Cinta lama jadi kenyataan bagian 3
Lama
keduanya terdiam, saling menatap ke depan dengan semua pikiran yang mendera
hati masing-masing. Menyadari hal itu, Weni, sebagai empunya rumah, segera
membuka obrolan.
"Diminum
dulu tuh airnya, keburu es batunya mencair," katanya, menoleh sejenak ke
Latif. Namun, entah mengapa Latif pun menoleh ke Weni, hingga keduanya sesaat
saling menatap. Weni yang terlebih dulu membuang tatapannya, sedangkan Latif,
sambil meraih gelas, masih sempat menatap Weni.
"Terima
kasih, Wen," katanya sambil meminum es sirup yang ada di dalam gelas.
"Kok
sepi?" tanya Latif, sambil meletakkan kembali gelasnya.
"Bapak
sudah meninggal setahun yang lalu, dan dengan pertimbangan itulah aku kembali
ke Jakarta untuk menemani ibu," jawab Weni.
"Innalillahi,
turut berduka ya, Wen. Emang sakit apa?" tanya Latif, yang sedikit
terkejut.
"Kan
emang Bapak itu punya penyakit jantung sejak aku masih SMP," jelas Weni.
"Eh,
btw, kamu kerja dimana, Tif?" tanya Weni, mengalihkan obrolan.
"Di
bank swasta," singkat Latif menjawab.
"Wen,
kita keluar yuk," ajak Latif, menatap Weni penuh harapan. Weni tertegun,
menimbang.
"Kemana?"
tanya Weni, ragu.
"Terserah,
asal kita bisa leluasa ngobrolnya," jawab Latif. Weni diam sejenak, dalam
hatinya dia menimbang apakah mau mengikuti ajakan Latif atau menolak.
"Kalau aku tolak, bisa juga di rumah sendiri kan ibu baru pulang besok,
tapi kalau diturutin apa...?" gumamnya, mengigit bibir.
"Gimana,
Wen, maukan?" tanya Latif kembali.
"Eh,
iya, ibu kemana?" tanya Latif, mengalihkan pikiran Weni.
"Ke
rumah Mba Winda," singkat Weni menjawab.
"Berarti
kamu di rumah cuma sama Bi Iyem ya, soalnya yang tadi bukain pintu Bi Iyem. Eh,
dia awet juga ya masih kerja di sini," ucap Latif, dan hanya dibalas
senyum oleh Weni.
"Dah,
yuk kita jalan aja, ya, itung-itung hiling sambil reunian," Latif berkata
sambil tertawa kecil. Weni mendesah. "Ya udah, aku siap-siap dulu," ucap
Weni, sambil berdiri, membalikan badan, dan melangkah masuk ke dalam rumah.
Weni
dan Latif telah berada di sebuah mal di kawasan Lebak Bulus. Mereka tampak
layaknya sepasang kekasih, karena keduanya tampak menikmati kebersamaan yang
sedang mereka jalani. Pada awalnya, Weni memang sangat canggung ketika harus
membonceng di motor Latif, begitu juga Latif dengan perasaan yang sama. Namun,
entah mahnet apa yang akhirnya membuat mantan pasangan kekasih ini tampak
sangat menikmati kebersamaannya.
"Kamu
masih suka baca novel, Wen?" tanya Latif, ketika melewatkan sebuah toko
buku.
"Masih,
kita masuk ke sana yuk," jawab Weni, sambil ekor matanya mengarah pada
toko buku dan mengajak Latif untuk ke sana. Tanpa menunggu jawaban Latif,
mereka berdua telah memasuki sebuah toko buku.
"Ini
novel keren deh, cerita cinta segitiga namun semuanya kandas," kata Latif,
yang memegang sebuah buku dan menyerahkan pada Weni. Weni menerimanya, membaca
tulisan yang tertera di sampul buku depan, lantas dia membalik buku itu dan
membaca pula tulisan di belakangnya. "Boleh juga nih," ucap Weni,
setelah selesai membaca.
"Enggak
usah beli, aku sudah punya bukunya. Nanti aku kasih kamu saja, dan buku itu
asli loeeh, aku sampai dapat tanda tangan asli dari sang penulis," kata
Latif, sambil meraih buku lain. Weni tertegun, menatap Latif. "Wah, keren,
gimana bisa?" tanya Weni, penasaran.
"Rahasia,
yang penting besok aku jemput kamu ke apotik sambil ngasih buku itu,"
jawab Latif, mengoda, melirik Weni jahil. Weni membalas dengan senyum kecut.
"Kalau
kamu mau beli buku ini aja," Latif berkata, sambil menyerahkan sebuah buku
novel.
"Apa
alasannya?" tanya Weni, menerima buku itu dan kembali membaca sampulnya.
"Aku
juga tertarik sama buku itu, kita beli tapi joinan aja. Kamu baca duluan, nanti
kalau sudah selesai gantian aku," jawab Latif. Weni menoleh menatap Latif,
dalam benaknya melintas masa kebersamaan ya dengan Latif yang memiliki hobi
yang sama, yaitu membaca, dan sering kali untuk menghemat uang mereka hanya
membeli satu buku untuk dibaca bergantian.
"Kenapa,
Wen, keingetan kebiasaan kita ya?" tanya Latif, yang mengerti pikiran
Weni. Lagi-lagi, Weni tersenyum kecut.
"Dah,
yuk bayar terus langsung kita makan, tadi aku belum sarapan jadi lapar berat
nih," Latif berkata, sambil mengajak Weni ke kasir. Weni menurut, hingga
mereka melangkah ke kasir.
Sehari
bersama Latif membuat beribu rasa di hati Weni. Di atas ranjangnya, Weni terus
membiarkan siluet kebersamaan seharianya bersama Latif terpampang ulang, bak
Weni sedang memutar kembali kisahnya satu hari ini bersama mantan kekasihnya.
"Ah, apakah aku harus kembali lagi pada Latif," gumamnya sendiri.
"Tidak, Weni, itu Cuma anganmu, jangan menghayal," lanjutnya pada
diri sendiri. Ya, bagaimana tidak, Weni gundah bila di hatinya dia masih
menyimpan sedikit cinta untuk Latif, dan cinta itu hari ini mulai dipupuk dalam
kebersamaan yang sangat indah.
"Weni,
Weni, sudah terima kenyataan kalau Latif itu adalah penghianat. Bukti, kenapa
dia meninggalkan kamu kan katanya dia juga cinta sama kamu," sisi hatinya
yang lain menasehati diri Weni. "Tidak, Weni, Latif itu masih mencintai
kamu. Kan pernikahannya dengan Citra itu karena perjodohan keluarga, kan kamu
tahu sendiri permasalahannya," sisi hatinya yang lain memberikan masukan.
"Aaahhhhhh," Weni berteriak, sambil menutup wajahnya dengan bantal.
"Hai
Wen, gue lagi di Jakarta, kita ketemuan yuk," itu pesan dari Dika yang
Weni terima. Weni tertegun membacanya. "Ngapain Dika ngajak ketemuan, aneh
juga nih teman yang satu," batin Weni, tapi dia akhirnya membalas pesan
Dika. "Boleh, tapi besok ya di Citos jam sebelas, soalnya besok gue masuk
siang jadi sambil gue berangkat kerja," pesan itu terkirim dan suara
notifikasi terdengar. "Oke di loeebby ya, tq Wen," Dika membalas, dan
Weni mendiamkannya.
Weni
tiba lebih dulu. Matanya menyapu seluruh pandangannya, mampu dijangkau, namun
sosok yang ditunggunya tak ada. Weni menepi mencari tempat yang leluasa untuk
menghubungi Dika. Selagi dia ingin mengambil ponsel dari tas, tiba-tiba suara
Dika menegurnya. "Hai Non, maaf," katanya, tersenyum. Weni
membalasnya. "Santai, gue juga baru nyampe," timpal Weni. "Makan
yuk, Wen," ajak Dika, dan Weni mengangguk.
"Wah,
ada kemajuan nih, gue denger loee sekarang sudah balikan lagi ya sama
Latif," kata Dika, membuka obrolan ketika mereka telah duduk berhadapan.
Weni meloeetot.
"Kenapa
Wen, muka loee lucu banget deh kalau begitu," Dika tertawa melihat Weni
yang memeloeetotinya. Weni menyikut menimpuk Dika dengan tisu yang telah dia
bulatkan. Dika tertawa lebar.
"Latif
yang cerita sama gue Wen, katanya kalian seharian jalan bareng ya sampai nonton
lagi," kata Dika, yang sudah meredakan tawanya.
"Cuma
itu aja kok," singkat Weni menjawab, sebel.
"Tapi
berbalas pesan dan telponan sering kan," goda Dika, melirik jahil ke Weni.
Lagi-lagi Weni merengut dan dia mendesah.
"Gue
senang Wen, kalau loee bisa balikan lagi sama Latif, dah buka hati loee kan.
Enggak mungkin loee melajang terus, meski nih itu menimbulkan masalah, tapi
setidaknya bila saling menerima pastilah enjoy deh," ucap Dika, serius.
"Ah,
loee kaya ibu gue aja Dik," jawab Weni, membuang pandangannya.
"Maksud
loee?" tanya Dika.
"Iya,
ibu selalu mencecar gue untuk nikah dengan berjuta nasehat dan petuahnya,"
Weni berkata, sambil memainkan tisu. Dika tertegun, namun obrolan mereka
terhenti tak lama, pelayan membawakan pesanan mereka.
"Eh
Dik, gimana urusan loee sama Olif?" tanya Weni, setelah mereka selesai
makan.
"Maaf,
Dik, cuma penasaran aja," Weni meralat ucapanya karena merasa tak enak
pada Dika. Dika tersenyum.
"Kami
sudah resmi cerai, dan ini gue bawa akta perceraian gue," jawab Dika,
sambil mengeluarkan sebuah buku.
"Dan
inilah alasan gue pengen ketemu loee Wen," lanjut Dika, menatap Weni penuh
arti. Weni sedikit jengah dengan tatapan Dika, dia memalingkan wajahnya.
"Gue
minta toloeeng loee simpan surat cerai gue, Wen," kata Dika, serius. Weni
tercengang meloeetot ke Dika. Dika tertawa lagi.
"Hahhahahahh...
kan udah gue bilang, muka loee tuh lucu banget deh Wen kalau lagi meloeetot
gitu," ucap Dika.
"Jelek
loee, Dik," sewot Weni menjawab. "Gue serius Wen, toloeeng simpanin
surat ini ya," kata Dika, sambil menyerahkan surat cerainya.
"Tapi
kenapa, Dik?" tanya Weni, penasaran.
"Bukan
sekarang alasannya Wen, tunggu tiga bulan lagi pasti gue akan minta surat itu,
dan loee akan tahu alasannya. Sekarang toloeeng simpanin surat ini ya,
Wen," pinta Dika, penuh harap. Weni tak sama sekali mengerti maksud Dika,
namun dia mengambil buku itu dan menyimpanya dalam tas.
"Terima
kasih ya Wen, loee emang keren deh," puji Dika, dengan tersenyum.
Posting Komentar