Setangkai mawar dari sang ketua osis
Suasana
kantin sekolah sudah sedikit sepi. Sebagian siswa Raksa High School telah selesai mengisi waktu
istirahat mereka di kantin yang letaknya di belakang gedung sekolah. Waktu
istirahat memang tinggal lima menit lagi. Namun, di sisi kanan kursi yang
tertata rapi di kantin berukuran sekitar 15x8 meter, masih tampak dua siswa
asyik menikmati makanan di hadapan mereka.
“Loe
serius, Fi, mau nembak Sarah?” tanya Adit sambil menyuap butiran baksonya yang
terakhir. Rafi mengangguk.
“Wah,
kayanya susah deh, Fi. Sepertinya doi itu tipe cewek yang enggak kenal
pacaran,” lanjut Adit dengan mengunyah makanannya. Rafi mengernyitkan dahi,
menelan minumannya.
“Loe
lihat aja hijabnya aja panjang gitu. Mana mau cewek kaya gitu pacaran, entar
katanya zina lagi,” sambung Adit, meraih segelas es teh manisnya dan meneguknya
hingga habis.
“Eh,
nafas minumnya,” ucap Rafi, memasang raut tak suka pada cara Adit menghabiskan
minumannya. Adit tak peduli, dia tetap meneguk tuntas semua air di dalam gelas.
“Hahahahhahaha,
bentar lagi bel,” ucapnya sambil meletakkan kembali gelas itu ke atas meja,
lalu beranjak berdiri.
“Yuk,
balik ke kelas. Bentar lagi bel kan? Kita mau ulangan matematika,” ajak Adit
yang telah bersiap melangkah. Rafi mengikutinya hingga mereka berjalan
bersisian.
Sepanjang
jalan, dua sahabat ini mengisi waktu dengan obrolan santai.
“Dah,
Dit, enggak usah dibahas lagi soal Sarah. Bener kata loe, gadis seperti dia
mana mau diajak pacaran,” kata Rafi. Adit tertawa.
“Hahahahah...
patah hati dong loe, Fi,” godanya sambil keduanya melangkah. Rafi merengut.
“Fi,
Fi, tampang loe tuh oke dan banyak cewek nunggu jawaban dari loe. Eh, malah loe
suka sama tipe kaya Sarah,” kembali Adit berkomentar. Rafi menoleh, lalu
berjalan lagi.
“Dah,
loe pilih aja dari antrian cewek yang pada ngincer loe,” sambung Adit. Rafi
hanya diam sambil melangkah.
Tepat
di ujung koridor, ketika mereka hendak belok ke kiri, tiba-tiba seseorang yang
berlawanan arah juga hendak melangkah belok.
“Uuupss...”
ucap Rafi kaget. Sang penabrak itu sontak juga terperangah kaget.
“Ma-maaf,”
ucapnya sedikit terbata. Siswi itu menatap sejenak lawan yang tak sengaja saling
bertabrakan hingga tatapan mereka saling beradu. Namun, secepat kilat, siswi
berhijab itu segera menundukan kepalanya.
“Sarah,”
ucap Rafi pelan, namun Adit yang berdiri di kanan Rafi masih bisa mendengar
ucapan Rafi.
“Maaf,
maaf Kak Rafi,” sekali lagi Sarah berkata, lalu dia melangkah meninggalkan Adit
dan Rafi yang menatapnya.
“Kenapa
kamu, Sar, kok muka kamu kaya ketakutan gitu?” tanya Alif, teman sebangkunya,
ketika Sarah telah duduk. Sarah tak menjawab, dia menghela nafas sambil meraih
buku di dalam laci meja.
“Kenapa
sih, Sar, cerita lah,” pinta Alif penasaran. Sarah menoleh ke Alif.
“Aku
tadi nabrak Kak Rafi,” lirih dia menjawab. Alif melongo, melotot menatap Sarah.
“Kak
Rafi, ketua OSIS yang tampan rupawan itu?” ucap Alif menatap Sarah tak percaya.
Sarah mengangguk.
“Terus?”
Alif masih penasaran.
“Gimana,
ganteng banget kan dia dan pasti wangi ya,” sambung Alif, terus mencecar.
Namun, Sarah hanya tersenyum.
“Ah,
Sar, payah deh kamu. Enggak manfaatin situasi. Ketemu idola semua cewek di
sekolah ini, eh malah kamu sia-siakan,” omel Alif sambil tatapannya menyapu
ruangan kelas.
“Ih,
apaan sih loe, Lif. Itukan namanya zina kalau kita pacaran,” sanggah Sarah
protes.
“Ya,
tapi lumrah kan sebagai manusia kita pasti punya rasa suka,” jawab Alif.
“Dan
apa kamu enggak ada rasa sama cowok setampan dan sepintar Kak Rafi?” lanjut
Alif, menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi dan diikuti Sarah.
Sambil
memejamkan mata, Sarah mengiyakan pernyataan Alif.
“Iya,
Kak Rafi itu memang tipe cowok yang sempurna,” gumamnya sendiri dalam hati.
Menyadari pikirannya yang ngaco, Sarah menggeleng dan kembali menyibukan diri
dengan buku pelajaran.
Di
tahun ajaran ini, memang siapa yang tak kenal Rafi Setiawan, sang ketua OSIS
yang selalu menjadi duta matematika sekolah untuk mengikuti bidang studi ini.
Selain otaknya yang encer, Rafi juga sangat ramah pada semua orang, termasuk
adik kelasnya. Hal ini pula yang menjadi daya tarik Rafi yang menjadi idola
para kaum hawa di sekolah.
Sarah
yang baru kelas satu juga ikut mengidolakan Rafi karena di suatu kesempatan,
dia pernah mendengar sendiri Rafi sedang bertilawah Al-Qur'an. Hal inilah yang
membuat Sarah menyimpan rasa.
Kejadian
tabrakan tak sengaja ini menyadarkan Sarah bahwa benar kata teman-temannya yang
menjadikan gosip bahwa selain pintar, Rafi juga tampan ditambah sholeh pula.
Sejak
kejadian tak sengaja bertabrakan itu, tak urung pikiran Sarah suka menghayal
tentang Rafi. Namun, pada kenyataannya, dia pun sadar bahwa Rafi itu adalah
idola di Raksa High School. Bukan hanya
satu siswi saja yang selalu berusaha tebar pesona padanya. Alexa, sang
primadona kaum adam, juga berupaya melancarkan aksi pendekatan pada Rafi.
Namun, tak satupun cewek yang mendapatkan sambutan dari Rafi. Rafi selalu
bersikap ramah dan ringan tangan, namun dia tak sekalipun menjatuhkan hatinya
pada gadis-gadis yang memburunya.
Tak
terasa setahun berlalu. Ketika saatnya pentas seni akhir tahun selepas ulangan
umum diadakan, OSIS Raksa High School
mengadakan beberapa kegiatan dan keseluruhannya telah selesai sesuai rencana.
Hari ini adalah pentas utama penyerahan hadiah bagi pemenang lomba.
Sebagai
ketua OSIS, Rafi mendapat kesempatan untuk memberikan kata sambutan sebagai
ketua pelaksana kegiatan.
Pingkan,
sebagai pembawa acara, telah mempersilahkan Rafi untuk naik ke atas panggung.
“Tuh,
Fi, kesempatan loe jangan disia-siakan ya,” Adit mengingatkan Rafi pada sesuatu
hal. Dia mengacungkan kedua ibu jarinya ketika Rafi berdiri dan mulai
melangkah.
“Semangat,
Fi, jangan lupa ya,” seru Adit menyemangati sahabatnya.
Rafi
naik ke atas panggung. Tepuk tangan riuh disertai sorakan histeris dari seluruh
siswa Raksa High School terlihat semarak
menyambut sang ketua OSIS yang menjadi idola mereka.
“Rafi,
Rafi, Rafi,” teriakan suara itu benar-benar menunjukan bahwa Rafi sangat mereka
elu-elukan.
Setelah
Rafi berbasa-basi sebentar dengan Pingkan, si pembawa acara, lalu pemuda
berkulit bersih dengan tinggi badan 170 cm ini mulai mengatakan rasa terima
kasihnya serta ucapan lainnya. Sekitar 5 menit Rafi telah memberikan
sambutannya, padat, jelas, dan sangat berkesan. Tepuk tangan membuktikan rasa
sanjungan mereka di akhir perkataan Rafi.
Sebelum
dia benar-benar mengakhiri sambutannya, pemuda yang berlesung pipi ini
mengeluarkan setangkai mawar merah berhias pita biru dari dalam saku celana
abu-abunya. Sontak, seluruh siswi bersorak. Bahkan, ada beberapa siswi yang
berteriak histeris menginginkan setangkai mawar itu.
“Rafi...
itu untuk aku ya?”
Suasana
halaman sekolah bertambah riuh ketika Rafi mengungkapkan isi hatinya.
“Tenang,
teman semua... mohon maaf pada ibu dan bapak guru semuanya,” kata Rafi penuh
wibawa yang sedikit meredakan keriuhan para siswi yang berantusias dengan
setangkai mawar di tangan Rafi.
“Dalam
kesempatan ini, saya akan memberikan bunga mawar ini pada seorang siswi di
sekolah ini. Saya melakukannya karena saya suka padanya, dan saya sadar bahwa
kami masih sekolah. Untuk itu, di kesempatan kali ini, saya hanya ingin
mengungkapkan rasa suka saya saja. Untuk kelanjutannya, biar sang waktu yang
akan menyatukan hati saya dengan dia,” jelas Rafi. Lantas, dia segera turun
dari panggung, melangkah mendekati gadis yang dimaksud. Semua mata, tanpa
kecuali, fokus memperhatikan gerakan langkah Rafi.
Rafi
menuju ke kelas 1A yang berada di depan panggung, lalu dia mendekat ke tiga
orang siswi yang sedang berdiri, ikut penasaran memperhatikan Rafi. Langkah
Rafi berhenti di depan Sarah, Eka, dan Jasmin. Ketiga siswi ini saling
berpandangan, bertanya siapa siswi yang beruntung bisa mendapatkan setangkai
mawar merah itu.
Rafi
tepat berhenti di hadapan Sarah yang diam menatap tak mengerti.
“Sarah,
aku tahu kalau kita tak boleh pacaran, tapi ijinkan aku mengungkapkan rasa
sayangku padamu,” ucap Rafi menatap Sarah yang termangu tak percaya.
“Ini
tanda sayang aku padamu. Semoga kamu mau menerimanya,” lanjut Rafi tegas.
Suasana
kembali riuh. Tepuk tangan dibumbui siulan kini tertuju pada kedua siswa-siswi Raksa
High School.
“Terima.
Terima. Terima,” teriakan seruan riuh memberi semangat persetujuan. Bola mata
Rafi tampak sejuk, memberikan suatu keyakinan akan cintanya yang tulus.
Sarah
tertunduk. Dia tak tahu mesti berbuat apa. Dia menggigit bibirnya sambil
meremas jemari kedua tanganya yang mendadak sedingin es. Alif, yang berada di
belakang Sarah, memberikan isyarat dengan menendang kaki Sarah. Sontak, Sarah
menoleh, memelotot. Namun, Alif tersenyum, mengangguk memberikan persetujuan.
Kembali, Sarah menatap Rafi yang setia menunggu jawabanya. Sorot matanya
mengisyaratkan permintaan yang tulus.
Gugup,
Sarah mengulurkan tanganya lalu menerima setangkai mawar itu.
Keriuhan
kembali menghangat di area gedung sekolah bertingkat dua ini. Gedung sekolah Raksa
High School yang akan menjadi saksi
perjalanan kasih antara Rafi dan Sarah.