BAB 7. Kencan Pertama

Table of Contents

Tok. Tok. Tok. Pak Wahyu mengetuk pintu kamar Zahra, “Ra, Ra, Ra,” katanya. “Iya, ya, masuk aja, nggak dikunci,” Zahra berkata dari dalam kamar. Pak Wahyu membuka daun pintu dan berkata, “Ra, Dafa ala tibo.”

 

“Iya, ya, suruh tunggu aja,” jawab Zahra singkat. “Capelah sakatek, ibo awa maliye nyo lalamo manunggu kau,” tambah Pak Wahyu sambil membalikan badan melangkah meninggalkan Zahra. “Iihh, ngapain sih tu orang ke sini dan pake ngajak jalan lagi,” gerutu Zahra yang duduk di meja rias sambil menghadap cermin dengan terus ngedumel tak karuan pada dirinya sendiri.

 

Sejak kedatangan pertama ke rumah Zahra, Dafa mulai melancarkan serangan cintanya. Berawal dari meminta nomor ponsel Zahra dilanjutkan dengan mengirim pesan dan sesekali menelpon Zahra. Siapa yang tak tertarik melihat Zahra, wanita berlesung pipi berparas cantik, lembut suaranya, meski sedikit pendiam, namun keceriaan selalu menjadi aura dirinya. Wanita dengan tinggi badan 165 cm ini selalu memakai busana muslimah hingga menarik kepribadiannya, cantik, pandai, dan terbukti dia sanggup mendampingi ayahnya untuk terus tegar dan bersyukur menjalani setiap kewajibannya sejak sang ibu meninggal.

 

“Assalamualaikum,” kata Zahra saat tiba di ruang tamu dan melihat Dafa yang asyik membaca sebuah buku novel miliknya yang tertinggal di atas meja. Dafa mengangkat wajahnya tersenyum dan menjawab, “Waalaikumsalam.” Zahra duduk di hadapan Dafa, “Maaf ya, kelamaan nunggunya.” “Ah, ngga, santai aja,” jawab Dafa menutup bukunya dan meletakkan di tempat semula. “Kamu suka novel?” tanya Dafa, Zahra tersenyum mengangguk. “Ra, mau ngga kamu jalan seperti chattingan kita kemarin,” Dafa berkata melanjutkan obrolan mereka.

 

“Sudah tanya ayah dan dapat ijin ngga,” jawab Zahra pelan. Dafa mengangguk, “Kata Pak Wahyu terserah kamu,” jelas Dafa. “Emang mau kemana sih?” tanya wanita yang mengenakan baju muslim bernuansa biru langit. “Kamu mau kemana?” Dafa menjawab. “Lah ditanya kok balik nanya,” timpal Zahra yang mulai bisa menguasai situasi hatinya.

 

“Ya dah kalau gitu gimana ke mal, disana kan bisa mampir ke tempat yang kita mau,” jelas Dafa. Zahra tak menjawab namun dia berdiri melangkah masuk ke dalam. Tak berapa lama kemudian Zahra keluar bersama Pak Wahyu. “Yo, jalanlah, elo-elo di jalan, capelah pulang jalan labiah dari jam tujuh, dan jangan lupa shalat,” Pak Wahyu berkata sambil menepuk bahu Zahra. “Insya Allah ya, Ara jalan ya,” pamit Zahra mencium tangan ayahnya. Dafa melakukan hal yang sama, “Jalan dulu ya, Pak,” pamit Dafa dan dibalas Pak Wahyu dengan menepuk bahunya.

 

Setelah berpamitan, pasangan ini pun melangkah dan naik ke mobil. Honda Jazz berwarna putih ini meluncur ke sebuah mal di kawasan Jakarta Selatan. Sepanjang jalan, Zahra hanya terdiam memandang keluar jalan menikmati panorama jalan Jakarta yang lancar, ditambah dia sedang berusaha menata emosinya yang kacau karena bingung mesti bagaimana. Dafa mencairkan suasana dengan memutarkan lagu di radio mobilnya.

 

“Maaf ya, Ra,” kata Dafa sedikit melirik ke arah Zahra. “Maaf. Untuk apa?” jawab Zahra menoleh ke Dafa. “Ya maaf aja, karena kamu mungkin tak menyukai perjodohan ini, bahkan mungkin kamu tak menghendakinya,” Dafa berkata santai sambil fokus menyetir. Zahra tersenyum, “Ngga ada yang perlu dimaafkan,” Zahra menjawab, dan kembali menikmati gedung pencakar langit yang berbaris di pinggir Jalan Rasuna Said. Dafa mengangguk-angguk kecil tersenyum dan sesekali bersenandung mengikuti alunan lagu di radio mobilnya. Kecanggungan Zahra terkikis sedikit demi sedikit, dia mulai memberanikan diri mencuri pandangan ke arah Dafa, “Kamu suka nyanyi?” tanya Zahra. “Ah, ngga terlalu, kalau lagi iseng aja mutar musik,” jawab Dafa. “Kalau kamu sendiri gimana?” tambahnya. “Aku lebih senang baca, terutama novel,” jawab Zahra. Akhirnya mobil Honda Jazz ini telah tiba di mal Kota Kasablanka, dan Dafa mengarahkan mobilnya menuju ke parkiran setelah memarkirkan mobil. Pasangan ini pun melangkah memasuki gedung mal dan berjalan mengelilingi pusat perbelanjaan ini.

 

“Saya mau ke toko buku dulu,” Zahra berkata ketika melihat sebuah toko buku saat mereka berjalan. “Ide bagus,” Dafa menjawab tersenyum hingga keduanya pun melangkah masuk. Langkah Zahra mendekati rak novel dan asyik menikmati setiap novel yang ada di hadapannya. Dafa ikut terlarut menelusuri barisan buku, membaca satu persatu buku di hadapannya. “Siapa penulis favoritmu?” tanya Dafa menatap Zahra yang terus asyik menikmati buku-buku di hadapannya.

 

“Em, siapa ya? ... Banyak sih,” Zahra menjawab seolah dia sedang berpikir. “Tereli, Dewi Lestari, Hanum Salsabila, Ahmad Fuadi, Felix Siauw, Anto Hilman, Mira W, Agatha Kristy, Merry Yulianda, Susana Febrianti, Rama Adithia. Emh ... siapa lagi ya,” Zahra berpikir sejenak. “Banyak sih yang lainnya. Pokoknya saya senang novel fiksi, terlebih lagi buku baru, penulis baru,” tambahnya.

 

“Dafa mengangguk-angguk. ‘Kenapa emang?’ tanyanya. ‘Penasaran aja sama gaya tulisannya serta alur cerita,’ timpal Zahra. Zahra mengambil dua buku novel, ‘Aku sudah selesai” Ujarnya. “Kamu mau beli apa?” sambung Zahra. Dafa menggeleng. Zahra tersenyum dan melangkah menuju kasir, Dafa mengikutinya. Di kasir, Dafa ingin membayar buku tersebut, namun Zahra menolak dan terlebih dulu memberikan kartu ATM-nya pada petugas kasir.

 

“Kenapa kamu menolak aku bayarin?” tanya Dafa. “Ngga papa. Nggak enak aja, masa baru pertama jalan dah dibayarin, kan aku yang mau beli buku, bukan minta dibeliin,” jelas Zahra tersenyum, Dafa membalas senyum itu. Selesai dari toko buku, Zahra mengajak Dafa makan, “Kita ngobrol aja yuk sambil makan. Kebetulan saya lagi ingin makan bakmi Gajah Mada nih,” sambung Zahra.

 

“Wah, sama dong, dah lama saya juga ngga makan bakmi GM,” jawab Dafa yang terus berjalan di samping Zahra.

 

Bersambung……. 

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar