan mata Pak Otong, dia segera menjelaskan. "Mala kemarin
yang memberinya pada saya karena dia merasa takut." Pak Otong mengerutkan
giginya tanda dia tak suka dengan sikap Mala. "Sontoloyo, dasar bocah
ingusan penakut," ucapnya menatap kembali ke depan. "Kalau gitu,
sekarang kita harus pulang untuk menyatukan tulang-tulang itu," perintah
Pak Otong. "Baik, Pak," jawab Ustad Abas yang langsung melajukan
kendaraannya.
"Ririn
gimana, Mas?" Taufik menoleh menatap Pak Setiawan yang duduk di sebelah
kirinya. Pak Setiawan tertegun, selintas dia juga mengawatirkan adik angkatnya,
tetapi dia tak ingin menunjukkan perasaan itu pada Taufik. Sebelum Pak Setiawan
menjawab, lebih dulu Pak Otong yang mengomentarinya. "Biar saja dia jadi
sandranya dulu karena si Sastro itu butuh darah orang yang berhati baik, bukan
seseorang yang pendendam, apalagi serakah. Dia butuh darah yang segar untuk
jadi tumbal pada ratunya." Mendengar ucapan Pak Otong, refleks Ustad Abas
menginjak rem, tetapi Pak Otong menoleh dan memelototinya ketika Ustad Abas
juga menatapnya. "Maaf, Pak," singkat Ustad Abas menjawab lantas
melajukan kembali kendaraannya. "Maaf, Pak, saya tadi kaget aja dengar
penjelasan Bapak," ucap Ustad Abas lebih santai. "Apa sebenarnya
Bapak mengenal orang itu?" tanyanya yang dijawab kekehan oleh Pak Otong.
Karena
Pak Otong tak menjawab pertanyaannya, Ustad Abas yang telah menantinya jadi
jauh penasaran. Ditunggunya sebentar, tetapi tetap saja Pak Otong hanya
terkekeh sendiri sambil mulutnya komat-kamit. "Maaf, Pak, apa Bapak
mengenal orang itu?" sekali lagi Ustad Abas mencoba bertanya untuk
meyakinkan rasa penasarannya. Pak Otong lebih terkekeh hingga membuat dadanya
terlihat bergelombang, raut mukanya mengambarkan ada sesuatu yang dia simpan
karena bola matanya berputar seakan sedang mencari sesuatu. Merasa lawan
bicaranya tak merespon, Ustad Abas lebih memilih diam sementara Taufik masih
bertanya terus tentang keadaan Ririn. Pak Setiawan akhirnya memberikan sugesti
agar Taufik sedikit tenang. "Fik, kamu coba baca apa aja yang kamu bisa,
bertakbir atau sebut saja ALLAH terus," tangan Pak Setiawan selalu menepuk
pahanya. "Tenang, Fik, kalau Allah ijinkan pasti semuanya akan baik-baik
saja. Ini semua kan kita lagi berusaha, jadi kamu tenang ya, Fik," ucap
Pak Setiawan. "Atau tidur aja, Mas," timpal Ustad Abas. "Nah,
betul tuh, mending kamu tidur aja, Fik," ucap Pak Setiawan menyetujui ide
Ustad Abas. Taufik menarik napas panjang, mengubah posisi duduknya dan berusaha
memejamkan mata.
Ditempat
nan jauh dalam kota, tepatnya di kediaman Lia yang baru saja mengalami kejadian
yang mendebarkan, kini semua orang terdiam di ruang tamu. Mala yang duduk di
samping Lia tak hentinya memberikan tepukan hangat ke paha Lia, bahkan sesekali
dia merangkul bahu Lia. "Loe keren banget deh, Li, enggak nyangka gue
punya sahabat kaya loe," manja dia merangkul Lia yang hanya tersenyum.
"Maaf, Bu, kita harus segera kembali ke rumah tadi," ucap Ardi pada
Bu Ratmi yang duduk di hadapanya. "Tadi saya sudah menceritakan kejadiannya
pada Pak Haji, dan beliau meminta kita kembali ke sana sekaligus membantu
melepaskan cincin dari jari anak itu," lanjut Ardi. "Baiklah, kalau
gitu, biar kami bersiap-siap dulu," jawab Bu Ratmi menoleh ke Lia.
"Sana kamu ganti baju yang nyaman, Kak, pinjaman juga buat Mala,"
perintah Bu Ratmi. Lia tak menjawab, dia bangkit berdiri meraih lengan Mala.
"Mala,
enggak usah, Tante kan Mama udah bawain baju salin, ini aja kan baru salin pas
mau kemari," jawab Mala sambil melangkah mengikuti Lia. "Alif ikut
ya, Ma," sela Alif yang sedang berbaring di paha Bu Ratmi. "Manda
juga, Ma," pinta Manda. Bu Ratmi mendesah. "Berarti kamu ikut juga,
Bi," perintah Bu Ratmi pada Bi Wulan yang duduk tak jauh darinya.
"Baik, Bu, saya siap-siap dulu ya," jawab Bi Wulan segera berdiri
melangkah masuk. "Bi, bawain Alif susu ya," teriak Alif yang dijawab
Bu Ratmi dengan sedikit mencubit pipinya kecil. "Bangun sana, bilang
baik-baik sama Bibi, trus ambil mainan yang Alif mau bawa tapi jangan yang
macem-macem ya," tangan Bu Ratmi membantu Alif berdiri dan si bungsu ini
pun berjalan masuk untuk menyiapkan apa yang mau dibawanya. "Kamu juga
sana, siapin baju salin dua setel aja," Bu Ratmi melanjutkan perintahnya
pada Amanda yang langsung menyusul Alif masuk. "Saya tinggal dulu juga ya,
Mas, silahkan dicamilin biskuitnya, maaf, Cuma ada ini aja," pamit Bu
Ratmi lantas berdiri melangkah masuk.
Di
dalam kamar Lia berganti pakaian, sedangkan Mala menjatuhkan tubuhnya di atas
springbed yang berukuran 180 x 200 cm yang dibalut seprei bermotif kupu-kupu.
"Alhamdulillah, enak banget deh bisa rebahan kaya gini," Mala
menghempaskan tubuhnya dan sedikit mengeliat, mengeluarkan semua rasa dari
seluruh tubuhnya yang seakan sudah lama tidak merasakan kenyamanan berbaring.
Lia tertawa. "Loe kaya orang abis perang aja, La," celetuknya sambil
membuka lemari pakaiannya. "Eh, Li, gue penasaran deh, loe dapat tasbih
itu dari mana sih," tanya Mala masih tetap memanjakan tubuhnya di atas
kasur. Lia menoleh menatapnya tak mengerti. "Maksud gue, tasbih yang loe tadi
pakai itu dapat darimana, Bu," kembali Mala mengulangi pertanyaannya.
"Loe enggak inget apa itu tasbih? Kan gue dapet dari si Didi," jawab
Lia dengan rona sedikit memerah di pipinya.
"Dari
Ramidi," seru Mala tak menyangka jawaban Lia, Lia mengangguk. "Kan
gue udah cerita sama loe, La, dia kasih waktu dia mau pindah ke Padang,"
jelas Lia yang membuat Mala bangkit duduk di atas kasur. "Wah, loe masih
nyimpan tasbih itu, Li, gue pikir pas kalian putus loe buang tasbih itu,"
Mala meraih guling di sampingnya dan langsung dipeluk. "Tadinya mau gitu
sih, tapi kok ya gue pikir sayang banget gue buang, kan yang gue benci orangnya
bukan barangnya," Lia berucap sambil melangkah masuk ke kamar mandi.
"Tapi Li, itu berarti loe masih sayang kan sama doi," tanya Mala penasaran,
Lia berseru. "Ya mana bisa gue ngelupain dia, La, kan loe tahu sendiri
gimana perasaan gue sama dia." Mala tertawa. "Hahhaha, Li, masih
banyak cowo yang suka sama loe, makanya jangan terobsesi sama si buluk
itu," ucap Mala kembali menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur.
Ardi
telah berada di dalam mobil, dia telah siap di kursi pengemudi sedangkan Riski
juga telah duduk manis di sampingnya. Lia dan Mala terlebih dulu masuk ke dalam
mobil dan duduk di kursi belakang. Bu Ratmi menyuruh Bi Wulan untuk masuk ke
dalam. "Bibi di sini aja sama Lia, Ma," pinta Lia yang melihat Bi
Wulan telah membenarkan kursi yang terlipat. "Oh iya, Mba, kan ada Mba
Manda ya, nanti sempit lagi di depan," Bi Wulan yang menjawab sambil
kembali menjatuhkan kursi membuat jalan untuknya ke kursi belakang. Setelahnya,
Bu Ratmi menyuruh Manda masuk, tetapi Alif menjerit kesakitan karena dia merasa
digigit sesuatu. "Aduh, sakit, Ma," teriak Alif kesakitan yang
membuat semua orang menatapnya. Bu Ratmi segera jongkok melihat punggung kaki
Alif sebelah kanan mengeluarkan darah segar. Sontak Lia dan yang lainya turun
dan menolong Alif.
Tubuh
Alif mendadak kejang mengeliat liat dengan mata membesar dan kedua bibirnya
bergetar. Bu Ratmi memeluk anaknya lantas memaksa Alif membuka mulutnya supaya
tak terkunci dan menganjalnya dengan sendok yang ditemukan di belakang kursi
pengemudi. "Kita bawa Alif ke rumah sakit, Bu," Ardi segera
menyalakan mesin mobilnya. "Mama sama Bi Wulan saja, Lia dan Mala sama
Amanda naik taksi aja ke rumah Tante Arya," ucap Lia yang langsung
menyuruh Bi Wulan masuk. Lantas pintu mobil ditutupnya, dan Ardi pun segera
menjalankan mobil itu menuju ke rumah sakit. Sepeninggalan mobil itu, Lia
segera memesan taksi melalui ponselnya, sedangkan Mala menelpon mamanya dan
meminta mamanya bersiap untuk menemani Bu Ratmi di rumah sakit yang dia sendiri
belum tahu rumah sakit apa yang dituju."
Bersambung……..
Posting Komentar