Jejak sahabat yang menginspirasi
Hai
Rina, kenalin namaku Mago Sinatria. Aku lahir di Singkawang, Kalimantan Barat,
37 tahun yang lalu. Aku menjalani masa kecil dengan sempurna, hingga pendidikan
terakhirku adalah strata dua di sebuah universitas di Singapura. Aku besar dari
keluarga yang terlihat sempurna di depannya. Ayahku seorang anggota TNI dan
telah kembali ke pangkuan Ilahi karena sakit, sementara ibuku adalah seorang
dokter dari rumah sakit swasta.
Aku
anak bungsu dari empat bersaudara yang pernah menggeluti pekerjaan di sebuah
restoran sebagai pramusaji, yang kemudian diangkat menjadi koki tetap. Pernah
juga, aku menggeluti dunia fashion dan menjadi marketing fashion designer serta
memiliki butik, tetapi masanya tak bertahan lama. Bekerja di sebuah retail
sebagai staf keuangan, juga pernah aku lakukan.
Sepenggal
kisahnya yang dia beri padaku, berupa rekaman suara diiringi latar musik yang
menggoda. Bila mungkin, aku ingin kalian mendengarnya, dan apakah kalian akan
jatuh hati sama sepertiku?
Namaku
Rina Indrawati. Sapaku dengan panggilan Rina. Aku seorang difabel tunanetra
yang tengah mencari tempat untuk memulihkan bahan bakar—semangat—dalam hidupku.
Pertolongan Tuhan selalu datang tepat waktu. Aku bertemu Yayasan Mitra Netra,
lembaga pelatihan untuk difabel netra, yang selanjutnya lebih senang kusebut dengan
nama Rumah Mata.
Mago
Sinatria, perkenalanku dengannya tak terlalu mengesankan. Awalnya, aku
mendekatinya seperti teman baru yang kutemui di Rumah Mata. Aku hanya ingin
belajar ilmu semangat dari perjuangan mereka menerima kenyataan. Mago adalah pemuda
sedikit pendiam. Namun, tawa riang dengan ciri khas, membuatku rindu gelak yang
keluar lepas tanpa beban. Tak ada yang berkesan awalnya. Aku hanya melihat
kalau Mago Sinatria merupakan laki-laki yang selalu membawa tas punggung dan
jarang menegur terlebih dahulu. Itu karena dia tunanetra dan memang sikapnya
yang sedikit tertutup.
Pagi
ini, setelah mengerjakan rutinitas keseharian, aku membuka ponsel dan sangat
kaget saat aku mendengar isi rekaman suara pesan Mago. Dia menyanyikan lagu
“Cantik” dari band Kahitna lengkap dengan alunan musik yang melambungkan
perasaanku. Sempurna… hatiku terhujani rasa senang, tersanjung, dan terbuai
kenangan 26 tahun silam. Pokoknya, berjuta rasa mulai membuncah saat aku
mendengar hingga selesai.
Mago
menyanyikan lagu tersebut, terlebih hanya untukku. Dia jauh lebih membuat
hatiku terenyuh dibanding saat mendengarkan penyanyi aslinya. Sungguh, hari ini
Mago telah membuatku gundah dalam rasa tak menentu. Langsung saja aku
meneleponnya, beruntung ia segera menerimanya. Sepertinya ini awal munculnya
rasa untuk diriku. Pembicaraan yang melambungkan khayalan tak menentu, aku pun
memintanya untuk menyanyikan lagu dari grup Elemen yang berjudul “Rahasia
Hati”.
Hasilnya…
aku semakin terpesona dibuatnya. Aku tersanjung saat mendengar kesaksiannya
bahwa telah mendengarkan berulang kali novel audio “Rajutan Awan”, karya
soloku. Lengkaplah rasa hatiku padanya. Rabu ini, teman-teman yang tergabung
dalam grup Rabu Kupi datang ke rumahku. Ini dalam rangka silaturahmi dan
pembelajaran orientasi mandiri. Aku sendiri yang menyiapkan sajian untuk
mereka. Aku masak nasi uduk, balado jengkol, sambal cumi, dan mi goreng.
Ternyata Mago adalah pencinta jengkol. Aku mendengar kisah di baliknya. Awalnya
dipaksa teman, tetapi akhirnya jengkol menjadi salah satu menu makanan
kesukaannya.
Apresiasi
terbaik aku dapat dari testimoni teman-teman tentang masakanku, termasuk dari
Mago Sinatria. Ia menawarkan kesempatan berbisnis untukku, yaitu ketika Mago
merayakan hari ulang tahun. Dia memesan nasi kotak untuk teman-teman di Rabu
Kupi. Bukan keuntungan finansial yang menjadi tujuanku dari pesanan Mago,
melainkan ini adalah langkah awal untuk belajar di bidang catering. Dukungan
dari Mago membuatku semakin semangat dalam mengerjakan proyek ini, dan hasilnya
pujian kudapat.
“Bisa
nggak, ya, jengkolnya digandakan? Enak banget. Nagih mulu makannya.”
Bunga
hatiku, pujian yang berarti masakanku sempurna, diterima sesuai selera alumni
koki di sebuah hotel ternama di Jakarta. Hari-hari selanjutnya, hubungan yang
terjalin via ponsel hanya bersemi atas dasar rasa kekaguman. Mago selalu
sempurna, dan berhasil membuat hatiku selalu memujinya.
Suatu
hari, aku mendapat kabar bahwa dia sakit. Dia sendiri yang memberi tahu lewat
rekaman suara di grup Rabu Kupi untuk meminta izin karena sedang tidak sehat.
Sontak aku langsung meneleponnya. Terdengar suaranya bindeng terkena flu.
Aku
menyukai kebersamaan dengan pemuda tinggi berbadan sedikit kekar yang salah
satu kakinya bermasalah hingga dia tak mampu berjalan cepat. Aku mengetahui
penyebab kenapa kakinya bermasalah dan dia sudah melakukan berbagai pengobatan,
baik medis maupun alternatif. Namun, satu katanya yang menambah daftar
kekagumanku.
“Cukup
mataku saja yang buta, masalah kaki tak seberapa. Masih bisa digunakan untuk
berjalan daripada sudah buta mesti pakai kursi roda.”
Aku
lega mendengarnya. Itu artinya dia sudah tak terlalu memikirkan kakinya. Mago,
Mago, Mago… pemuda yang telah berhasil mencuri hatiku.
Keanehanku
bertambah lagi dari obrolan kami. Ternyata ada kesamaan cara pengobatan
tradisional yang kami lakukan, seperti: mengonsumsi bawang putih mentah,
meminum air perasan lemon, serta mengorek hidung dengan minyak kayu putih untuk
membuat bersin. Mengapa bisa begitu? Ataukah hanya sebuah kebetulan?
Pagi
ini, Mentari—nama putri semata wayangku—ingin dibuatkan sarapan bubur ayam.
Entah mengapa saat mengolah bubur, pikiranku teringat Mago. Tugas pagiku
selesai setelah Mentari pergi ke sekolah dan aku menyempatkan diri mengirim
rekaman suara yang berisi keseharianku. Dia membalasku juga dengan rekaman
suara juga. Sungguh kata-katanya indah dan tak menyangka ternyata pagi ini juga
dia sedang menginginkan sarapan bubur ayam.
Apakah
ini suatu kebetulan atau? Ah, itu terlalu indah bila disebut sebuah kenyataan,
atau malah hanya perasaanku saja. Tetapi jujur aku tersanjung mendengar rekaman
suaranya. Seharian ini aku merasa kecewa. Saat di hari ulang tahun putriku, aku
sadar bahwa penglihatan dan ekonomi adalah latar kekecewaan yang kudapat dari
suatu komunitas sekolah. Ingin rasanya aku bercerita pada seseorang, dan entah
mengapa pilihan jatuh pada Mago.
Awalnya
aku hanya berani rekam suara meminta waktunya. Namun, obrolan santai mulai
terjadi. Dia benar-benar profesional mendengarkan keluh-kesah yang semuanya.
Dia melambungkanku pada kepercayaan diri tertinggi dan merombak kekecewaan
menjadi pemikiran positif.
Dia
kini kembali memberikanku sebuah proyek teater yang akan digarap bersama. Aku
mendapat kepercayaan untuk merangkai tulisan bila niat ini bisa terlaksana.
Besar harapanku Tuhan mengizinkan rencana yang melibatkan kaum difabel itu
menjadi nyata. Semoga impian Mago untuk membuktikan bahwa difabel janganlah
diremehkan bisa menjadi suatu pertunjukan spektakuler dan menyadari orang yang
berpikiran negatif pada kaum difabel akan sirna.
Pada
hari terakhir bersama ayahnya, Mago setia menemani dan merawat ayahnya yang
kesehatannya memburuk akibat komplikasi penyakit. Ayahnya sempat meminta maaf
dan menjelaskan bahwa semua didikannya bertujuan menjadikan Mago laki-laki kuat
dan tangguh. Ketika ayahnya tiba-tiba kolaps, Mago mengupayakan agar ayahnya
dibawa ke rumah sakit dengan bantuan sopir pribadi. Saat ayahnya mengalami sakratulmaut
hingga mengembuskan napas terakhir, Mago berada di sisinya, merasakan kesedihan
yang tak terlupakan.
Pandangan
Mago perlahan memburam, tetapi tekanan bunda kini membuatnya tak menyerah.
Pekerjaan tetap menjadi prioritas karena Bunda mendorongnya untuk terus mencari
uang. Suatu pagi, saat hendak ke kamar mandi, dia terbentur tembok karena
penglihatannya sangat menurun. Meski terkejut, tanggung jawab pekerjaan tetap
di benaknya. Beruntung, dia telah mengaktifkan ponsel bicara. Dengan
meraba-raba, dia menelepon sahabatnya yang kemudian mengantarnya ke rumah sakit
mata. Dokter mengkonfirmasi prediksi sebelumnya bahwa kebutaan lambat laun akan
dialaminya, dan kini prediksi itu terbukti benar.
Dengan
kondisi kebutaan, Mago tak lagi mampu bekerja dan memutuskan mengundurkan diri
dari pekerjaannya sebagai staf keuangan di sebuah retail ternama di Jakarta.
Meskipun atasannya menawarkan fasilitas khusus agar dia tetap bertahan, tekad
bulatnya membuat dia tetap pada keputusan itu. Mago hanya menceritakan hal ini
kepada kakaknya, takut akan reaksi Bunda dan merasa tak sanggup mendengarnya.
Dunia
baru mewarnai hari-hari Mago yang masih bertahan di rumah kos. Temannya selalu
membantu, dan bantuan dari orang lain menjadi andalannya. Kebiasaan Mago
meminta bantuan pada jam tertentu menjadi patokan bagi temannya. Suatu hari,
temannya curiga karena Mago belum juga meneleponnya. Saat datang ke kamar Mago,
dia melihat pintu terkunci dan pendingin ruangan menyala, tetapi tidak ada
suara. Setelah berulang kali mengetuk pintu tanpa jawaban, temannya mencari
bantuan. Bersama penjaga rumah kos, mereka membuka pintu kamar Mago dengan
kunci cadangan.
Ternyata,
Mago tergeletak bersimbah darah setelah mencoba bunuh diri dengan memotong urat
nadinya. Beruntung, nyawanya masih bisa diselamatkan. Mago mencoba bunuh diri
lagi dengan berjalan menuju jalan utama, berharap ditabrak mobil. Namun, dia
selamat dengan hanya luka ringan. Dua kali percobaan bunuh diri membuatnya
pasrah. Kasih sayang kakaknya membawa Mago tinggal di luar kota bersama
keluarganya. Kondisi kebutaannya dirahasiakan dari Bunda. Kakaknya merekam
aktivitas Mago dan mengirimkan videonya ke Bunda. Menyadari kondisi anaknya,
Bunda menelepon sambil menangis. Mago hanya diam, takut mengucapkan kata-kata
yang tak berkenan. Tekanan dari Bunda masih menghantui batinnya.
Kasih
Tuhan membuka jalan bagi Mago melalui media sosial, di mana dia menemukan Rumah
Mata dan kesempatan menata hidup baru. Dengan bantuan kakaknya, Mago pindah ke
rumah kontrakan dekat Rumah Mata dan menjadi mandiri. Bunda tetap berharap Mago
mencari uang. Ketika Mago mengirim video bermain futsal dengan teman-teman
tunanetra, Bunda bertanya, “Apa gunanya?”
Mago
kecewa, karena ingin menunjukkan kebahagiaannya dalam komunitas tunanetra. Ia
ikhlas menjalani hidup sebagai tunanetra, bangga bersosialisasi dalam
keterbatasan. Kebutaan mendekatkan hubungan keluarga, dan dukungan kakak sangat
dirasakannya. Kemandirian tetap menjadi prinsipnya. Meski buta, Mago semangat
bekerja sebagai konsultan keuangan, motivator seminar, dan pendengar di yayasan
mental.
Saat
aku ditawari untuk mengikuti lomba menulis cerpen dengan tema bebas, aku
langsung teringat sahabatku, Mago Sinatria, yang selalu memberi inspirasi.
Dengan semangat yang membara, aku menulis cerita berjudul “Sahabat Cinta”.
Sebelum mengirimkan cerita itu untuk lomba, aku meminta pendapat Mago. Meskipun
tersanjung menjadi tokoh dalam cerita, Mago memberikan koreksi yang berharga.
Aku merevisinya sesuai saran dan masukan dari Mago sebelum akhirnya mengirimkannya.
Hari-hariku
semakin dekat dengan seorang pemuda yang tidak suka makanan jeroan. Suara
mantap Mago, hampir seperti seorang penyanyi, membuatku meminta dia menyanyikan
lagu favoritku. Aku baru tahu Mago pernah mencapai tahap 14 besar dalam lomba
bakat penyanyi di televisi swasta sebelum memutuskan mundur. Kabar dari Mba
Diah, temanku yang mengajakku ikut lomba menulis, menggembirakan: ceritaku
“Sahabat Cinta” juara pertama. Ketika kubagikan kabar ini pada Mago, jawabannya
sungguh mengesankan. Dia mengirimkan pesan suara, menyanyikan “Melukis Senja”
sambil memberi pujian padaku, dan berjanji selalu ada untukku. Hadiah dari Mago
lebih berharga daripada hadiah lomba yang kudapat.
Kejujuran
adalah pondasi rumah tanggaku dengan suami, termasuk hubunganku dengan Mago
Sinatria.
Rekaman
suara Mago masih tersimpan di ponselku, menjadi obat rindu bagiku. Aku ingin
tahu perasaannya padaku, apakah dia merasa terganggu? Sikap tulusnya membuatku
yakin sebaliknya, tetapi apakah ini hanya simpati belaka untuk membangkitkan
kepercayaan diriku dalam menghadapi masalah? Hubungan kami hanya sebatas
sahabat, dan sejak Ramadan ini, komunikasi kami terasa renggang. Pesanku tak
lagi direspons, dan penjelasannya pun jarang jelas. Saat bertemu di Rumah Mata,
aku bertanya mengapa sikapnya berubah, apakah ada yang salah? Jawabannya
simpel, tapi rasa penasaranku terus menggunung. Aku butuh kejelasan, jika aku
bukan lagi sahabat dekatnya, mengapa dia enggan jujur atau menjelaskan alasan
mundur tanpa jejak?
Mago…
lebih baik kau berterus terang. Mengapa kau berubah? Jangan hanya diam dan
menghilang tanpa kutahu apa penyebabnya. Jujurlah, Mago, biar ada kejelasan
untukku dan tak terjadi kesalahpahaman di antara kita. Meski menyakitkan,
kutunggu penjelasan darimu, Mago.
Saat
kami berbicara tentang masakan, aku bercerita bahwa papiku suka sayur asem
buatanku, dan Mago tertarik mencobanya. Ketika aku ingin memberikannya
kepadanya di Rumah Mata, ternyata Mago tidak ada di rumah, hanya sepupunya yang
menerima sayur asem itu. Aku mengirim pesan suara dan Mago kemudian
menghubungiku, menjelaskan bahwa selama ini dia jarang merespons karena sedang
menjalani kemoterapi akibat tumor getah bening. Mendengar ini, aku teringat
bagaimana Mama dulu mengalami hal serupa. Meskipun ada kelegaan, kesedihan juga
meliputi hatiku saat membayangkan penderitaan Mago, seorang tunanetra dengan
kondisi tambahan kelainan kaki, yang kini harus menghadapi cobaan yang begitu
berat.
Hubunganku
dengan Mago memang merenggang. Meskipun sesekali aku masih mengirimkan pesan
suara menanyakan kabarnya, jarang sekali dia membalas. Aku yakin Mago kuat
menghadapi takdirnya sendiri. Lama kelamaan, hubungan kami benar-benar putus.
Aku bingung dengan drastisnya perubahan sikap Mago, yang tidak pernah merespons
pesanku lagi. Bahkan, teman-teman di Rebu Kupi pun penasaran tentang
keadaannya. Meski miris, hatiku menerima kenyataan ini. Aku sadar bahwa jika
Mago tidak menjawab pesanku, itu berarti dia ingin menjauh dariku. Entah apa
yang ada di pikiran Mago, yang terpenting aku bersyukur telah mengenal Mago
Sinatria meskipun hanya sebentar, karena banyak kesan indah dari hubungan kami
yang menjadi pelajaran berharga bagiku.
Mago,
aku merindukan suara tawamu, bahkan gelak tawamu masih selalu terngiang jelas
di anganku. Mago, maaf bila kemarin hari-harimu terusik kehadiranku, maaf untuk
segalanya. Mago… terima kasih, meski sesaat kebersamaan kita, tetapi kisah
indah telah terukir dan banyak pelajaran yang kudapat darimu.
Posting Komentar