Cinta lama jadi kenyataan bagian 8

Table of Contents

Angkot melaju tersendat karena kemacetan. Weni duduk berdampingan dengan Indra. Weni, yang duduk di dekat jendela, segera membuka lebar kaca jendela karena hawa di dalam mobil sedikit panas.

 

"Mas Indra turun di mana?" tanya Weni, memulai obrolan.

 

"Di kompleks BDN Pondok Labu," jawab Indra.

 

"Kalau Mba Weni turun di mana?" Indra balik bertanya.

 

"Saya gampang, deh. Nanti saya bantu Mas Indra dulu, boleh kan?" Weni menawarkan diri.

 

"Wah, apa enggak ngerepotin Mba? Saya sudah terbiasa, kok," Indra berusaha menolak.

 

"Wah, kalau gitu tidak diijinkan nih saya bantu Mas Indra," ucap Weni, sedikit merasa tak dijinkan. Indra tertawa kecil.

 

"Boleh sih," jawab Indra, membuat Weni tersipu salah tingkah.

 

"Yes, makasih Mas," riang hati Weni. Bagaimana tidak, dia bisa menghabiskan waktu bersama idolanya.

 

Angkot sedikit sepi, hanya ada empat penumpang termasuk Weni dan Indra.

 

"Mba Weni kerja di mana?" Indra mulai membuka kedekatan dengan bertanya soal pribadi Weni.

 

"Di apotik Aji Waras Cilandak, Mas," jawab Weni, membuang tatapannya ke luar jalan.

 

"Saya suka tulisan Mas. Tadi saya juga ikut acara Mas," Weni berkata sambil sesekali melirik Indra. Dalam hati, dia berucap, "Mas Indra ini tampan ya, alisnya sedikit tebal, hidungnya mancung, bibirnya tipis, dan kulitnya juga bersih." Weni meneliti wajah Indra yang duduk di samping kanannya.

 

"Ah, Weni, kenapa sih kamu?" Sisi hatinya menyadarkan sesuatu.

 

"Oh, kok tadi kita enggak bareng aja ya dari tempat acara?" ucap Indra, menoleh ke Weni.

 

"Kan tadi Mas didampingi sama panitia," jawab Weni.

 

Obrolan lainnya mengisi kebersamaan mereka selama perjalanan.

 

Tiba di tujuan, Weni meminta supaya dia yang terlebih dahulu turun baru Indra menyusul. Weni membayar ongkos angkot dan setelahnya membantu Indra berjalan ke trotoar.

 

"Kenapa jadi Mba Weni yang bayar angkotnya?" tanya Indra setelah keduanya berdiri berdampingan. Weni tertawa.

 

"Kan itung-itung hadiah dari fans Mas Indra," Indra ikut tertawa. Indra memasang tongkat, meski Weni membantunya berjalan ke trotoar.

 

"Dah, Mba Weni, saya diantar sampai di sini saja," lanjut Indra setelah mereka berdiri di tempat yang aman.

 

"Masih jauh enggak rumah Mas? Saya tidak kenapa-napa kok kalau nganter Mas sampai rumah," ucap Weni, menyapu pandangan sekeliling.

 

"Itu pun kalau Mas Indra bersedia," sambung Weni.

 

"Sebenarnya mau sih, tapi apa enggak ngerepotin Mba Weni?" jawab Indra.

 

"Panggil Weni aja, Mas."

 

"Dah, yuk, arahkan saya di mana rumah Mas Indra," Weni meraih lengan Indra dan menuntunya. Indra memberikan arahan di mana rumahnya.

 

Sampai di depan sebuah rumah yang berpagar hitam, keduanya berdiri. Weni menatap rumah itu menyelidik.

 

"Ini rumah pagar hitam nomor sepuluh ya, Mas?" Weni menerangkan. Indra mengangguk sambil tangannya meraba dinding di pinggir kiri mencari tombol bel lalu menekannya. Menanti sejenak, mereka terdiam dan tak lama kemudian keluarlah seorang wanita berkerudung.

 

"Eh, Mas, sudah pulang," kata wanita itu.

 

"Assalamualaikum, Bu," Indra memberi salam. Sang wanita yang dipanggil Ibu oleh Indra membuka gembok pagar lalu membuka pintu pagar dan mempersilakan Indra masuk.

 

"Waalaikumussalam. Ini siapa, Mas?" tanya Ibu, menatap Weni. Weni tersenyum.

 

"Bu, ini Mba Weni yang ngebantu Indra dari tempat acara," jelas Indra. Weni tersenyum mengangguk ketika Ibu Indra menatapnya. Weni segera mengulurkan tangan hingga Weni dan sang Ibu bersalaman, lantas Weni mencium punggung tangan Ibu.

 

"Alhamdulillah, terima kasih Mba Weni," ucap Ibu.

 

"Ayo, masuk dulu," ajak Ibu.

 

"Yuk, Mba Weni, masuk ke rumah saya dulu, kan itung-itung istirahat," ajak Indra.

 

"Iya, benar. Sekalian cobain kue buatan Ibu," rayu Ibu Indra. Dengan senang hati, Weni menerima tawaran itu.

 

Meski hanya setengah jam Weni di rumah Indra, namun banyak pelajaran yang dia dapati, terutama kemandirian Indra sebagai tuna netra. Selain seorang penulis, Indra juga bekerja sebagai dosen di sebuah universitas swasta di kawasan Cinere. Pendidikan formal Indra juga sangat memikat. Bayangkan, Indra menyelesaikan strata duanya di Australia dengan beasiswa penuh. Kekaguman Weni semakin membulatkan hatinya untuk bisa lebih menjalin hubungan yang serius karena Weni tahu Indra masih melajang.

 

Sejak pertemuan ini, antara Weni dan Indra semakin terjalin hubungan yang lebih akrab, meski mereka jarang bertemu, bahkan belum ada lagi pertemuan berikutnya selama dua bulan ke depan.

 

Sore ini, Weni telah selesai membereskan semua pekerjaannya dan memang jam dinas Weni telah usai. Wanita berzodiak Libra ini keluar dari ruang kerjanya. Sebelum dia sampai di tempat pegawai melayani pembeli, Novi memberi tahu bahwa ada seseorang yang telah menunggu.

 

"Bu Weni, ada teman Ibu menunggu di ruang tunggu," kata Novi, menatap Weni dan ujung dagunya menunjuk seseorang yang sedang duduk. Mata Weni mengikuti arah yang dimaksud Novi.

 

"Dika," gumamnya setelah melihat Dika sedang duduk dengan bermain ponsel.

 

"Ngapain dia?" gumamnya mendesah.

 

"Eh, iya, makasih ya, Nov," Weni menoleh ke Novi, tersadar dia belum berterima kasih telah diberi tahukan.

 

"Sama-sama, Bu," jawab Novi.

 

"Hai, Dik, ngapain loe?" tegur Weni ketika sudah berada di samping Dika. Dika sangat terkejut, mengangkat wajahnya menatap Weni sedikit kesal.

 

"Iih, ngagetin aja loe, Wen," semprot Dika sewot. Weni tertawa.

 

"Makanya, Pak, jangan kebanyakan main games," omel Weni.

 

"Dah, yuk, jalan, jangan di sini," ajak Weni, bersiap melangkah. Dika berdiri dan mengikuti Weni yang telah berada tiga langkah di depanya.

 

Selagi Weni ingin membuka pintu utama apotik, dari kejauhan dia melihat Indra berjalan dengan tongkatnya menuju ke apotik.

 

"Mas Indra," ucapnya pelan, namun Dika yang telah berdiri di sampingnya mendengar ucapan Weni. Weni menoleh sejenak ke Dika, lantas dia memperhatikan kembali Indra yang santai melangkah.

 

Seorang security mendekati Indra hendak membantunya. Weni memperhatikan dari balik pintu.

 

"Woy, Bu, ngapain kita diam di sini? Katanya mau keluar," ucap Dika, menyadarkan Weni yang sedikit tergagap.

 

"Oh, iya, yuk, kita jalan," jawab Weni. Di teras apotik, Weni menegur Indra yang sudah sampai dan mereka saling berhadapan.

 

"Mas Indra," sapa Weni.

 

"Eh, Weni," jawab Indra senang. Weni segera meraih lengan Indra, mengajaknya menepi.

 

"Sudah, Pak Adi, biar saya saja yang bantu Mas ini," kata Weni pada security yang masih berdiri di samping Indra.

 

"Mas Indra mau apa?" tanya Weni, namun dia segera mempertegas pertanyaannya.

 

"Eh, maksud aku, Mas mau beli sesuatu atau..." Weni terdiam malu meneruskan pertanyaan, atau apakah Indra ingin bertemu dengannya. Indra tersenyum.

 

"Saya mau ketemu kamu," singkat dia menjawab dengan wajah mengarah ke suara Weni yang berdiri di sampingnya.

 

"Ketemu aku? Kenapa tidak WA dulu?" Weni tersipu sedikit malu, namun hatinya berbunga karena Indra datang untuknya.

 

"Kan kasih kejutan, boleh kan?" jawab Indra.

 

Dika yang memperhatikan adegan ini merasa kecewa karena dia melihat rona bahagia dari paras Weni ketika bersama laki-laki itu.

 

"Wen," ucap Dika, yang menyadarkan Weni bahwa Dika masih ada bersamanya juga.

 

"Eh, Dik, sory," ucap Weni.

 

"Mas, ini ada teman SMA aku, kenalan yuk," ajak Weni, meraih tangan Indra dan menyodorkan ke Dika agar keduanya bersalaman.

 

"Dik, ini penulis idola gue, kan loe sudah tahu namanya?" Weni menjelaskan pada Dika. Dika menerima uluran tangan Indra yang dibantu Weni hingga kedua pria ini saling berjabat tangan.

 

"Indra," "Dika," masing-masing menyebutkan nama mereka.

 

Setelahnya, Dika menatap Weni.

 

"Ya udah, Wen, gue balik duluan ya," ucap Dika. Weni menatap Dika bertanya.

 

"Trus tadi loe nunggu gue ada apa, Dik?" tanya Weni yang tersadar keberadaan Dika yang telah menunggunya. Dika tersenyum mengibaskan tangan.

 

"Dah, gampang, nanti kita chatingan aja," jawab Dika.

 

"Mas, saya duluan ya," pamit Dika pada Indra.

 

"Eh, iya, Mas, hati-hati ya," jawab Dika.

 

Weni merasa bersalah. Dia mendekati Dika, menepuk bahunya.

 

"Santai, Wen, gue senang loe bisa bahagia," ucap Dika, lantas melangkah meninggalkan Weni dan Indra.

 

"Sory, Dik, enggak bermaksud..." Ucapan Weni terhenti takala Dika menepuk bahunya juga.

 

"Kan udah gue bilang, gue senang ngelihat loe bisa bahagia," ucap Dika, lantas berjalan meninggalkan Weni dan Indra.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar