Cincin Bermata Tiga Bagian 22

Table of Contents

Azan Isya berkumandang, mengisi cakrawala yang telah hitam pekat. Hanya cahaya bulan yang tampak bersinar sepenggal, menerangi bintang-bintang yang melukis permadani malam. Dua pria masih berdiri di depan pagar, mengamati sebatang pohon mangga yang tak jauh dari mereka. “Ki, kita sholat dulu yuk, itu ada masjid,” ajak Ardi pada Riski yang masih fokus menatap ke seluruh arah di pohon mangga itu. Riski tak menggubrisnya, dia tetap fokus mengamati setiap jengkal pohon mangga itu. Melihat temannya tak bereaksi, Ardi lantas menepuk bahu pemuda berpakaian koko coklat susu dengan celana bahan hitam. “Ki, yuk sholat dulu,” ajak Ardi sekali lagi. Tanpa menjawab, Riski melangkah menuju masjid yang terletak di belakang rumah Lia, dijajari Ardi temannya.

 

Mala, Lia, Bu Ratmi, dan Amanda mengerjakan sholat Isya berjamaah di rumah. Selesai sholat dan berdzikir, Mala menoleh ke Lia yang berada di sampingnya. “Li, gimana kita nyari Buhul itu lagi ya, eh maksudnya lo kepikiran tuh benda ada dimana?” Mala menatap Lia meminta pendapatnya. Lia menggeleng. “Manda, kamu ingat lagi coba, sewaktu Bulik Ririn kemari, dia kemana lagi?” pinta Lia yang menoleh ke kiri ke arah adik perempuanya. Amanda menolehkan kepalanya ke Lia dan menatapnya sambil menggigit bibir bawahnya. Bola matanya kemudian berputar sambil mengangkat bahunya juga kepalanya ikutan berangguk-angguk. “Kemana lagi ya, Kak?” dia mencoba mengingatnya. “Soalnya waktu Bulik Ririn datang itu berdua sama temannya,” ucap Manda. “Sama temannya,” refleks Mala dan Lia berucap bersamaan. “Iya, Bulik datang sama seorang laki-laki tapi bukan Om Taufik,” Amanda memberikan penjelasan. “Orangnya gimana?” tanya Bu Ratmi yang membalikan tubuhnya karena tadi dialah yang menjadi imam sholat. Sebelum Manda menjawab, Mala terlebih dulu berkomentar. “Emang waktu Bulik Ririn datang, Bi Wulan kemana?” “Ke minimarket sama Alif, soalnya Alif minta ice cream,” jawab Manda menatap Mala seakan dia telah menjawab pertanyaan Mala. “Orangnya Manda enggak terlalu jelas, Ma, karena dia enggak masuk hanya berdiri di bawah pohon mangga aja,” Manda menatap mamanya. “Kan Manda enggak nungguin di luar, Manda cuma bukain pintu aja trus Bulik masuk dan ke toilet, katanya dia cuma mampir aja sebentar numpang pipis trus minta minum, dan udahnya dia pulang sama laki-laki itu naik motor,” jelas Manda.

 

Mereka semua terdiam. Bu Ratmi berdiri merapikan alas sholatnya diikuti Manda, Lia, dan Mala masih duduk menatap ke depan dengan pikiran mereka masing-masing. “Berarti bener Li, kalau Buhul itu ditanam di sekitar pohon mangga,” ucap Mala menoleh menatap Lia. Lia melirik. “Strateginya adalah ketika Bulik Ririn masuk sama Manda tuh, temannya mulai deh nguburin Buhul itu,” jelas Mala memberikan pendapatnya. Lia tersenyum menepuk bahu sahabatnya. “Keren loe, La,” lantas dia berdiri melepaskan mukenanya dan merapikan lalu melangkah ke depan rumah diikuti Mala dan Bu Ratmi. Manda dan Alif ingin ikut, tapi Bu Ratmi mencegahnya. “Kamu di sini aja sama Alif, ditemenin Bi Wulan,” perintah Bu Ratmi pada Manda yang menunjuk sofa ruang keluarga. Manda tersenyum kecut, tapi dia mematuhi perintah mamanya.

 

Sampai di luar dekat pohon mangga, Lia berjalan mengitari pohon itu, meneliti seksama tanah di bawah pohon, sementara Mala hanya berdiri memperhatikan gerak-gerik Lia. Bu Ratmi yang berdiri di depan pagar menatap sekeliling jalanan yang tampak sepi. “Baru jam segini kok sepi amat ya,” ucap Bu Ratmi untuk dirinya sendiri, tapi Mala yang mendengarnya menoleh dan menjawab. “Mager kali, Tante,” sekenanya diamenimpali. Bu Ratmi menoleh ke Mala tersenyum. Lia berhenti di samping Mala mendengus. “Kenapa, Li?” tanya Mala yang melihat raut muka Lia kesal. “Gimana caranya kita nemuin tuh barang, enggak ada tanda-tanda keanehan di tanahnya,” ucap Lia putus asa. Tak berapa lama kemudian, Ardi dan Riski tampak melangkah mendekat. “Maaf Bu, kami tadi sholat di masjid dulu,” Ardi menjelaskan pada Bu Ratmi bahwa baru saja mereka pergi untuk sholat. “Santai, Mas,” singkat Bu Ratmi menjawab. “Gimana ya, apa kita gali aja tanah di sekeliling pohon ini, Mas?” ucap Lia menatap Ardi dan Riski satu persatu meminta pendapatnya. “Bolong semua dong, Mbak,” timpal Ardi. “Ya enggak apa-apa kan kita bisa timbun lagi,” balas Lia. Ardi menoleh menatap Riski meminta kepastian. Riski mengangkat sebelah bahunya. “Ya udah, Ki, kita gali aja sekarang,” Ardi mengambil inisiatif untuk segera bertindak. Dia melangkah ke teras rumah mengambil peralatan yang telah dipersiapkan.

 

Ardi berpapasan dengan Alif yang berlari kecil ke luar mendekati mamanya. “Ma, Ma,” teriak Alif memanggil mamanya. Bu Ratmi membalikan badan menatap Alif. “Kenapa teriak gitu sih, Lif?” tegur Bu Ratmi memasang muka tak sukanya pada putra bungsunya. “Alif mau sama Mama aja ah, bosan nonton TV terus,” Alif yang telah berada di samping Bu Ratmi menggelayut manja. Ardi telah kembali membawa sekop serta pacul kecil bersiap menggali tanah di bawah pohon. “Nih, Ki, loe yang pakai paculnya aja,” Ardi menyerahkan pacul kecil itu ke Riski. Riski menerimanya. Mulailah mereka menggali tanah di sekeliling pohon mangga itu. Nyaris sepertiga tanah sekeliling sudah mereka gali, tetapi belum juga tampak ada benda yang dikuburkan disana. Ardi tampak semangat menggali lubang, sedangkan Riski sebentar-bentar berhenti seperti mengamati sesuatu, tapi ketika tak ditemukan apapun, dia kembali menggali tanah kembali. “Kak, Mala, lihat deh, semut itu lucu banget, kaya kunang-kunang,” ucap Alif berkata pada Mala yang berdiri tak jauh darinya. Mala menoleh ke Alif. “Semut apaan, Lif, kaya kunang-kunang?” tanya Mala tak mengerti. Jari telunjuk Alif mengarah ke kumpulan semut yang bercahaya yang mengitari sebatang ranting kering. Mala penasaran, dia melangkah mendekati apa yang Alif maksud. Mala mengamati kerumunan semut itu yang benar-benar aneh. “Li, lihat deh, masa semutnya bercahaya, tapi aneh kenapa warna cahaya itu sama kaya warna cincin bermata tiga ketika lagi bersinar,” Mala memberi tahu Lia apa yang diamatinya.

 

Lia dan Bu Ratmi segera mendekat, disusul Ardi dan Riski yang menghentikan pekerjaannya ketika mendengar ucapan Mala. Lia segera jonkok tangan ingin meraih ranting kering yang dikerumuni rombongan semut bercahaya, tetapi Mala terlebih dulu mencegahnya. “Tunggu Li, kayanya itu bahaya de,” sontak Lia menoleh. “Mana tasbih loe,” pinta Mala mengulurkan tangannya. Lia kembali berdiri, merogoh saku celananya, dan mengeluarkan tasbih putih. “Jangan kasih ke gue, loe sendiri yang kudu ngerjainya,” Mala mengibaskan tangannya menolak ketika Lia memberikan tasbih itu. Lia memelototinya. “Lia, lo coba kaya tadi di rumah Tante Arya,” lembut Mala memberikan perintah. “Maksud gue, tadi loe sebelum ngelempar tasbih itu baca apa aja, nah sekarang lakukan itu,” terang Mala membuat Lia mengerti apa maksud sahabatnya. Lia mengubah posisi berdirinya, melangkah mundur mencari posisi yang nyaman, lalu dia menarik napas panjang sambil istigfar. Dihembuskan perlahan napasnya sambil dia bertakbir, lalu Lia mulai membaca surat Al-Fatihah, surat Al-Ikhlas, surat Al-Falaq, surat An-Nas, dan Ayat Kursi. Setelahnya dia bertahlil sebanyak butiran tasbihnya, dilanjutkan sholawat juga sebanyak 33 kali. Lia diam sejenak setelah menyelesaikan bacanya, matanya terfokus menatap kerumunan semut bercahaya itu. Sekali lagi dia menarik napas dan menghempasnya dengan bertakbir, sambil melemparkan tasbihnya ke arah kerumunan semut itu.

 

Wuuuushhh, tasbih itu melayang, dan keanehan terjadi manakala tasbih itu terlepas dari tangan Lia. Butiran manik-manik itu mengeluarkan percikan api, lantas mendarat di atas kerumunan semut itu dan membakarnya. Belum sampai di situ, kejadian yang membuat semua orang terbelalak dengan apa yang dilihatnya. Api berkobar sedikit besar, tetapi hanya hitungan detik saja, karena tiba-tiba api itu menghilang, dan tanah di bawahnya berlubang. Dari dalam lubang terlihat sebuah sinar berwarna merah darah terpancar dari sebuah cincin. “Cicincin,” pekik Mala dan Lia serempak. Bu Ratmi memeluk Alif tercengang dengan apa yang dilihatnya, sedangkan Ardi dan Riski juga terbelalak dengan apa yang mereka saksikan. Mala dan Lia saling menoleh bertatapan, dari kedua bola mata gadis ini tampak meminta persetujuan apa yang harus dilakukan selanjutnya. “Biarkan Mas Ardi aja yang ambil cincin itu, Li,” ucap Mala yang mengerti apa maksud Lia. “Jangan la, kita harus lenyapkan cincin itu juga,” jawab Lia. Lalu dia berjongkok mengambil tasbihnya. Keanehan dari tasbih Lia adalah setelah melancarkan aksinya, tasbih itu seperti tak memberikan bekas apapun, seolah dia hanya tasbih biasa yang terjatuh dari tangan si pemiliknya. Lia mengambil tasbih itu, lalu dia berdiri kembali, mengucap kalimat tauhid meminta pertolongan pada Sang Pencipta. “Ya Allah, aku pasrahkan masalah ini kepada-Mu, bantu aku ya Allah,” doa Lia lirih terdengar. Ada butiran hangat membasahi pipinya ditambah tangannya bergetar. Lalu dia melempar kembali tasbih itu ke arah lubang dimana cincin bermata tiga itu berada dengan sinar merah darahnya.

 

Ketika tasbih itu melayang jatuh, tiba-tiba sebuah petir kecil terlihat memancar dari butiran tasbih itu, sinar birunya tampak jelas melayang turun mendekati dasar lubang, dan hantaman keras terdengar ketika tasbih itu berbenturan dengan cincin bermata tiga. Dan seketika, kobaran api terlihat dari dasar lubang. Api itu hanya menyala sesaat saja dan padam dengan sendirinya. Ketika api itu padam, Ardi dan Riski segera jongkok melihat apa yang tersisa dari kejadian tadi. “Lihat di, ini ada tulang,” Riski yang telah berjongkok, mengambil sebuah tulang seruas jari, dan memperlihatkannya pada Ardi. “Itu tulang yang sama, Mas, seperti dua cincin yang telah berubah menjadi tulang seperti itu,” Mala yang menerangkan, merangkul Lia yang tampak keletihan. “Kamu ajak Masuk Lia dulu sana la,” perintah Bu Ratmi yang melihat putrinya. “Simpan aja sama Mas tulang itu, soalnya yang dua ada sama Pak Otong,” lanjut Bu Ratmi. Mala yang mendengarnya refleks menjawab. “Enggak, Tante, tulangnya sudah di kasih ke Mala waktu di pemakaman Tante Arya, dan sudah Mala kasih ke Ustad Abas,” jelasnya lalu mengajak Lia masuk ke rumah bersama Alif.

 

 

Bersambung……


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar