Si kucing ajaib

Table of Contents

Zizi meringkuk di pinggir trotoar, memegangi lutut kirinya yang terasa sakit. "Aduh, lututku sakit," rintihnya. Tadi, saat berjalan melewati reruntuhan bangunan, kakinya tersandung, membuat gadis kecil berusia 10 tahun itu terjatuh.  Luka ringan menghiasi lututnya, memaksanya untuk duduk. Sore ini, Zizi ingin mengantar jahitan baju ke rumah Nek Yayoh.

 

Saat merintih kesakitan, Zizi mendengar suara rintihan lain. Matanya menyapu sekeliling, tetapi tak menemukan siapa pun. Ia berdiri dan mencoba mencari sumber suara. Rintihan itu semakin keras, tetapi tak ada orang di sekitarnya. "Siapa sih yang merintih?" gerutunya.

 

Langkahnya terhenti saat matanya tertuju pada seekor kucing yang terjepit ranting kayu. "Ya ampun, ini dia sumbernya," katanya. Tanpa pikir panjang, Zizi duduk dan berusaha membebaskan kucing itu.  Seutas tali juga melilit kaki kucing tersebut. Dengan cekatan dan penuh kasih sayang, Zizi melepaskan kucing belang putih hitam itu dari jeratan ranting. Kucing itu menatap Zizi dengan penuh syukur. Entah apa yang dirasakannya, Zizi langsung menggendong kucing itu. Seakan ingin mengucapkan terima kasih, kucing itu pun meringkuk di pelukan Zizi.

 

Sambil menggendong dan mengusap kucing itu, hati Zizi bertanya-tanya. "Kayaknya tadi yang kudengar suara manusia, tapi kenapa kucing ini yang terluka?" gumamnya.  Zizi terperanjat saat sang kucing dapat berbicara. "Ya benar, Zizi, tadi yang kau dengar suara manusia, bukan ngeongan kucing."

 

"Si-si-siapa kamu?" tanya Zizi dengan ketakutan.

 

"Tenang, Zizi, terima kasih kau telah menolong aku," kata kucing itu. Sang kucing duduk di samping Zizi yang masih berdiri. "Duduklah, Zi, santai saja jangan takut," pinta kucing itu.

 

Bola mata bulat kucing itu indah sekali, dan Zizi pun duduk kembali. "Tenang, Zi, hanya kamu yang bisa mendengar aku bicara. Jika ada orang lain, maka orang itu hanya mendengar kucing yang mengeong saja." Kucing itu mengibas-ngibaskan ekornya yang panjang. "Dan sebagai ucapan terima kasih, aku akan mengikuti ke mana kamu pergi selama tiga hari serta akan mengabulkan tiga permintaanmu," tambah kucing itu. Zizi yang sedikit sudah bisa menguasai dirinya dari kebingungan tersenyum.

 

"Ini beneran?" ucap Zizi menatap tak percaya ke kucing di hadapannya yang duduk manis juga menatap ke Zizi.

 

"Iya, Zi," jawab kucing itu singkat. "Setelah kamu menyebutkan permintaan terakhir, maka aku akan pergi."

 

Dengan lembut, kucing itu mencium luka kaki Zizi dan seketika itu juga luka tersebut menghilang. Zizi tak percaya dengan apa yang terjadi. Dia mengusap lututnya dan berdiri melangkah, ternyata kakinya sudah tak sakit lagi.

 

Zizi jongkok dan berkata, "Terima kasih, teman. Oh, ya, siapa nama kamu?"

 

"Panggil aku Ali," jawabnya sambil menjilati kaki Zizi.

 

Sesaat mereka bergurau hingga akhirnya suara azan menyadarkan Zizi pada tugasnya mengantar jahitan ke Nek Yayoh.

 

"Ali, aku harus mengantar jahitan ke Nek Yayoh. Ayo cepat kita ke sana. Takut Nek Yayoh kelamaan nunggu," ajak Zizi pada Ali.

 

"Pegang ekorku, Zi," perintah Ali.

 

Meski bingung apa maksudnya, Zizi tetap mengikuti apa yang Ali suruh. Zizi lembut menggenggam ekor Ali, dan tubuh keduanya menghilang. Sedetik dua detik kemudian, tubuh mereka muncul kembali tetapi kini sudah berada di halaman rumah Nek Yayoh. Zizi terkesima dengan apa yang dialaminya. Kepalanya menoleh ke kanan kiri, pandangannya menyapu sekitar memastikan bahwa dia benar-benar berada di halaman depan rumah Nek Yayoh.

 

"Zi, aku tunggu di sini aja," ucap Ali menyadarkan ketidakpercayaan Zizi.

 

"Silakan kamu masuk dan selesaikan urusan dengan Nek Yayoh," tambah Ali yang berjalan mengitari Zizi yang perlahan sudah bisa menguasai situasi.

 

Zizi mengangguk dan melangkah ke depan pintu rumah Nek Yayoh. Zizi mengetuk pintu bersalam.

 

“Assalamu'alaikum, Nek, Nek, Nek,” ucap Zizi berdiri menunggu.

 

Tak lama seorang wanita paruh baya keluar. “Wa'alaikumussalam. Oh, Zizi, masuk, Nak,” ucap wanita itu menyuruh Zizi masuk dan mempersilakan duduk.

 

“Nek, ini jahitannya. Kata Ibu, dicoba dulu biar kalau ada yang kurang pas, aku bawa pulang lagi.”

 

“Baiklah kalau begitu kamu tunggu sebentar, ya, Nenek mau coba dulu bajunya,” ucap wanita itu menerima kantung dari tangan Zizi dan segera bangkit melangkah masuk ke kamar. Tak berapa lama, Nenek keluar sambil menggunakan baju barunya.

 

“Ini lihat, pas sekali. Nggak ada yang salah,” katanya sambil bergaya laksana model.

 

“Ibumu memang pandai sekali menjahit, hasilnya tak pernah mengecewakan,” sambungnya sambil duduk kembali.

 

Setelah selesai urusan dengan Nek Yayoh, Zizi pamit pulang. Langkah Zizi besar-besar, tak sabar ingin mencari Ali. Selagi matanya berkeliling menyapu sekitar sambil melangkah, tiba-tiba dia dikagetkan oleh kehadiran Ali yang sudah ada di tengah-tengah kakinya. Ali tertawa sambil menggeliat di antara kaki Zizi.

 

“Ali, bikin kaget saja,” kata Zizi sambil jongkok mengusap Ali.

 

“Sekarang kita pulang yuk, aku belum sholat,” ajak Zizi.

 

“Lanjut, pegang ekorku, Zi,” jawab Ali dan segera Zizi menggenggam ekor Ali.

 

Tubuh mereka menghilang dan kini telah berada di halaman rumah Zizi. Gadis cilik ini tertawa lepas bahagia dengan apa yang dialaminya.

 

“Keren, keren banget nih, Li.” Dia berlenggak-lenggok mengitari tempat di sekitarnya.

 

“Iya, Zi, itu tanda terima kasihku untukmu,” sahut Ali yang diam duduk melihat Zizi yang asyik mondar-mandir.

 

“Hebat kamu, Li,” ucapnya sambil mengacungkan ibu jarinya.

 

Ali menjawab dengan mengeong. Zizi yang tersadar belum mengerjakan salat lantas mengajak Ali masuk ke dalam rumah. Sebelum masuk, Ali mengajak Zizi ke tepi untuk mengatakan sesuatu.

 

“Zi, permintaan pertama harus kamu ucapkan sebelum pergantian hari,” jelas Ali pada Zizi, dan penjelasan lainnya bahwa kebersamaan mereka hanya tiga hari. Zizi berdiri diam, air mukanya menggambarkan kekecewaan.

 

“Mengapa hanya tiga hari?” tanyanya perlahan.

 

“Ya, memang itu kesepakatannya,” jawab Ali yang berjalan mengelilingi kaki Zizi.

 

“Sekarang baru jam lima sore, masih lama. Biar nanti aku pikir-pikir dulu ya,” ujar Zizi menjawab sambil jongkok mengusap Ali.

 

Ali memberi jawaban dengan menciumi Zizi. Jam sepuluh malam, Zizi mendekati Ali yang tidur di halaman belakang rumah Zizi.

 

“Ali, aku mau mengajukan permintaan pertamaku,” kata Zizi.

 

Ali segera terbangun dan menjawab, “Ya, katakan saja putri cantik.”

 

“Aku ingin membelikan Ibu mesin jahit yang baru dengan kecanggihan teknologi terbaru,” jelas Zizi. “Maksudnya, jangan mesin jahit seperti punya Ibu sekarang, kalau bisa yang jauh lebih bagus lagi.”

 

“Baik, Zizi, besok ada seorang laki-laki yang akan mengantarkan mesin jahit seperti yang kamu mau,” jawab Ali dengan kebiasaannya menciumi kaki Zizi. “Sekarang sudah malam. Kamu harus tidur, putri cantik.”

 

Zizi tak menjawab, dia hanya memberi senyuman sambil menggendong dan mengusap-usap Ali beberapa saat, lantas dia kembali ke kamar tidurnya. Pagi hari sebelum berangkat sekolah, di depan rumah ada sebuah mobil berhenti dan turunlah dua orang laki-laki menggotong kardus. Ibu menyambut dan betapa terkejutnya Ibu saat dijelaskan bahwa ia mendapat hadiah sebuah mesin jahit tercanggih zaman ini. Setelah memberikan mesin jahit dan mengajarkan pada Ibu bagaimana menggunakan mesin jahit ini, kedua orang tersebut pergi. Tinggallah Ibu bersama Zizi.

 

“Kok bisa, ya, Ibu mendapat hadiah dan siapa orang baik itu?”

 

Ibu bertanya-tanya masih tak percaya. Zizi sebenarnya juga kaget tak percaya, tetapi dia tahu inilah permintaan pertamanya yang telah dikabulkan. Sebelum berangkat sekolah, Zizi menemui Ali yang sedang asyik terbaring di teras belakang rumah.

 

“Li, terima kasih, ya,” ucap Zizi yang telah duduk berjongkok di samping Ali.

 

“Mesin jahitnya sudah datang dan canggih banget,” tambahnya sambil mengambil Ali dan menggendongnya. Ali tak menjawab, ekornya berkibas-kibas sambil menciumi tangan Zizi.

 

“Sekarang aku mau sekolah dulu, ya,” kata Zizi sambil menurunkan Ali dan berdiri tersenyum.

 

“Oke, Putri Cantik,” balas Ali juga tersenyum dan mengibaskan ekornya. Sepulang sekolah, Zizi seperti biasa merapikan dirinya, salat, dan makan siang. Namun sebelum makan, Zizi mencari Ali ke belakang rumah, tetapi Ali takada.

 

“Ali, di mana kamu?” gumamnya kebingungan.

 

Mata bulat gadis berkulit sawo matang ini menyelidik sekeliling. Langkahnya menelusuri setiap jengkal halaman belakang rumah, tetapi tetap saja Ali tak terlihat. Sedikit panik, Zizi berjalan agak cepat masuk ke dalam rumah dan langsung menuju ruangan jahit Ibu.

 

“Bu, Bu, lihat Ali nggak?” Zizi bertanya pada Ibu yang sedang membuat pola jahitan.

 

“Ali?” Ibu balik bertanya, tetapi tak melepas tangan terampilnya membuat pola.

 

“Eh, maksud Zizi kucing yang ada di belakang,” ucap Zizi malu-malu.

 

“Zizi namakan dia Ali, Bu,” ucap Zizi berusaha memberi penjelasan pada Ibu.

 

“Ooo ... Ibu nggak lihat,” jawabnya sambil menatap lembut Zizi.

 

Zizi tak membuang waktu, dia langsung mencari lagi keberadaan Ali di sekeliling rumah. Mulai dari halaman depan hingga seluruh bagian rumah telah dia selidiki, tetapi Ali belum juga ditemui. Kini keputusasaan Zizi benar-benar dia rasakan.

 

“Ali, di mana kamu,” gumamnya sendiri.

 

Zizi duduk di teras belakang, lunglai. Dia menyandarkan punggungnya di dinding tembok, sedangkan kakinya diselonjorkan dan matanya menatap ke arah tempat di mana semalam Ali tidur. Zizi menarik napas panjang, menggaruk kepalanya yang tak gatal.

 

“Ali, Ali, Ali,” gerutunya sendiri.

 

Tiba-tiba Zizi dikejutkan suara mengeong kucing, sontak Zizi menoleh ke samping dan ternyata Ali telah berada di sebelah kanannya.

 

“Maaf, Zi, aku sudah buat kamu panik ya,” ucap Ali yang langsung duduk di pangkuan Zizi.

 

Zizi mengusap lembut Ali. “Iya, nih, bandel bikin aku cemas aja.”

 

Zizi memegang telinga Ali seolah sedang menjewer telinga kucing itu sambil tertawa dan Ali pun ikut serta. Mereka pun asyik bermain. Setelah makan siang dan mengerjakan tugas rumah dari sekolah, seperti biasa Zizi mendapat tugas mengantar jahitan Ibu dan kali ini Zizi tak sendiri karena Ali ikut bersamanya.

 

“Zi, pegang ekorku,” perintah Ali setelah mereka berada di tempat sepi. Zizi pun mematuhinya.

 

“Kita mau ke rumah Bu Endah, ya, Li,” ujar Zizi menjelaskan tujuannya sebelum Ali melancarkan aksi menghilangnya. Sedetik kemudian keduanya menghilang dan tak lama keduanya muncul kembali dan telah berada di halaman rumah Bu Endah.

 

“Terima kasih, Ali,” ucap Zizi mengusap Ali lembut dengan senyum manisnya.

 

“Sama-sama, Putri Cantik.” Ali mengibaskan ekornya. “Aku tunggu sini aja, ya,” tambah Ali yang langsung dibalas anggukan oleh Zizi.

 

Wanita itu melangkah mendekati pintu rumah Bu Endah. Sampai di depan pintu yang sedikit terbuka, Zizi pun mengucapkan salam.

 

“Assalamu'alaikum,” ucapnya lantang.

 

“Wa'alaikumussalam,” sahut seorang wanita yang keluar dari dalam rumah. “Eh Zizi, masuk sini.”

 

“Terima kasih, Bu, aku mau antar jahitan.” Zizi menjawab sambil menyerahkan kantung yang dibawanya dari rumah.

 

“Oh ya, tapi ditinggal aja, ya, Zi. Soalnya suami saya belum pulang jadi nggak bisa dicobain celananya,” jelas Bu Endah.

 

“Iya Bu, nggak apa-apa. Tadi Ibu juga pesan begitu, eh maksudnya jahitannya suruh ditinggal aja,” jawab Zizi, dan Bu Endah tersenyum.

 

Zizi pun segera pamit dan berjalan keluar mencari Ali. Seperti biasa pria itu kembali mengejutkan Zizi dengan kehadirannya yang tiba-tiba

“Hai, Cantik!” Ali berkata sambil memainkan ekornya yang telah berada di sisi kanan Zizi.

 

“Kebiasaan,” timpal Zizi tertawa.

 

“Dah, pegang ekorku, Zi,” pinta Ali.

 

Dengan tangan kanannya, Zizi segera memegang ekor Ali. CLING. Keduanya menghilang dan sejurus kemudian mereka muncul kembali di teras rumah Zizi. Tugas hari ini selesai, dan Zizi kembali bermain asyik dengan Ali di halaman belakang rumah. Selepas salat Isya, Zizi menemui Ali yang berada di teras halaman belakang rumah. Zizi sengaja mengajak Ali di halaman belakang karena takut Ibu curiga bila mendengar Zizi berbicara sendiri.

 

“Zi, apa permintaan keduamu?” tanya Ali di tengah-tengah keasyikan mereka bermain.

 

“Aku bingung, Li,” jawab Zizi sambil memainkan seutas tali yang di ujungnya telah terikat sebuah bola.

 

“Mau minta apa, ya?” tambah Zizi dengan bola mata bulatnya berputar seakan dia sedang berpikir. “Sebenarnya aku ingin sekali sepeda, kan, lumayan hemat tenaga biar nggak jalan kaki lagi ke sekolah atau ngaji, apalagi kalau disuruh Ibu mengantar jahitan.”

 

Lantas kini gadis manis ini mengusap-usap Ali lembut penuh kasih sayang. Ali mengibas-ngibaskan ekornya sambil menciumi kaki Zizi.

 

“Baiklah, besok ada seseorang datang membawakan sepeda untukmu,” jawab Ali masih terus mengibaskan ekornya sambil menciumi Zizi tak hentinya.

 

Selagi Zizi berpamitan ingin berangkat sekolah, berhentilah sebuah mobil dan turun seseorang membawa sebuah sepeda. Setelah mengucap salam dan menjelaskan maksud kedatangannya, laki-laki itu menyerahkan sepeda itu pada Ibu. Terheran-heran Ibu memandangi sepeda di hadapannya.

 

“Kok bisa, ya, dua hari ini kita mendapat kejutan,” kata Ibu masih tak percaya apa yang dialaminya.

 

Zizi tersenyum bahagia mendapatkan sepeda impiannya. “Alhamdulillah Bu, ini rezeki nggak usah ditolak.”

 

“Bu, aku boleh nggak ke sekolah naik sepeda ini?” pinta Zizi masih terus mondar-mandir di halaman mencoba sepedanya.

 

“Boleh saja asal kamu harus berhati-hati,” jawab Ibu.

 

Zizi turun dari sepeda dan berjalan ke halaman belakang menemui Ali. Dari kejauhan Zizi melihat Ali duduk asyik tersenyum. “Terima kasih, ya, Li, sepedanya keren banget.”

 

“Sama-sama, cantik. Kamu suka, ‘kan?”

 

Zizi mengangguk tersenyum mengelus Ali. Sesaat kemudian, Zizi berpamitan ingin sekolah. Gadis yatim ini berdiri melangkah meninggalkan Ali dalam suasana hati penuh bahagia. Zizi bahagia sekali karena hari ini dia bisa ke sekolah dengan naik sepeda barunya, bahkan ketika pergi ngaji Zizi menggunakan sepeda barunya. Saat mengantar jahitan, Zizi tetap ditemani Ali.

 

“Ali, terima kasih ya, hadiahnya sepedanya,” ucap Zizi saat keduanya asyik bermain sebelum mengantar jahitan.

 

“Ya, Zizi, dan ingat, hari ini nanti malam kamu harus mengutarakan permintaan terakhirmu,” jawab Ali yang menciumi kaki Zizi. Zizi tersenyum, meski dengan raut muka kekecewaan.

 

“Ada apa, Zizi? Mengapa sepertinya kamu tak suka?” tanya Ali melihat perubahan raut muka Zizi.

 

“Ngga apa-apa,” jawab Zizi sambil meraih Ali dan menggendongnya serta mengusap-usap Ali.

 

“Ya sudah, sekarang kita harus mengantar jahitan dulu.”

 

Zizi pun menurunkan Ali dari gendongannya. Ali mengangguk tersenyum mengibaskan ekornya. Berkat bantuan Ali yang bisa menghilang dan dengan cepat sampai di tempat tujuan, hari ini Zizi mengantar tiga jahitan sekaligus. Zizi terbangun dari tidur dan segera melihat jam.

 

“Ah, sudah jam setengah sebelas, aku harus bertemu Ali dan mengatakan permintaan terakhirku,” kata Zizi sambil melangkah keluar kamar untuk mencari Ali. Ternyata Ali sudah menunggu Zizi di depan pintu kamar. Segera Zizi menyuruh Ali masuk ke dalam kamarnya.

 

“Zi, katakan apa permintaan terakhirmu?” tanya Ali yang duduk bersisian dengan Zizi di lantai.

 

“Aku mau kamu jangan pergi dan tetap di sini menjadi temanku selamanya,” jawab Zizi terpatah-patah seolah menahan tangis. “Li, tetaplah kau di sini, jangan pergi.”

 

Zizi mengambil Ali, menggendong, dan mengusap-usapnya seperti biasa. Ali menikmati hangatnya kasih sayang Zizi. “Baiklah, Zizi, aku akan tetap bersamamu hingga kamu berusia 20 tahun, dan setelahnya itu kita lihat nanti.”

 

“Alhamdulillah, berarti 10 tahun lagi kita tetap bersama,” jawab Zizi masih terus mengusap-usap Ali yang tetap ada di gendongannya.

 

Mulai hari ini dan seterusnya, Zizi memiliki teman kesayangan yaitu seekor kucing yang sangat setia. Ali tetap dapat berbicara, meskipun hanya pada Zizi saja. Permintaan terakhir ini membuat keduanya bahagia.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

2 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Anonim
Sabtu, 07 September 2024 pukul 14.00.00 WIB Delete
Ceritanya bagus
Comment Author Avatar
Rina Indrawati
Sabtu, 07 September 2024 pukul 14.01.00 WIB Delete
Terima kasih