Duka masa lalu bagian 2
Seorang
wanita berpapasan dengan laki-laki tepat di depan rak sepatu. Hawa sore yang
sejuk di Masjid Rohmatul Huda seakan membungkus pertemuan tak terduga itu
dengan nuansa nostalgia. Wanita itu merasa mengenali laki-laki di hadapannya.
Dia mencoba untuk memastikannya dengan perasaan bercampur aduk antara ragu dan
harap.
“Kamu
Lukman, ‘kan?” tanya wanita yang berdiri setelah memakai sepatu yang baru saja
diambilnya dari rak penitipan. “Iya, kamu Lukman Aditya, ‘kan? Aku yakin kamu
Lukman.”
Wanita
berbaju muslimah sederhana biru itu meyakinkan dirinya bahwa laki-laki di
hadapannya adalah Lukman, kekasih hati yang pernah hilang. Laki-laki itu tampak
terkejut.
“Kamu
... Tantri,” jawab Lukman dengan suara gagap, tak percaya pada penglihatannya.
“Iya,
aku Tantri. Kamu ngapain di sini?” tanyanya lagi, mencoba mencari kejelasan di
tengah perasaan yang meluap.
Lukman,
yang kini sedikit lebih tenang setelah menyadari bahwa wanita cantik dan anggun
di hadapannya adalah Tantri, mantan kekasihnya, mengajak Tantri menepi karena
di sekeliling mereka ada banyak mata yang mengawasi.
“Kita
cari tempat yang lebih aman aja,” kata Lukman dengan nada lebih tenang.
Tantri
mengangguk setuju dan keduanya pun berjalan menjauh dari keramaian dengan
perasaan yang penuh dengan kenangan masa lalu.
Warung
pecel ayam Bu Ani adalah tempat pertama kali mereka bertemu kembali setelah 7
tahun tidak saling jumpa. Obrolan santai mengisi pertemuan itu, seolah semua
kisah hidup harus tercurah di warung sederhana ini. Tantri menanyakan kehidupan
pribadi Lukman, lengkap dengan berbagai pertanyaan tentang keluarga dan
pekerjaan Lukman.
“Gimana
kabar kamu? Sudah punya anak berapa? Sekarang kamu kerja apa? Eh, tadi di
masjid kamu ngapain?” Tantri melontarkan pertanyaan-pertanyaan itu sambil
tersenyum malu. “Maaf, aku penasaran sih,” lanjut Tantri tertawa kecil.
Lukman
hanya tersenyum melihat kelakuan Tantri yang masih sama seperti dulu - riang
dan ceria, seolah dunia selalu indah. Namun, Tantri merasa ada yang aneh dengan
penampilan Lukman sekarang. Lukman yang dulu di hatinya selalu tampil rapi,
dengan celana bahan dan baju koko yang menjadi ciri khasnya. Kini,
penampilannya tampak kusut dan tidak terurus.
“Kok
penampilan kamu beda, sih? Ada apa, Man?” Tantri penasaran, melanjutkan
pertanyaannya karena Lukman hanya diam tersenyum menatap dirinya.
Lukman
yang dicecar peluru pertanyaan dari Tantri menjawab, “Yah, beginilah keadaan
aku sekarang.”
Lukman
mengalihkan pandangannya menatap ke arah lain. “Istriku meninggal saat
persalinan anak kedua kami. Dia mengalami pendarahan hebat. Aku terlambat
membawakan kantung darah untuknya hingga istri dan bayiku meninggal bersama.
Tujuh hari kemudian, putri sulungku mendadak demam. Badannya panas. Aku berniat
membawanya ke bidan dekat rumah, tetapi sayang, di tengah jalan Bela
meninggal.”
Kali
ini, Lukman tertunduk diam, menghela napas. Dia mengangkat kepala, tersenyum
dan menggeleng, lalu melanjutkan ceritanya. “Sudah setahun aku nggak tahu mau
ngapain. Makanya aku menghabiskan waktu di masjid itu, menjadi marbot saja.
Pagi atau sore hari, aku bekerja sebagai juru parkir di depan mini market di
pertigaan jalan. Yah, beginilah nasib seorang duda.”
Tawa
kecil terdengar dari Lukman, meski tawa kecut yang keluar. Tantri diam dengan
berjuta kata yang dipendam saat Lukman memaparkan segala kisahnya sampai hari
ini. Genangan air terlihat di sudut mata Tantri setelah Lukman selesai
bercerita. Untuk meredakan suasana, Lukman bertanya balik tentang kegiatan
Tantri sekarang.
“Kalau
kamu gimana?” Tatapan Lukman tepat beradu dengan tatapan Tantri yang sejak tadi
terus memandang Lukman. “Sudah punya anak berapa? Terus tadi kamu ngapain di
Masjid Rohmatul Huda?”
Suasana
sejenak hening. Tantri menghembuskan nafas panjang, tersenyum, lalu menggeleng.
“Aku salah memilih suami.”
Dia
tertunduk setelah mengucapkan kata-kata itu. Penasaran, Lukman bertanya,
“Maksudnya apa?”
“Aku
trauma sama kaum adam, karena penilaianku bahwa kalian hanya hadir untuk
menyakiti hatiku saja.” Senyum getir terlintas dari bibir mungil Tantri.
“Maaf,
itu hanya versi aku aja loh, hahahahaha ….” Tawa getir terdengar dari Tantri,
mencoba menutupi perasaannya. “Bapak menceraikan ibu karena tergoda sama wanita
lain dan pergi entah ke mana. Aku sendiri nggak tahu keberadaannya.”
Tantri
menolehkan pandangannya ke arah lain. “Terus, kamu tahu sendiri kelakuan Candra
si pemalas yang hanya memanfaatkan ibu untuk numpang hidup saja,” tegas Tantri
mengutarakan pikirannya.
“Pak
Candra ayah tirimu?” sela Lukman.
Tantri
mengangguk dan menatap Lukman. “Terus, kamu masih ingat kasus Agus?”
Lukman
kembali menyela cerita Tantri. “Iya, apa kabar tuh orang?”
“Aku
nggak tahu. Cuma dari dia aku sadar bahwa Agus itu pengecut. Katanya cinta sama
aku dan siap bersaing sama kamu, eh, malah dia takut. Kabur, kawin sama
perempuan lain. Ah, dasar aja ember.” Kini tawa Tantri benar-benar riang,
meledek sosok Agus dalam ceritanya. Lukman hanya tersenyum merespons cerita
Tantri. “Eh, giliran kamu yang ikut-ikutan pengecut.”
Lurus
tatapan kebencian Tantri beradu dengan tatapan Lukman yang menanti kelanjutan
cerita Tantri. Menyadari tatapan itu, Lukman tertunduk.
“Ngapain
kamu terima perjodohan ayahmu, dan katamu kamu nggak cinta sama Mira tapi
kalian bisa punya anak. Katanya cintamu hanya buat aku tapi mana buktinya? Tapi
sudahlah, mungkin itu perjalanan cintaku dan ini yang membuat aku trauma dan
berjanji untuk tidak mengenal kaum adam.” Tantri terdiam sejenak. “Aku takut
jatuh cinta dan sakit hati lagi.”
Tantri
membenarkan posisi duduknya, sementara Lukman hanya bisa diam.
“Ibu
memaksaku menikah, dan dia menjodohkanku sama teman arisannya. Awalnya aku
menolak mentah-mentah, namun ibu tetap memaksa. Setelah aku bertemu dengan Ardi
hingga kami sering jalan bareng, yah jadilah kami menikah. Ardi tampan, tajir.
Pekerjaannya sebagai pengusaha wallpaper yang telah memiliki 11 toko yang
tersebar di Jabodetabek membuat semua kebutuhan finansialku sangat mencukupi,
tapi ....” Tantri mengganti posisi duduknya. “Selama lima bulan aku menikah,
Ardi tak pernah menyentuhku sama sekali. Jangankan berhubungan badan, mencium,
bahkan bermesraan pun tak aku dapati.”
Tantri
diam, memandang langit-langit ruangan. “Aku berusaha mencari tahu keanehan dari
suamiku. Eh, ternyata di suatu sore, tak sengaja aku melihat Ardi sedang
menggandeng seorang laki-laki masuk ke dalam sebuah mal. Aku mengikutinya tapi
aku kehilangan jejak saat itu.”
Tantri
diam lagi, tapi kini Lukman meraih botol air mineral, membukanya, dan
memberikannya kepada Tantri. Tantri menerima, meneguk air itu, lalu melanjutkan
ceritanya.
“Sejak
hari itu rasa penasaranku kian meroket, kuselidiki semua barang pribadi suamiku
di rumah, tapi nggak ada yang mencurigakan, dan tibalah hari petaka itu. Semua
kelakuan Ardi lengkap kuketahui.” Tantri menarik nafas, menghela. “Aku sengaja
membuntuti Ardi dengan membayar orang, dan Tarno—orang bayaranku—menelepon
untuk memintaku datang ke apartemen MTH SKUER. Tanpa berpikir panjang, aku
pergi ke tempat itu dan langsung menuju kamar 816 sesuai petunjuk Tarno.”
Tantri
berhenti, membuat Lukman penasaran.
“Terus
kamu lihat apa?” tanya Lukman penasaran.
“Hahahaha
... penasaran ya?” Tantri tertawa riang, sementara Lukman mengangguk.
“Aku
langsung menuju kamar itu. Pas di depan pintu, aku memegang gagangnya. Eh,
ternyata tidak terkunci? Aku masuk saja, tapi mencoba untuk tidak bersuara.
Mataku terbelalak saat melihat Ardi sedang bercumbu dengan seorang laki-laki
yang sama seperti kemarin, yang aku lihat digandeng Ardi.” Tantri meremas
jemarinya. “Ardi adalah penyuka sesama jenis, dan sejak hari itu aku pergi
meninggalkan rumah dan terus mengajukan surat cerai.”
“Ya
gitulah.” Tantri mengembuskan napas gusar. “Tragiskan? Aku sudah menikah tapi
belum pernah tersentuh oleh suamiku.”
Tantri
meraih botol air mineral dan meneguknya. Lukman mendengarkan cerita Tantri
sambil sesekali mencuri pandang. Bagi Lukman, wajah Tantri semakin cantik di
balik hijabnya.
“Kamu
tambah cantik dan dewasa, Tantri.”
Lukman
menatap lurus wanita di hadapannya, sementara Tantri terkesima dengan kata-kata
Lukman. Dia tersipu malu dan tersenyum manis. Kesimpulan pertemuan mereka yang
menggoda, lebih dari satu jam berdua di warung pecel Bu Ani. Kebersamaan
berakhir saat Tantri menerima telepon dari temannya. Tantri membayar makanan
yang mereka nikmati dan segera berpamitan.
“Aku
balik dulu, ya.”
Tantri
berdiri, membalikkan badannya, dan melangkah meninggalkan Lukman. Lukman
memandang kosong, seolah hendak mencegah Tantri pergi. Namun apalah daya,
Tantri pergi dengan sepeda motornya.
Malam
larut, dalam kesunyian, Tantri belum dapat memejamkan mata. Dia teringat Lukman
yang tadi siang telah mengusik hatinya dengan cerita dukanya. Tantri membuka
laci meja rias yang terletak di samping ranjangnya, mengambil sebuah tasbih
berwarna putih. Ya, tasbih itu adalah pemberian dari Lukman. Dalam
genggamannya, Tantri memandang butiran manik-manik berjumlah 33 berwarna putih,
sesekali menciumnya.
“Man,
aku masih simpan tasbih ini.”
Ingatan
Tantri kembali ke masa lalu, terbayang kejadian malam Minggu saat Lukman
berkunjung ke rumahnya. Setelah salat Isya berjamaah, Lukman sesekali mampir ke
rumah Tantri yang berada di depan masjid. Malam itu, Lukman mengenakan celana
panjang bahan hitam dengan baju koko lengan pendek berwarna abu-abu muda, duduk
di teras rumah Tantri. Obrolan santai penuh canda dan cinta terjadi di antara
keduanya. Lukman meredakan rasa di hatinya dengan menggenggam tasbih sambil
memainkan manik-maniknya. Di tengah obrolan, Tantri sejak awal melihat benda di
tangan Lukman, dan dengan berani ia meminta tasbih tersebut.
“Bagus
banget tasbih itu, boleh lihat?” pinta Tantri, sedikit memaksa.
Dengan
senyum manis, Lukman memberikan tasbih itu. Tantri memandang butiran manik-manik
itu sambil tersenyum, bergumam tak terdengar.
“Kalau
kamu suka, ambil saja tasbih itu,” kata Lukman, yang tak berani memandang wajah
cantik wanita yang duduk di sebelahnya.
Tantri
terdiam sejenak, masih memainkan tasbih itu. “Emang boleh?”
Lukman
mengangguk tersenyum, sambil berkata, “Simpan tasbih itu seperti kamu menyimpan
hatimu untukku.”
Sejak
malam itu, Tantri selalu membawa tasbih itu di dalam tasnya. Malam semakin
larut, Tantri terbuai dalam mimpi indahnya. Pertemuan tiga hari yang lalu
dengan Lukman membuat Tantri gelisah sehingga hari ini wanita yang berprofesi
sebagai guru Matematika di sebuah SLTA swasta ternama di kota ini melangkahkan
kakinya ke masjid, di mana kemarin dia tak sengaja menemukan kembali tambatan
hatinya. Selesai sholat, mata Tantri mencari keberadaan Lukman.
Lama
dia diam, pikirannya menelusuri semua tempat yang mampu ditembus pandangan
matanya. Lebih dari 10 menit dia mencari. Namun, tanpa berhasil menemui
laki-laki yang dicarinya. Setengah putus asa, Tantri berniat kembali. Motor
Vario yang dikendarai Tantri hendak berjalan, tiba-tiba suara yang dinantinya
terdengar memanggil namanya.
“Tantri,
tunggu.” Lukman melangkah mendekat ke arah Tantri. Dia terdiam menanti
laki-laki yang mendekatinya. “Mau ke mana?”
Pertanyaan
sederhana, tetapi membuat Tantri turun dari motornya dan memarkirkan kembali
kendaraan roda dua miliknya. “Habis sholat, tadi aku mencoba menunggu kamu tapi
udah dicari-cari kamu enggak ada. Ya udah, sekarang mau balik.”
Sang
ibu guru manis itu menebar pesona dalam senyuman penuh cinta. Lukman membalas
senyuman itu. Tantri mengajak Lukman untuk ngobrol bersamanya.
“Aku
lapar nih, kita makan yuk!” ajak Tantri penuh harap.
“Maaf,
tapi aku ga punya uang.” Lukman menjawab dengan malu-malu.
“Santai
saja, nanti aku yang bayar. Kan aku juga yang mengajak,” kata Tantri sambil
menyerahkan kunci motornya.
Kembali
di warung pecel Bu Ani, mereka menghabiskan waktu bersama. Selama makan, mantan
kekasih itu saling mencuri pandang, bahkan terkadang tatapan keduanya saling
beradu. Obrolan santai dalam rindu terpendam cukup mengesankan bahwa masih ada
cinta di antara mereka.
Tantri
bangkit untuk mencuci tangan di wastafel yang berada di belakang tempat duduk,
sementara mata Lukman mencari kesempatan untuk melihat wajah cantik wanita yang
dulu mengisi hatinya. Tantri kembali duduk di tempatnya, dan giliran Lukman
yang berdiri untuk mencuci tangan.
“Aku
senang sekali sekarang bisa ketemu lagi dengan kamu, Mas,” ucap Tantri dengan
menekankan panggilan ‘Mas’ untuk Lukman. Lukman tertegun memandang wajah Tantri
tanpa berkedip.
“Kamu
masih mau memanggil aku dengan sebutan itu?” tanya Lukman, tak percaya
mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Tantri, ditambah senyum menggoda
yang menggetarkan hatinya.
Ya,
Lukman teringat saat siang di sebuah restoran Padang di samping toko buku
langganan mereka. Saat itu Lukman memberikan sebuah kitab suci Al Qur’an
sebagai hadiah ulang tahun Tantri yang ke-18 tahun.
Saat
Tantri menerimanya dan membuka kotak berwarna biru muda, dia berkata, “Terima
kasih, Mas.”
Itulah
kata sayang untuk Lukman. Sejak saat itu, Tantri selalu memanggilnya dengan
sebutan ‘Mas’, meskipun usia mereka hanya terpaut 9 bulan.
“Masih
bolehkah aku memanggilmu ‘Mas’? Ini menandakan bahwa aku masih menyimpan
cintaku, sama seperti aku selalu menyimpan tasbih ini,” ucap Tantri sambil
mengeluarkan tasbih berwarna putih dari dalam tasnya.
Lukman
semakin terperangah, detak jantungnya mengencang tak percaya bahwa Tantri masih
menyimpan semua kenangan bersamanya. Lukman melihat Tantri mengenakan hiasan
hijab berbentuk bunga mawar merah muda yang pernah dia berikan. Tantri
benar-benar memamerkan semua barang yang pernah diterimanya dari Lukman selama
hubungan mereka, dan Tantri selalu menjaganya. Lukman tertunduk diam, suasana
hening menyelimuti keduanya.
Tantri
memutuskan keheningan dengan berkata, “Kitakan sudah sama-sama sendiri, mengapa
kita tidak mencoba membangun kembali kasih yang terpendam?”
Tantri
memberanikan diri mengungkapkan perasaannya dan meminta Lukman menerima
cintanya.
“Mas,
maukah kita serius untuk kedua kalinya?” pintanya sambil mengaduk-aduk minuman
di depannya, sambil menatap serius ke arah Lukman yang masih terdiam. “Aku
serius, Mas. Semoga kamu masih menyimpan cinta untukku,” lanjut Tantri, lalu
berdiri untuk membayar makanan.
Setelah
itu, Tantri pamit karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan. Dalam
diam, Lukman membiarkan Tantri pergi. Setiap hari Selasa, Tantri sengaja sholat
di Masjid Rohmatul Huda karena ingin bertemu Lukman, dan setiap hari Selasa
kebetulan Tantri mengajar les yang lokasinya tak jauh dari masjid tersebut.
Hari ini, seperti biasa, Tantri datang ke masjid setelah menunaikan
kewajibannya kepada Sang Pencipta. Tantri duduk di teras masjid, bola matanya
menyapu seluruh sudut yang bisa dijangkaunya. Namun, dia tidak menemukan orang
yang dicarinya. Ditengah keputusasaan, Tantri memberanikan diri bertanya pada
seorang yang sedang menyapu masjid.
“Maaf,
Pak, di mana Lukman sekarang?” Tantri bertanya dengan berani pada seorang
laki-laki paruh baya yang sedang menyapu di sekitar masjid.
Laki-laki
itu menjawab, “Sepertinya Lukman sedang pergi ke pasar atas perintah Pak Haji
Minan, Mbak.”
“Berapa
lama dia sudah pergi, Pak? Atau kira-kira kapan dia kembali?”
“Saya
tidak terlalu tahu. Kalau Mbak memang punya urusan dengan dia, bisa tunggu saja
di sini.”
“Baiklah,
Pak. Terima kasih banyak,” ucap Tantri cepat sebelum laki-laki itu pergi.
Tantri
memutuskan untuk menunggu Lukman di teras masjid. Dia duduk dengan buku
novelnya, sesekali membiarkan mata memindai sekeliling mencari Lukman. Setelah
sepuluh menit tanpa tanda Lukman, ponsel Tantri berbunyi. Ana, murid lesnya,
memberitahu bahwa dia sudah siap pulang lebih awal karena tak dijemput sekolah.
Tantri pun pergi dari masjid, melepaskan rindunya pada Lukman.
Seminggu
berlalu, pada hari Selasa berikutnya Tantri kembali ke masjid tempat dia
bertemu dengan Lukman. Setelah menunaikan sholat, Tantri duduk di teras masjid
seperti biasa, mencari keberadaan Lukman. Namun lagi-lagi, Lukman tidak
terlihat. Saat hendak bertanya, tiba-tiba Lukman keluar dari kantor masjid.
Tantri bergegas mendekatinya.
“Assalamu'alaikum,”
sapa Tantri begitu mereka berdekatan.
Lukman
menjawab salam itu, “Wa'alaikumussalam. Mari kita ngobrol di tempat lain.”
Dia
mengajak Tantri keluar dari masjid, dan Tantri mengikutinya. Lukman mengajak
Tantri ke sebuah taman tidak jauh dari masjid. Meskipun terik matahari terasa,
naungan pohon di taman itu memberikan sedikit kesejukan. Mereka duduk di sebuah
saung dekat kolam ikan.
Lukman
memulai pembicaraan dengan bertanya pada Tantri, “Apakah kamu tidak malu
mendekati seorang duda dengan kehidupan yang tak pasti, apalagi masa depan
suram?”
Tantri
tersenyum manis, merespons keluh kesah Lukman, “Mas, masa depan kita harus
dibangun, bukan direka-reka. Aku masih mencintaimu, Mas. Dan aku tahu kamu juga
masih mencintaiku.”
Tantri
berharap Lukman mau mempertimbangkan untuk memulai kembali hubungan mereka yang
terputus karena masalah keluarga.
“Ayo,
Mas, tidak ada salahnya kita mencoba merajut kisah cinta kita lagi.”
Lukman
tetap memandang lurus ke depan tanpa menjawab. Tantri terus berusaha meyakinkan
Lukman. “Kita sudah bukan remaja lagi dan aku ingin menghabiskan masa tua
bersama orang yang benar-benar aku cintai, dan itu adalah kamu, Mas. Aku yakin,
seyakin-yakinnya bahwa kamu juga masih mencintaiku.”
Tantri
memberanikan diri meraih tangan Lukman. “Lihat aku, Mas. Lamar aku, Mas. Aku
siap menghabiskan waktu bersamamu.”
Tantri
meminta dengan tegas, tetapi Lukman hanya diam membisu. Ponsel mereka selalu
mengakhiri pertemuan mereka. Sebelum pergi, Tantri meminta hati Lukman kembali.
“Aku
akan selalu menunggu hatimu, Mas. Semoga masih ada cintamu untukku.”
Tantri
berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan Lukman dengan senyuman yang penuh
keraguan. Selama dua minggu, Tantri tidak pergi ke masjid Rohmatul Huda karena
sibuk mengoreksi tugas-tugas muridnya. Hari ini, dia kembali ke masjid untuk
menemui Lukman. Saat Tantri memarkirkan sepeda motornya dan hendak masuk ke
dalam masjid, seorang laki-laki mendekatinya.
“Maaf,
apakah kamu Mbak Tantri, teman Lukman?” tanya laki-laki itu.
Tantri
mengangguk, merasa heran mengapa laki-laki ini tiba-tiba mendekatinya dan
bertanya demikian. Sebelum Tantri bisa bertanya lebih lanjut, laki-laki itu
memberikan sebuah amplop dari dalam sakunya.
“Ini
ada titipan dari Lukman.”
Tantri
menerima amplop putih itu, memegangnya dengan erat, dan memandang sampul
depannya yang kosong tanpa tulisan.
“Terima
kasih, Pak,” ucap Tantri, lalu dia diam sejenak, memandang amplop putih itu
dengan penuh tanda tanya.
Duduk
di teras masjid setelah sholat, Tantri segera membaca surat dari Lukman. Bagi
Tantri, seorang wanita yang mulia dengan kesolehannya, kata maaf dari Lukman
merupakan yang terbaik yang bisa ia minta. Surat itu berisi penegasan bahwa
Lukman merasa tidak layak menjadi imam dalam hidup Tantri karena kondisinya
yang tidak menentu secara finansial. Lukman mengakhiri suratnya dengan harapan
bahwa suatu saat nanti akan ada laki-laki yang lebih baik yang akan menjadi
imam Tantri. Tantri terdiam, air mata mengalir di pipinya saat ia melipat surat
tersebut.
Di
kejauhan, Tantri melihat laki-laki yang memberikan surat itu sedang menyapu.
Tanpa ragu, Tantri berdiri dan mendekati laki-laki tersebut. “Maaf Pak, di mana
Lukman sekarang? Boleh saya bertemu dengannya?” tanya Tantri dengan raut muka
kecewa setelah membaca isi surat tersebut.
“Lukman
sudah tidak menjadi marbot di masjid ini, dia pergi. Kalau mau tahu, tanyakan
saja ke Pak Haji Minan,” jelas laki-laki itu. Hatinya hancur, Tantri berusaha
menahan, tetapi air mata tak terbendung lagi.
“Pak
Haji ada di ruang kantor, tepatnya di lantai 2. Mbak bisa ke sana saja,” lanjut
laki-laki itu sebelum pergi meninggalkan Tantri.
Dipenuhi
rasa penasaran, Tantri mengikuti saran laki-laki tersebut dan segera menemui
Pak Haji Minan. Setelah mengetuk pintu, Tantri mendengar suara lembut menjawab
dari balik pintu.
“Assalamu'alaikum,”
sapa Tantri dengan sopan.
“Wa'alaikumussalam,”
jawab seorang laki-laki paruh baya yang berdiri di balik pintu, mendekat ke
Tantri. “Maaf, ada yang bisa saya bantu?”
“Maaf
Pak, saya ingin bertemu Pak Haji Minan,” jawab Tantri sambil tersenyum.
“Saya
Pak Haji Minan, Mba siapa?” Bapak itu bertanya lagi.
“Saya
Tantri Pak, boleh saya bicara dengan Bapak soal Lukman?” Tantri menatap Pak
Haji dengan harapan besar. Pak Haji mengangguk dan mempersilahkan Tantri masuk.
“Silahkan
masuk dan silahkan duduk,” ucap Pak Haji sambil kembali duduk di kursi
kerjanya. Tantri duduk di hadapan ketua masjid Rohmatul Huda ini, siap
mendengarkan penjelasan.
“Lukman
sudah menceritakan persoalannya dengan Mba Tantri. Dia masih menyimpan perasaan
untuk Mba Tantri, namun dia merasa malu dengan keadaannya saat ini,” ucap Pak
Haji menjelaskan. Tantri mendengarkan dengan hati yang teriris.
“Lukman
merasa tidak pantas untuk memperistri seorang wanita seperti Mba Tantri.
Alasannya sederhana, dia merasa tidak memiliki pekerjaan yang layak dan takut
tidak bisa menafkahi Mba Tantri. Itu sebabnya Lukman menghindar dan pergi ke
kota lain tiga hari yang lalu,” tambah Pak Haji, kemudian menghentikan
penjelasannya.
Tantri
seperti tersambar petir mendengarkan penjelasan Pak Haji. Hatinya teriris dan
air mata tak tertahan lagi mengalir di pipinya. Dia hanyut dalam kesedihan,
isak tangis tak terdengar. Pak Haji Minan mencoba menenangkan Tantri. “Biarkan
Lukman pergi. Percayalah, bila Allah berkehendak, tak akan ada yang bisa
menghalangi. Sekarang, berdoalah semoga Allah mendengar dan mengabulkan doa Mba
Tantri,” ucap Pak Haji sambil memberikan tisu kepada Tantri untuk mengusap air
matanya.
Pak
Haji memberi motivasi dan penyejuk hati hingga Tantri akhirnya dapat tersenyum
dengan sedikit lebih tenang. Melihat Tantri yang mulai mengumpulkan kekuatan,
Pak Haji Minan tersenyum. Entah dari mana Tantri mendapat kekuatan itu, sejak
pertemuan tak sengaja dengan Lukman, Tantri telah berencana mengakhiri masa
jandanya dan bermimpi bahagia mengarungi sisa hidup bersama Lukman dalam
bingkai rumah tangga. Namun, kini semua itu kembali seperti dulu: kecewa,
sakit, dan berjuta kepedihan mengisi hatinya. Lukman pergi untuk kedua kalinya,
meninggalkan kecewa yang tak terucap.
Setahun
telah berlalu, Tantri menjalani hari-harinya seperti biasa, dengan pekerjaannya
sebagai guru yang mengisi kehidupannya. Suara pintu yang diketuk membuatnya
segera membukanya.
“Assalamu'alaikum,”
sapa seorang laki-laki yang berdiri di hadapannya. Tantri terbelalak tak
percaya saat menyadari Lukman berada di depannya.
“Wa'alaikumussalam,”
jawab Tantri pelan, masih terkejut melihat Lukman di sana.
“Ngga
disuruh duduk nih? Atau mau minum apa?” goda Lukman dengan santai, menghibur
Tantri. Senyum merekah di wajah keduanya, meskipun kikuk dan tak percaya.
Tantri
mempersilakan Lukman untuk duduk. “Eh, iya, silahkan,” ucapnya sambil tersenyum
malu.
“Santai
saja, Bu Guru, jangan grogi,” canda Lukman setelah duduk di teras rumah. Tantri
tersipu malu, lalu cepat-cepat menawarkan minuman.
“Bentar,
ya, aku buatin minum,” tanya Tantri ramah sambil melangkah masuk ke dalam
rumah. Dia kemudian kembali dengan segelas es sirup dan duduk di depan Lukman,
menyerahkan minuman tersebut.
Lukman
meraih gelas dan meminumnya dengan senang. “Alhamdulillah. Seger amat, sesegar
raut cantik Bu Guru yang membuatnya,” goda Lukman lagi.
“Kamu
nggak percaya aku datang? Masih bolehkan aku menerima tawaran kamu untuk
menjalin kembali cinta kita?” Lukman bertanya tegas, mematahkan keheningan.
Tantri diam, tak percaya akan apa yang terjadi.
“Aduh
sakit,” pekik Tantri pelan, mencubit tangannya sendiri untuk memastikan bahwa
ini nyata.
Lukman
tersenyum melihat reaksi Tantri. Kemudian, dengan cepat, Lukman mengeluarkan
sebuah kotak cantik berwarna biru muda yang dihiasi pita merah. Tantri menerima
dan membuka kotak itu. Di dalamnya, sebuah cincin berhias nama Tantri.
“Masya
Allah, ini bagus banget,” ucap Tantri, bahagia tak terkira. Lukman mengambil
cincin tersebut dan memasangkannya di jari manis kiri Tantri.
“Aku
mencintaimu, Tantri. Apakah kamu mau menjadi istriku?” ucap Lukman lembut,
mengajukan lamaran itu.
Tantri
tersenyum, mengangguk, dan membiarkan Lukman mencium mesra punggung tangannya,
penuh kemesraan dalam cinta yang telah lama terpendam. Tantri tak mampu berkata
apa-apa, hanya diam dalam senyum manis yang terus menghiasi bibirnya. Malam
yang indah dengan bintang-bintang bertabur menghiasi langit, dipadukan dengan
cahaya rembulan yang menambah kedamaian malam itu, menandai awal kebersamaan
mereka untuk menggapai bahagia yang mereka tunggu-tunggu.
Tiga
bulan persiapan pernikahan sederhana telah dilakukan oleh Tantri, yang kini
hidup sendiri setelah kepergian ibunya dua tahun lalu dan keberadaan ayahnya
yang tak jelas. Bersama Lukman, dibantu oleh Tante Sari, adik ibunya yang
satu-satunya, mereka mempersiapkan segala sesuatunya. Suasana sederhana
pernikahan ini hanya dihadiri oleh keluarga dekat, tetapi memberikan kehangatan
yang sangat intens saat akad nikah berlangsung. Wali hakim menjadi saksi yang
mereka dambakan sejak awal cinta mereka terjalin. Kini, Lukman dan Tantri bisa
meraih mimpi yang selama ini mereka bangun bersama.
Prosesi
pernikahan sederhana telah selesai. Cahaya bulan penuh bersama kelap-kelip
bintang melukis langit hitam yang memayungi pasangan suami istri. Mereka
menikmati udara malam di teras rumah mereka yang kini hanya dihuni berdua,
setelah keluarga kembali ke rumah masing-masing. Lukman menatap gelapnya
permadani alam sambil menggenggam erat tangan istrinya. Sesekali, dia mencium
lembut punggung tangan wanita pujaannya.
“Aku
sangat mencintaimu,” ucapnya dengan penuh kasih. Tantri bersandar di pundak
suaminya, menikmati kemesraan yang selama ini dia impikan.
“Terima
kasih, ya, Allah. Engkau ijinkan aku merasakan kebahagiaan ini,” ucap Tantri,
diikuti oleh Lukman yang mengucapkan hamdalah.
Sesaat
mereka menikmati kebersamaan di teras rumah. Kemudian, Lukman mengajak istrinya
untuk sholat Isya. Kini, Lukman menjadi imam bagi Tantri. Setelah selesai
sholat, Lukman bersujud syukur, bersyukur atas kebahagiaan yang dia temukan,
diikuti dengan doa syukur dari Tantri, istrinya.
Penulis:
Rina Indrawati
Editor:
Tim Admin