Cinta lama jadi kenyataan bagian 9

Table of Contents

Weni segera mendekat ke Indra yang berdiri tak terlalu jauh setelah Dika pergi.

 

"Maaf, Mas Indra," ucap Weni yang merasa tak enak pada Indra yang menunggu. Indra tertawa kecil, "Santai, Wen, tapi sepertinya teman kamu itu sudah lama nunggu ya," jawab Indra yang tetap memegang tongkat.

 

"Iya, sih, aku sendiri aja enggak tahu kapan dia datang, tadi pas keluar dari ruangan baru dikasih tahu sama teman," jelas Weni.

 

"Tuh kan bener dugaan aku," timpal Indra. Weni menatap Indra dari raut wajahnya. Dia menangkap sesuatu, namun mencoba menepisnya dengan tertawa kecil.

 

"Dia itu teman SMA aku, Mas, dan baru saja mengalami konflik pernikahan. Bahkan istrinya, eh, mantan istrinya, adalah salah satu korban jatuhnya pesawat yang kemarin di Lautan Sunda," jelas Weni yang berharap Indra tak menilai berlebihan pada Dika. Indra mengangguk, "Ah, ya udah, kita jalan aja, jangan ngobrol di sini," ucap Weni sambil meraih lengan Indra dan mengajaknya meninggalkan apotik.

 

Sampai di halte, Weni mengajak Indra duduk di dalam halte. "Mas Indra dari mana?" tanya Weni membuka obrolan ketika mereka berdua telah duduk berdampingan.

 

"Dari kampus dan sengaja mau ngajak kamu nonton," jawab Indra yang membuat Weni menoleh menatapnya tak percaya.

 

"Nonton?" Weni berdecak tak percaya dengan suara sedikit pelan, namun Indra mendengarnya. "Iya, kita nonton bioskop, ada film Bisik," ucap Indra. Weni semakin tak mengerti. Beruntung Indra tak melihat raut wajah Weni yang memelototinya. Bola mata Weni membulat menatap Indra seakan dia ingin bertanya, "Emang tunanetra bisa melihat gambar di layar apa?" Seakan mengerti pikiran Weni, Indra segera menerangkan, "Kami tunanetra juga bisa nonton bioskop, tapi ada relawan yang akan membisikan kami dengan latar yang ada di layar, seperti tokohnya pakai baju apa dan apa saja yang ada dalam gambar." Weni mengangguk, dia mencoba mengerti dari penjelasan Indra. "Nah, acaranya besok jam satu siang, apa kamu berminat?" tanya Indra. Tanpa berpikir, Weni menjawab "setuju". Dalam hati dia membatin, "Wah, ini kesempatan untuk lebih mendekati Mas Indra sekalian aku belajar dunia tunanetra." Namun sejenak kesadaranya menepis pikiran jeleknya. "Iihhh, Weni apaan sih kamu," gumamnya. Gadis keturunan Jawa ini mendesah menggelengkan kepala.

 

Indra yang mendengar desahan Weni menoleh bertanya, "Kenapa Wen?" Weni tertawa kecil menutupi kelakuannya. "Enggak Mas, trus?" tanya Weni meminta Indra meneruskan penjelasanya.

 

"Siapa tahu kamu bisa tertarik untuk jadi relawan," lanjut Indra. "Wah, boleh juga tuh," seru Weni riang. "Tapi aku mesti belajar dulu sama relawan lainnya," sambung Weni. "Nah, itu tujuannya aku datang nemuin kamu, aku mau janjian sama Anita, seorang relawan yang biasa ikut film Bisik," ucap Indra. "Kita janjian di Citos jam tujuh malam ini, apa kamu juga bisa ikut?" Indra mengarahkan mukanya ke Weni. "Maaf kalau dadakan," tambah Indra. Weni berpikir sejenak. "Oke deh, Mas, aku mau. Dan kebetulan belum ada acara, nanti biar aku kabarin ibu pulangnya telat," jawab Weni. "Ya udah, kalau gitu aku pesan ojol dulu ya," ucap Indra sambil mengambil ponselnya dari dalam tas dan jemarinya bermain di atas layar sentuh untuk memesan ojol.

 

Weni tertegun. Awalnya dia ingin menawarkan bahwa dia saja yang memesan ojol, namun Weni penasaran bagaimana Indra bisa memesan ojol. Ponsel Indra mengucap kata-kata yang tak jelas menurut Weni, namun sepertinya Indra sangat paham dan terbiasa menggunakannya. Mata Weni tak berkedip terus memperhatikan cara Indra menggunakan ponsel, bicaranya hingga Indra menaruh ponselnya di atas pahanya. "Dah, tunggu sebentar sekitar delapan menit, mobilnya B 1677 WHR Suzuki Sigra hitam," ucap Indra menolehkan kepala ke kanan kiri. Weni semakin tertegun tak percaya dengan apa yang Indra lakukan. "Mas Indra keren banget," puji Weni dalam decak kekaguman. "Ah, biasa aja, kan kita harus mandiri," jawab Indra.

 

Tak lama kemudian, Weni melihat mobil dengan ciri yang Indra sebutkan. "Itu kayanya deh, Mas, mobilnya," Weni berdiri memastikan. "Iya benar, Mas, B 1677WHR," lanjut Weni. Lantas dia meraih lengan Indra yang telah berdiri, dan keduanya pun melangkah menuju mobil yang telah berhenti.

 

Di sebuah resto, Indra membuat janji dengan seorang gadis yang biasa menjadi relawan untuk film Bisik. Weni dan Indra telah duduk di dalam resto menunggu seseorang yang belum terlihat keberadaannya. "Dia katanya agak telat dikit, soalnya abis sholat Maghrib perutnya mules, jadi dia ke toilet dulu," Indra berkata sambil memainkan ponselnya. Weni mengangguk. "Kita pesan dulu aja, Wen, kamu mau apa?" tanya Indra yang memanggil pelayan resto.

 

Seorang wanita menghampiri mereka, lantas keduanya pun memesan makanan yang mereka inginkan.

 

"Aku kenal Anita waktu ikut nonton film Bisik, dan sejak itu aku kalau mau nonton bioskop sengaja ngajak dia menemani," Indra mulai bercerita setelah pelayan resto pergi. "Dia mahasiswa UPN, Pondok Labu, kami sudah hampir setahun berkenalan, tapi itu hanya ketika aku ingin nonton dan memintanya menemani," lanjut Indra. Weni mendengarkan, meski dalam hati dia bertanya, "Apa mungkin dia itu pacar Mas Indra, secara gitu loh, Indra itu biar tunanetra tapi ganteng dan mapan."

 

"Ah, apaan sih kamu, Wen," sisi batinnya menyadarkan dari pikiran yang tak jelas. Weni mengusap wajah dengan sebelah tangan. "Sebenarnya aku lagi cari jodoh nih, Wen, tapi apa ada cewe yang mau sama aku," Indra mengutarakan keinginannya sambil memainkan sendok yang telah dia pegang. Weni terkesima dengan perkataan Indra hingga membuatnya salah tingkah. "Ya pasti ada lah, Mas, secara gitu loh, Mas, itu kan sudah mapan dan ganteng pula lagi," Weni tersipu mengungkapkan isi hati yang sebenarnya.

 

"Tapi apa mau menerima aku dengan kebutaan yang aku miliki," timpal Indra. Weni menelan ludahnya. Ingin rasanya dia menjawab, "Aku mau, Mas, jadi istri kamu," namun dia tak berani mengungkapkan.

 

"Allah itu menciptakan manusia berpasangan, jadi pasti ada jodoh untuk Mas Indra," ucap Weni yang berusaha serius sambil membenahi hatinya. "Emang Mas Indra belum ada calonnya?" Weni memberanikan diri bertanya. Indra tertawa kecil. "Kalau dibilang calon sih banyak, hahaha, enggak nyombong sih, tapi belum ada yang aku sendiri ngerasa cocok, takutnya cuma awalnya aja bersedia tapi nanti malah banyak nuntut," jawab Indra.

 

Pembicaraan mereka terputus tak lama datang seorang gadis berkerudung merah muda mendekat dan menegur Indra. "Assalamu'alaikum, Mas Indra, maaf kelamaan nunggunya ya," sapa gadis itu sambil menepuk bahu Indra. Indra menoleh ke arah suara. "Eh, Nita, nyantai, kami juga baru kok," Indra berdiri lantas menyuruh Anita duduk. "Dah, duduk."

 

"Iya Mas, saya di sebelah sini saja," jawab Anita yang melangkah ke samping Weni lalu duduk di sana.

 

Setelahnya, Indra mengenalkan Weni, dan antara Weni dan Anita berbasa-basi sebentar. Seorang pelayan resto mengantarkan pesanan. "Maaf, Nita, kamu belum Mas pesanin makan, dah bilang sama mbanya kamu mau apa," ucap Indra sambil meraba letak piring di hadapannya dan mulai menyendok nasi goreng. "Mas makan duluan ya, Nita," lanjut Indra yang menyuap makannya. "Iya, Mas, santai aja," jawab Anita setelah dia selesai menyebutkan makanan yang dipesannya. "Aku makan duluan juga ya, Nita," ucap Weni. Anita mengangguk. "Silahkan, Mbak."

 

Dalam hati Weni memuji gadis ini. "Cantik juga anak ini, kayanya dia juga sholeha," gumamnya sambil makan dan sesekali melirik ke Anita.

 

Suasana hening sampai tak lama kemudian datang seorang pelayan membawakan pesanan Anita.

 

"Terima kasih ya Mba," kata Anita setelah pesanannya terhidang di hadapannya.

 

"Mas, saya makan ya," Anita menawarkan pada Indra. Indra hanya membalas anggukan sambil mengunyah.

 

"Mba makan," Anita menoleh ke Weni menawarkan dan Weni menjawabnya juga dengan anggukan ditambah senyuman.

 

Selesai makan, Indra membuka obrolan.

 

"Nit, ini Weni, eh kamu panggil dia Mba sih soalnya usianya sudah di atas kamu. Hehehehehe," Weni melirik Anita tersenyum.

 

"Dia mau belajar jadi relawan bisik, kamu bisakan ngejelasinya," lanjut Indra.

 

"Iya Mas," singkat Anita menjawab.

 

"Film bisik itu artinya seorang tunanetra bisa menonton film dengan bantuan relawan yang membisikan tentang siapa PH yang membuat film itu serta siapa pemainnya dalam film itu," Anita menjeda ucapannya. Weni memfokuskan dirinya menyimak penjelasan Anita.

 

"Kalau saya sendiri berusaha menonton filmnya terlebih dahulu sebelum menjadi relawan dengan tujuan ketika kita akan menjadi pembisik maka kita sudah terlebih dahulu menguasai film itu," lanjut Anita.

 

"Sebelum masuk ke teater biasanya penyelenggara sudah menentukan siapa yang akan kita dampingi, lalu kita menemuinya dan membantu ke teater mencari tempat duduk," Anita menjeda kembali ucapannya.

 

"Nah, pastikan setelah duduk film utama belum dimulai dan saya biasanya berinteraksi dengan mereka, eh maksudnya kita berkenalan ngobrol santai barulah setelah film dimulai kita jelaskan," lanjut Anita. Weni ta'zim mendengarkan sementara Indra asyik menghabiskan minumannya.

 

"Awalnya kita kasih tahu siapa PH-nya sama pemainnya lalu kita ceritain latar yang ada di layar atau pemain itu pakai baju apa, atau sering juga tunanetra itu bertanya sama kita ya kita jawab deh," sambung Anita.

 

"Pada prinsipnya kita hanya menjelaskan apa yang tidak bisa mereka lihat saja tapi jangan terlalu mendetil karena dikawatirkan akan mengganggu konsentrasi dia menyimak dialog hingga mereka sendiri tak menikmati film tersebut apalagi sampai tidak tahu jalan ceritanya," Anita tersenyum.

 

"Wah, itu parah Nit," timpal Indra.

 

"Hehehe iya Mas, jangan sampai kejadian," jawab Anita menatap Indra.

 

"Nah gitu sih Mba, kalau saran saya besok Mba ikut aja dulu tapi enggak usah jadi relawan, Mba perhatikan aja belajar secara langsung," saran Anita dan Weni pun mengangguk.

 

"Besok kamu jadi pembisik aku aja Wen," Indra memberikan saran yang membuat Weni tersenyum dan dalam hati dia bersorak "yes."

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar