Cincin bermata tiga bagian 12

Table of Contents

Suasana kian menegang. Sifa terus menggigit bahu kanan Arya, mamanya, dengan sangat kuat. Arya berteriak mengaduh dan mencoba melepaskan diri dari rangkulan Sifa, namun tetap saja tak bisa. Arya telah mengeluarkan seluruh tenaganya untuk mendorong tubuh anaknya agar bisa terbebas, namun tetap saja Sifa menggigit terus bahu mamanya.

 

Semua orang sibuk memisahkan Arya dan Sifa, namun tetap saja tenaga kedelapan orang ini kalah kuat dengan tenaga Sifa yang terus melakukan aksinya.

 

“Istigfar, Bu, coba sebut nama Allah atau baca ayat kursi,” seru Ustad Abbas yang juga mencoba menarik tubuh Sifa dari belakang.

 

Arya mencoba melakukan apa yang Ustad Abbas suruh.

 

“Astagfirulloh, Sifa lepasin sayang,” teriaknya, meringis kesakitan. Namun bukannya dilepas, justru gigitannya semakin kuat. Arya merasa bahwa gigi Sifa benar-benar menancap tajam ke dalam bahunya.

 

“ALLAH AKBAR. ALLAH AKBAR. ALLAH AKBAR,” rintih Arya sambil menangis, terus mengulang takbir. Semua orang amatlah panik dan masing-masing berkata menguatkan Arya.

 

“Baca ayat kursi, Bu, atau ikuti saya,” seru Ustad Abbas dan mulai membaca ayat kursi. Arya tertatih sambil menahan sakit mengikutinya, tapi justru lagi-lagi gigitan Sifa semakin menguat. Bahkan tangannya yang sudah berhasil dipisahkan dari tubuh Arya oleh Pak Setiawan dikibaskan sekuat tenaga hingga PLAAK... tangan Sifa tepat menampar telak di pipi Pak Setiawan hingga dia mundur beberapa langkah. Laki-laki ini meringgis menahan sakit dengan memegangi pipi kanannya.

 

Suasana kian menegang. Ustad Abbas dan Abi Ratno telah berdiri bersisian, masing-masing ikut memisahkan tubuh Arya dan Sifa. Sekuat apapun upaya semua orang, namun kekuatan dalam tubuh Sifa sungguh luar biasa. Sebab, walau hanya mengeser bahu saja, itu sudah bisa mendorong tubuh orang yang memegangnya. Bahkan Lia yang berdiri berdampingan dengan Mala, gergetan ingin menarik tubuh Sifa yang semakin kuat menggigit bahu mamanya.

 

“Kita harus lakukan sesuatu, La,” ucap Lia pada sahabatnya yang sejak tadi menggigit bibirnya, ngeri menyaksikan kejadian itu. Mala melirik ke Lia dan dari sudut matanya seakan dia ingin bertanya, “Apa yang bisa kita lakukan, Li?”

 

Lia tak sabaran lagi menyaksikan pemandangan memilukan, bahkan menyayat pilu ini. Dia menelan ludah dan berkata dalam hati, “Ya Allah, bila ini ujian dari-Mu, bantu kami menyelesaikannya dengan cara yang terbaik.” Lantas dia mendekati dan membacakan ayat-ayat dalam surat Al-Qur’an. Lia berusaha memegang bahu Sifa, namun lagi-lagi Sifa menghempasnya dengan menggerakkan punggungnya. Lia sedikit terhuyung. Entah kekuatan apa yang ada di tubuh Sifa, karena meski hanya mengoyangkan bahu atau punggungnya, semua orang yang memegangnya akan terlempar.

 

Abi Tarno mengumandangkan azan di dekat tubuh Sifa, namun lagi-lagi tangan Sifa yang dipegang Ustad Abbas terlepas dan gadis ini mengibaskannya hingga nyaris memukul Abi Tarno. Namun, kesigapan Abi Tarno, dia berhasil menepisnya.

 

“Sifa sadar sayang, itu Mama kamu,” teriak Pak Anto yang sudah tak kuasa menahan rasanya hingga dia hanya bisa diam di samping Abi Tarno dan meneriakkan kalimat itu berulang kali.

 

Suasana semakin mencekam ketika Mala berteriak, “Lihat, ada darah di bahu Tante Arya.” Sontak semua mata memandang ke arah yang Mala maksud.

 

“Astagfirulloh,” semua orang kompak mengucapkan kata ini, terkejut.

 

Ya, kerudung kuning gading yang Arya pakai kini telah berubah merah darah. Darah segar tampak membanjiri bahu Arya. Sifa masih terus menggigit bahu mamanya dengan mata yang nanar melotot ke arah bawah. Giginya terus tertancap hingga darah segar mengalir.

 

“Sifa hentikan,” teriak Pak Anto memohon berulang kali, namun tetap saja Sifa tak mempedulikannya.

 

Melihat kejadian ini, refleks Lia meraih botol air mineral yang telah dibacakan doa yang berada di meja. Dia berkata, “Bismillahirohmanirrohim, Sifa segeralah sadar, lepaskan gigitan itu,” seru Lia lantas menguyur punggung Sifa hingga semua air membasahi tubuh Sifa dan ranjang tempat di mana Arya dan Sifa duduk. Sifa tak bergeming, dia tetap menikmati gigitannya tanpa lagi peduli pada sekelilingnya.

 

Lama kelamaan teriakan Arya yang disertai isak tangis mulai melemah, bahkan wajah Arya kini pucat pasi. Usaha memisahkan tubuh Arya dan Sifa terus dilakukan, namun tetap saja kedua tubuh itu laksana telah membatu menjadi satu.

 

Alif dan Amara yang berdiri di pojok ruangan bersama Bi Sri meringkuk ketakutan. Malah Amara ikut menangis. Tiba-tiba Alif melepaskan diri dari pegangan Bi Sri dan berlari ke arah meja belajar Sifa. Bi Sri segera berseru sambil mencoba menahan Alif yang malah memelototinya.

 

“Mas Alif sini aja sama Bibi,” kata Bi Sri mencengkram lengan Alif. Tapi karena mata Alif yang melotot, maka Bi Sri membiarkan Alif untuk mengambil sebuah kitab suci Al-Qur’an yang tergeletak di atas meja. Setelahnya, Alif menerobos di antara Ustad Abbas dan Pak Anton, melangkah mendekati Sifa yang masih menggigit bahu mamanya, dan PRAAK... Alif memukulkan buku tebal itu ke atas kepala Sifa sekuat tenaganya.

 

“Alif,” bentak Bu Ratmi refleks, namun tak digubris Alif. Semua mata melotot ke arah Alif, bahkan Ustad Abbas berusaha menarik tangan Alif yang sekali lagi memukul kepala Sifa.

 

“Bismillahirromanirrohim,” ucapnya dan PRAAK... sekali lagi buku tebal itu mendarat keras di atas kepala Sifa. Dan setelahnya, Ustad Abbas berhasil menahan tubuh Alif dan merangkulnya.

 

Keanehan terjadi takkala pukulan pertama Alif justru membuat Sifa mengangkat kepalanya dan menatap Alif dengan tatapan buas, marah, dan tak suka, hingga di pukulan kedua Sifa jatuh geletak ke kasur dan pingsan.

 

Kini masalah baru menerpa Arya yang jatuh lunglai. Untung sigap Abi Tarno segera menyambar tubuh Arya yang lunglai tersungkur.

 

“Bawa Bu Arya ke rumah sakit segera,” seru Ustad Abbas setelah memeriksa kondisi Arya yang lemah dengan muka pucat. Dan ada satu keanehan ketika disigap kerudung dan baju yang di mana ada bekas gigitan Sifa ternyata berupa lubang hitam melingkar sebesar koin, bukan bekas gigitan ataupun tak ada satupun bekas gigi Sifa terlihat merangah mengilukan.

 

“Siapkan mobil segera, Bi, kita bawa Bu Arya. Takut dia kehabisan darah,” kata Ustad Abbas pada Abi Tarno yang berada di sisinya yang dengan terus berusaha menghentikan darah segar yang keluar dari luka tersebut. Biarpun segala upaya telah dilakukan, baik menyumpal ataupun diberi obat apapun, darah itu terus saja mengalir seperti kran yang dibuka hingga airnya terus mengucur.

 

Lia sejak tadi mencoba kuat meski rasanya lunglai semua persendiannya melihat darah segar yang terus mengalir. Sesekali dia mengusap pipinya yang dilalui air mata. Mala terus berada di samping Lia, dia sesekali mencengkram lengan Lia karena rasa takut.

 

“Coba siram dengan air doa, Ustad,” kata Lia lirih yang tak kuasa menyaksikan kondisi tantenya. Ustad Abbas tak menjawab, namun dia mengikuti saran Lia dan diguyurnya lubang itu.

 

“Bismillahirrohmanirrohim, tolong kami ya ALLAH,” ucapnya sambil menguyur, dan ajaib, perlahan luka itu menutup sendirinya tanpa bekas.

 

Namun kondisi Arya semakin kritis. Sayup lirih dia berkata, “Laailaahilloh Allah Akbar, Muhammad Rosulloh,” lantas tubuhnya lunglai kaku.

 

Pak Anto menjerit sekuat tenaga, “Mama,” dia terisak memeluk tubuh Arya yang kini hanya tinggal jasadnya karena wanita yang berusia 45 tahun ini telah meninggal dunia.

 

“Innalillahi wa innailaihi rojiun,” semua orang mengucapkan kata itu dalam desahan sakit yang tak terlukis.

 

Lia memeluk Mala, bahkan Lia nyaris pingsan ketika mendengar Ustad Abbas mengucapkan kalimat duka itu. Lia menangis dalam rangkulan Mala yang juga ikut menangis. Sementara Sifa masih pingsan dan Umi Yani yang membersihkan darah yang tercecer di bibir dan dagu Sifa.

 

Duka benar-benar membungkus keluarga ini. Bayangkan, nyawa Arya telah menjadi korban dari sebuah cincin bermata tiga.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

2 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Anonim
Jumat, 06 September 2024 pukul 09.01.00 WIB Delete
Buset dramatis banget
Comment Author Avatar
Rina Indrawati
Sabtu, 07 September 2024 pukul 14.07.00 WIB Delete
Hehe, jangan lupa bakal ada give Away di serial ini, pokoknya ikutin terus yaa