Duka masa lalu bagian 1

Table of Contents

Lukman, seorang laki-laki muda, duduk termenung di halte bus. Debu menari-nari di bawah terik matahari siang ini. Dia sesekali mengusap peluh di wajahnya. Kepalanya dan bola matanya berkeliling mencari-cari tanda kehidupan, tapi tak seorang pun yang melintas di depannya. Lukman merogoh saku celana hitamnya dengan tangan kanan dan menemukan selembar kertas uang Lima Puluh Ribu.

 

“Ya Allah, uangku tinggal segini. Lapar ... dan aku belum beli susu untuk Bela,” bisik Lukman sambil memasukkan kembali uang itu ke saku celananya. “Susah banget cari kerja. Aku harus mencari uang dari mana lagi?”

 

Lukman sudah lima bulan menganggur setelah dipecat akibat pengurangan karyawan di kantornya. Mira, istrinya yang hamil tua, dan Bela, putri sulungnya yang baru berusia dua tahun, mengalami kesulitan karena Bela tidak dapat lagi menyusu. Mira sebentar lagi akan melahirkan anak kedua mereka. Lukman telah mencoba melamar pekerjaan di berbagai kantor dengan menyertakan ijazah S1 Akuntansi dan pengalaman kerja dalam berkasnya, tetapi hingga hari ini belum mendapatkan hasil. Kembali ke rumah adalah satu-satunya pilihan Lukman karena lapar dan teriknya cuaca siang ini sudah tak tertahankan lagi.

 

Mira sibuk menata sisa dagangan nasi uduknya ketika Lukman pulang. Dia menyambut suaminya dengan segelas air putih dan bertanya tentang hasil lamaran hari ini. Lukman menerima gelas tersebut dan setelah meminumnya, dia menggeleng sambil tersenyum pahit.

 

“Belum. Nihil. Maafin Mas ya,” ucap Lukman dengan tatapan getir.

 

Mira berdiri, menepuk bahu suaminya, dan menghibur, “Ya udah, Mas, sabar, ya. Yang Allah beri masih jadi penguji iman kita.”

 

Mira meninggalkan Lukman yang masih duduk. Lelaki itu memandangi wanita yang dinikahinya empat tahun lalu dalam perjodohan. Lukman teringat bagaimana cerita singkat itu berjalan hingga bisa menikahi wanita yang belum dikenalnya sama sekali, bahkan meninggalkan kekasih hatinya.

 

“Mas, kamu akan dijodohkan dengan Mira, anak Pak Sulaiman, teman bapak dari sekolah dulu,” kata bapak pada Lukman saat Lukman pertama kali mengutarakan permintaan untuk menikah dengan Mira. Lukman diam sambil menatap bapaknya dengan ekspresi protes.

 

“Dia wanita baik, salihah. Namanya Mira. Lulusan pesantren. Dulu kakek Ira, Pak Rasyid, yang telah membantu Bapak. Maksudnya, Pak Rasyid membantu kakek untuk membayar sekolah bapak dengan memberikan uang saku setiap bulan,” jelas bapak lebih lanjut.

 

“Tapi kenapa Lukman, Pak?” protes Lukman. “Lukman mencintai Tantri, Pak.”

 

“Kan anak laki-laki bapak hanya kamu. Jadi siapa lagi yang akan bapak jodohkan?” ujar bapak, menatap Lukman dengan lembut.

 

“Cinta akan datang karena terbiasa, dan bapak sudah mengenal Mira sejak kecil. Usianya tidak terlalu jauh denganmu, dan bapak yakin dia bisa jadi istri salihah untukmu,” kata bapak sambil menepuk bahu Lukman, lalu melangkah meninggalkan pria yang terdiam dan ingin protes itu.

 

Selang lima bulan kemudian, Lukman mengucap ijab kabul meskipun baru bertemu sekali dengan Mira. Lamunan Lukman buyar ketika Mira datang dengan makanan yang dibawanya. Dia telah menyiapkan sepiring nasi beserta telur balado dan kerupuk, lalu menyerahkannya pada suaminya, “Nih, makan dulu, Mas. Nanti kalau sudah selesai, tolong antar aku ke pasar, ya. Mau beli keperluan dagang besok.”

 

“Kamu kenapa, Mas?” kata Mira yang menatap suaminya sedang melamun. 

 

“Ah, engga apa-apa. Eh, terima kasih ya, Sayang,” jawab Lukman sambil menerima piring dan gelas yang dibawa Mira. Lukman segera menyantap masakan istrinya.

 

Seorang anak perempuan berkuncir dua melangkah mendekati Lukman dan Mira. Dengan gaya manjanya anak itu merajuk, “Ibu, Bela mau susu dong kayak Lili,” ujar Bela menghampiri Mira yang sedang menemani Lukman makan.

 

“Siap, Bu bos ... Nanti setelah Ayah makan, kita beli ya,” jawab Mira sambil mencium putri sulungnya yang telah duduk di pangkuannya.

 

Lukman hanya mampu menelan air liurnya dengan air mata menggantung di sisi pelipisnya. Betapa tidak, Bela selalu meminta susu setiap kali Lukman pulang ke rumah. Mira yang melihat suaminya bersedih segera meredakan suasana.

 

“Habiskan makannya, Mas. Tenang saja. Alhamdulillah tadi Bu Kardi pesan nasi uduk 100 bungkus lengkap dengan lauknya untuk dibagikan pada Jumat berkah, dan dia sudah memberi uang di muka,” jelas Mira pada suaminya.

 

“Dan tadi Bu Sari juga sudah melunasi uang pesannya kemarin,” lanjut Mira memberi senyuman pada Lukman.

 

Lukman serta istri dan anaknya telah siap untuk pergi ke pasar sore ini. Selagi motor hendak berjalan, tiba-tiba Bu Susi memanggil, “Lukman, Lukman, Lukman! Berhenti dulu.”

 

Wanita itu sedikit berlari kecil mendatangi Lukman yang sudah duduk di atas motor bersama Mira dan Bela.

 

“Ada apa, Bu?” jawab Mira yang turun dari motor dan berhadapan dengan Bu Susi.

 

“Ga usah basa-basi, saya minta uang kontrakan,” kata Bu Susi dengan nada pelan, tetapi tegas. “Saya ga terima janji, mana uangnya!”

 

Bu Susi mengadahkan tangan meminta sesuatu pada Lukman dan istrinya. Mira segera membuka dompetnya dan memberikan sejumlah uang, “Maaf Bu, rencananya nanti malam setelah magrib, saya mau ke rumah ibu kasih uang ini.”

 

Tanpa berkata apa pun, Bu Susi langsung mengambil uang tersebut, menghitung, dan segera membalikkan badan meninggalkan Mira dan Lukman yang terbengong melihat kelakuannya.

 

Lukman memecah kesunyian. “Gimana Bu, kita jadi jalan?” tanya Lukman yang sadar melihat istrinya diam dengan bendungan air mata di sudut matanya.

 

Mira tidak menjawab dan segera naik ke atas motor dan Lukman pun segera mengendarai Supra X-nya membawa istri dan anaknya menuju ke pasar.

 

“Ibu, belum tidur?” tanya Lukman yang melihat Mira masih sibuk dengan pekerjaannya.

 

“Belum Mas, nanggung tinggal beresin aja kok,” jawab Mira sambil terus bekerja.

 

Lukman tidak tinggal diam, dia membantu istrinya sebisa yang dia tahu.

 

“Alhamdulillah, rapi juga. Makasih ya Mas udah bantuin,” kata Mira setelah semua pekerjaannya selesai.

 

Lukman tersenyum sambil mengecup istri yang benar-benar mengerti keadaan dirinya, tak pernah mengeluh bahkan selalu riang mencari solusi. Malam semakin larut, Mira sulit sekali tidur, perutnya sesekali merasa sakit. Dia berpikir apakah akan melahirkan malam ini.

 

Mira membangunkan suaminya perlahan. “Mas, Mas, Mas,” katanya pelan sambil menguncang bahu Lukman.

 

“Kenapa, Bu?” tanya Lukman spontan selepas terbangun dan kaget melihat wajah Mira menahan sakit.  “Ibu mau lahiran? Apa sudah mules?”

 

Laki-laki ini segera bangun meski matanya sangat mengantuk. Lukman tak banyak kata, dia bersiap-siap membawa Mira ke bidan tempat dia periksa. Mira dengan melawan sakitnya berjalan perlahan ke luar rumah, sementara Lukman menggendong Bela dan membawa tas perlengkapan bersalin yang telah disiapkan.

 

Lukman dan Mira tiba di bidan yang mereka tuju, lalu Mira segera dibawa ke ruang persalinan. Lukman menggendong Bela yang agak rewel, berusaha menenangkan putrinya meskipun hatinya cemas memikirkan Mira yang merintih kesakitan. Fajar mulai menyingsing, Bela tertidur di lantai ruangan yang dilapisi kain sarung yang dibawa Lukman. Mira belum menunjukkan tanda-tanda kelahiran. Bu Warti, bidan yang menangani Mira, memanggil Lukman dan menjelaskan bahwa belum ada peningkatan pembukaan jalan lahir bayi. Bidan paruh baya itu menyarankan untuk melakukan induksi, yang langsung disetujui oleh Lukman. Meskipun perut Mira semakin mules, pembukaan jalan lahir tidak kunjung bertambah.

 

Waktu sudah hampir tengah hari. Mira belum juga melahirkan, sementara dia sudah tidak sanggup lagi. Bu Warti melihat situasi ini dan meminta Lukman membawa Mira ke rumah sakit besar. Lukman merasa cemas, memikirkan biaya yang pasti sangat besar, tetapi demi keselamatan istri dan anaknya, Lukman setuju. Ambulans tiba di rumah sakit besar, dan Mira langsung diteruskan ke ruang UGD. Mira mendapat penanganan cepat, dan operasi sesar menjadi pilihan terakhir. Lukman harus mengisi surat persetujuan dan membayar uang muka untuk operasi.

 

Lukman bingung, dari mana dia bisa mendapatkan 6 juta untuk biaya rumah sakit, padahal yang dia punya hanya cukup untuk membayar uang muka sebesar 1.500.000. Operasi dilakukan, dan Lukman menunggu sendirian di ruang tunggu sementara Bela dititipkan kepada Bu Lastri, tetangga mereka yang juga sering membantu di warung nasi uduk milik Mira. Bu Lastri dan anaknya meneruskan pesanan untuk Jumat berkah.

 

Sudah lebih dari satu jam Lukman diam sendiri dalam kegelisahan menunggu di ruang tunggu. Tiba-tiba seorang perawat memanggilnya dan menjelaskan bahwa Mira kehilangan banyak darah. Sekarang Lukman harus mencari donor darah tiga kantong untuk Mira karena stok darah dengan golongan yang sama di rumah sakit kosong. Lukman terpukul mendengar berita ini, diam sejenak dalam pikirannya.

 

“Suster, bagaimana caranya saya bisa mendapatkan darah untuk istri saya?” tanya Lukman setelahnya.

 

Suster menjelaskan prosedur birokrasi yang harus diikuti, menyarankan agar Lukman segera pergi ke PMI. Lukman bergerak cepat menuju Palang Merah Indonesia (PMI) untuk mengurus mendapatkan darah. Namun, birokrasi dalam keadaan genting ini terasa sangat sulit, terutama karena Lukman harus membayar Rp 750.000 untuk setiap kantong darah, sementara Mira membutuhkan tiga kantong. Lukman berpikir keras dari mana ia bisa mendapatkan uang tunai sebesar Rp 2.250.000 yang diperlukan.

 

“Ya Allah, ampuni hamba-Mu, tunjukkanlah jalan yang lurus,” pinta Lukman dalam tangisnya. Ia memejamkan mata, hatinya penuh kegelisahan tanpa tahu langkah selanjutnya yang harus diambil.

 

Lukman tersadar saat bahunya ditepuk oleh seorang laki-laki paruh baya.

 

“Kenapa, Mas?” tanya laki-laki berjaket bola yang segera duduk di samping Lukman.

 

Seperti ingin meluapkan semua persoalannya, Lukman menceritakan semua yang dialaminya pada laki-laki yang baru saja ditemuinya. Laki-laki itu memberikan senyum terbaiknya setelah Lukman selesai bercerita, lalu menawarkan bantuan.

 

“Gimana kalau motor Mas saya beli? Motor itu bukan motor cicilan kan?” ujarnya santai, memberikan solusi untuk Lukman.

 

Diam sejenak, Lukman tak percaya, tetapi dengan terpaksa ia menyetujui. Transaksi berjalan lancar, Lukman mendapatkan uang 7 juta rupiah, kunci motor, serta STNK, sementara BPKB tetap di tangan Lukman. Keduanya berjanji untuk bertemu lagi di lain waktu. Dengan tiga kantong darah di tangan, Lukman segera menuju rumah sakit di mana Mira berjuang untuk hidupnya. Sesampainya di sana, Lukman langsung menuju ruang operasi.

 

Namun, bagai tersambar petir, Lukman mendengar kabar dari seorang suster bahwa istri dan anaknya telah meninggal tiga puluh menit yang lalu. Lukman membanting dirinya ke lantai dan menangis. Seorang suster memberi kekuatan pada Lukman dan membimbingnya untuk melihat jasad Mira. Dengan sedikit ketenangan, Lukman berjalan menghampiri sosok tak bergerak yang telah mengisi kebahagiaannya selama empat tahun.

 

Lukman memeluk jasad istrinya sambil mengucapkan kata-kata permohonan pada Sang Kuasa, “Ya Allah, hamba ikhlas melepas istri hamba, jadikan dia bidadari di Surga-Mu.”

 

Proses pengurusan jenazah Mira beserta bayinya hingga pemakaman berlangsung sangat cepat. Lukman mendapatkan bantuan dana dari tetangga serta dua orang donatur, sehingga mampu melunasi semua biaya pemakaman untuk Mira. Mira dan bayi laki-laki dimakamkan dalam satu liang. Setelah pemakaman, Lukman kembali ke rumah yang terasa sepi, seolah tak berpenghuni. Rumah itu penuh duka, kehilangan belahan jiwanya, seperti yang terasa di ruangan berukuran 3x8 meter ini. Tujuh hari setelah Mira pergi, tiba-tiba Bela demam tinggi. Meskipun panik, Lukman berusaha tetap tenang. Tanpa menunda, Lukman membawa Bela ke bidan Bu Warti.

 

“Bela sayang, sabar ya nak. Ayah akan bawa kamu berobat,” ucap Lukman sambil menggendong Bela dan mencium kepala putrinya.

 

Masih menggendong Bela, Lukman keluar rumah. Gerimis kecil turut menyertai usahanya membawa Bela ke dokter. Lukman membungkus tubuh putrinya dengan jaket parasut yang dimilikinya. Jalanan sepi tanpa satu angkot pun yang melintas membuat Lukman memutuskan untuk berjalan kaki meskipun malam semakin larut.

 

“Hujan deras tak menghentikan langkahku,” pikir Lukman sambil berjuang menggendong Bela yang suhunya semakin panas. “Bela sayang, bertahan, ya, Nak.”

 

Langkahnya tiba-tiba terhenti saat Bela tiba-tiba tampak kaku dan tak bergerak. Lukman panik dan teriak memanggil nama Bela berulang kali.

 

“Bela ... Bela, Bela, bertahan, Sayang!”

 

Lukman tak henti-hentinya mengucapkan istighfar dan takbir sambil menunggu pertolongan. Sebuah mobil berhenti di dekatnya, ternyata itu mobil Pak Amir, suami Bu Warti.

 

“Lukman, kenapa Bela? Ayo, bawa masuk!” seru Pak Amir panik dan bergegas mempersilakan Lukman masuk tanpa menunggu jawaban. Lukman segera membuka pintu dan Pak Amir melaju menuju rumahnya.

 

Tidak sampai 15 menit mereka tiba di rumah praktek Bu Warti. Lukman segera meletakkan Bela di kasur pasien. Namun, kondisi Bela yang sudah tiada sejak di perjalanan membuat sekujur tubuh Lukman seolah tak bernyawa. Bu Warti membesarkan hati Lukman setelah memeriksa Bela,

 

“Innalillahi wa inna ilaihirajiun. Bela sudah tiada, Pak Lukman,” lirih Bu Warti menyampaikan kata itu. Tangisan Lukman tak terbendung.

 

“Bela. Bela. Bela!” Isakan yang menyayat hati. Lukman berteriak memanggil putrinya, “Maafkan Bapak. Bapak terlambat membawa kamu berobat.”

 

Lukman mengguncangkan tubuh Bela yang terkujur kaku. “Maafkan Bapak, Bela,” ucap Lukman, bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali meratapi putrinya hingga Pak Amir meraih bahu Lukman seraya menuntun agar Lukman duduk.

 

“Semua ini adalah kehendak Ilahi dan pasti apa yang Allah beri itulah yang terbaik,” ucap Pak Amir dengan lembut membesarkan hati Lukman, sementara Bu Warti mengurus jasad Bela.

 

Lukman kehilangan lagi harta berharga yang tinggal satu-satunya. Bela menyusul ibu dan adiknya kembali ke pangkuan Ilahi. Dunia berakhir itu rasa yang dialami Lukman, baru tujuh hari berduka kehilangan istri. Kini dia harus merelakan kepergian Bela putri tercinta. Luka kelabu di lembaran kelam akan menjadi cerita tak terlupakan untuk Lukman.

 

Akankah bahagia dia dapati setelah pil pahit dirasa bertubi-tubi oleh Lukman? Kini, dia tak mampu tersenyum lagi. Lukman terlarut dalam kesedihan tak berujung, mimpi yang dibangun bersama Mira, seorang wanita yang dinikahi karena perjodohan orang tua, telah terkubur bersama jasad istri serta dua buah hatinya.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

1 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Gunawan
Sabtu, 07 September 2024 pukul 14.04.00 WIB Delete
Kasihan ya