Sepatu bola idaman

Table of Contents

Rasyad duduk termenung di pos ronda, tatapannya kosong. Tangannya erat memeluk bola tendang, seolah takut kehilangan si bundar berwarna putih itu. Lamunannya buyar ketika sebuah tangan menyentuh pundaknya.

 

"Wooy... ngapa lo ngelamun gitu?"

 

Suara Tomi menyentak, membuat Rasyad menoleh dengan raut tak suka.

 

"Ngapa Syad?" tanya Tomi, langsung duduk di sampingnya. Rasyad tetap diam, hanya merubah posisi duduk.

 

"Ngapa tuh bola cuma dipeluk aja?" Tomi bertanya lagi. Rasyad masih membisu. Tomi menatap wajah temannya dengan tatapan menyelidik.

 

"Lo kenapa Rasyad?" tanyanya, nada suaranya mulai terdengar kesal.

 

"BT gue sama lo, emang enak apa dicuekin?"

 

Tomi menggeser duduknya menjauh dari Rasyad.

 

"Sorry Tom," lirih Rasyad.

 

Tomi tetap diam, menatap ke depan.

 

"Gue kayanya enggak bisa ikut pertandingan final besok deh," lanjut Rasyad, meletakkan bola di samping pahanya. Tomi menoleh, menatapnya dengan penuh pertanyaan.

 

"Aahh, emang nasib gue kali ya cuma bisa jadi penonton aja," Rasyad menghela napas berat.

 

"Lo serius, Syad? Emangnya kenapa?" tanya Tomi.

 

"Kan lo tahu sendiri Tom, gue tidak punya sepatu bola, jadi mana mungkin gue ikut pertandingan itu," jawab Rasyad.

 

"Lah sepatu yang kemarin lo pake gimana?" Tomi menyelidik. Dia tahu Rasyad selalu memakai sepatu bola ketika bertanding.

 

"Itu punya Ari dan baru aja dia minta dikembalikan, katanya dia juga mau pakai buat tanding," jelas Rasyad, suaranya lesu.

 

"Hah, berarti tim kita besok kurang satu personil dong, terus siapa yang bakal gantikan lo jadi kiper?" Tomi berkata, seakan berbicara pada dirinya sendiri. Tatapannya mengarah ke jalan di depan. Rasyad menggeleng.

 

"Apa kamu tidak bisa ikut main, Syad?"

 

Pak Dafa, pelatih Tim Bintang FC, bertanya. Rasyad hanya tertunduk. Dia telah menceritakan masalah sepatunya pada Pak Dafa. Rasyad sengaja langsung pergi ke rumah Pak Dafa setelah menumpahkan kecewanya pada Tomi.

 

"Duh Syad, gimana ini, mana Fadlan kiper cadangan juga lagi sakit," lanjut Pak Dafa.

 

"Kalau gitu kita mesti rombak strategi tim kita, jangan sampai kita nyerah di babak terakhir ini," Pak Dafa berdiri, melangkah sambil berpikir.

 

"Eko juga bisa pak jadi kiper," Rasyad mencoba memberi masukan.

 

"Kalau Eko jadi kiper trus siapa yang akan gantiin dia jadi penyerang?" tanya Pak Dafa, mondar-mandir. Wajahnya tampak bingung.

 

"Dimas aja pak," Rasyad kembali berpendapat.

 

"Apa Eko dan Dimasnya mau?" tanya Pak Dafa.

 

"Kita kumpulin aja pak teman-teman, nanti biar saya yang manggilin mereka," Rasyad menawarkan pendapatnya. Rasyad memang anak yang cerdas dan berani mengutarakan pendapatnya.

 

"Baik kalau gitu, kamu pergi sekarang trus kumpulin teman-teman kamu sekarang juga," perintah Pak Dafa.

 

Rasyad langsung berdiri dan melangkah pergi dari rumah Pak Dafa.

 

Rasyad memang diposisikan sebagai kiper dalam tim sepak bolanya. Tim Bintang FC telah memasuki babak final dari kejuaraan bola tingkat sekolah dasar. Awalnya, Rasyad hanya dijadikan pemain cadangan karena tidak memiliki sepatu bola. Berkat rasa kasihan dari Ari, saudara sepupunya, yang memberi pinjaman sepatu, Rasyad, yang memang menonjol dalam penangkapan bola, bisa mewujudkan impiannya untuk ikut dalam pertandingan sepak bola yang hanya diadakan setahun sekali di tingkat kecamatan.

 

Rapat dadakan telah memutuskan posisi terbaru dari Tim Bintang FC FC. Sebagai tindak lanjut dari hasil rapat, Tim Bintang FC langsung pergi ke lapangan untuk berlatih dengan format baru. Di lapangan, Rasyad hanya menjadi penonton. Meskipun kecewa, dia tetap bersorak memberikan semangat pada teman-temannya yang sedang bermain.

 

Pertandingan semakin seru ketika tim A menjebol gawang lawan, tim B, dengan skor 2-0. Rasyad dan teman-temannya yang tidak mengikuti permainan tampak senang menikmati permainan teman-temannya. Pertandingan selesai dengan skor 2-1. Tepuk tangan riang menutup manis latihan kali ini.

 

Rasyad berjalan pulang ke rumah sendiri. Teman-temannya masih berkumpul di lapangan. Dia sengaja pamit lebih dulu karena belum mengerjakan tugas rumahnya. Saat memasuki gang menuju ke rumah, matanya menangkap sosok kakek yang duduk berselonjor di tepi jalan. Sang kakek tampak letih dan kebingungan. Rasyad berniat menghampirinya.

 

"Permisi Kek," sapa Rasyad penuh hormat.

 

Sang kakek terkejut dan menatap Rasyad tak suka.

 

"Maaf Kek, kalau saya buat Kakek kaget," lanjut Rasyad, ikut duduk di aspal gang.

 

"Kakek mau kemana?" Rasyad bertanya lagi. Tatapan mata sang kakek mengisyaratkan kesedihan.

 

"Kenapa Kek?" tanya Rasyad.

 

"Saya lapar dan mau pulang," ucap sang kakek, rambutnya berwarna putih.

 

Rasyad merogoh saku celananya. Dia melihat selembar uang sepuluh ribu, namun sejenak dia diam berpikir.

 

"Kalau lapar mungkin aku bisa beliin roti, tapi kalau mau pulang aku mesti gimana?" batinnya. Rasyad diam, berpikir apa yang harus dia lakukan. Dia tak mungkin membiarkan kakek ini sendirian di pinggir jalan.

 

"Kamu punya makanan?" tanya kakek itu, menatap Rasyad. Rasyad menggeleng. Kakek itu mengerenyitkan dahi, menatap Rasyad tak suka.

 

"Kakek ikut aku saja yuk," ajak Rasyad, berdiri dan mengulurkan tangan. Kakek itu menatap Rasyad tak mengerti, namun senyuman Rasyad membuatnya mengikuti ajakannya.

 

Mereka berdua langsung menuju ke rumah Rasyad.

 

"Maaf Bun, tadi Achad melihat kakek ini duduk di jalan depan gang Melati, karena kasihan makanya Rasyad ajak pulang soalnya dia lapar katanya," jelas Rasyad pada bundanya, setelah sampai di rumah dan duduk di teras. Bunda tersenyum.

 

"Kakek lapar?" tanya bunda lembut, menatap kakek sambil memegang lengannya. Sang kakek mengangguk.

 

"Kamu temani kakek di sini dulu Chad, bunda mau siapin makanan buat kakek," ucap bunda, berdiri dan melangkah masuk.

 

"Saya mau pulang sekarang, kalian tahu kan rumah saya?" kata kakek, setelah selesai makan. Bunda dan Rasyad saling bertatapan, lalu menggeleng.

 

"Yah kok enggak tahu," ucap kakek kecewa.

 

"Aku sendiri aja lupa dimana rumahku," lanjutnya, menggaruk kepala. Ketiga orang di meja makan terdiam.

 

"Terus gimana nih Bun?" tanya Rasyad, meminta pendapat bundanya. Bunda tersenyum dan mengambil ponselnya.

 

"Bunda mau nelpon siapa?" tanya Rasyad.

 

"Mau telpon Pak Sardi, terus kamu anterin aja kakek ini ke rumah Pak Sardi biar dia yang menyelesaikan," jelas bunda.

 

"Oh gitu," Rasyad mengangguk-angguk.

 

"Baiklah kalau gitu, yuk Kek aku anterin," kata Rasyad, berdiri dan mendekati kakek.

 

"Kamu udah tahu dimana rumah aku?" tanya kakek, senang karena dia berpikir kalau mau diajak pulang ke rumahnya. Rasyad mengangguk, tersenyum.

 

Tin. Tin. Tin. Suara klakson mobil membuat Rasyad dan kakek berhenti menepi.

 

"Bapak."

 

Seorang pria dari dalam mobil memanggil. Pria itu menurunkan kaca mobil dan memanggil lagi, "Bapak."

 

Rasyad diam, menepi menunggu pria itu. Pria itu keluar dari mobil dan menghampiri mereka.

 

"Aduh Bapak kemana saja sih?" kata pria itu, mengenakan kemeja abu-abu dan celana bahan warna hitam.

 

"Lion udah cari Bapak kemana-mana tapi enggak ada, eh beruntung tadi Lion lewat sini," lanjutnya, meraih tangan sang kakek. Pria itu menatap Rasyad.

 

"Kamu siapa?" tanyanya.

 

"Namaku Rasyad Om, tadi aku bertemu dengan kakek di gang Melati trus katanya dia lapar ya udah aku ajak pulang dan udah dikasih makan sama bunda aku," jelas Rasyad.

 

"Bapak udah kenyang yon," ucap kakek, tersenyum kecil sambil memegang perutnya.

 

"Kata kakek dia mau pulang tapi aku dan bunda tanya dia lupa dimana rumahnya trus bunda menyuruh aku ke rumah Pak RT, biar Pak RT aja yang menyelesain masalah kakek," tambah Rasyad.

 

"Maaf Om soalnya aku dan bunda takut salah jadinya minta tolong deh sama Pak RT," Rasyad menerangkan. Lion tersenyum.

 

"Terima kasih ya Rasyad," katanya.

 

"Sekarang kita pulang yuk Pak," ajak Lion pada kakek. Kakek mengangguk setuju.

 

Lion dan kakek melangkah menuju mobil BRV. Lion membantu kakek naik dan duduk di dalam mobil. Setelah menutup pintu mobil, Lion kembali menghampiri Rasyad.

 

"Terima kasih ya Syad kamu sudah nolong Bapak saya, memang dia telah pikun," katanya, tersenyum menatap Rasyad.

 

"Saya Lion anak tunggal Pak Syarif yang kamu panggil kakek tadi, memang usianya sudah 73 tahun tapi daya ingatnya sudah menurun karena penyakit," lanjutnya. Rasyad mendengarkan dengan saksama.

 

"Sudah dua hari saya mencari Bapak yang tak pulang ke rumah, memang kemarin suster-nya kecolongan menjaga Bapak sewaktu Pak Adi, nama suster Bapak, sholat, eh Bapak malah keluar rumah dan pas dicari-cari tidak ketemu," lanjut Lion. Dia menjeda ucapannya karena kakek membuka kaca pintu mobil.

 

"Lion cepetan Bapak mau pulang," kata kakek, sedikit membentak.

 

"Siap Pak," jawab Lion, mengacungkan ibu jarinya.

 

"Nah Rasyad ini buat kamu," Lion berkata pada Rasyad, sambil menyodorkan lima lembar uang seratus ribu. Rasyad terkesima menatapnya.

 

"Ambil lah Syad, ini sebagai tanda terima kasih saya sama kamu yang telah membantu Bapak saya," ucap Lion, memohon sambil mengenggamkan lembaran uang itu ke tangan Rasyad.

 

"Terima kasih Om," ucap Rasyad, terbata karena tak percaya akan mendapatkan uang sebanyak itu.

 

Lion menepuk bahu Rasyad dan sekali lagi mengucapkan terima kasih. Lantas dia pamit dan langsung melangkah menuju mobilnya.

 

"Itu namanya rejeki Syad," kata bunda, setelah mendengar cerita Rasyad dan telah menerima lembaran uang yang tadi diberi Lion.

 

"Nah, uang ini kan bisa untuk beli sepatu bola kamu agar kamu bisa ikut tanding lagi," lanjut bunda, tersenyum lembut memberi ide yang membuat Rasyad bersorak senang.

 

"Emang boleh Bun?" tanya Rasyad, ragu. Bunda tertawa kecil.

 

"Yah boleh lah itu kan uang kamu, besok kita beli sepatu bolanya ya," ucap bunda. Rasyad menyambutnya dengan mengepalkan tinjunya.

 

"Yes."

 

Pertandingan final pun digelar. Dari Tim Bintang FC, Rasyad lah yang akan menjadi kiper. Rasyad sangat lihai untuk menangkap bola. Dengan sepatu bola barunya, Rasyad dapat mempertahankan gawang timnya hingga kedudukan akhir adalah 1-0. Tim Bintang FC berhasil menjadi juara pertama pertandingan sepak bola tingkat sekolah dasar.

 

 

 

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar