BAB 20. Bertemu Kembali

Table of Contents

"Assalamu'alaikum bu guru cantik," salam Galih saat bertemu Zahra di sebuah warung pecel ayam dekat sekolah. Laki-laki ini segera duduk di hadapan Zahra. Zahra menjawab, "Wa'alaikum salam," senyum manis terukir di wajahnya. "Kok lama amat sih, Lih?" sambungnya lagi. Galih tersenyum mengoda, "Kangen ya sama orang ganteng ini," goda Galih dalam tawa riangnya. Seorang ibu membawa pesanan mereka, "Makan dulu ah..." ujar Galih segera meraih piring hidangannya. "Aku lapar banget nih, Ra, tadi nggak sempat makan," mulutnya mulai mengunyah makanan. "Eh, sengaja sih kan mau makan sama bidadari cantik," sempat-sempatnya dia berkata meski sambil mengunyah.

 

"Dah makan dulu, nanti tersedak lagi," jawab Zahra tersipu. Keduanya asyik menikmati nasi uduk dan ayam bakar serta lalapan disertai segelas es teh manis. Gurauan dan canda terus mewarnai keduanya seolah sudah lama mereka tak saling bertemu, kerinduan tampak dari rona wajah mereka. Zahra pun akhirnya menumpahkan segala rasanya termasuk sebuah rahasia yang semalam didengar dari ayahnya. "Aku punya kakak laki-laki, dan kini dia sedang mencari ayah. Kami sepakat nanti saat Paketek pulang dari rumah sakit dia akan mempertemukan kami."

 

Galih sempat terkejut mendengar kata-kata Zahra. Dia tersenyum seakan ada yang disembunyikan karena dalam hati Galih ada keraguan dan kebimbangan untuk balik bercerita. Kebersamaan sore ini terasa indah, manakala Zahra juga menceritakan permintaan terakhir Dafa. "Satu lagi, Lih, malam ini kamu harus ke rumah aku." "Ngapain? Ngapelinkan kamu? Kan ini bukan malam minggu?" timpal Galih sekenanya. "Aku serius, Lih," jawab Zahra tegas. "Surat wasiat Dafa sudah dibacakan, dan dia memberikan aku apartemen di MTH Square, serta deposito dan asuransi yang nilainya nggak ku sangka," sambungnya. "1 miliar, Lih," tambah Zahra menatap Galih serius. Galih nyaris tersedak kaget mendengar cerita Zahra. "Masya Allah... banyak amat, Ra." "Bukan hanya itu aja yang mengejutkan," tarikan nafas Zahra menyambung ceritanya. "Dafa minta pesta pernikahan, aku tidak boleh dibatalkan. Aku harus tetap menikah dengan seorang laki-laki yang sangat mencintaiku," sambungnya.

 

"Siapa, Ra, laki-laki beruntung itu?" tanya Galih. "Kamu, Lih," singkat Zahra menjawab. Kali ini Galih benar-benar tersedak, akh ak.ak.ak, batuk Galih. "Maaf, Ra," ucap Galih ditengah batuknya. Zahra diam, namun tawanya pelan. "Kenapa, Lih? Aku juga nggak nyangka mengapa Dafa memilih kamu, padahalkan kalian hanya bertemu sekali dan itupun sebentar saja," ungkap keraguan pertanyaan dalam hatinya berhasil Zahra utarakan.

 

"Lih, jujur deh, emang kamu pernah bertemu Dafa?" Zahra bertanya karena baginya ada satu kejanggalan mengapa Dafa mengetahui bahwa Galih mencintainya. Akhirnya Galih pun mengutarakan sebuah cerita. "Ya, Ra, kamu ingat ngga waktu kita bertemu di Kokas saat kamu berjalan dengan Dafa?" Galih mengutarakan ceritanya. "Iya, hanya itu aja kan," timpal Zahra. "Sabar dulu, aku mau ceritain," Galih menjawab dan menatap Zahra tepat di tatapan bersama. "Kami bertemu lagi di toilet, dan Dafa meminta nomer ponselku," sambil mengaduk-aduk gelas kosong, Galih bercerita. "Semuanya," sela Zahra, Galih mengangguk. "Iya, dia menceritakan kondisi kesehatannya, perjodohan yang tak dikehendakinya, namun dia juga tak menyangka mengapa kamu mau menerima," tarikan nafas Galih kecil. "Dia tak mampu melakukan apapun karena menurutnya ada ketulusan dari tatapan mata mu serta kasih sayang itu terpancar dari sikap dan perhatian mu," tertunduk Zahra mendengar cerita Galih. "Makanya dia memberikan semua yang tadi kamu ceritakan, itu semua adalah ungkapan terima kasih dia untuk mu, Ra," sambung Galih.

 

"Trus masalah kita?" Zahra bertanya, Galih menarik nafas panjang dan menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, namun hanya sesaat setelahnya dia kembali duduk biasa dan tangannya meraih tangan Zahra lantas menggenggamnya. "Aku mencintaimu, Ra," diusaplah tangan Zahra. "Aku jujur menceritakan perasaanku, namun aku telah benar-benar mengikhlaskan kamu untuk Dafa karena aku ingin kamu bahagia, Ra," ungkap Galih dengan tatapan kemesraan. Zahra diam, tak mengerti harus bagaimana. Keduanya benar-benar membisu dalam pikiran masing-masing, namun genggaman itu terasa jauh lebih erat dan entah kekuatan apa hingga keduanya tak ingin melepaskannya. Zahra akhirnya melepas tangannya dan menarik nafas sambil menjatuhkan diri di sandaran kursi. Galih mengalihkan obrolan ke topik lain, namun Zahra tak menanggapi.

 

"Ya, dah, tugas ku sekarang adalah mengenalkan kamu pada ayah dan kedua orang tua Dafa," Zahra berkata sambil meneguk tetesan terakhir es teh manisnya. "Habis ini langsung kita ketemu mereka, aku sudah buat janji, tapi aku pulang dulu taruh motor sama jemput ayah," sambungnya sambil merapikan diri. "Aku juga mau pulang dulu, ganti baju, dandan biar ganteng, kan mau ketemu calon mertua. Hahahahahahaha," timpalnya. Keduanya pun melangkah meninggalkan warung pecel ayam setelah Galih membayar.

 

 

Bersambung……….


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar