BAB 18. Surat Wasiat
Tujuh hari setelah kepergian Dafa Zahra, dia meminta waktu
pada ayahnya, Bu Shinta, dan Pak Arif untuk berkumpul. Sesuai kesepakatan,
malam ini Zahra ingin menunjukkan surat wasiat yang dia terima dari Dafa.
"Ma, Pa, sebelum Dafa tiada, dia sempat memberi ini
untuk aku," Zahra berkata setelah dia berkumpul dengan Bu Shinta, Pak
Arif, dan ayahnya. Zahra memperlihatkan sebuah kotak dan menyerahkannya pada Bu
Shinta. Awalnya, ibu ini bingung menerima kotak itu. "Apa ini, Ra?"
tanyanya. "Terus kapan Dafa kasih ini ke kamu, cerita lah Ra, Mama ingin
dengar," pintanya sambil menatap Zahra penuh keingintahuan.
"Dua hari sebelum Dafa tiada, Ma," Zahra mencoba
membuka lembaran kisah terakhirnya bersama Dafa. Sekuat tenaga, Zahra menahan
air matanya demi melanjutkan ceritanya. "Dafa mengajak aku keluar, dan
kami makan di Restoran Teko," terbata dia berusaha merangkai ceritanya.
"Saat-saat indah sekali bagi aku, Dafa tiga kali menyuapi aku daging iga
bakarnya," mata Zahra terpejam seakan dia ingin kembali pada saat itu.
"Selesai makan, Dafa memberi kotak ini pada Ara, dan meminta Ara membuka
membaca surat ini di depan Mama, Papa, dan ayah saat Dafa telah tiada."
Pertahanan untuk tidak menangis gagal, terisaklah Zahra hingga membuat Bu
Shinta pun ikut menangis. Mereka berpelukan menumpahkan segala rasa. Dari
penjelasan Zahra, akhirnya Bu Shinta dan Pak Arif menyerahkan kembali kotak itu
pada Zahra karena memang itu adalah hadiah Dafa untuk dirinya. "Ra,
perhiasan ini milik kamu, karena memang Dafa memberi perhiasan ini untukmu
sayang," ucap Bu Shinta sambil menyerahkan kembali kotak tersebut.
"Ini ada amplopnya juga, Ma, dan Dafa pesan boleh dibuka
saat dia sudah tiada," Zahra kembali menyerahkan sebuah amplop putih pada
Bu Shinta. "Apa lagi ini, Ra?" ucap Bu Shinta sambil kembali menerima
sebuah amplop dan membuka segel perlahan membaca isi surat yang ditulis tangan
Dafa serta ditandatangani di atas materai, disertai satu tanda tangan notaris
dan tanda tangan dua saksi.
"Ini surat wasiat Dafa, Pa," kata Bu Shinta sambil
terisak pada suaminya saat selesai membaca isi surat tersebut dan menyerahkan
pada Pak Arif. Pak Arif membaca sekali lagi surat itu dengan suara sedikit
keras agar Zahra dan Pak Wahyu mendengarnya. "Mama, Papa, dan Pak Wahyu
tersayang. Aku tak menyangka bisa bertemu Zahra. Terimakasih kalian telah
memperkenalkan kami. Aku tahu Zahra tak mencintai ku, namun hatinya yang indah
memberikan ketulusan kasihnya untukku. Aku juga tahu Zahra mencintai seorang
laki-laki, dan laki-laki itu pun mencintainya. Untuk itu, aku sangat
berterimakasih pada Zahra yang telah menemaniku selama kami saling mengenal.
Ma, Pa, ijinkan aku memberikan tanda terimakasihku untuk Zahra. Apartemen di
MTH Square di kamar 816 dan depositoku di Bank BNI senilai 500 juta serta
asuransiku dari AIA akan aku berikan pada Zahra. Selain itu, aku minta pesta
pernikahan jangan dibatalkan, namun pesta itu untuk Zahra dan Galih. Galih
adalah pemuda yang mencintai Zahra. Biarkan mereka bahagia demi aku. Besar
harapanku kalian semua bahagia. Aku mencintai dan menyayangi kalian semua.
Tertanda, aku Dafa Irawan." Pak Arif menarik nafas panjang menutup
kata-katanya.
"Ra, semua amanat Dafa harus kita jalani," sambung
Pak Arif, dia mengatakan pendapatnya.
"Apakah Ara pantas menerima itu?" tanya Zahra tak
percaya dengan isi surat wasiat itu yang ternyata apartemen milik Dafa serta
deposito tabungan Dafa akan jadi milik Zahra, serta semua persiapan pernikahan
tidak boleh dibatalkan. Zahra harus tetap menikah dengan seseorang yang sudah
sangat mencintai Zahra, yaitu Galih. Sebenarnya, Zahra bingung mengapa Dafa
mengetahui cinta Galih untuknya serta dia malu sekali dengan persoalan ini. Pak
Arif bertanya, "Siapa Galih, Ra, dan apakah Pak Wahyu mengenalnya?"
"Dia teman mengajar Ara di sekolah, Pa, dan kebetulan ayah belum pernah
bertemu sebab hanya dua kali Galih ke rumah dan tak ada ayah," jelas
Zahra.
"Baiklah Ra, kami telah iklas melepas Dafa dan
menganggap kamu putri kami," Pak Arif berkata untuk memperjelas keputusan
keluarga. "Kita jalankan amanat Dafa, semua yang Dafa sebut dalam surat
ini harus tetap menjadi milikmu," tambahnya. "Surat-surat balik nama
dari semua yang Dafa beri akan segera kita urus, namun pesta pernikahan yang
tinggal tiga minggu ini benar-benar harus dilaksanakan," jelas Pak Arif.
"Besok kita kumpul lagi, tapi kamu harus bawa Galih kesini," pinta
Pak Arif. "Gimana Ra, bisa kan besok kamu ajak Galih?" Pak Arif
menatapnya penuh harap.
"Insha Allah, Pa, akan Ara usahakan," pelan Zahra
menjawab. "Ara minta maaf ya, Ma, Pa, Ara sendiri bingung kenapa Dafa tahu
tentang Galih," tambahnya. "Seingat Ara, hanya sekali Dafa bertemu
Galih, dan itupun tak sengaja sebentar pula," sambungnya dalam penasaran
yang mengebu.
"Ya sudah,
besok kita minta penjelasan dari Galihnya sendiri," Pak Wahyu menenangkan
putrinya. Pertemuan kali ini menyisakan tugas untuk Zahra agar bisa membawa
Galih untuk diperkenalkan. Topan bergemuruh di dada Zahra seakan ingin
membawanya terbang meninggalkan keanehan semua yang dia alami.
Bersambung………
Posting Komentar