BAB 16. Permintaan Terakhir
Sepulang dari jalan bersama Dafa, Zahra duduk di meja
riasnya, tak henti memandang kotak perhiasan yang diberi Dafa. "Masya
Allah... pasti ini mahal," gumamnya sendiri. "Trus ini isinya apa ya?
Penasaran... Ya Allah, semoga semua ini hanya pikiran jelekku dan moga-ngga
akan seperti yang aku pikirkan," Zahra berkata sendiri di kesunyian malam
dalam kamar tidurnya.
"Assalamualaikum," kata Zahra yang berbicara dengan
lawan bicaranya di ponsel. Di tengah jam mengajarnya, tiba-tiba ponselnya
berbunyi. Awalnya Zahra tak memperdulikan, namun karena berulang kali nada
deringnya tak berhenti, terpaksa Zahra menerima panggilan di ponselnya dari
nomor yang tak dikenal.
"Waalaikumsalam, maaf, ini dengan Ibu Zahra Kusuma
Wijaya," jawab orang di seberang sana. Zahra membenarkan dan bertanya dari
siapa dan ada apa.
"Baik, Mbak, segera saya kesana," kata Zahra
langsung menutup telepon dan merapikan peralatannya. Setelah memberikan tugas
pada siswa, ibu guru ini berpamitan dan melangkah keluar menuju ruang guru. Di
ruang guru, Zahra meminta izin pulang lebih awal karena dia harus ke rumah
sakit.
Urusan mengajar dapat diatasi, meluncurlah Vario biru ini
menerobos jalan raya. Tiba di rumah sakit dan setelah memarkirkan motornya,
Zahra bergegas melangkah ke dalam rumah sakit mencari ruang rawat Dafa.
Mengetuk pintu sebuah ruangan yang telah ditunjukkan perawat
dan langsung membuka perlahan daun pintu, "Assalamu'alaikum," Zahra
mengucap salam. "Waalaikumsalam," jawab salah seorang di kamar itu.
Betapa terkejutnya dia karena ayahnya serta kedua orang tua Dafa telah berada
di sana. Disalami ketiga orang tua itu, lantas Zahra mendekati Dafa yang
terbaring lemas dengan alat bantu di tubuhnya.
"Kamu kenapa, Fa?" Zahra bertanya saat telah berada
di sisi Dafa. Dafa tak menjawab, senyum menghias bibirnya, dan tangannya meraih
tangan Zahra.
"Mama, papa, dan ayah kamu telah mengetahui penyakitku.
Tadi aku pingsan, dan mama segera membawa aku ke rumah sakit setelah aku sadar
dan menceritakan rahasia yang aku simpan," Dafa berkata pelan namun jelas.
Bu Shinta terisak kecil di samping Zahra sambil mengusap kaki putranya.
"Ra, umurku nggak lama," Dafa mencoba berkata,
namun kekuatan bicaranya sudah lemah sekali. Zahra mempererat genggaman
tangannya dan lembut meyakinkan Dafa, "Nggak, Fa, ingat kamu harus yakin,
kamu kuat, Fa, dan semuanya akan baik-baik saja." Sedikit tertatih Zahra
berkata, karena dia tak ingin menangis.
"Ra, aku ingin kamu menikah dengan Galih. Semua
persiapan pesta kita jangan dibatalkan, namun harus kamu pakai tapi menikahlah
dengan Galih," sekali lagi Dafa berkata mencoba kuat demi menyampaikan
permintaan terakhirnya.
Pelahn Dafa menggeliat sakit sambil mulutnya mengucap
syahadat, dan perlahan matanya terpejam serta genggaman tangannya melemah. Bu
Shinta berteriak sekuat mungkin, Zahra pun mengguncang-guncangkan tangan Dafa
berusaha mengembalikan Dafa. Pak Arif pun lemas duduk bersandar di kursi,
sedangkan Pak Wahyu segera memanggil suster.
Zahra memeluk Bu Shinta yang masih terus menangis. Zahra
membiarkan Bu Shinta terisak di pelukannya, meski hatinya pun sakit sekali
menerima kenyataan ini, padahal hanya seminggu lagi dia dan Dafa akan menikah.
Tim medis memeriksa
keadaan Dafa hingga semua keluarga memang harus benar-benar iklas melepas
kepergian Dafa untuk selamanya.
Bersambung……..
Posting Komentar