BAB 24. Saikua capang saikua lapeah (Tamat)
Ketiga keluarga telah berkumpul di lobi rumah sakit, menunggu
hasil tes DNA yang sudah dilakukan dua hari lalu.
"Ma, maafin Ara ya," Zahra berkata pelan sambil
menggengam tangan Bu Shinta. Bu Shinta tersenyum menepuk tangan Zahra.
"Ngga ada yang salah sayang," jawabnya lembut.
Pak Wahyu sudah menceritakan permasalahan ini pada Pak Arif
dan Bu Shinta. Suasana kaku dalam pemikiran masing-masing, dingin, menambah
dingin ruang lobi ini.
Tak lama kemudian datang seorang suster. "Keluarga Pak
Wahyu," suster itu berkata dan menyuruh Pak Wahyu masuk ke ruang dokter.
Pak Wahyu berdiri, disusul Galih dan Zahra. Sebelum melangkah, Zahra melirik
menatap Bu Shinta seakan ingin mengatakan, "Gimana Ma." Bu Shinta
yang menyadari gejolak rasa di hati Zahra membalas tatapan itu dengan anggukan
serta senyum termanis. Galih berjalan bersisian dengan Pak Wahyu, sedangkan
ragu Zahra mengikuti mereka masuk ke ruang dokter.
"Selamat pagi, Pak," sapa seorang dokter yang duduk
menanti mereka.
"Pagi, Dok," jawab singkat Pak Wahyu.
"Silahkan duduk," sambung dokter itu.
"Kita tidak bisa ada yang tahu misteri ILAHI, apapun
hasil tes ini semoga semua pihak bisa menerima dengan ikhlas," ucap dokter
itu.
Zahra meremas tangannya yang dia simpan dipangkuanya,
tertunduk dia berusaha menguasai hatinya. Galih duduk tegang, bola matanya
menelusuri benda di hadapannya. "Dokter Robby Irawan," ucapnya dalam
hati saat matanya membaca nama yang tertera di baju sang dokter.
"Saya izin membuka hasil tes ini," dokter
memperlihatkan sebuah amplop yang masih tersegel dan ada logo rumah sakit serta
nama Wahyu Azizcan tertera disana.
Pak Wahyu menjawab, "Silahkan, Dokter." Debaran
jantung Zahra seakan berdetak kuat hingga rasanya ingin keluar dari dalam
tubuhnya. Tangannya dingin terus dikepal sementara bibirnya digigit untuk
menahan air mata. Galih justru menatap lekat-lekat dokter itu yang menyobek
sampul amplop, meski dia juga menahan keringat dinginnya.
"Positif," jawab dokter itu singkat. "Kalian
benar satu keluarga," tambahnya lagi dengan disertai penjelasan medis
lainnya.
Pak Wahyu langsung meraih Galih dan memeluknya erat sekali
disertai isakan yang nyaris tak terdengar. Galih pun tak kuasa lagi menahan
rasanya, lirih dia berkata dalam pelukan Pak Wahyu, "Ayah," isakan
Galih semakin terdengar saat Zahra pun mendekat berdiri di samping keduanya dan
memeluk erat ayah dan kakak laki-lakinya. Pecahlah semua rasa yang mereka
nanti. Kepastian telah membuktikan bahwa Galih adalah anak kandung Pak Wahyu,
yang berarti Galih dan Zahra adalah kakak beradik.
Adegan drama keharuan di ruang dokter terhenti saat suster
menepuk bahu Zahra dan dokter berkata, "Silahkan kerinduan kalian
diteruskan di ruang tunggu." Pak Wahyu, Zahra, dan Galih melepas pelukan
mereka. "Baik, Dokter. Mohon maaf dan terima kasih," ucap Pak Wahyu.
Dokter mengangguk tersenyum, menyalami ketiga orang di hadapannya satu persatu.
Berjalan beriringan, ketiga orang ini keluar dari dalam ruang
dokter, melangkah menghampiri orang-orang yang telah menanti dalam pertanyaan.
"Galih benar anakku," kata Pak Wahyu dengan
mengandeng Galih di sebelah kanan dan Zahra di sebelah kirinya. Mereka yang
telah menunggu menarik nafas lega. Bu Shinta menghampiri Zahra, dan Zahra pun
langsung memeluk Bu Shinta.
"Ma," ucap Zahra lirih dan langsung menumpahkan
tangisanya yang sejak tadi dia tahan. Bu Shinta memmeluk erat Zahra, membelainya
mencoba menenangkanya. Setelah sedikit tangis Zahra mereda, Bu Shinta
membimbing Zahra duduk. Galih dan Pak Wahyu sudah terlebih dahulu duduk
berdampingan, namun tetap kecerian Galih masih membeku. Seakan hanyalah mimpi
kenyataan yang baru diterimanya. Batinya bertengkar, "Mengapa Zahra yang
mesti menjadi adik kandungku, aku sangat mencintai dia sebagai kekasih terlebih
lagi kami akan segera menikah atas permintaan Dafa." Galih menerawang
jauh, masih bergelut dengan kenyataan. "Bagaimana aku bisa merubah perasaan
ini," terus Galih diam mengigit bibirnya.
Zahra masih sedikit terisak dalam genggaman tangan Bu Shinta,
perang hatinya juga terus berkobar. Jikalau bisa, ingin sekali Zahra terbang
membawa segala rasanya. "Mungkinkah aku bisa menerima Galih sebagai
kakakku sedangkan aku sangat mencintainya?" Ditutup matanya kembali, dia
menjatuhkan kepalanya di bahu Bu Shinta.
Suasana mendung di luar seakan bersahabat dengan apa yang
dirasakan Zahra dan Galih. Mentari yang bersinar bercampur gerimis juga seakan
menjawab pertanyaan dua insan ini. Bila gerimis mendung tak selamanya menjadi
hujan ataupun badai, hanya gerimis kecil yang dihiasi pelangi indah mengukir
cakrawala, hidup kalian harus tetap semangat seperti surya yang selalu setia
meski langit diselimuti awan mendung.
"Alhamdulillah," Pak Idris berkata mencairkan
suasana.
"Iya Pak, saya bersyukur sekarang Galih telah menemukan
keluarga sebenarnya," ujar Pak
Ridwan.
"Lama kebenaran ini kami nantikan. Alhamdulillah, semoga
ini adalah kebaikan keberkahan untuk kita semua," lanjut Pak Ridwan.
"Amin ya robbal alamin," jawab Pak Idris.
Pak Arif memberikan ucapan selamat. "Saya juga ikut
bahagia dan berharap Pak Wahyu, Zahra, dan Galih bisa selalu bahagia."
Zahra menutup muka dengan kedua tangannya, berharap akan ada
sayap yang membawa dia pergi terbang. Bu Shinta menepuk bahu Zahra seakan ingin
mengatakan, "Semoga kamu bisa melawan perasaanmu dan merubah cinta itu
menjadi kasih sayang seorang adik untuk kakak," selain tatapan lembut Bu
Shinta terpancar penuh kehangatan. Tak tahan Zahra pun menjatuhkan dirinya
kembali dalam pelukan Bu Shinta.
"Ma, Ara ngga mimpi kan," katanya lirih. "Ara
ngga percaya sama semua kejadian yang Ara alami, Ma," tambahnya dalam isak
yang semakin terdengar.
Bu Shinta melepas perlahan pelukannya dan memberikan curahan
kasih sayang dengan kata penyejuknya. "Ngga sayang. Kamu tidak mimpi. Ini
semua nyata dan kehendak Ilahi."
"Apa yang Allah beri pastilah itu yang terbaik untuk kamu
sayang," ujar tambahan dari Bu Shinta.
"Berhenti menangis, tersenyumlah, memulai hati dalam
kehidupan yang baru," kata Bu Shinta lembut, membelai kepala Zahra.
Zahra mengeluarkan mukanya, mengusap air mata, berusaha tak
menangis dan tersenyum untuk semua orang. "Nah gitu. Anak gadis mama akan
selalu tegar dan cantik," puji Bu Shinta, menepuk bahu tangan Zahra.
"Kalian memang punya cinta di hati dan tulus saling
mencintai, namun bukan lagi sebagai sepasang kekasih, melainkan kalian berdua
kini jelas adalah kakak beradik," Pak Idris berkata.
"Saikua capang, saikua lapea, itu yang kamu dapat, Ra,
tapi kebahagian seutuhnya menjadi hadiah terindah untuk uda, Zahra, dan kamu,
Galih," sambung Pak Idris.
Galih mendekati Zahra dan memeluknya. "Adikku sayang,"
katanya perlahan.
"Iya, Uda," jawab Zahra sedikit melepaskan diri
dari pelukan itu dan kemudian bersandar di bahu Galih.
Tamat……
Posting Komentar