BAB 10. Serangan Cinta Galih
Hari-hari Zahra berawan keraguan, apakah dia akan menerima
perjodohan ini. Cerita Dafa berhasil menghancurkan gunung es hatinya hingga
lumer dalam rasa iba pada Dafa. Dafa menikmati duka nya sendiri, Zahra ingin
sekali menjadi bagian lara yang Dafa rasakan. Kebimbangan hatinya membelenggu,
apakah perjodohan ini akan berlabuh dalam ikatan suci pernikahan.
Setiba di sekolah, Galih menemuinya. "Assalamualaikum,
Ra, nanti sepulang sekolah ada yang mau aku omongin, kamu ada waktu kan?"
Galih berkata setelah berhadapan dengan Zahra, dengan senjata senyum serta
candanya yang menjadi kebiasaannya.
"Soal apa, Pak?" jawab Zahra singkat.
"Iiihh... ngga usah formal gitu," timpal Galih
dengan aji melempar senyumnya yang menggoda. "Urusan kita," dia
menjawab sambil menikmati wajah Zahra. Menyadari kelakuan Galih, Zahra
merengut, melangkah meninggalkan Galih yang tertawa kecil.
"Ada apa, Pak, katanya ada yang mau diomongin?"
Zahra langsung mencecar Galih saat mereka telah duduk berhadapan di sebuah
warung mie ayam.
"Kan dah dikasih tahu, panggil aja Galih, ngga usah
formal gitu," Galih menjawab tegas bercampur canda yang menjadi ciri
khasnya.
"Pesan makan dulu ah, kamu mau makan apa?" lanjut
laki-laki berpakaian sport.
"Mie ayam bakso sama es teh manis," jelas Zahra yang
masih penasaran apa mau teman mengajarnya.
Dua mangkok ludes bersih di hadapan pasangan ini, selama
makan Zahra terdiam, hanya Galih yang sesekali melempar lelucon kecil yang
membuat Zahra sedikit bisa membuang rasa penasarannya.
"Ra, jujur sejak aku melihatmu di parkiran aku jatuh
hati," Galih memulai obrolan. Dia berkata serius tanpa melepas tatapan
matanya ke wajah Zahra.
"Maksudnya...." Zahra terkejut tak kala Galih
melancarkan serangan cinta nya dengan meraih tangan Zahra dan menggegam dalam
aura romantis. Zahra tertunduk, mencoba melepas genggaman tangan Galih, namun
bukan terlepas, justru Galih lebih mempererat genggamannya.
"Kamu mau terima aku?" lekat-kejat Galih menatap
wanita pujaannya penuh harap. Zahra tak menjawab, hanya menggeleng, menarik
nafas sambil memejamkan mata. Sedetik, dua detik, tiga detik, satu menit, Zahra
membiarkan pijaran hangat dari tangan Galih yang menerbangkan dia dalam alam
yang dia sendiri tak mengenalinya.
"Aku ngga berani menjawab," jawab Zahra perlahan.
"Maaf, Lih, aku sudah dijodohkan ayah dengan teman sekolahnya,"
tambah Zahra membuang tatapannya. "Kamu ingat Dafa, yang kemarin aku
kenalkan sewaktu kita bertemu di Kokas?" tambahnya. "Dia calon
suamiku, namun sebenarnya Dafa sendiri tidak menghendaki perjodohan ini karena
dia adalah pesakitan, maksudnya dia menderita kanker darah dan usianya sudah
diprediksi dokter," jelas Zahra yang berusaha menahan air matanya.
"Dafa tak memaksa aku untuk menerima, bila aku tak suka,
dia membebaskan aku membatalkan perjodohan ini," susah payah Zahra
berusaha mengeluarkan isi hatinya. "Aku bingung, Lih... aku tak mau
pacaran, aku mau ta'aruf. Dan aku ingin melihat ayah bahagia," sambungnya.
"Setelah mengenal Dafa, entah mengapa ada rasa di hatiku, meski awalnya
aku menolak perjodohan ini, namun entah mengapa aku merasa kasihan dengan Dafa
dan ingin sekali aku mendampinginya karena dia menutupi masalah kesehatan
dirinya pada kedua orang tuanya." Zahra menarik nafas panjang, tertunduk
diam.
Galih tak berhenti menatap wanita di hadapannya, kini
keseriusan tampak dari wajah Galih.
"Maaf, Galih... mungkin lebih baik kita berteman, akan
jauh lebih aman untuk kita," Zahra berkata, dengan memberanikan diri
menatap wajah Galih, dan ini pertama kalinya Zahra mengetahui bahwa ada
kemiripan wajah dengan dia.
Galih menepuk bahu
tangan Zahra, "Ya udah, ngga masalah, semoga kamu bahagia dengan
keputusanmu," Galih menebar ciri khasnya. "Yuk kita pulang,"
ajak Galih yang langsung berdiri, melangkah untuk membayar, dan kemudian
keluar. Zahra mengikutinya hingga mereka menerabas jalan raya dengan sepeda
motor masing-masing.
Bersambung……..
Posting Komentar