BAB 15. Seperangkat Perhiasan
Mobil CRV yang dikendarai Dafa akhirnya masuk ke dalam lahan
parkir sebuah mal di kawasan Kalibata. Dafa memarkirkan mobilnya kemudian
keluar dari dalam, diikuti Zahra yang masih menerka-nerka apa yang akan
terjadi.
"Kamu mau makan, Ra?" tanya Dafa yang berjalan di
samping Zahra. Dia bertanya sebab langkah mereka tepat ada di depan sebuah
restoran.
"Aku tadi dah makan, tapi kalau kamu mau makan aku ikut
aja," jawab Zahra.
Akhirnya Dafa mengajak Zahra memasuki sebuah restoran.
"Di sini iga bakar saus madu enak deh, kamu mau
coba?" Dafa menawari Zahra sebuah menu makanan setelah keduanya duduk
berhadapan di dalam restoran.
"Boleh," singkat Zahra menjawab sambil membuka buku
menu makanan. "Sama jus sirsak ya," tambahnya lalu menutup buku menu.
Zahra memandang ke depan, menikmati wajah Dafa yang masih sibuk membolak-balik
buku menu. Tiba-tiba tatapan keduanya beradu saat Dafa selesai menutup buku,
dan sama-sama mereka tersenyum.
Obrolan santai menemani kebersamaan mereka sampai hidangan
yang dipesan datang. Dafa melayani Zahra penuh kemesraan, dan Zahra pun terbuai
dalam kehangatan makan bersama.
Terlihat kebahagiaan dari keduanya, sesekali Dafa memberi
suapan dan Zahra menerimanya meski pada awalnya malu-malu. Namun, Zahra melepas
rasa malunya dalam rasa romantis yang dia nantikan.
Setelah bersihkan semua piring dan gelas di hadapan mereka,
Dafa meraih tas gendongnya, membuka, dan mengeluarkan sebuah kotak berwarna
merah. Langsung diberikan pada Zahra, yang menerima sambil menatap seolah ingin
berkata "Ini apa?" Namun senyuman dan genggaman Dafa membuat hatinya
melambung ke dunia bahagia.
"Buka dong, jangan cuma dilihatin aja," ujar Dafa
sambil terus menatap wajah Zahra yang penasaran namun tak memulai untuk membuka
kotak di hadapannya.
"Masya Allah!" kaget Zahra setelah membuka kotak
tersebut. "Ini apa, Fa?"
"Bukannya kamu mau kasih mahar uang tunai?" celetuk
Zahra bingung.
Dafa menarik nafas panjang dalam senyum bahagia. "Itu
hadiah untuk kamu. Aku ingin kamu menyimpannya, dan bila aku telah tiada, itu
adalah tanda terima kasihku pada ketulusanmu," jelas Dafa yang berharap
Zahra mau menerima dan menyimpan seperangkat perhiasaan emas dan berlian
beserta sebuah amplop.
"Ini apa?" tanya Zahra sambil memegang amplop merah
muda.
"Simpan dan hanya boleh kamu buka saat aku telah
tiada," tambah Dafa menjelaskan bahwa itu adalah surat wasiat yang harus
Zahra baca di depan keluarga setelah Dafa meninggal.
Sontak Zahra memberontak, "Maksud kamu apa sih, jangan
yang aneh-aneh deh," mencoba menolak dan memberi pendapat bahwa semuanya
akan baik-baik saja hingga pernikahan. Dafa menjelaskan penuh cinta, "Ra,
aku juga ingin selalu bersamamu, menikmati rumah tangga kita," sambil
menghela nafas. "Kenyataan adalah sesuatu yang wajib kita terima, dan aku
telah siap menerima takdirku," senyum tipis menghias bibir Dafa. "Aku
bahagia, Ra, bisa merasakan bersamamu, meski entah untuk berapa lama,"
ditatapnya wanita yang akan menjadi istrinya itu.
Zahra berkelit, "Fa, nggak usah mikir terlalu jauh.
Yakinlah bila Allah mengijinkan kita menikah. Kamu sudah nggak sendiri, aku
selalu siap menemanimu," tambahnya lagi. "Tolong, Fa, buang pikiran
jelek dan semangat untuk kebahagian kita," mencoba meyakinkan Dafa dengan
membantah pemikiran Dafa. Zahra tak mengerti apa yang diinginkan Dafa, namun
kasih sayang Dafa terlihat jelas. Dengan sabar, dia meredam rasa di hati dan
pikiran calon istrinya.
Bersambung………
Posting Komentar