Cantika, secantik hatimu bagian 1
Sebuah
toko roti di sudut Jalan Cemara di kota ini tampak sepi. Ya, sejak sebulan ini,
toko yang berlabel "Timoti" ini memang kerap kali tampak sepi, bahkan
nyaris tak ada pengunjung. Setiap harinya, pengunjung bisa dihitung dengan jari
tangan. Begitu juga hari ini, meski jam telah menunjukkan setengah dua siang,
omset toko belum didapatkan sepeserpun.
Seorang
wanita berkacamata dengan rambut lurus sepunggung tergerai, pemilik toko ini,
diam tertegun menatap dagangannya satu demi satu yang terpajang di etalase.
Meski hanya ada beberapa jenis saja, itu karena si empunya toko sengaja menjual
sedikit jenis roti sebab penjualannya sedang sepi. Lantas, dibuanglah tatapan
itu ke arah jalan yang ramai oleh hilir mudik kendaraan serta orang-orang yang
melintas di depan toko.
"Hem,
gimana ya caranya supaya toko ini ramai lagi seperti dulu?" ucapnya
sendiri. Dia memejamkan mata, terbayang kala toko yang dia dirikan bersama
suaminya ramai dikunjungi pembeli. Bahkan Bu Tati, sang koki pembuat racikan
aneka roti dan kue kering yang merupakan kakak iparnya, selalu dibuat sangat
sibuk untuk membuat aneka roti serta kue supaya bisa memberi kepuasan pada
pembeli.
Si
empunya toko, yang bernama Titi, tersenyum kecil. Dia merasa senang kala bisa
menghadirkan rasa bahagia itu dengan penjualan yang fantastis di toko roti
Timoti ini. Ketika kembali membuka matanya, senyum itu pudar. Kenyataannya,
saat ini sepeninggalan suami serta kakak iparnya yang menjadi korban pada
jatuhnya pesawat terbang yang akan membawa mereka ke kampung halaman, toko roti
Timoti kini sepi.
Titi
bersorak dalam hati ketika ada seorang gadis masuk ke dalam tokonya.
"Permisi,
Bu," ucap gadis berkerudung biru langit memberi salam. Titi segera berdiri
menghampirinya.
"Iya,
Mba, ada yang bisa saya bantu?" kata Titi dengan sopan, siap memberi
pelayanan terbaiknya.
"Maaf,
Ibu, apa di toko ini masih membutuhkan karyawan?" jawab gadis itu menatap
Titi penuh harap.
"Maaf,
Ibu, soalnya saya sedang mencari pekerjaan," lanjut gadis itu tertunduk
karena tak kuasa melihat sorot mata Titi yang seakan menyatakan penolakan.
"Saya
butuh uang untuk pengobatan ibu saya yang sedang sakit," lanjutnya. Titi
menghela napas.
"Siapa
nama kamu?" tanya Titi dengan intonasi suara yang tegas.
"Cantika,
Bu," singkat gadis berparas ayu itu menjawab. Ya, gadis ini memang cantik
meski sebagian tubuhnya tertutup karena dia mengenakan baju gamis serta hijab
yang sangat sederhana. Namun, pancaran kecantikannya jelas berkilau dari bola
matanya yang bulat ditambah lentiknya bulu matanya serta lesung pipi yang jelas
tampak ketika dia tersenyum.
"Maaf,
Cantika, toko saya sedang sepi jadi saya belum membutuhkan karyawan," ucap
Titi penuh wibawa.
"Sekarang
saja saya sudah tidak lagi memproduksi roti dan kue sendiri. Saya mengambil
dagangan dari adik sepupu suami saya," lanjut Titi membuang pandanganya ke
jalan raya.
"Sejak
suami dan kakak ipar saya meninggal setahun kemarin, kondisi toko perlahan
menurun. Lima pegawai saya berhentikan karena omset toko merosot drastis.
Beruntung ruko ini adalah milik pribadi jadi saya tidak perlu memikirkan sewa
ruko," tambahnya lalu dia berjalan ke tempat semula lantas duduk di
kursinya.
Cantika
mengangkat wajahnya, tersenyum dan berkata, "Maaf, Ibu, bila kedatangan
saya telah mengganggu Ibu." Dia bersiap melangkah.
"Permisi,
Bu," ucapnya sambil keluar dari dalam toko.
Sore
ini, sinar mentari terasa sangat menyengat. Udara panas sekali, seakan angin
pun tak lagi bekerja. Cantika duduk di serambi sebuah musollah yang berada di
kawasan sebuah rumah sakit. Dia baru saja mengerjakan salat ashar setelah
berjalan keluar masuk toko di sepanjang jalan untuk melamar pekerjaan. Ketika
azan ashar berkumandang, posisi berdirinya tepat di pintu masuk sebuah rumah
sakit, maka Cantika memutuskan untuk mencari musollah di kawasan rumah sakit
ini. Dia ingin pulang, tapi bayangan sosok ibunya yang terbaring karena stroke
membuatnya memutar otak bagaimana cara mendapatkan uang.
"Apa
aku pulang saja ya, tengok Ibu dulu baru keluar lagi nyari kerja?"
gumamnya dalam hati menimbang apa yang harus dia lakukan. Sejenak, Cantika diam
menggigit bibirnya, lantas dia menghela napas, menggeleng, dan beranjak
berdiri.
"Aku
pulang saja ah, lihat gimana keadaan Ibu," ucapnya untuk diri sendiri
sambil melangkah.
Baru
kira-kira lima meter Cantika berjalan, tiba-tiba ada suara yang memanggilnya.
"Tunggu,
Mba," suara seorang wanita terdengar dari dalam musollah. Cantika menoleh
dan menatap wanita berkerudung putih berbunga melangkah menghampirinya. Cantika
diam menanti sang wanita. Dalam hati, dia bertanya, "Ada apa ya?"
"Maaf,
Mba, apa Mba bisa bantu saya?" tanya wanita itu setelah berdiri di hadapan
Cantika. Raut muka Cantika mengambarkan pertanyaan, namun senyum kecil dia beri
sebagai tanda penghormatannya.
"Nama
saya Dila. Saya sedang mencari seseorang yang mau mendonorkan darahnya untuk
anak saya yang sedang dirawat karena kecelakaan," katanya menatap Cantika
penuh iba.
"Tadi
saya sudah ke ruang donor, tapi petugas di sana mengharuskan saya menukar darah,
eh maksudnya..." Wanita itu menghentikan ucapannya ketika getar ponselnya
dia rasakan.
"Maaf,
bisa tunggu sebentar," katanya sembari mengambil ponsel dari dalam tas
selempangnya. Cantika diam.
Wanita
itu menggeser posisi berdirinya sedikit dan langsung berbicara dengan lawannya
dalam percakapan jarak jauh. Cantika menolehkan pandanganya ke arah lain karena
tak mau ikut campur urusan orang lain.
"Maaf,
Mba, tadi suster yang menelpon meminta saya segera menyerahkan kantung darah
untuk anak saya," kata Dila dengan raut muka kesedihan. Cantika hanya
membalas dengan senyuman.
"Anak
saya korban tabrak lari dan dia membutuhkan tiga kantung darah. Yang dua sudah
ada, itupun suami saya dan adik sepupu saya yang mendonorkan darah," kata
Dila masih terus menatap Cantika.
"Nah,
yang satu lagi saya belum dapat. Makanya, Mba mau enggak mendonorkan darahnya
untuk anak saya?" sambung Dila sambil meraih lengan Cantika dan
memegangnya penuh permohonan.
"Tapi,
Bu, saya tidak tahu apa golongan darah saya sendiri dan takutnya tidak sesuai
dengan golongan darah anak Ibu," Cantika berkata. Dila menatapnya penuh
arti.
"Jadi,
Mba belum tahu apa golongan darah Mba sendiri?" tanyanya. Cantika
mengangguk.
"Ya
sudah kalau gitu kita coba saja ke laboratorium. Kita tes apakah golongan darah
Mba sama seperti golongan darah anak saya," pinta Dila penuh harap.
"Namun
sebelumnya, saya mohon maaf ya, Bu, kalau nanti saya tidak bisa bantu
Ibu," ucap Cantika lembut yang membuat Dila tersenyum.
Cantika
sudah mendonorkan darahnya untuk anak Bu Dila. Dari hasil pemeriksaan, ternyata
golongan darah Cantika sama dengan apa yang dibutuhkan.
"Terima
kasih ya, Cantika," kata Bu Dila yang menemaninya duduk untuk beristirahat
setelah mendonorkan darahnya. Cantika tersenyum.
"Iya,
Ibu, dan udah enggak usah begitu, Bu. Saya jadi malah ngerasa sungkan
diperlakukan seperti ini sama Ibu," ucap Cantika. Ya, itu karena Dila
sudah lebih dari sepuluh kali mengucapkan terima kasih pada Cantika yang telah
mendonorkan darahnya. Dila tersenyum.
"Okelah.
Sekarang habiskan dulu snack-nya untuk mengembalikan tenagamu," kata Dila
yang duduk berhadapan dengan Cantika di lobi laboratorium.
Setelah
menghabiskan sepotong roti dan sekotak susu kemasan serta sebungkus kecil
biskuit, Cantika bermaksud pamit pulang.
"Sekarang
saya pulang dulu ya, Bu," kata Cantika bersiap berdiri.
"Kamu
pulang ke mana, Cantika?" tanya Dila yang juga berdiri.
"Rengas,
Bu," singkat Cantika menjawab.
"Tapi
ini sudah mau magrib, mungkin saya mau salat dulu, Bu," lanjut Cantika
mendekati Dila dan bersalaman.
"Oh,
ya, kalau gitu kita bareng aja ke musollahnya," jawab Dila dan keduanya
pun melangkah menuju musollah.
"Saya
pamit dulu, Bu," ucap Cantika meraih tangan Dila dan mencium punggung
tangannya. Dila membiarkan Cantika melakukannya sambil sebelah tangannya
menepuk bahu gadis manis ini.
"Hati-hati
ya, Cantika," kata Dila lantas dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya dan
memberikan pada Cantika.
"Ini
buat kamu," katanya menyodorkan sebuah amplop putih. Cantika terkesima
menatapnya.
"Apa
ini, Ibu?" tanyanya lugu.
"Terimalah,
Cantika. Ini tanda kasih untuk kamu," ucap Dila meraih tangan Cantika dan
memberikan amplop itu.
"Ini
tak sepadan dengan pertolongan kamu, jadi ambilah," lanjut Dila.
"Saya
ikhlas mendonorkan darah saya dan saya senang kok, Bu, melakukannya,"
timpal Cantika berusaha menolak, namun Dila tersenyum menepuk bahu Cantika.
"Saya
percaya dan saya yakin gadis secantik kamu pastilah juga memiliki hati yang
cantik," jawab Dila tersenyum dan membuat Cantika tersipu.
"Sudah
terima dan segera pulang sana, kan jarak rumah kamu lumayan dari sini, nanti
malah keburu malam lagi," lanjut Dila meraih bahu Cantika dan memeluknya.
Cantika membalas pelukan itu tanpa terasa dia meneteskan air mata.
"Sekali
lagi terima kasih ya, Bu, dan semoga anak Ibu lekas sehat lagi," kata
Cantika ketika mereka telah melepas pelukan.
"Sama-sama,
Cantika," jawab Dila tersenyum.
Di
halte bus, Cantika duduk lantas membuka amplop itu dan betapa terkejutnya dia
ketika melihat jumlah uang yang ada di dalam amplop.
"Subhanalloh,"
ucapnya lantas menghitung lembaran yang ada.
"Masya
Allah, banyak amat ini sampai sejuta," ucapnya sendiri lantas dia
memasukan amplop itu ke dalam tas selempangnya.
"Alhamdulillah,
terima kasih ya Allah," lanjutnya mengusap wajah dengan kedua belah
telapak tangan.
Langkah
Cantika terhenti di mulut gang dekat rumahnya ketika dia melihat seorang anak
perempuan berkuncir kuda sedang duduk dengan menopangkan dagunya pada kedua
lutut yang disatukan. Cantika mendekati anak itu.
"Sari..."
katanya saat menyadari anak itu adalah Sari, tetangganya. Sari menoleh sejenak
ke arah suara lantas dia merubah posisi duduknya.
"Ngapain
kamu di sini?" tanya Cantika yang berjongkok di samping Sari.
"Aku
enggak berani pulang, Mba Tika," ucap Sari lirih. Cantika memandang wajah
Sari yang sayu.
"Kenapa
emang?" lanjut Cantika bertanya. Dia melihat ada kumpulan air mata di
sudut mata Sari. Sari menggeleng dan menyatukan kembali lututnya.
"Kakak
kan tahu kalau aku pulang tidak bawa uang pasti Ibu marah," katanya
sedikit terpatah karena menahan isak. Cantika meraih bahu Sari dan membawanya
dalam pelukan.
"Apa
hari ini kamu tidak mengamen?" tanya Cantika sambil menepuk bahu Sari yang
menangis. Sari menggeleng.
"Aku
tadi bantuin Bu Lastri di warungnya, tapi tidak dibayar, katanya didobel
besok," ucap Sari dengan isakan.
Cantika
melepas rangkulanya dan menatap Sari lembut.
"Ya
udah, jangan nangis, yuk kita pulang," ajak Cantika lantas dia beranjak
berdiri. Sari menggeleng dan tetap duduk di jalan.
"Aku
takut sama Ibu," Cantika tertawa kecil.
"Dah
enggak usah takut," kata Cantika sambil membuka tasnya dan mengambil
selembar uang dari dalam amplop.
"Ini
nanti kasih Ibu kamu," kata Cantika menyodorkan selembar uang dan Sari pun
terbelalak melihat lembaran merah senilai seratus ribu.
"Buat
aku, Kak?" tanyanya masih tak percaya. Cantika mengangguk sambil
tersenyum.
"Dah
bangun yuk kita pulang, ini udah jam sembilan lewat, nanti malah Ibu kamu
kuatir lagi," ucap Cantika mengulurkan tangan meminta Sari berdiri.
Di
pertigaan jalan, mereka berpisah setelah Sari menyalami Cantika dan mengucapkan
terima kasih. Dia langsung berlari ke rumahnya yang masih berjarak 150 meter.
Cantika menatap Sari dengan haru lantas dia menarik napas dan menghempaskannya
perlahan.
"Ya
Allah, kasihan kamu Sari, tapi alhamdulillah aku bisa membantunya,"
ucapnya sendiri kemudian dia melangkah menuju rumahnya.
Langkah
Cantika tertahan manakala dia melihat rumahnya ramai sekali oleh tetangga.
"Ada
apa?" batinya lantas dia kembali melangkah penuh tanda tanya.
Salah
seorang tetangga yang melihat kedatangan Cantika segera menghampirinya.
"Cantika,
darimana saja kamu?" kata seorang lelaki paruh baya.
"Ada
apa ya, Mas Cecep?" tanya Cantika penasaran.
"Ibumu
meninggal," kata Cecep lirih. Bagai tersengat listrik tegangan tinggi,
Cantika diam memelototi laki-laki di hadapannya.
"Iya,
tadi sore pas azan magrib Bu Ijah ingin menengok Ibu kamu, tapi pas dia sampai
dan ngeliat Ibu kamu telah kaku, makanya dia berteriak minta tolong, barulah
para tetangga datang dan ada Dokter Linda yang memastikan bahwa ibumu telah
meninggal dunia," jelas Cecep.
Cantika
duduk di depan gundukan tanah yang masih bertabur bunga. Tanah yang baru saja
menutupi jasad ibunya yang telah dikuburkan. Cantika diam tanpa ekspresi. Air
matanya terus saja membasahi pipinya, bahkan kedua kelopak matanya membesar,
pertanda dia tak berhenti menangis.
"Kamu
harus ikhlas, Tika. Jangan diberatkan perjalanan ibumu," kata seorang pria
yang berdiri di hadapannya.
"Ingat
perjalanan hidupmu juga masih panjang dan Bapak berharap kamu mesti tegar
ngejalaninya," lanjut pria itu. Cantika menoleh sejenak dan mengangguk.
"Ayo
pulang bareng Bapak," ajak pria itu.
"Duluan
aja, Pak Haji," jawab Cantika.
"Kamu
mau ngapain lagi? Kalau mau ngedo'ain ibumu dari rumah saja, tidak baik seorang
gadis sendirian di pemakaman," kata pria itu.
Menyadari
perkataan pria itu, Cantika perlahan berdiri sambil mengusap nisan ibunya dan
dalam hati dia berpamitan, "Tika pulang dulu ya, Bu."