Cincin bermata tiga bagian 14
Kediaman
Pak Anto berselimut duka. Semua orang menampakkan wajah kesedihan dalam
ketidakpercayaannya pada kematian Arya yang disebabkan karena gigitan Sifa,
anaknya sendiri. Jasad Arya telah diletakkan di ruang tamu, namun belum juga
ada rencana selanjutnya. Tubuh wanita itu masih tampak segar dengan raut muka
yang sejuk; senyum manisnya terlukis dari bibirnya. Bekas gigitan Sifa tidak
nampak sama sekali. Arya terlihat selayaknya seseorang yang sedang tertidur
pulas. Lia dan Mala yang duduk bersisian masih khusyu membaca ayat-ayat
Al-Qur'an, begitu juga Pak Setiawan, Amara, dan Pak Anto. Mereka duduk
mengitari jasad Arya. Sementara Bu Ratmi dan Umi Yani masih berada di kamar
Sifa yang masih pingsan karena dipukul kepalanya oleh Alif dengan kitab suci
Al-Qur'an. Abi Tarno dan Ustad Abas sedang memeriksa tubuh Sifa yang tergeletak
lunglai di atas ranjang.
“Enggak
bisa bergerak juga, Bi,” kata Ustad Abas yang sejak tadi berusaha melepaskan
cincin bermata tiga dari jari tengah Sifa.
Abi
Tarno yang duduk di samping Ustad Abas menghela nafas dan berkata, “Kemarin
gimana caranya, Bu? Lia bisa melepas cincin yang Ibu pakai?” Abi Tarno menatap
Bu Ratmi yang duduk di hadapannya. Bu Ratmi menggeleng. “Tidak tahu, Pak,”
singkat Bu Ratmi menjawab.
Azan
Maghrib terdengar. Mala yang duduk bersandar di dinding menoleh ke Lia. “Kita
sholat yuk, Li,” ajaknya. Lia mengangguk dengan tatapan sayu mengarah ke jasad
Arya. “Kita jama’ah saja,” timpal Pak Setiawan sambil berdiri. “Kalau bisa di
sini saja kan, tempatnya masih muat,” lanjut Pak Setiawan memberikan ide.
Selesai
sholat, Lia duduk kembali di dekat jasad Arya. Tapi kali ini gadis berkerudung
coklat susu ini tidak melakukan apapun. Dia hanya diam menatap Arya, tatapan
Lia kosong tanpa ekspresi, namun bibir Lia tampak bergetar, bahkan sesekali dia
menggigit bibir bawahnya.
“Li,
ada Bunda sama Ayah gw,” ucap Mala menegur Lia, namun hanya dijawab dengan ekor
matanya. Mala meringgis mencibir. “Li, lo kenapa, jangan diam aja gitu,” lanjut
Mala menepuk bahu Lia dan duduk di sampingnya. “Lo ngomong dong, Li, ceritain
sama gw ada apa,” ujar Mala sedikit membisik. Lia menarik nafas panjang sambil
memejamkan mata, lantas mengoyangkan bahunya. Sesaat kemudian dia membuka mata
menoleh ke Mala, tersenyum. Mala membalas senyuman itu, meski menurut Mala
senyum Lia terasa aneh.
“Gw
ngerasa Tante Arya masih hidup,” lirih Lia berkata, yang membuat Mala terkesima
dan melotot. “Kita harus tunda dulu pemakamannya, besok pagi,” lanjut Lia yang
kini merasa pikirannya benar, karena dia tampak semangat mengatakannya. Mala
hanya diam, menatap Lia tak mengerti.
“Lia,
urusan jenazah itu mesti disegerakan. Ini saja kita telah menunda lama untuk
mengurus jasad Bu Arya, jadi mana mungkin kita tunda lagi untuk mengurusnya,”
jelas Abi Tarno ketika Lia telah mengutarakan kemauanya.
“Tapi
Abi… coba Abi dan yang lainnya tatap benar-benar pakai hati nurani kalian
sambil istigfar, nanti pasti kalian tahu sendiri apa maksud Lia,” sanggah Lia
protes.
“Maksud
kamu, Tante Arya mati suri gitu?” timpal Pak Setiawan yang mencoba memahami
maksud putri sulungnya.
“Lia
enggak tahu Pa, tapi perasaan Lia bilang bahwa Tante itu masih hidup,” Lia
menjawab, menatap Pak Setiawan.
“Kita
harus bergantian menjaganya, dan konsentrasi kita tetap harus terfokus ke
Sifa,” tambah Lia menyapu pandanganya pada semua orang yang berada di sana.
Malam
ini Lia memilih berada di kamar Sifa yang masih belum sadar. Di sana telah ada
Dokter Dini, teman Arya, yang telah memeriksa keadaan Sifa, dan dari hasil
diagnosanya keadaan Sifa baik-baik saja. Dokter Dini juga telah memeriksa Arya,
dan katanya Arya memang sudah meninggal. Setelah sholat Isya dan tilawah
Al-Qur'an, Lia hanya diam duduk bersila di sudut ruangan kamar Sifa, dan
seperti biasa dengan setia Mala tetap mendampinginya.
“Kita
mesti ngapain Li, buat nolong Sifa?” tanya Mala sedikit berbisik. Lia
menggeleng, matanya terpejam.
“Gimana
kalau lo tidur dulu, nanti baru kita tahajud plus istighfar meminta bantuan
Allah,” kata Mala memberikan ide sambil menutup mulutnya karena rasa kantuk.
Dia menguap dan hanya dibalas senyuman oleh Lia.
“Kalau
lo ngantuk, tidur aja La,” ucap Lia lesu.
“Gw
tidur di sini aja ah,” kata Mala yang menjatuhkan dirinya berbaring di lantai
kamar. Dan karena mengantuk, tak lama kemudian Lia pun ikut tertidur di samping
Mala.
Lia
mengerjap-ngerjapkan matanya, tersadar dari tidurnya. Dia mengeliatkan tubuhnya
dan mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangan seraya membaca doa bangun
tidur. Lia bangkit duduk, matanya tertuju pada Sifa yang masih belum berubah
posisinya. Di sampingnya ada Bu Ratmi yang tertidur dengan posisi duduk, hanya
kepalanya yang bersandar di pinggir ranjang. Sementara Umi Yani tertidur di
lantai dengan beralas karpet. Lia menolehkan kepalanya, dia tersenyum ketika
melihat Mala meringkuk pulas. Terdiam sejenak, lantas segera Lia berdiri
melangkah ke kamar mandi.
Mala
mengeliatkan tubuhnya sambil membuka mata, tersadar dia ketika mendengar Lia
melantunkan tilawah.
“Masya
Allah, merdu banget ya suara Lia,” gumamnya sendiri dan langsung mengusap
wajahnya dengan kedua belah telapak tangan, membaca doa bangun tidur. Mala
bangkit duduk, berusaha memulihkan kesadaranya dari tidur, lantas dia segera ke
kamar mandi dan bermaksud mengikuti Lia untuk tilawah.
Mala
diam sejenak, menatap wajah Sifa yang pulas seakan tertidur. Dia baru akan memulai
membaca Al-Qur'an setelah mengerjakan sholat malamnya. Tiba-tiba Mala menjerit
tertahan, menutup mulutnya saat matanya menatap tangan Sifa yang melingkar
cincin bermata tiga.
“Astagfirulloh
alazim,” pekiknya pelan. Sontak Lia menghentikan bacaannya dan menoleh ke arah
Mala.
“Ada
apa La?” tanya Lia menatap penuh tanya. Mala tak kuasa menjawab, hanya jari
tangannya yang menunjuk tangan Sifa.
Lia
mengerti apa maksud sahabatnya, lantas dia secepatnya mengarahkan tatapannya
pada jari telunjuk Sifa, di mana melingkar cincin bermata tiga itu.
“Astagfirulloh
alazim,” seru Lia kaget karena cincin itu bersinar terang dari ketiga matanya.
Sontak
seruan Lia membuat Bu Ratmi dan Umi Yani terbangun dari tidurnya, kaget tak
mengerti.
“Ada
apa Kak?” kata Bu Ratmi menatap Lia yang masih tertegun menatap kilauan cahaya
merah dari mata cincin.
“Cincin
Sifa bercahaya, Tante,” Mala yang menjawab.
Abi
Tarno, Ustad Abas, dan Pak Anto langsung dipanggil Bi Sri yang juga terbangun
ketika mendengar seruan Lia. Mereka semua mengitari ranjang di mana Sifa masih
tampak pulas tertidur. Sigap, Ustad Abas dan Abi Tarno menyiapkan sebaskom air
dan segera mereka mulai membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an dengan tujuan merukiah
Sifa. Tak tinggal diam, Lia dan Mala pun ikut membaca seperti yang dilakukan
Ustad Abas dan Abi Tarno. Sementara Bu Ratmi dan Umi Yani hanya membaca di
dalam hati. Di ruang tamu, Pak Setiawan yang ditemani orang tua Mala serta dua
teman Pak Anto masih menunggui jasad Arya.
Lima
belas menit Ustad Abas dan Abi Tarno menyelesaikan dzikirnya, lantas mereka
memeriksa tubuh Sifa, terutama jari telunjuknya, namun tak ada perubahan
sedikitpun. Cincin itu masih berkilau, memancarkan cahaya merah di ketiga
matanya.
“Li,
kita harus apa?” tanya Mala membisik ke Lia, dan seperti biasa Lia hanya
menjawab dengan gelengan.
Usaha
demi usaha untuk menolong Sifa sia-sia, tak ada reaksi apapun yang terjadi
hingga azan Subuh.
Posting Komentar