Cinta lama jadi kenyataan bagian 11

Table of Contents

Sehari menikmati kebersamaan dengan Indra membuat hati Weni seperti diguyur jutaan bunga yang semerbak. Weni telah jatuh cinta pada Indra. Baginya, kehidupan Indra sangat menakjubkan. Weni banyak belajar dari sikap Indra yang telah bisa menerima semua takdirnya dengan ikhlas. Bahkan, Indra telah membuktikan bahwa kebutaan matanya bukan penghalang dia meraih kesuksesannya.

 

Weni tak mampu mengungkapkan perasaannya pada Indra. Dia hanya bisa memendam cintanya karena tak mungkin Weni menyatakan terlebih dahulu. Sejak menonton film bisik, yang berawal dari sikap ibu menyambut Indra ditambah pertemuannya dengan Di-ka di pusat perbelanjaan itu, membuat Indra sepertinya mengambil jarak pada Weni.

 

Sudah berulang kali Weni mengirim pesan ke Indra, namun Indra hanya membalasnya datar. Bahkan, ketika Weni mencoba menghubunginya, Indra selalu menolak dengan alasan sedang sibuk. Ingin rasanya Weni pergi ke rumah Indra, namun hati kecilnya melarang.

 

“Untuk apa, Wen? Kalaupun mungkin kamu bisa berdamai dengan Indra, apa kamu siap menghadapi sikap ibu?” sisi hatinya melarang.

 

“Kamu juga mesti memikirkan gimana perasaan Indra ketika menerima perlakuan dari ibu, Wen. Pasti dia tersinggung,” sela hatinya.

 

“Aaaahhh.....” teriak Weni dalam keheningan dirinya. Batinya bergemuruh, pikirannya bak benang kusut, dan jiwanya benar-benar tak berdaya melawan perasaannya.

 

“Weni, Weni, Weni... kenapa sih susah banget jatuh cinta itu?” gerutunya pada diri sendiri.

 

Weni sedang asyik membaca sebuah novel, tiba-tiba ponselnya berbunyi. Segera dia meraih gawai yang ada di sampingnya. Weni membaca nama yang tertera di layar monitor.

 

“Mas Indra,” gumamnya. Dia tertegun sejenak, namun segera dia menekan tombol hijau.

 

“Assalamualaikum, Mas,” sapa Weni terlebih dahulu.

 

“Waalaikumussalam. Apa kabar, Wen?” jawab Indra.

 

“Baik, Mas,” ucap Weni.

 

“Ada apa nih, Mas? Eh, maaf maksud aku, tumben Mas telepon,” grogi Weni mengatur kata-kata. Indra di seberang percakapan tertawa.

 

“Kangen sama kamu,” goda Indra, yang membuat Weni tersipu. Dia meremas jemarinya.

 

“Wen,” tegur Indra.

 

“Eh, iya, Mas,” jawab Weni.

 

“Besok kamu masuk apa?” tanya Indra.

 

“Pagi, Mas. Emang kenapa?” Weni menduga sendiri dalam hati apa pertanyaan Indra.

 

“Ya udah, besok aku ke apotik jam lima ya,” ucap Indra.

 

“Oke, Wen. Sampai besok jam lima ya,” lanjut Indra, lalu menutup telepon.

 

Weni memandang benda persegi panjang di tanganya. Dia berkata sendiri.

 

“Ngapain Indra ngajak ketemuan? Apa ada yang penting ya?” pikirnya, bertanya sendiri.

 

“Aaaahhh....” teriak kecil Weni, yang menggelengkan kepala karena dia mencoba menerka maksud Indra, namun dia tak sabar menanti jam lima sore besok.

 

Tepat jam lima, Weni keluar dari dalam ruangan. Hari ini banyak resep yang harus dia racik, ditambah pikirannya berdebar menerka apa maksud Indra, membuat wajahnya sedikit pucat.

 

“Bu Weni sakit?” tanya Novi, temannya. Weni menggeleng.

 

“Enggak kok, Nov. Cuma capek aja, tadi banyak juga ya obat racikanya,” jawab Weni.

 

“Iya, Bu. Hari ini kayanya ekstra deh,” balas Novi.

 

“Ya udah, Nov. Saya duluan ya,” pamit Weni, lalu dia melangkah keluar.

 

Matanya menyapu seluruh ruang tunggu, namun keberadaan Indra belum tampak. Weni duduk di barisan belakang, mengambil ponselnya, lantas mengirim pesan pada Indra.

 

Weni tak sabar ketika telah menunggu, namun pesannya hanya terkirim, tak dibaca oleh penerima. Lantas dia segera menelpon Indra. Nada sambung terdengar, Weni menanti tak sabar.

 

“Angkat dong, Mas,” gerutunya dalam hati. Sampai nada sambung berhenti, tetap panggilan Weni tak terjawab. Weni mendesah, menggeleng, menatap ponselnya.

 

“Kemana sih nih orang?” gerutunya lagi. Diam sejenak, lantas Weni mencoba menelpon lagi. Tetap sama, tak ada jawaban. Bahkan, lebih dari sepuluh kali Weni telah melakukannya, hingga dia kesal sendiri.

 

“Enggak jelas nih orang,” Weni mengomel, lalu beranjak berdiri setelah mengirim pesan bahwa dia sudah pulang dari apotik.

 

Sambil melangkah ke pintu utama, perang batinya kembali menderanya.

 

“Gimana kalau Mas Indra kecelakaan dan ponselnya hilang?” sisi hatinya memprediksi sesuatu. Weni menghentikan langkah, diam, mengigit bibir, lalu dia kembali duduk.

 

Kembali diam, mengambil ponselnya, dan menelpon Indra, namun tetap tak ada jawaban. Bahkan pesannya pun hanya terkirim dan tak dibaca si penerima.

 

Weni mendesah. Kepalanya tiba-tiba berdenyut. Dia memegang kepalanya, menahan rasa sakit yang tiba-tiba dirasakan. Selain itu, tiba-tiba matanya juga berkunang-kunang. Weni memejamkan mata. Keringat dingin mulai mendera tubuhnya. Weni mencoba melawan reaksi tubuhnya yang seperti mulai mengalami gejala sakit.

 

Weni menyimpan ponselnya, lantas dia diam, memejamkan mata.

 

“Bu Weni sakit,” tiba-tiba sebuah suara menyadarkan Weni yang sedang menahan kepalanya yang berdenyut. Weni membuka mata dan dilihatnya Indra tersenyum. Weni membalas senyuman itu, mencoba melawan sakit kepalanya.

 

“Eh, Mas Indra,” lirih dia berkata.

 

“Maaf, Wen. Aku tidak bawa HP, dan tadi sedikit ada masalah. Untung kamu belum pulang. Aku tadi dibantu Pak Satpam,” jelas Indra, yang dengan meraba telah berhasil duduk di samping Weni.

 

“Kamu kenapa? Sakit?” tanya Indra, yang menerka karena sikap Weni sedikit lemah, seolah sedang menahan sesuatu.

 

Weni mendesah. Dia memang merasakan kepalanya semakin berdenyut.

 

“Iya, Mas. Kepalaku sakit banget nih, tiba-tiba,” ucap Weni. Indra memegang tangan Weni dan dirasakan keringat dingin mengalir di lengan Weni.

 

“Dingin amat badan kamu, Wen,” kata Indra, yang mengarahkan mukanya ke Weni. Weni mengangguk, memejamkan mata.

 

Indra berdiri, bersiap melangkah. Menyadari itu, Weni membuka mata.

 

“Mau kemana, Mas?” tanya Weni, yang membuat Indra menoleh.

 

“Minta tolong sama Satpam,” jawabnya, lalu segera dia berjalan dengan tongkat sebagai alat bantunya.

 

Hanya ada beberapa orang di ruang tunggu itu. Kesemuanya menoleh, memperhatikan Weni, termasuk pegawai apotik.

 

“Bu Weni kenapa?” Novi, yang telah berada di dekat Weni, menatap Weni, bertanya.

 

Weni membuka mata sebentar, lantas memejamkannya kembali.

 

“Enggak tahu nih, Nov. Tiba-tiba aja kok sakit banget kepala aku,” lirih Weni menjawab. Novi mengambil lengan Weni.

 

“Kita ke dalam aja yuk, Bu,” ajak Novi. Weni menggeleng.

 

“Saya mau pulang aja, Nov.”

 

“Oh, gitu. Tapi sama siapa ya, Bu?” Novi berpikir siapa yang akan mengantar Weni dalam kondisi seperti ini.

 

Indra melangkah bersama seorang satpam.

 

“Yuk, Wen. Kita pulang aja. Aku anter kamu. Di depan sudah ada taksi,” kata Indra, setelah berada di dekat Weni. Novi menatap Indra.

 

“Ini Mas Indra Wijaya ya?” tanya Novi, yang terus menatap Indra. Indra mengarahkan mukanya ke arah suara Novi dan mengangguk.

 

“Wah, senang nih bisa ketemu Mas Indra. Tapi sayang ya, enggak tepat waktunya,” Novi sedikit riang, namun dia berusaha mengendalikanya karena melihat wajah Weni yang semakin pucat.

 

“Lebih baik di bawa ke dokter dulu aja, Mas,” saran Novi.

 

“Oh, ya benar tuh, Mas. Bawa aja Bu Weni ke UGD RS Cilandak, kan tidak jauh dari sini,” Pak Satpam ikut memberikan pendapat, sementara Weni semakin merasakan kepalanya terasa sangat sakit hingga ia memegangi kepalanya.

 

Akhirnya, Indra, dengan dibantu Pak Edi, Satpam apotik yang kebetulan juga telah selesai bertugas, membawa Weni ke rumah sakit.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar