Cincin Bermata Tiga Bagian 23
Mobil
BRV hitam yang dikendarai Ustad Abas telah berada di muka tepi hutan belantara.
Pohon jati tua tampak menyambut siapa saja yang ingin melewatinya, dengan dahan
yang saling bergandengan menutupi semburan sinar mentari. Sementara tanah yang
berkerikil mulai terbentang menjadi jalan utama. Ustad Abas memperlambat laju
kendaraannya karena dia merasakan hawa magis di sekitar jalan.
“Benar
ini jalannya, Pak,” ucap Ustad Abas melirik dari kaca spion ke arah Pak Otong
yang duduk di sampingnya.
“Benar,”
singkat Pak Otong menjawab tanpa ekspresi.
“Akhirnya
aku ke tempat sialan ini lagi,” gumamnya pelan. Tapi Ustad Abas yang duduk di
samping kanannya mendengar jelas ucapan Pak Otong. Ustad Abas menoleh.
“Ada
cerita enggak enak ya, Pak?” tanya Ustad Abas penasaran. Pak Otong tersenyum
sinis.
“
Itu kaya mobil Taufik,” Pak Setiawan berucap sambil mendekatkan bahunya ke
tengah kursi di samping kiri kanannya karena dia duduk di kursi belakang.
Tatapan matanya difokuskan pada mobil yang bergerak berlawanan arah.
“Kok
tahu, Pak?” tanya Ustad Abas yang ikutan mengamati mobil itu. Dia menghentikan
mobilnya menanti mobil di depan yang sedang mendekat.
“Itu
kaya ciri-ciri mobil yang Taufik ceritakan pada istri saya lewat pesan
WhatsApp,” jawab Pak Setiawan.
“
Itu mangsa yang dibiarkan pergi sementara yang satunya siap untuk dijadikan
tumbal sesajian,” Pak Otong berucap. Ustad Abas dan Pak Setiawan menatapnya.
Ustad Abas menurunkan kaca jendela menyambut mobil itu tiba.
Tak
berapa lama mobil yang kaca depannya pecah sebagian itu mendekat. Dari tempatnya
berada, Pak Setiawan sudah bisa memastikan bahwa itu adalah Taufik yang ada di
dalam mobil itu.
“Fik!”
teriak Pak Setiawan dari kaca mobil yang telah diturunkan. Taufik yang masih
gemetaran dan panik memikirkan istrinya yang terperangkap jaring hitam berlendir
tidak fokus dengan apa yang dilihatnya hingga dia tak menyadari keberadaan
mobil di dekatnya. Ustad Abas menekan klakson yang membuat Taufik tersadar dan
mengerem, memberhentikan mobilnya tepat berdampingan dengan mobil Ustad Abas.
Pak
Setiawan segera membuka pintu turun dan menghampiri Taufik. Wajah Taufik pucat
pasi, tampangnya serabutan dengan bau anyir sedikit terendus dari mobil itu.
“Mas
Setiawan,” lirih dia menjawab. Pak Setiawan tersenyum mendekati pintu mobil dan
mengetuknya.
“Buka,
Fik,” pintanya menatap Taufik yang masih menatapnya kosong. Ustad Abas dan Pak
Otong telah berdiri di samping Pak Setiawan. Taufik menekan tombol otomatis
lalu Pak Setiawan lebih dulu membuka pintu mobil dimana Taufik masih menatapnya
kosong. Pak Setiawan memegang bahu Taufik yang tak berekspresi.
“Fik,
kamu baik-baik saja kan?” tanya Pak Setiawan yang terus menepuk bahu Taufik.
“Siramkan
dia dengan air obat yang kamu buat,” ucap Pak Otong pada Ustad Abas yang
berdiri di sampingnya. Ustad Abas menoleh menatap tak mengerti ke Pak Otong.
“Air
yang sudah kamu bacakan mantra,” lanjut Pak Otong menerangkan. Ustad Abas diam
sejenak berusaha memahami perintah Pak Otong, tersadar kemudian Ustad Abas
membalikan tubuh melangkah menuju mobil. Dia mengambil sebotol air mineral yang
memang telah dirukiyah dan membawanya kembali ke dekat Pak Setiawan.
“Coba
basuh mukanya pakai ini, Pak,” Ustad Abas memberikan botol yang telah dibuka
tutupnya. Pak Setiawan menumpahkan air di dalam botol itu ke tangannya lalu dia
mengusap muka Taufik perlahan sambil dalam hatinya dia membaca Ayat Kursi.
Taufik tak memberikan reaksi apapun. Dia hanya mengeser sedikit kepalanya tapi
Pak Setiawan berhasil mengusap sebagian muka Taufik.
“Guyur
aja kepalanya biar sekujur tubuhnya kesiram air itu,” perintah Pak Otong yang
melihat Taufik tak memberikan reaksi apapun. Ustad Abas melangkah mendekat
lantas dia mencoba mengerjakan apa yang disarankan Pak Otong. Dia menguyur air
dari dalam botol itu mulai dari ujung kepala Taufik secara perlahan lalu sebotol
air itu ditumpahkan seluruhnya hingga tubuh Taufik basah kuyup.
Taufik
gelagapan, mengibaskan tangannya melawan setiap air yang dirasakannya. Pak
Setiawan yang terus membaca Ayat Kursi berteriak lantang, “ALLAH AKBAR, ALLAH
AKBAR, ALLAH AKBAR,” selama Ustad Abas menguyur Taufik sampai Taufik bereaksi.
“Takbir,
Fik,” pinta Pak Setiawan yang berdiri di samping Taufik yang masih duduk dengan
tangannya yang berusaha menyeka setiap air yang menetes ke pipinya.
“Takbir,
Fik,” sekali lagi Pak Setiawan berkata tegas sambil menepuk bahu Taufik.
“ALLAH
AKBAR,” lirih Taufik berucap tetapi jelas terdengar.
“Alhamdulillah,”
serempak Pak Setiawan dan Ustad Abas berucap.
Seperti
terbangun dari tidur, Taufik menggelengkan kepala menatap sekeliling seakan dia
bertanya pada dirinya sendiri di mana keberadaannya sekarang. Dia menolehkan
kepalanya ke arah Pak Setiawan menatapnya tak mengerti. Pak Setiawan tersenyum
menepuk lengan Taufik dan menggenggam tangannya.
“Mas
Setiawan, ngapain mas kemari dan aku kenapa?” tanyanya mencoba mengingat apa
yang terjadi.
“Bawa
turun dia dan tinggalkan mobil itu,” perintah Pak Otong yang membalikan badan
melangkah kembali ke mobil. Tanpa berkomentar, Pak Setiawan menyuruh Taufik
berdiri dengan menarik lembut tangannya lantas dia membawa Taufik melangkah ke
mobil. Ustad Abas yang telah mendahuluinya segera membukakan pintu belakang
mobil dan mempersilahkan Pak Setiawan yang membimbing Taufik masuk ke dalam
mobil.
Belum
sempat Pak Setiawan menyuruh Taufik masuk lebih dulu, Pak Otong berucap, “Buka
bajunya semua dan ganti baju yang baru yang tadi saya suruh siapkan.” Ustad
Abas dan Pak Setiawan saling bertatap tak mengerti bagaimana mengganti baju
Taufik dalam keadaan terbuka seperti ini.
“Kalian
copot dulu bagian atasnya, kasih dia salin yang baru, celananya,” terang Pak
Otong melanjutkan perintahnya. Pak Setiawan lalu membuka kaos Taufik sementara
Ustad Abas mengambil baju salin yang memang telah dipersiapkan atas perintah
Pak Otong sebelum mereka jalan. Beruntung postur tubuh Taufik dan Anto nyaris
sama, jadi mereka tak susah-susah mencari baju salin yang diperintahkan Pak
Otong.
Taufik
telah berganti kaos, kini tinggal bagian bawahnya. Pak Setiawan melepaskan
celana panjang Taufik tapi dia ragu ketika ingin melepas sempaknya. Dia menoleh
menatap Ustad Abas.
“Buka
aja, Pak, cepetan. Enggak ada orang, juga lagian kan kita sama-sama laki-laki,”
komentar Ustad Abas meyakinkan Pak Setiawan untuk melakukannya.
Akhirnya
Taufik telah berganti pakaian keseluruhan. Pak Otong melangkah menundukkan
badanya memungut semua pakaian Taufik dan membawanya ke tempat yang tak begitu
jauh. Pakaian itu diletakkan di tanah, Pak Otong berjongkok dan mengambil korek
api dari dalam saku jaketnya lantas membakar pakaian itu.
Keanehan
terjadi manakala api yang membakar pakaian itu bukan berwarna seperti api
semestinya tetapi kobaran api itu berwarna hitam pekat dengan aroma anyir yang
sangat kuat.
“Cepat
masuk ke mobil dan tinggalkan tempat ini,” perintah Pak Otong yang telah
melangkah terlebih dulu masuk ke dalam mobil. Ustad Abas yang sempat terpana
dengan kejadian itu menarik napas panjang dengan beristighfar dan menghembusnya
lalu dia ikut melangkah masuk ke kursi pengemudi. Pak Setiawan dan Taufik yang
memang telah berada di dalam mobil terdiam menyaksikan apa yang mereka lihat.
“Mas,
Ririn gimana,” tanya Taufik cemas, raut mukanya mengambarkan sebuah ketakutan
yang luar biasa. Pak Setiawan menepuk paha Taufik.
“Kita
berserah saja sama Allah, Fik, semoga Ririn baik-baik saja sampai kita bisa
menolongnya,” penuh kasih sayang Pak Setiawan memberikan kehangatan dari setiap
katanya.
Ustad
Abas telah menyalakan mesin mobil dan hendak menjalankannya. Tetapi tiba-tiba
Pak Otong menahannya. “Tunggu dulu, kita ambil barang-barang berharga di mobil
itu sebelum kita tinggalkan aja mobilnya,” ucap Pak Otong lantas dia membuka
pintu dan melangkah mendekati mobil yang tadi dikendarai Taufik. Ustad Abas
mengikutinya. Ada dua ponsel yang mereka ambil dan tas Ririn serta beberapa
barang pribadi Taufik yang mereka temukan di dalam mobil.
Pak
Otong kembali melangkah menuju mobil dan masuk ke dalamnya begitu juga Ustad
Abas.
“Sekarang
kita jalan tapi jalannya mundur,” perintah Pak Otong yang membuat Ustad Abas
menoleh menatapnya tak mengerti.
“Kalau
parkir tak mungkin, jangan sentuh kerikil berwarna hitam itu, makanya jalankan
mundur mobil ini,” Pak Otong menunjuk barisan kerikil hitam yang bertebaran di
depan mereka yang jaraknya hanya tinggal 200 meter. Tanpa berkomentar lagi,
Ustad Abas mengerjakan apa yang diperintahkan Pak Otong.
“Sekali
kita memasuki daerah itu maka nyawa jadi taruhannya,” lanjut Pak Otong. Pak
Setiawan dan Ustad Abas hanya diam sementara Taufik masih menatap kosong ke
depan.
“Ririn
gimana, Mas,” tanya Taufik lirih menoleh ke Pak Setiawan.
“Dia
baik-baik saja biarpun jadi tahanan si serakah Sastro,” jawab Pak Otong. Ustad
Abas menatap Pak Otong penasaran mendengar dia menyebut sebuah nama.
“Bapak
kenal dia?” tanya Ustad Abas yang penasaran. Pak Otong terkekeh mengangguk.
“Kita
harus cari satu cincin lagi, coba kamu telpon gadis itu dan tanyakan apa dia
sudah menemukan sesuatu,” perintah Pak Otong yang menoleh ke Pak Setiawan.
“Menelpon
Lia?” tanya Pak Setiawan polos.
“Iya,”
sentak Pak Otong. Pak Setiawan pun mengambil ponselnya dan menelpon Lia.
Namun
sudah tiga kali Pak Setiawan menelpon Lia dan menunggu hingga nada panggil
berakhir, tetap saja tak ada jawaban. Pak Setiawan mendesah lantas dia mencoba
menelpon istrinya. Sama saja kejadiannya, telponnya tak terjawab biarpun sudah
lima kali Pak Setiawan menelpon.
“Enggak
diangkat,” gumamnya sendiri masih terus menelepon Lia. Hasilnya nihil, Pak
Setiawan mendesah sekali lagi.
“Coba
telpon Mala, Pak,” saran Ustad Abas.
“Aduh,
saya enggak punya nomor Mala,” jawab Pak Setiawan sedikit kesal.
“Telpon
orang rumah kamu yang lain,” timpal Pak Otong. Pak Setiawan mengangguk.
“Oh
iya, Wulan,” sorak kecil tanda dia senang mendapat solusi. Tetapi baru saja Pak
Setiawan mencari nama Bi Wulan, nada dering ponselnya bergetar.
“Lia,”
ucapnya senang lantas dia menekan tombol hijau dan berbicara dengan putri
sulungnya.
Bersambung……..
Posting Komentar