Cinta lama jadi kenyataan bagian 7
Pintu
menuju area acara telah terbuka. Petugas yang menjaga di depan pintu siap
menyambut pengunjung yang telah memiliki tiket. Satu per satu pengunjung
menempelkan kertas tiket pada mesin pendata atau scanner barcode. Giliran Weni
dan gadis yang bernama Utami yang telah berada di depan mesin scanner barcode.
Mereka secara bergantian menempelkan tiket dan setelahnya mereka mencari tempat
duduk.
Weni
memilih kursi di baris kedua. Dia mempertimbangkan agar lebih dekat dengan
panggung, namun tidak terlalu mencolok. Tami menjajari langkah Weni hingga
mereka duduk berdampingan.
“Masih
sepuluh menit lagi nih, Mi,” ucap Weni sambil menyapu pandangannya pada sekitar
area.
“Iya,
Kak,” singkat Tami menjawab dan melakukan hal yang sama. Dari raut muka Tami
tampak kebahagiaan ditambah rasa takjubnya dengan dekorasi yang menghiasi
panggung. Meskipun sederhana, namun terlihat elegan.
“Kamu
kerja di mana, Mi?” tanya Weni mengisi waktu.
“Jaga
toko sembako, Kak. Di Pasar Jum’at,” jawab Tami masih menikmati pemandangan di
sekeliling.
“Kenapa
kamu suka sama Mas Indra?” kembali Weni bertanya.
“Dia
itu keren loh, Kak. Meskipun...” jawab Tami yang terhenti karena pembawa acara
sudah mulai menyapa pengunjung.
“Wah,
acaranya sudah mau mulai, Kak,” sambung Tami antusias. Bola matanya membulat,
binar kegembiraan tampak jelas terpancar dari muka ovalnya. Weni mengangguk
tersenyum senang karena dia sudah penasaran membayangkan seperti apakah wajah
Indra Wijaya, penulis idolanya. Namun dalam hati Weni terbersit pertanyaan,
“Kayaknya Tami sudah tahu deh siapa Mas Indra, soalnya ucapannya terhenti. Tapi
ya sudahlah, bentar lagi aku juga akan tahu siapa Mas Indra itu.”
“Nah,
teman semua, kini saatnya kita sambut sang penulis yang pastinya sudah tak
sabar kalian menantinya,” ucap sang pembawa acara setelah lebih dari lima menit
dia sudah berorientasi membuka acara dengan gaya dan laganya yang menghibur.
Tepuk tangan riuh dari peserta memberikan euforia suka cita di area acara ini.
“Iih,
penasaran nih seperti apa si Mas Indra itu,” ucap Weni mengekspresikan keingin
tahunya. Tami menoleh tersenyum.
“Kakak,
belum pernah ketemu Mas Indra ya?” tanya Tami yang membuat Weni menoleh
menggeleng.
“Emang
kamu sudah pernah ketemu dia, Mi?” tanya Weni penasaran. Namun tirai di atas
panggung perlahan terbuka dan mulailah tampak si penulis idola.
Mata
Weni membulat tak percaya dengan apa yang dilihatnya. Dia memandang tak
berkedip ke arah atas panggung, terlebih lagi ketika melihat siapa Indra Wijaya
yang telah berdiri tersenyum. Seorang pria bertopi putih dengan memegang
tongkat sebagai alat bantu berjalannya berdiri bersisian dengan seorang wanita
yang berkaos seragam panitia.
“Inilah
penulis kita... Indra Wijaya!” seru pembawa acara dan disambut sekali lagi
dengan tepuk tangan meriah peserta. Bahkan ada beberapa peserta berdiri
memberikan rasa bangganya atas kehadiran penulis idola mereka.
“Itu...
ya dia itukan pria yang aku temui di halte bus dan yang tadi beli minuman,”
gumam Weni terpana.
“Mas
Indra itu tuna netra, Kak,” komentar Tami. Weni menoleh sejenak lantas
mengembalikan tatapannya ke arah panggung.
“Dia
itu keren loh, Kak. Selain penulis, dia juga ringan tangan. Dan yang aku tahu,
dia adalah donatur utama dari panti asuhan di dekat rumahku,” tambah Tami dan
Weni pun mengangguk. Dalam hati timbulah rasa simpatik Weni yang lebih mendalam
pada Indra Wijaya.
Nyaris
dua jam acara itu baru benar-benar selesai. Selain membahas buku-buku yang
telah Indra terbitkan, para peserta pun diberikan kesempatan untuk berfoto
bareng dengan durasi yang ditentukan panitia. Selain itu, mereka juga bisa
meminta tanda tangan Indra selaku penulis di buku novel yang peserta bawa.
Weni
pun tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia membawa sepuluh buku yang
dimilikinya dan kesemuanya Indra tandatangani. Ditambah lagi, Weni bisa berfoto
berdua dengan Indra Wijaya, penulis yang dia idolakan. Sebenarnya Weni ingin
mengatakan bahwa mereka pernah bertemu di halte bus SMK 57, namun Weni
mengurungkan niatnya karena Weni memiliki rencana lain.
Weni
sengaja menunggu Indra di dekat area acara. Dia yakin Indra datang ke tempat
ini sendiri hingga ia berharap bisa menegur Indra ketika sedang berjalan. Tami sudah
lebih dulu berpamitan pada Weni karena dia ada pekerjaan lainnya. Kini Weni
kembali sendiri menanti Indra Wijaya.
Tak
berapa lama kemudian, Weni melihat Indra Wijaya berjalan. Namun sayang, dia
didampingi oleh seorang panitia. Weni menelan ludah, rasa kecewanya terlihat
dari desahan nafasnya.
“Ah,
Mas Indra didampingi lagi,” gerutunya. Namun dia tak kehilangan akal. Weni
membuntuti Indra di belakang. Weni bersikap sewajar mungkin agar tak mencolok
bahwa dia sedang mengikuti Indra Wijaya dan sedang mencari sela agar bisa
menegur Indra secara langsung, apalagi bisa berdua dengannya.
Sudah
sampai lobi mal, tetap Indra dalam pendampingan seorang panitia. Namun
kebersamaan Indra dengan pendampingnya hanya sampai di teras mal karena
keduanya akhirnya berpisah. Indra berjalan sendiri ke arah halte bus terdekat.
Weni tak menyia-nyiakan kesempatan ini. Dia segera mempercepat langkahnya agar
bisa berjalan di sisi Indra. Dalam hati Weni bergumam, “Alhamdulillah, ini
kesempatan.”
Weni
telah berada di samping Indra. Dia telah berhasil menjajari langkah Indra.
“Hai,
Mas Indra,” sapa Weni yang membuat Indra menghentikan langkahnya dan menoleh ke
arah suara. Raut mukanya sedikit terkejut.
“Maaf,
Mas, saya buat Mas kaget ya,” lanjut Weni yang merasa bersalah telah membuat
Indra kaget.
“Ah,
enggak kok, Mba,” jawabnya singkat.
“Ada
apa ya, Mba?” tanya Indra mengarahkan tubuhnya ke Weni.
“Saya
Weni, Mas,” ucap Weni.
“Oh,
saya Indra,” jawab Indra.
“Mas,
mau ke arah mana? Eh, maaf, mungkin kita bisa searah kan? Saya bisa bantu Mas,”
Weni berkata. Dia tak ingin Indra tahu bahwa Weni mengidolakanya. Bahkan Weni
ingin Indra sama sekali tak mengetahui bahwa Weni sudah tahu siapa dirinya.
“Oh,
saya mau ke Cinere, Mba. Kalau Mba mau ke mana?” kata Indra masih mengarahkan
mukanya ke Weni.
“Wah,
kebetulan saya juga mau ke Cinere, Mas,” Weni terpaksa berbohong karena dia
ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk lebih mengenal Indra. Mereka pun
melangkah bersama menuju halte bus.
Weni
dan Indra telah berada di halte bus. Halte itu tampak ramai. Weni sengaja
mengajak Indra untuk berdiri sedikit ke depan, menjauh dari kerumunan orang
karena dia berpikir agar tidak berebutan ketika hendak naik ke angkot.
“Di
sini aja yuk, Mas,” ajak Weni ketika telah berhenti di tempat yang dia mau.
“Mas
biasa jalan sendiri ya?” tanya Weni.
“Iya,
Mba. Saya berusaha mandiri. Lagi pula, saya yakin Allah pasti akan menolong
saya. Terbukti sekarang ada Mba yang nemenin saya,” ucap Indra tertawa kecil.
“Mas
Indra bisa aja,” Weni semakin terpesona pada pemikiran Indra.
“Kita
pernah ketemu juga loh, Mas. Mas masih inget enggak?” Weni berusaha
menginggatkan Indra pada awal pertemuan mereka.
“Maaf,
Mba, saya lupa. Tapi sepertinya suara Mba itu pernah saya dengar,” Indra tak
ingin Weni kecewa.
“Hahahah,
masa sih, Mas? Waktu itu di halte Cilandak, di depan Cahaya,” jelas Weni
mengingatkan.
“Oh
ya, saya ingat. Mba yang menyetopkan angkot saya kan?” jawab Indra tersenyum.
Weni mengangguk dalam hati. Dia senang Indra telah menginggat dirinya.
Dari
kejauhan, Weni melihat angkot yang mereka tunggu. Weni melambaikan tangan
memberhentikan angkot berwarna biru telur asin itu.
“Itu
ada angkotnya, Mas, dan sudah saya setop. Yuk, kita naik,” ajak Weni yang
mengandeng Indra melangkah menuju angkot yang dimaksud. Angkot berhenti, sang
supir berseru, “Cinere Gandul, ayo masih bisa masuk.”
Weni
mempersilakan Indra naik terlebih dulu baru setelahnya dia naik. Mereka duduk
berdampingan dan setelahnya angkot itupun berjalan kembali.
Posting Komentar