Cincin bermata tiga bagian 13
Di
dalam sebuah rumah kecil di pinggir hutan, sorak bahagia terdengar dari riang
tawa seorang wanita.
“Bagus,
bagus, bagus sekali, Ki!” Wanita itu bertepuk tangan, tanda dia sedang mendapat
kemenangan. Di samping wanita itu duduk dengan raut muka suka cita yang sama,
seorang laki-laki berkaos bola. Di hadapan mereka duduk dengan masih
berkomat-kamit memukul sebuah boneka plastik dengan sepotong kayu kecil,
seorang laki-laki paruh baya dengan jenggot menutupi dadanya serta kumis tebal
yang nyaris juga menutupi bibir atasnya.
“Akhirnya
mampus kau, wanita serakah!” lanjut Ririn memaki Arya yang terlihat kaku dalam
pantulan gambar dari sebaskom air di atas meja.
“Rasakan
pembalasanku karena kau tidak mau membagi harta itu secara adil!” lanjutnya
masih terus bersorak senang, sementara Taufik hanya tersenyum kecil.
“Jangan
senang dulu, masalah kita belum selesai,” kata laki-laki itu dengan intonasi
suaranya yang kasar dan berat.
Wanita
itu adalah Ririn dan Taufik. Mereka sedang berada di rumah Ki Sastro, dukun
yang terkenal keji untuk melakukan pembunuhan jarak jauh. Spontan Ririn
menghentikan keriangannya dengan memasang muka penuh pertanyaan.
“Apa
maksudnya, Ki?” tanya Ririn penuh ketegangan. “Bukankah kita telah berhasil
menyingkirkan si Arya?” tanyanya lagi.
Ki
Sastro mendengus sewot dengan bola mata yang memerah. “Bodoh!” bentaknya yang
membuat Ririn ciut.
“Masih
ada satu lagi korban yang harus kamu singkirkan, tapi penghalang dia amat kuat
sekali. Bahkan tongkatku ini tak mampu menyingkap tirai putih itu,” katanya.
Ririn dan Taufik saling berpandangan sejenak, lantas kembali menatap Ki Sastro.
“Mas
Setiawan, kan? Trus apa penghalangnya, Ki?” kembali Ririn bertanya.
“Kalau
kita tak sempurna melakukanya, justru nyawa kalian lah taruhannya,” jelas Ki
Sastro menggoyangkan tongkat kayu sepanjang 50 sentimeter dari bahan dahan kayu
mahoni yang di ujungnya ada sebuah lingkaran perak menjadi penutup pangkalnya,
namun telah dilumuri dengan darah segar dari tubuh korban tumbalnya. Maka bau
anyir tersebar kerap kali tongkat itu digoyangkan.
“Ingat,
saya sudah siapkan dua liang untuk korban yang kalian inginkan. Namun ingat
juga bila korban itu tak berhasil kita singkirkan, maka liang itu siap menanti
darah kalian yang akan ku persembahkan untuk Ratu Cantika, junjunganku,
sedangkan jasad kalian akan ku seset hingga tulang belulang kalian bisa menjadi
singgahsanaku,” jelas Ki Sastro menatap satu persatu Ririn dan Taufik dengan
tatapan buas menikam sambil tongkatnya mengarah pada dua buah liang yang masih
terbuka. Ririn dan Taufik tertunduk diam, keduanya tenggelam dalam rona
ketakutan.
Ya,
tak jauh dari hadapan mereka memang ada dua liang seperti liang kubur yang akan
menyerap darah korban untuk pesugihan pada Ratu Junjungan Ki Sastro. Suasana di
rumah itu memang gelap, hanya tiga buah obor yang terpasang untuk memberikan
penerangan sementara aroma anyir jelas menjadi parfum yang memenuhi udara seisi
rumah.
Ki
Sastro yang duduk dengan bantalan tulang belulang yang entah dari mana, namun
terlihat jelas bahwa tulang itu adalah tulang belulang tubuh manusia. Ki Sastro
memang telah menjalankan profesinya selama 17 tahun untuk membantu para korban
dendam sakit hati untuk membalas rasa kecewa mereka seperti Ririn.
Setiap
pasien yang datang Ki Sastro tidak memungut bayaran uang, tapi dia meminta
darah segar dari korbanya. Itu sebabnya Sifa menggigit bahu Arya dan menghisap
darahnya. Selain itu, Ki Sastro juga meminta bayaran berupa anak bayi paling
tidak berusia tiga bulan untuk dijadikan tumbal. Dan inilah awal pertentangan
antara Ririn dan Taufik untuk meminta bantuan Ki Sastro, sebab sebelum memulai
ritualnya, Ririn harus memberinya seorang bayi.
“Si
laki-laki itu memiliki tameng gaib yang teramat sulit untuk ditembus, sehingga
kalian harus memikirkan cara kriminal fisik yang lebih pasti daripada kita
serang mereka dari jarak jauh,” jelas Ki Sastro.
Mendengar
perkataan itu, Ririn mengangkat wajahnya menatap Ki Sastro. “Maksudnya kita
harus membunuh secara langsung?” tanya Ririn dan dijawab dengan Ki Sastro
memelototkan matanya ditambah alisnya juga terangkat hingga Ririn kembali
tertunduk.
“Bodoh!”
bentak kasar Ki Sastro mengeprak meja kecil di hadapannya membuat air bunga di
dalam wadah baskom ikut bergetar. “Kalau dibunuh secara langsung, maka mana
pesugihan untuk Ratu Cantika?” lanjut Ki Sastro masih dengan raut emosi.
“Kalian
culik salah satu anak dari laki-laki itu yang menjadi penghalang saya,”
lanjutnya kembali sambil tangannya meraih sehelai kain putih dan mengoreskan
dengan tongkatnya. “Kalau penghalang itu bisa kita singkirkan, maka dengan
mudah saya akan mempersembahkan pesugihan untuk Ratu Cantika,” ucapnya lagi
sambil terus melukis sesuatu yang kasap mata di atas sehelai kain putih itu.
“Nah,
sekarang kalian atur rencana penculikan itu baik-baik, tapi ingat jangan dibawa
kemari anak itu. Kurung saja dia dalam sebuah gudang tua yang berada di rumah
yang kemarin kalian tempati,” perintah Ki Sastro dengan menunjuk wajah Ririn
dan Taufik satu persatu dengan tongkat yang digoyangkanya.
“Dan
satu lagi,” ucapnya dengan mengetukan tongkat kayu itu ke kepala Ririn dan
Taufik secara bergantian. “Waktu kalian hanya dua kali purnama. Jika telat,
maka nyawa kalian adalah taruhannya,” lanjut Ki Sastro.
Ririn
menelan ludahnya karena ngeri akan ancaman Ki Sastro, namun rasa sakit hatinya
atas pembagian harta warisan yang menurutnya tak adil karena dia hanya mendapat
hadiah saja dari harta keluarga sebab Ririn hanyalah anak angkat, membuat rasa
dendamnya mengalahkan rasa ngerinya.
Ririn
mengangkat wajahnya mencoba tersenyum dan berkata, “Baik, Ki. Kami coba untuk
memikirkan bagaimana caranya kami menculik anak Setiawan sialan itu dan semoga
kami bisa tepat waktu.” Ki Sastro terkekeh menjawab.
“Siapa
yang mau kita culik, Rin?” tanya Taufik ketika mereka telah berada di dalam
mobil hendak meninggalkan rumah Ki Sastro.
Ririn
tak menjawab, dia justru merasa isi perutnya bergejolak seakan ingin
berhamburan keluar. Ririn meraih kantung plastik yang telah sengaja dia siapkan
lantas wanita itu muntah sejadinya. Setelah merasa lega telah mengeluarkan rasa
eneknya yang sejak tadi dia tahan karena tak kuasa menahan bau anyir dari
kibasan ataupun aroma tongkat kayu yang digunakan Ki Sastro, barulah dia
merespon pertanyaan suaminya.
“Apakah
Lia ya, Mas?” ucapnya sambil membalurkan minyak kayu putih ke perutnya dan
sekitar hidungnya.
Taufik
yang menyaksikan reaksi Ririn seperti biasanya setelah mereka keluar dari rumah
Ki Sastro diam tak heran, sebab Ririn selalu berprilaku memberi reaksi dengan
muntahnya, menatap lurus ke depan.
“Entahlah,
tapi kalau kita culik Lia, gimana caranya?” jawab Taufik sambil menghidupkan mesin
mobil lantas mengerakan CRV abu-abunya.
“Pokonya
kita tidak boleh nyerah, Mas. Sakit hatiku harus terbalas biar mereka ngerasain
juga gimana ketidakadilan itu,” kata Ririn menatap jalan di sekitarnya yang
dihiasi pohon-pohon besar yang dia tidak tahu namanya.
“Lagian
aku enggak mau setengah jalan, bisa-bisa kita yang malah tewas,” lanjutnya
mengernyitkan dahi karena ada bayangan hitam yang melesat di atas mobil yang
bergerak. “Iihhh... apaan tuh, Mas?” seru Ririn tertahan menunjuk bayangan
hitam itu.
Taufik
tak menjawab, dia mencoba konsentrasi fokus menyetir, dan memang bayangan hitam
itu hanya sejenak saja melesat dan setelahnya hanya barisan pohon besar saja
yang menjadi pemandangan mereka.
“Dulu
kita bisa menculik bayinya Bu Joko, maka sekarang kita juga pasti bisa menculik
Lia,” ucap Ririn yang mengusap wajahnya dengan kedua belah tanganya. “Lagian
yang kita bunuh itu Setiawan bukan Lia, kan? Jadi tugas kamu harus menculik Lia
gimana juga caranya,” lanjutnya lagi menyandarkan kepala ke sandaran kursi
lantas dia memejamkan mata.
Ya,
Ririn yang telah bulat ingin melampiaskan rasa irinya sengaja pergi mencari
cara alternatif untuk bisa menyingkirkan kedua kakak angkatnya hingga dia
berharap semua harta keluarganya akan kembali menjadi miliknya.
Pada
awalnya, Taufik tak setuju dengan niat istrinya, namun Ririn mengancam akan
menghabisi Taufik juga bila dia tidak membantu mewujudkan dendamnya. Maka
dengan sangat terpaksa, Taufik selalu menemani Ririn ke rumah Ki Sastro.