Cinta lama jadi kenyataan bagian 10

Table of Contents

Weni duduk di teras rumahnya, menanti Indra yang akan menjemputnya. Mereka telah berjanji untuk datang bersama ke acara film bisik. Sambil asyik berselancar di dunia maya, tiba-tiba ibunya keluar dan duduk di sampingnya.

 

"Mana teman kamu yang mau jemput?" tanya ibu sambil menatap Weni yang langsung menoleh.

 

"Sebentar, katanya lagi OTW," jawab Weni singkat, lalu kembali bermain ponsel.

 

"Siapa namanya, Wen? Yang kamu bilang itu penulis idolamu?" tanya ibu lagi. Weni menghentikan kegiatan bermain ponselnya dan meletakkannya di atas pangkuannya.

 

"Indra Wijaya, Bu," jawab Weni. Ibu mengangguk.

 

"Oh iya, Indra Wijaya," senyum ibu, mengingat kembali nama itu.

 

"Dia juga dosen di IISP, Bu," tambah Weni, berusaha mengenalkan sosok Indra pada ibunya.

 

"Usianya juga cuma beda bulan sama Weni, masih tua Weni tiga bulan," lanjutnya.

 

"Apa kamu suka sama dia?" tanya ibu, membuat Weni tersipu.

 

"Ingat, sudah seharusnya kamu menikah. Kan usia kamu sudah 29 tahun, dan kebanyakan teman-teman kamu sudah pada punya anak," sambung ibu.

 

"Kan kamu tidak mau balik ke Latif lagi. Trus, Di-ka juga kata kamu cuma teman aja. Trus, siapa yang kamu mau? Ingat, buka hati kamu untuk jatuh cinta," ucap ibu, terhenti karena ada sebuah mobil berhenti di depan rumah. Weni segera berdiri dan melangkah mendekati gerbang rumah.

 

Indra keluar dari dalam mobil. Dia turun dan membuka tongkatnya, berjalan ke pintu pagar. Weni menyambut Indra dengan riang, namun menyembunyikan perasaannya.

 

"Ini saatnya aku kenalin Mas Indra ke ibu," gumamnya dalam hati.

 

Setelah membuka pintu gerbang, Weni mendekati Indra.

 

"Assalamualaikum, Mas," sapa Weni terlebih dahulu sambil meraih tangan Indra.

 

"Waalaikumussalam," jawab Indra, mengarahkan wajahnya ke Weni.

 

"Masuk dulu, Mas. Ada ibu di teras," ajak Weni. Keduanya pun melangkah menuju teras rumah dengan Weni menggandeng Indra.

 

"Ini Mas Indra yang tadi Weni bilang, Bu," ucap Weni, mengenalkan Indra pada ibu. Dia membantu mengulurkan tangan Indra untuk bersalaman pada ibu. Raut muka ibu terlihat ketidaksukaan.

 

"Oh ini, matanya buta, Wen," ucap ibu yang hanya sekilas menerima tangan Indra. Weni segera menurunkan tangan Indra kembali.

 

"Iya, Bu. Saya Indra, dan mata saya sudah tidak melihat dari kecil," jawab Indra sopan, menutupi rasa terkejutnya atas penyambutan dari ibunya Weni. Ibu merengut. Beruntung Indra tak bisa melihat raut muka ibu yang mencibir.

 

"Ah, Wen, yang kaya gini kamu jadiin idola? Apalagi kamu jatuh cinta sama dia. Hati-hati," ibu berkata, menatap Indra tak suka. Indra hanya diam dengan muka datar.

 

"Untuk dirinya saja masih bergantung orang lain buat beraktifitas, gimana nanti kalau berkeluarga, punya anak? Yah, pastinya istrinya sangat repot banget tuh. Kasihan yang jadi istrinya," sambung ibu.

 

"Ibu!" sentak Weni tak suka.

 

"Ah, sudahlah, sana buruan jalan. Tapi ingat, sebelum magrib kamu harus sudah pulang. Jangan mau jadi pembantu yang enggak jelas," lanjut ibu yang mengibaskan tangan, lantas masuk. Indra menelan ludah sambil mendesah.

 

"Mas, maafin sikap ibu ya," Weni meraih lengan Indra, menggegamnya. Bola mata Weni berkaca. Dia menatap Indra, menahan tangis.

 

"Santai, Wen," jawab Indra, yang terlihat datar. Weni terus saja menggenggam tangan Indra.

 

"Dah, yuk. Enggak enak sama ibu kamu," ucap Indra, menarik tanganya.

 

"Kamu jadi ikut atau tidak?" tanya Indra. Weni mengusap air matanya.

 

"Iya, jadi. Yuk, kita jalan," jawab Weni, mengambil tas yang tergeletak di atas meja.

 

"Pamit sama ibu dulu sana," Indra menyuruh Weni. Weni tak menjawab. Dia segera masuk, berpamitan pada ibu yang sedang duduk menonton televisi.

 

"Bu, Weni jalan ya," pamit Weni, mendekat, meraih tangan ibu, dan menciumnya.

 

"Iya, hati-hati ya. Apalagi kamu harus menuntun orang buta," jawab ibu, mengusap kepala Weni. Tanpa berkata apapun, Weni melangkah kembali menemui Indra. Dalam hatinya, Weni ingin sekali mengomentari perkataan ibu, namun dia tak ingin berdebat. Dia lebih memilih diam dan pergi bersama Indra.

 

Berulang kali Weni meminta maaf pada Indra di dalam mobil, dan Indra pun hanya membalas senyuman.

 

"Sudahlah, Wen. Enggak usah dibahas. Kita nikmati aja hari ini. Apa kamu masih mau belajar jadi relawan tidak?" ucap Indra, yang berusaha menengahi situasi hati Weni.

 

"Iya, Mas. Aku masih mau jadi relawan," ucap Weni, menatap lurus ke depan.

 

"Yaudah," singkat Indra, merespon.

 

Sisa perjalanan senyap. Keduanya diam dalam pikiran masing-masing hingga mereka tiba di sebuah pusat perbelanjaan di Jalan Buncit Raya, Jakarta Selatan.

 

Sampai di gedung bioskop, Indra langsung disambut oleh seseorang yang sangat santun, menegurnya.

 

"Assalamualaikum, Mas Indra," kata seorang wanita berkerudung biru tua. Indra tersenyum.

 

"Waalaikumussalam, Ulfa. Apa kabar?" jawab Indra, mulai berbasa-basi.

 

"Alhamdulillah baik, Mas. Wah, sudah bawa pendamping ya, Mas?" tanya Ulfa, menatap Weni. Weni tersenyum.

 

"Oh iya, ini Weni. Dia mau belajar jadi relawan, makanya saya ajak dia biar dia jadi pembisik saya saja," jelas Indra. Weni dan Ulfa saling bersalaman, mengenalkan diri.

 

"Kemarin saya sudah ketemu Anita, dan dia juga sudah sedikit memberi gambaran untuk jadi pembisik. Makanya hari ini Weni terjun langsung," lanjut Indra.

 

"Oh, kalau gitu ke registrasi aja, Mba, untuk mendata peserta. Tapi tadi saya lihat nama Mas Indra sudah ada, dan ada di urutan ke tiga," ucap Ulfa, menjelaskan serta menunjukan tempat registrasi. Weni segera mengajak Indra ke tempat itu sambil menggandeng lengan Indra.

 

"Wah, Mas Indra bawa pasangan baru nih," goda seorang pria yang berada di tempat registrasi.

 

"Eh, ini siapa ya?" tanya Indra, tertawa kecil.

 

"Saya Bayu, Mas. Yang suka jadi pembisik juga," jawab pria yang bernama Bayu.

 

"Oo," Indra mengangguk.

 

Setelah dari tempat registrasi, Weni menuntun Indra menuju ke teater tiga, karena pintu teater memang telah terbuka. Di dalam, telah duduk beberapa pasangan antara tuna netra dan pembisiknya.

 

Sedikit grogi, namun Weni berhasil menjadi pembisik untuk Indra hari ini hingga film yang mereka tonton selesai.

 

"Kita makan yuk, Wen," ajak Indra ketika mereka telah selesai menonton dan berjalan keluar dari gedung bioskop.

 

"Ayo," singkat Weni menjawab. Weni tetap menggandeng lengan Indra menuju ke sebuah resto.

 

"Tadi Anita nggak datang ya, Mas?" tanya Weni sambil berjalan.

 

"Iya, katanya ibunya semalam masuk rumah sakit, makanya dia lagi nemenin ibunya," jawab Indra.

 

"Oh, sakit apa ibunya, Mas?" tanya Weni lagi. Sekarang mereka akan menurun eskalator. Weni mendampingi Indra sangat hati-hati, namun Indra tampak biasa, seakan dia telah sering melakukan hal ini.

 

"Wah, Mas Indra sudah terbiasa ya mengunakan eskalator," ucap Weni ketika keduanya berdiri di anak tangga eskalator.

 

"Biasalah," jawab Indra ringan.

 

"Eh, iya sakit apa ibunya Anita, Mas?" Weni kembali bertanya, sebab Indra belum menjawabnya.

 

"Ibunya itu punya diabetes. Ya, mungkin lagi kumat kali," jawab Indra.

 

Selagi eskalator membawa keduanya turun, mata Weni melihat Di-ka yang sedang berada di sebuah toko perhiasan. Dia tampak sedang memilih perhiasan.

 

"Di-ka," gumamnya pelan, namun Indra mendengarnya.

 

"Siapa, Wen? Eh, itu teman kamu yang kemarin dicuekin kamu ya gara-gara aku?" ucap Indra, yang membuat Weni menoleh menatap tak suka.

 

"Ih, enggak lagi, Mas," singkat dia menjawab.

 

Kini mereka telah turun dari eskalator dan melangkah lagi.

 

"Mas Di-ka," seru Indra, yang berharap Di-ka mendengar. Weni tersentak kaget. Di-ka menoleh, mencari sumber suara. Ketika dia melihat Weni bersama Indra, segera dihampirinya.

 

"Eh, Wen, kamu ke sini juga?" tanya Di-ka yang telah berdiri berhadapan.

 

"Iya, abis nonton, Mas," Indra yang menjawab. Mata Di-ka melotot menatap Indra. Weni menutup mulutnya, menahan tawa melihat raut muka Di-ka.

 

"Eh, maksudnya kami tadi abis nonton film bisik, dan saya mau ajarkan Weni untuk jadi relawan pembisik untuk tunanetra," jelas Indra.

 

"Oh, gitu," jawab Di-ka, mencoba mengerti.

 

"Oh iya, Mas. Gimana sekarang kita makan bareng yuk?" ajak Indra pada Di-ka yang sedang menatap Weni. Mata jahil Di-ka mengoda Weni, dan dijawab Weni dengan mencibir.

 

"Wah, tawaran enak tuh. Tapi sebelumnya, saya yang mau ganggu kalian boleh?" jawab Di-ka. Indra menolehkan wajahnya ke arah Weni. Weni menatap Di-ka bertanya.

 

"Iya, Mas. Mas mau kan nemenin saya milih perhiasan buat calon istri saya? Eh, maksudnya saya pinjam Weni sebentar, tapi Mas ikut juga," jelas Di-ka, menerangkan.

 

"Boleh, boleh," cepat Indra menjawab.

 

"Gimana, Wen?" tanya Di-ka, menatap Weni dengan memamerkan senyumnya. Weni mendesah.

 

"Ya udah, ayo," jawab Weni, hingga ketiganya melangkah ke toko perhiasan.

 

"Wah, beruntung banget ya calon Mas Di-ka, sudah dipersiapkan perhiasaanya," ucap Indra ketika mereka sudah berada di dalam toko. Indra duduk, sedangkan Weni yang berdiri di sampingnya sibuk menyapu semua perhiasan di dalam etalase.

 

"Iya, Mas. Rencananya saya mau melamar dia. Itupun kalau dia mau," jawab Di-ka sekenanya, membuat Indra menolehkan wajahnya.

 

"Hahahahahhaha, kan siapa tahu dia sudah punya calon sendiri gitu," lanjut Di-ka.

 

"Dah, Wen, kamu mau pilih gelang yang mana?" sambung Di-ka, namun kini dia menatap Weni yang masih sibuk mencari barangnya.

 

"Kan gue dah bilang, gue mau beli gelang, dan model serta ukuranya terserah loe aja. Dananya udah gue siapain, makanya buruan loe pilih, jangan kelamaan," ucap Di-ka.

 

"Lah, entar kalau salah gimana? Atau calon loe enggak suka?" jawab Weni, menoleh ke Di-ka. Di-ka tertawa.

 

"Dah, buruan. Katanya kalian mau makan," pinta Di-ka, menyuruh Weni segera memilih sebuah gelang emas.

 

Setelah memilih beberapa model, maka Weni akhirnya memutuskan sebuah gelang yang menurutnya bagus.

 

"Dah, yang ini kan yang loe mau? Dan pastikan lagi biar puas," ucap Di-ka pada Weni.

 

"Maksud loe?" tanya Weni, tak mengerti.

 

"Iya, maksud gue, loe pilih yang inikan?" Di-ka memegang gelang itu dan memamerkan pada Weni. Weni mengangguk.

 

"Ya udah, Mba, yang ini aja," Di-ka menyerahkan gelang itu pada penjaga toko dan bertransaksi.

 

"Mas Indra nggak sekalian milih buat pacarnya?" tanya Di-ka pada Indra yang asyik bermain dengan ponselnya, menunggu Weni dan Di-ka bertransaksi.

 

"Ah, enggak, Mas. Saya belum punya pacar. Lagi pula, saya takut, Mas," kata Indra, mengangkat wajahnya, menatap ke depan. Di-ka mengernyitkan dahi.

 

"Takut, maksudnya?"

 

"Iya, kalau anaknya mau nerima saya yang buta gini. Tapi kalau keluarganya nolak, itu yang saya enggak mau, Mas. Karena saya ingin kehadiran saya benar-benar diterima dengan tangan terbuka oleh seluruh keluarga," jelas Indra, yang memasukan ponselnya. Weni tertegun mendengar ucapan Indra. Hatinya teriris. Dia merasa Indra menyindirnya, namun Weni hanya bisa menelan rasanya.

 

Setelah transaksi selesai, mereka keluar dari toko.

 

"Mas, kalian makan berdua saja. Saya mau ada urusan lain," kata Di-ka, yang menghentikan langkah. Indra menahan langkah, menoleh ke Di-ka.

 

"Lo kok gitu, Mas?" tanya Indra. Di-ka tertawa.

 

"Iya, santai aja, Mas. Dah, kalian lanjutkan kebersamaannya," ucap Di-ka, melirik jahil ke Weni.

 

"Apaan sih lo, Dik," ucap Weni.

 

"Ya udah, saya duluan ya, Mas. Dan terima kasih udah nemenin saya buat beli gelang," Di-ka menepuk bahu Indra.

 

"Terima kasih, Wen," lanjut Di-ka yang sekali lagi menatap Weni, lantas dia segera melangkah meninggalkan Indra dan Weni.

 

"Dah, yuk, kita lanjut, Mas," ajak Weni ketika Di-ka membelok di sebuah toko pakaian.

 

Indra mengangguk, dan mereka pun berjalan menuju sebuah restoran.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar