Cincin Bermata Tiga Bagian 20

Table of Contents

Di kediaman Arya, ketegangan kembali muncul saat Sifa menunjukkan tanda-tanda aneh. Alif menemukan sebutir bawang putih di bawah meja belajar Sifa, menambah kekhawatiran. Kepanikan semakin terasa ketika Sifa mulai membanting-banting bantal, guling, dan barang-barang lain di sekitarnya, namun tetap terdiam di ranjangnya. Pak Haji Hanif berusaha menenangkan Sifa dengan mengajaknya berbicara sambil membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an dalam hatinya. "Sifa, tenanglah. Kami semua siap membantu kamu," ucap Pak Haji Hanif lembut, berusaha meredakan ketegangan.

 

Ustad Abas juga turut melantunkan ayat-ayat suci dengan lantang, sementara Pak Setiawan mengajak Alif keluar dari kamar. Tinggal Abi Tarno dan dua rekan Pak Haji yang berusaha mengatasi Sifa yang sedang mengamuk. Di luar, Lia, Bu Ratmi, Arya, dan Anto langsung berdiri memasuki kamar. Namun, Pak Haji Hanif mengangkat tangan melarang mereka masuk, mereka hanya bisa berdiri di depan pintu kamar menyaksikan kejadian tersebut. Arya terisak dalam rangkulan Bu Ratmi. "Sabar ya, istighfar," ucap Bu Ratmi lembut memberikan sugesti walaupun dirinya sendiri tampak gelisah.

 

Sifa mengamuk selama sekitar sepuluh menit, meronta di atas ranjang setelah melemparkan semua bantal, guling, selimut, dan sprei. Kini, Sifa diam mematung, menatap kosong ke depan tanpa ekspresi. "Alhamdulillah," ucap Pak Haji Hanif sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. "Biarkan dia di sini dan saya yang akan menjaganya bersama Pak Tarno. Sementara kalian, tolong cari lagi benda aneh yang menjadi buhul yang telah diletakkan di rumah ini," ujar Pak Haji menatap semua orang di hadapannya.

 

Mala membantu mencari benda aneh di sekitar ruang tamu. Dia duduk berjongkok memperhatikan sudut lantai di sekitar pojok ruangan, sementara Lia merapikan sofa dan meneliti sekitarnya. Setelah memastikan tidak ada yang mencurigakan, Lia mengembalikan sofa ke tempatnya. "Lia, bagaimana jika kita sementara waktu mengungsikan Tante Arya, Sifa, dan Om Anto?" usul Mala. Bu Ratmi menatapnya tak mengerti. Sebelum Bu Ratmi berkomentar, Lia menjelaskan maksudnya bahwa mereka harus melindungi keluarga dari ancaman orang jahat yang sedang mengincar mereka. "Orang jahat itu kan mengincar keluarga kita, terutama keluarga Tante Arya, dan pasti dia sudah memantau kita lewat buhul yang disebar di sekitar rumah ini," jelas Lia.

 

"Kita bawa kemana mereka?" tanya Pak Setiawan. "Ke villa Om Danu saja," jawab Mala. Bu Ratmi menatap Mala seakan ingin memastikan sesuatu. "Tenang Tante, nanti biar Mala yang bilang ke Mama," lanjut Mala seperti mengerti maksud Bu Ratmi.

 

Alif berlari kecil mendekati Bu Ratmi. "Ma, ini hp nya," dia menyerahkan benda persegi panjang itu. Bu Ratmi menerimanya. "Terima kasih sayang." Bu Ratmi menatap ponselnya tak berkedip, tanganya langsung berselancar ke WhatsApp dan betapa tercengangnya dia ketika membaca sebuah pesan. "Astagfirulloh," ucapnya kaget yang membuat semua orang menatapnya. "Ada apa Ma?" tanya Pak Setiawan penasaran. Bu Ratmi mengambil napas panjang menghembusnya perlahan. "Taufik mengirim pesan meminta bantuan," ucap Bu Ratmi menutup matanya.

 

"Bantuan, emang dia kenapa Ma?" tanya Lia yang juga penasaran karena raut muka Mamanya seperti menyimpan sesuatu. "Dia bilang kalau dia dan Ririn lagi ke rumah seorang dukun dan mereka sedang dalam kondisi sangat kritis," jelas Bu Ratmi. "Dia meminta kita membantunya dan memberi alamat dimana mereka sekarang."

 

"Dukun...?" keheranan Lia berkomentar. "Itu kayaknya dukun yang mereka suruh ngejahatin keluarga ini deh dan ketika mereka sadar Tante Arya masih hidup makanya Tante Ririn dan Om Taufik harus bertanggung jawab," komentar Mala berusaha mengutarakan pikirannya. Lia menoleh ke sahabatnya menatapnya penuh arti, Mala tersipu tertawa kecil. "Sorry Li, gue Cuma nerka aja," Mala membuang wajahnya.

 

"Ma, itu ada tukang ice cream," Alif membuyarkan ketegangan. Mala berdiri dan mengajak Alif. "Lif, beli ice creamnya sama Kak Mala saja yuk," Mala mendekati Alif dan mengulurkan tanganya. Alif menerimanya dan mereka berdua bergandengan jalan keluar.

 

Sampai di gerbang rumah, Mala memanggil tukang ice cream yang sudah sedikit jauh dari tempat mereka. Alif tak sabaran, dia menarik lengan Mala mengajaknya mendekati gerobak tukang ice cream. "Kita ke sana saja Kak Mala," ajak Alif dan Mala mengikutinya. Alif memilih ice cream yang dia mau. "Alif boleh beli yang mana Kak Mala?" tanyanya sambil terus memperhatikan semua ice cream dalam box. "Terserah Alif saja," singkat Mala menjawab. Mala memperhatikan sekeliling, dia berusaha mencari kesegaran untuk pikirannya yang sedari kemarin tegang dengan kejadian kesemuanya. "Alif mau ini saja Kak," Alif mengacungkan sebungkus ice cream. "Ya udah, ambil trus Kak Manda beliin juga ya," jawab Mala.

 

Selesai bertransaksi, mereka kembali melangkah menuju rumah. Tiba-tiba, bahu Mala ditepuk seseorang. Refleks, dia membalikan badan menatap seseorang yang telah berdiri di belakangnya. Betapa terkejutnya Mala ketika mengetahui Pak Oton adalah orang yang menepuk bahunya. Alif menarik lenganya. "Ayo Kak Mala," pinta Alif tak sabaran. Mala membungkuk mendekati telinga Alif. "Alif duluan saja ya, Kak Mala ada perlu sebentar," lembut dia mengusap kepala Alif. Alif mengangguk dan berjalan menuju rumah Arya.

 

"Ada apa Pak?" Mala bertanya penasaran kenapa dukun ini menegurnya. Pak Oton tersenyum. Tetapi menurut Mala, biar dia senyum tetap saja wajahnya seram. "Kalian mencari buhul ya?" tanyanya. Mala memelototinya. "Bapak tahu darimana?" balik Mala bertanya. Pak Oton terkekeh kecil. "Anak bodoh," ucapnya ringan. Mala manyun ketus, mukanya memberi jawaban tak suka. "Buhul itu ditanam di halaman depan di bawah pohon belimbing, dia berupa tulang," jelasnya. Mala lebih mengangkat wajahnya memelototi Pak Oton tak percaya. "Silahkan gali tanah yang di timpa batu bata," lanjut Pak Oton menerangkan.

 

"Tadi Tante Ratmi juga mendapat pesan dari Om Taufik katanya dia minta tolong lagi kritis di rumah seorang dukun," Mala menceritakan masalah yang ada. Pak Oton melotot. "Apa?" terkejut dia dengan ucapan Mala. "Sontoloyo, berarti kita harus bertindak secepatnya kalau tidak ada korban berikutnya," ucap Pak Oton yang melangkah meninggalkan Mala. "Eh mau kemana tuh dukun," ucap Mala yang melihat Pak Oton pergi, tetapi pria berblangkon hitam itu melangkah mendekati rumah Tante Arya dan masuk ke halaman rumah, sedikit berlari Mala menyusulnya. "Bapak mau apa?" tanya Mala setelah berhasil menjajari Pak Oton.

 

"Saya mau bantu kalian," singkat dia menjawab. "Maksudnya apa?" kembali Mala bertanya karena dia penasaran dan tak mengerti apa maksud Pak Oton. "Cepat panggil orang tua di keluarga ini," jawab Pak Oton menatap Mala.

 

Ustad Abas yang melihat Mala bersama Pak Oton segera mendekatinya. "Ada apa ini?" tanyanya menatap Pak Oton. "Saya Oton, saya mau membantu keluarga ini," jawab Pak Oton sedikit ramah. Sebelum Ustad Abas menjawab, Pak Oton lebih dulu mengutarakan sesuatu. "Coba angkat batu bata itu dan gali tanahnya," Pak Oton dengan dagunya menunjuk sebuah batu bata yang tergeletak di dekat pohon belimbing. Awalnya Ustad Abas ragu, tetapi rekan Pak Haji Hanif segera melakukan apa yang diperintahkan Pak Oton.

 

Benar, setelah mengali tanah ternyata di dalamnya ada sebuah kain hitam yang berlumur darah dengan bau anyir yang sangat pekat. Mala yang tadi sempat berlari memanggil Lia menutup hidungnya begitu juga semua orang yang berada di sana, bahkan Lia sampai muntah. "Apa itu Pa?" tanya Bu Ratmi yang berdiri di samping Pak Setiawan dan menutup hidungnya. "Itu buhulnya," Pak Oton yang menjawab. "Legas bakar, tetapi kalau bisa di ngajiin dulu," lanjut Pak Oton. "Eh tapi..." Pak Oton menoleh menatap Lia, Lia mengernyitkan dahi. "Mana gelang manik-manik kamu?" tanya Pak Oton. Lia yang masih merasakan mual tak mengerti apa maksud Pak Oton, tetapi Mala dengan sigap merogoh saku celana Lia dan menemukan tasbih putih lalu dia menyerahkanya pada Pak Oton. Pak Oton menggeleng. "Suruh anak itu yang melemparnya ke kain hitam itu," perintah Pak Oton pada Lia yang masih menahan mualnya. Mala berbisik pada Lia. "Li, coba loe lakukan apa yang dukun itu perintah."

 

Lia mengambil tasbih dari tangan Mala, menarik napas panjang, menghembusnya perlahan, menelan ludahnya. "Auzubillah minashaitan ni rojim," Lia mulai membaca surat Al Fatiha yang dilanjutkan surat Al Ikhlas, Al Falaq, surat An Nas dan ayat Kursi, lantas dia bertasbih sebanyak butiran tasbihnya yang berjumlah 33 dan shalawat juga sebanyak 33 kali lalu dia memejamkan matanya dan melempar tasbih itu ke atas kain berwarna hitam yang ada di dekat batang pohon belimbing. WUUS, desiran api terlihat mulai terpercik dari tasbih yang Lia lemparkan dan mendarat di kain hitam itu.

 

Kejadian selanjutnya, kain itu terbakar, entah api darimana yang jelas kobaran api itu menghanguskan kain hitam itu hanya kurang dari lima menit, semua mata terbelalak menyaksikan apa yang terjadi. Setelah api itu padam sendiri, Pak Oton menoleh ke Ustad Abas. "Ambil tulang yang tertinggal dari bakaran itu," perintah Pak Oton dengan sorot matanya. Tanpa berkomentar, Ustad Abas melangkah mendekati pohon belimbing dan benar dari bekas bakaran tadi tersisa sebuah tulang seruas jari. Ustad Abas jongkok memungutnya. "Satukan tulang itu dengan yang kemarin, sekarang tinggal dua lagi tulang itu," ucap Pak Oton yang membuat semua orang menatapnya. "Satu tulang ada pada cincin yang dikenakan anaknya Bu Arya dan yang satu lagi ada di rumah kamu," lanjut Pak Oton menoleh ke arah Lia. "Kita ke rumah kamu secepatnya atau kita bagi tugas karena penyerang itu juga sedang menawan keluarga kalian. Kita harus tolong dia," lanjut Pak Oton.

 

"Maaf Pak, sebenarnya apa maksud Pak Oton?" tanya Arya. "Saya tak punya uang untuk membayar Pak Oton lagi," lanjut Arya yang secara halus menolak bantuan dari Pak Oton. Pak Oton terkekeh. "Saya tak minta uang, saya hanya ingin membantu," jawabnya.

 

Ustad Abas mererai. "Kalau gitu biar kami yang ke rumah Lia dan tolong Bapak pergi ke tempat itu," ucap Ustad Abas memberikan saran. "Kita laporan dulu Pak sama Pak Haji Hanif," sela rekan kerja Pak Haji Hanif. Ustad Abas mengangguk.

 

 

Bersambung……


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar