Cinta lama jadi kenyataan bagian 12 tamat
Di lobi UGD rumah sakit, Weni yang dipapah Pak Edi segera
masuk ke ruang UGD yang diikuti Indra dengan dibantu security rumah sakit. Weni
terbaring lemah di atas kasur sambil memegang kepalanya; tasnya sudah dia
berikan pada Indra. "Wen, aku boleh pinjam HP kamu enggak untuk ngabarin
orang tua kamu?" pinta Indra ketika sedang menunggui Weni. Weni menangguk.
Pak Edi telah kembali setelah mendaftarkan nama Weni di loket pendaftaran.
"Bagaimana, Mas Indra?" tanya Pak Edi menatap Weni. "Tadi suster
sudah observasi, tinggal nunggu dokter, Pak," jawab Indra. "Eh iya,
Pak, saya mau minta bantuan untuk menelpon keluarga Weni. Tadi saya sudah minta
izin Weni untuk memakai ponselnya, dan ini ponselnya, Bapak cari aja nama ibuku
tersayang," kata Indra sambil menyerahkan ponsel itu ke tangan Pak Edi.
"Gimana keadaan kamu, Wen?" tanya ibu cemas ketika
sampai di dekat Weni yang masih terbaring dengan selang infus yang sudah mengaliri
cairan ke dalam tubuhnya. "Gejala tipus, Bu," kata Pak Edi yang
berdiri di sisi sebelah berdampingan dengan Indra. "Pak Indra yang membawa
Bu Weni ke sini dan Pak Indra juga yang telah membayar uang muka untuk
perawatan Bu Weni," lanjut Pak Edi. Ibu menoleh ke Indra, menatapnya tak
percaya. "Saya yang mengurus birokrasinya, tapi pembayaran rumah sakit
sudah diselesaikan Pak Indra sejumlah tiga juta," sambung Pak Edi. Weni
membuka matanya, melirik ke Indra. "Kok mahal banget, Mas," lirih
Weni berusaha berkata. "Pak Indra mengambil ruang VIP, Bu Weni,"
jelas Pak Edi. Weni menelan ludah dalam hati, dia merasa berhutang pada Indra
dan berjanji setelah dia sehat akan mengembalikan uangnya. "Santai aja,
Wen, sekarang kamu istirahat aja, biar lekas sehat lagi," jawab Indra.
"Ya Allah, Nak Indra," ucap ibu yang merasa bersalah pada Indra.
"Maafin Ibu ya, kemarin waktu Nak Indra ke rumah saya tidak bersikap
sopan," lanjut ibu menatap Indra, ada penyesalan dari raut wajahnya.
"Sekarang malah Nak Indra yang sudah bantu Weni, mana banyak banget lagi
uangnya," sambung ibu mengalihkan tatapannya ke Weni. "Kenapa tidak
di kelas satu atau kelas dua saja, biar tidak terlalu besar
pembayarannya," ucap ibu. Weni menggigit bibir. "Sudah biar saja, Bu,
Weni ada kok uangnya, nanti kalau Weni sehat segera Weni ganti uang Mas
Indra," lirih Weni menimpali. "Wen Wen, enggak segitunya lagi, aku
iklas nolong kamu malah nanti semua pembayaran rumah sakit biar aku saja yang
selesaikan," ucap Indra yang berdiri di sisi kanan Weni. "Ini tanda
persahabatan kita, Wen, dan itukan memang rejeki kamu, cuma Allah kasihnya
lewat aku," Indra melanjutkan perkataannya. "Makasih, Nak Indra,
sekali lagi terima kasih ya sudah nolong Weni," ucap ibu terpatah-patah
karena merasa tak enak pada Indra. Indra tersenyum. "Ya sudah, Wen, kan
sudah ada Ibu, sekarang aku pamit ya," Indra bersiap untuk berpamitan.
"Iya, Bu Weni, Ibu istirahat aja, saya ijin pulang sekalian antar Pak
Indra," Pak Edi juga pamit pulang. "Nanti kamu tinggal nunggu suster
bawa kamu pindah ke ruangan, Wen," Indra berucap sambil melangkah
mendekati ibu dan berpamitan. "Iya, Nak Indra, sekali lagi terima kasih
ya," ibu meraih tangan Indra hingga mereka bersalaman, namun Indra segera
mencium punggung tangan ibu. "Saya pamit ya, Bu," kata Indra.
"Iya, hati-hati, Nak Indra," jawab ibu menepuk bahu Indra. Weni
tersenyum, dalam hati dia bersorak riang karena ibunya telah bisa melihat
ketulusan Indra meski dia seorang difabel.
Empat hari Weni menjalani rawat inap, dan hari ini dokter
telah mengijinkannya untuk pulang. "Assalamu'alaikum," suara Indra
yang baru masuk bersama seorang wanita. Weni yang sedang merapikan
perlengkapannya membalikan tubuh dan menjawab, "Wa'alaikumsalam, eh, Mas
Indra." Indra melangkah dibantu Anita. "Kamu sudah sehat, Wen?"
tanya Indra. "Sudah, Mas, kan dokter juga sudah mengijinkan pulang,"
jawab Weni yang mendekati Anita hingga keduanya bersalaman dan saling
berpelukan. "Apa kabar, Nita?" sapa Weni sambil merangkul Anita.
"Baik, Mbak, sudah benar-benar pulih nih, Mbak," Anita melepas
rangkulan dan menatap Weni penuh kelembutan. Weni menangguk. "Eh maaf,
Mas, enggak dikasih bangku," ucap Weni yang menyadari Indra masih berdiri.
Indra tersenyum. "Santai, Wen," dia meraba dengan tongkatnya melangkah
hingga menemukan sofa yang terletak di sudut ruangan lalu dia duduk di sana.
"Siapa yang jemput kamu?" tanya Indra. "Ibu katanya, Mas, tapi
nanti satu jam lagi baru ibu bisa jalan sebab Galang dan Gilang tidak ada
temannya, Mbak Winda lagi tugas, dan asisten rumah tangganya lagi mudik,"
jelas Weni. Indra mengangguk. "Oh ya, Wen, tadi aku sudah ke kasir dan
sudah menyelesaikan administrasi, kamu tinggal pulang aja," ucap Indra.
Weni tertegun, menatap Indra penuh rasa. "Ya Allah, Mas, aku berhutang
banyak nih sama kamu," Weni berucap sambil menahan tangis. "Santai,
Wen, dah enggak usah ngebahas masalah itu," jawab Indra, dia mengambil
ponselnya dari dalam tasnya. "Aku ke sini sama Nita mau ngundang kamu
untuk ngehadiri acara lamaran kami, dan aku minta kamu bisa datang ya,
Wen," Indra mengarahkan wajahnya ke Weni. Seperti tersengat listrik
tegangan tinggi, Weni menelan ludahnya sambil menggigit bibir. "Aku ingin
kamu temenin aku, jadi nanti kamu aku tunggu di rumahku, kita jalan bersama
keluargaku," lanjut Indra. Weni hanya bisa tertunduk, hidungnya mulai
terasa panas hingga setetes air mata membasahi pipinya. Anita hanya diam
tertunduk, dia melihat perubahan air muka Weni yang merasa kecewa, namun inilah
keputusan Indra yang akan melamarnya tiga hari lagi.
Selagi suasana hening dalam ruangan, tiba-tiba pintu diketuk
dan masuklah Dika. "Assalamu'alaikum," salam Dika melangkah mendekati
Weni yang duduk di atas ranjang pasien. "Eh, ada tamu, maaf Wen, tadi
nyokap telpon gw dan minta gue jemput loe soalnya Galang Gilang enggak mau ditinggal,"
ucap Dika mendekati Indra dan mengulurkan tangan. "Apa kabar, Mas?"
Dika menegur Indra, dibantu Anita, Indra menerima uluran tangan Dika hingga
keduanya bersalaman. "Baik, Mas," singkat Indra menjawab. Dika
menoleh ke Anita. "Hai, Mbak," tegurnya sopan. "Dia calon istri
saya, Mas, dan tiga hari lagi saya mau ngelamar dia," ucap Indra yang
membuat Dika sedikit terkejut. "Saya minta Mas dan Weni datang temenin
saya ngelamar Nita, jadi besok saya tunggu kalian di rumah ya," lanjut
Indra. "Wah senang dengernya nih, Mas, saya keduluan nih," Dika
menimpali dengan gurauan yang membuat Indra tertawa. "Hehehehe, emang kita
lagi berlomba apa, Mas Dika bisa aja. Eh, btw, berarti gelang itu belum sempat
Mas Dika kasih dong ke calon istri Mas," lanjut Indra, Dika tertawa kecil
sambil menangguk-angguk. "Semoga secepatnya saya bisa beri gelang itu,
Mas, doakan ya," ucap Dika yang melangkah mendekati Weni yang sejak tadi
hanya diam menonton televisi. Meski matanya tertuju ke layar televisi, namun
pikirannya entah kemana. Sebenarnya Weni sudah merasa senang sebab ibunya sudah
bisa menerima Indra; dia berharap bisa kembali merajut hubungannya. Namun
kedatangan Indra yang memberi kabar tentang lamarannya untuk Nita membuat
hatinya teriris lagi. Weni hanya bisa menelan kekecewaannya. "Hai, Non,
ngapain ngelamun?" tegur Dika yang membuat Weni gelagapan. "Eh,
enggak," spontan dia menjawab. "Loe udah beneran sehat kan,
Wen?" Dika meraba kening Weni, refleks Weni mengelak. "Apaan sih loe,
Dik," sentaknya pelan. Dika tertawa. "Hahahhaha, udah, gue bilang,
loe kalau lagi gitu jelek banget deh, Wen," goda Dika dengan mata
jahilnya. Weni membalas dengan menimpuk tisu yang sudah dia bulatkan, Dika
tertawa.
"Wen keren ya Indra, biar dia seorang tunanetra tapi
karirnya mantap, dan calon istri juga cantik," ucap Dika ketika mereka
sudah berada di dalam mobil hendak ke rumah Weni. Weni diam, tatapannya dibuang
ke ruas jalan Cilandak yang mulai ramai. "Kenapa loe merengut gitu, patah
hati ya Non?" goda Dika sambil menyetir. "Ah, enggak juga,"
singkat Weni menjawab. "Hahahahhaah, udahlah Non, masih ada pangeran lain
kok yang akan ngejemput loe," Dika masih tertawa dan dibalas dengan Weni
mencibirkan bibirnya. Dika semakin tertawa.
Setengah jam kemudian mereka telah sampai di rumah Weni.
Rumah itu memang sepi karena hanya ditinggali Weni, ibu, dan Bi Iyem asisten
rumah tangganya, dan sekarang ibu sedang menemani Galang Gilang cucunya sebab
Mbak Winda kakak Weni satu-satunya sedang dinas ke luar kota. Dika telah duduk
di ruang tamu, semua barang bawaan Weni dari rumah sakit telah dirapikan oleh
Bi Iyem. Weni melangkah mendekati Dika yang sedang menyandarkan tubuhnya di
sofa berwarna coklat susu. "Loe ngantuk, Dik?" tegur Weni ketika
telah duduk di hadapan Dika. Dika membuka matanya, tersenyum. "Ngeliat
loe, bawaan gue sih seger terus, Wen," ucap Dika yang mengubah posisi
duduknya. "Wen, gue mau ngomong sesuatu," Dika menatap Weni serius.
"Loe mau ambil surat cerai loe?" Weni membalas tatapan mata Dika,
namun dia tak sanggup bertahan menatap sorot mata Dika yang penuh arti. Dika
menggeleng. "Gue serius, Wen," Weni tertawa. "Muka loe jelek
deh, Dik, kalau lagi kaya gitu," Weni tertawa. Dika tersenyum, berdiri
mendekati Weni, lantas dia duduk di samping Weni. "Wen, gue mau ngelamar
loe," Dika meraih tangan Weni dan mengenggamnya. Weni terperangah,
memelototi Dika, namun Dika terus menatapnya penuh cinta. Weni tertunduk, tak
kuasa menerima sorot cinta dari tatapan Dika. Dika terus menggenggam jemari
Weni, lalu dia mencium tangan itu penuh kemesraan. "Aku mencintaimu, Wen,
dan kamu maukan jadi istriku?" Dika meraih dagu Weni yang tertunduk, dan
tatapan keduanya saling beradu. Weni tersenyum, mengangguk. Dika mendekatkan
wajahnya sehingga dia leluasa mencium bibir Weni. Weni membalasnya, ada getar
cinta dalam rasa yang mereka tumpahkan lewat sentuhan bibir, hingga keduanya
siap untuk memulai kehidupan bersama.
TAMAT.
Posting Komentar