Cinta lama jadi kenyataan bagian 5

Table of Contents

Weni duduk menatap layar monitor komputernya. Dia sedang berselancar dalam dunia mayanya. Tiba-tiba, perhatiannya tertuju pada sebuah tulisan yang terpampang di layar.

 

“Wah, ada jumpa fans nih sama Indra Wijaya,” gumamnya senang. Bola matanya membulat membaca tulisan yang tertera di monitor.

 

“Wah, pembelian tiketnya paling lambat besok nih, aku harus segera memburunya,” lanjut Weni berucap pada dirinya sendiri.

 

Ya, Weni memang sangat menyukai hasil karya Indra Wijaya, penulis yang telah melahirkan lebih dari dua puluh buku novel fiksi dari genre cerita yang sangat variatif. Bahkan, dari beberapa judul novelnya, ada yang telah menjadi film layar lebar. Weni tak pernah sekalipun melewati kesempatan untuk membaca karya dari Indra Wijaya, meski belum sama sekali pernah bertemu penulis idolanya.

 

“Masa Latif bisa dapat tanda tangan dia, aku juga harus bisa ketemu langsung sama Mas Indra,” ucapnya lagi untuk diri sendiri.

 

Weni mengambil ponselnya. Lantas, jemarinya lincah memainkan gawai itu berniat untuk membeli tiket jumpa fans bersama Indra Wijaya. Beberapa saat Weni menunggu balasan dari penyelenggara untuk bisa mendapatkan tiket masuk. Dia sudah mempersiapkan segalanya, meski masih dalam angannya. Dengan perasaan berharap, Weni terus menanti jawaban dari pesan yang dia kirimkan ke nomor yang ada dalam brosur iklan acara yang dia temukan dalam situs penyelenggara event.

 

Sepuluh menit Weni menunggu tak sabar. Dia menatap layar ponsel, namun belum juga ada notifikasi jawaban.

 

“Iihhh, kok lama ya ngersponya,” ucapnya kesal sambil meletakan kembali ponselnya. Lantas, kembali dia ke layar laptopnya.

 

Dering notifikasi membuat hatinya bersorak.

 

“Ini kali ya,” gumamnya meraih ponsel dan membaca pesan yang diterima. Weni mengernyitkan dahi membaca sekali lagi pesan yang dia terima. Lantas, dia mendesah kecewa.

 

“Yah, abis lagi tiketnya,” ucapnya sambil menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi. Raut kecewa jelas tampak dari air mukanya.

 

“Ah, emang enggak jodoh kali aku bisa ketemu Mas Indra,” ucapnya sambil mengigit bibir memejamkan mata.

 

Ya, harapan Weni sirna manakala pesan yang ditunggunya mengatakan bahwa tiket yang tersedia sudah habis terjual. Impian Weni untuk bertemu penulis idolanya kini hanya tinggal angan belaka.

 

 

Hari ini, Weni mendapat jatah masuk siang. Itu berarti baru jam sepuluh malam dia bisa pulang ke rumah dari apotik tempatnya bekerja.

 

Hari ini apotik sedikit sepi dan Weni telah selesai mengerjakan racikan obat yang dipesan pembeli. Mengisi waktu luangnya, Weni mengambil ponselnya dari dalam tas.

 

“Dari Latif, ngapain nih orang,” ucapnya pada diri sendiri ketika membaca notifikasi pesan dengan nama Latif.

 

“Ada apa Tif?” Weni mengirim balasan pesan pada Latif yang hanya mengirimnya sebuah kata “hai Wen”.

 

Tak lama, bunyi notifikasi terdengar. Weni membuka pesan dari Latif.

 

“Kamu sudah punya tiket jumpa fans Mas Indra?” Weni tertegun sejenak membaca pesan Latif. Bagaimana tidak, isi pesan itu menyulutkan lagi rasa kecewa Weni yang tak bisa mendapatkan tiket itu. Dia mendesah, menarik nafas dalam dan menghempaskannya. Lantas, dia membalas pesan Latif.

 

“Enggak dapat, tiketnya sudah habis waktu aku pesan,” setelah mengirim pesan itu, Weni meletakan ponselnya ke atas meja. Raut kecewa dia perlihatkan kembali.

 

“Kalau aku tanya apa dia dapat tiketnya nanti malah dia ngajak aku bareng lagi, tapi....” ucapnya sendiri.

 

“Aahhh Weni, mikir apa sih kamu?” bentaknya sambil menggelengkan kepala.

 

 

Weni sedang asyik memasak di dapur. Dia sedang membuat puding untuk Galang dan Gilang, serta membuat rendang yang akan dia bawa ke rumah Mba Windha nanti sore. Meski ada Bi Iyem, asisten rumah tangga, Weni tak pernah mengandalkannya. Dia selalu mengerjakan tugasnya sendiri, apalagi bila Galang dan Gilang meminta dibuatkan puding, pastilah dengan senang hati Weni membuatkan pesanan keponakanya.

 

“Mba Weni, ada tamu,” kata Bi Iyem yang baru masuk ke dapur dan memberi tahukan Weni bahwa ada tamu untuknya. Weni yang sedang menempati adonan puding ke dalam cetakan menoleh.

 

“Siapa Bi?” tanyanya.

 

“Mas Latif,” singkat Bi Iyem menjawab. Namun, Weni menoleh menatap Bi Iyem tak percaya.

 

“Iya Mas Latif,” Bi Iyem berkata dengan tertawa kecil.

 

“Sini Bibi terusin, kan tinggal masukin ke cetakan kan?” lanjut Bi Iyem.

 

“Iya Bi, tapi biarin aja dulu di luar jangan langsung di masukin ke kulkas, tunggu biar dingin aja,” jelas Weni.

 

“Siap Mba,” jawab Bi Iyem mengambil alih pekerjaan Weni.

 

Weni melangkah menuju teras rumah sambil dalam hatinya dia bergumam,

 

“Ngapain sih Latif ke sini.”

 

“Hai Tif,” tegur Weni setelah sampai di teras rumah. Latif menoleh tersenyum.

 

“Hai Wen, sory ganggu ya,” kata Latif sambil merubah posisi duduknya. Weni tersenyum.

 

“Nyantai, ada apa Tif?” tanya Weni.

 

“Aku mau kasih ini ke kamu,” kata Latif sambil merogoh saku kemejanya. Lantas, dia memberikan secarik kertas. Weni menatap penuh pertanyaan.

 

“Baca aja sendiri,” ucap Latif seakan dia mengerti maksud tatapan Weni. Weni menerima kertas itu dan membacanya.

 

“Wah, ini tiket jumpa fans Mas Indra,” sorak riang Weni. Namun, itu hanya sesaat. Dia mengernyitkan dahi menoleh ke Latif.

 

“Itu buat kamu Wen,” kata Latif. Bola mata Weni membulat menatap Latif penuh arti.

 

“Buat aku?” Weni bersuara pelan untuk meyakinkan hatinya. Latif mengangguk.

 

“Aku sengaja beli dua, satu untukku dan satu untukmu,” kata Latif.

 

“Makanya semalam pas kamu bilang kamu tidak dapat tiket itu, aku senang karena tiket yang aku beli enggak sia-sia,” lanjut Latif.

 

“Maaf Wen, enggak ada niat apa pun kok. Makanya aku kasih itu ke kamu sekarang biar kamu bisa meluangkan waktu bertemu Mas Indra, idola kamu,” lanjut Latif menatap Weni. Tatapan keduanya bertemu, namun Weni segera memalingkan pandanganya ke arah lain.

 

“Aku juga yakin kamu enggak mau diajak bareng ke kesana, makanya aku datang ke rumah kamu untuk kasih tiket ini biar nanti kita ketemuan aja di lokasi,” ucap Latif. Weni diam mendengarkan perkataan Latif. Dalam hati, dia sedikit merasa bersalah atas sikapnya di halte waktu itu.

 

“Ya udah Wen, aku balik dulu ya, takut ganggu waktu kamu,” kata Latif beranjak berdiri. Weni tertegun, namun dia juga berdiri.

 

“Aku balik ya Wen,” sekali lagi Latif berpamitan. Weni tersenyum.

 

“Iya Tif, dan makasih banget nih tiketnya. Kalau besok kamu mau jemput aku juga, aku mau Tif,” ucap Weni. Latif tersenyum.

 

“Beneran nih?” goda Latif yang merasakan senang atas kesediaan Weni mengijinkan dia menjemputnya. Weni tersenyum mengangguk.

 

“Oke deh, besok jam sembilan aku ke sini ya,” ucap Latif semangat.

 

“Thanks ya Tif,” ucap Weni sekali lagi sambil mengantarkan Latif ke gerbang rumah.

 

Sepeninggalan Latif, Weni bersorak riang laksana seorang anak mendapatkan hadiah.

 

“Yes, yes, yes, akhirnya aku bisa ketemu Mas Indra,” dia mengipas-ngipaskan kertas tiket lantas menciumi kertas itu.

 

Hari yang dinanti tiba. Ketika Weni keluar dari kamar mandi, ponselnya berbunyi. Dia segera mendekati ranjangnya karena ponsel itu masih tergeletak di atas ranjang.

 

“Latif,” Weni membaca nama yang tertera di layar monitor.

 

“Ngapain dia sudah nelpon gini hari, ini kan masih jam setengah enam,” ucapnya sambil menekan tombol hijau bertanda dia menerima panggilan itu.

 

“Halo Tif,” sapa Weni membuka pembicaraan.

 

“Hai Wen, sory pagi-pagi ganggu,” jawab Latif di sebrang.

 

“Nyantai Tif, ada apa ya?” tanya Weni.

 

“Wen, kamu nanti jalan sendiri saja ya ke Lebak Bulusnya,” kata Latif. Sejenak, Weni tertegun.

 

“Kenapa Tif, katanya kamu mau jemput aku?” ucap Weni.

 

“Eh, tapi enggak masalah kok kalau aku jalan sendiri. Nanti kita ketemu di lokasi aja Tif,” lanjut Weni cepat sebelum Latif menjawab.

 

“Bukan begitu Wen, aku juga tidak bisa datang ke acara itu,” ucap Latif yang membuat Weni penasaran.

 

“Kok gitu, emang kenapa Tif?” tanya Weni penasaran.

 

“Kamu belum nonton TV ya Wen?” jawab Latif yang justru balik bertanya. Weni bertambah bingung.

 

“Belum, emang ada apa?” tanyanya semakin penasaran.

 

“Ada pesawat terbang yang jatuh di Selat Sunda,” kata Latif yang membuat Weni semakin tak mengerti.

 

“Apa hubunganya pesawat jatuh sama Latif tidak jadi pergi ke acara jumpa fans?” gumam Weni dalam hati.

 

“Olif sama Mas Leon adalah salah satu korban dari pesawat itu,” jelas Latif yang membuat Weni tercengang.

 

“Mereka naik pesawat itu untuk pergi ke Padang, tapi naas pesawat itu jatuh di perairan Selat Sunda semalam karena Olif dan Mas Leon memilih keberangkatan terakhir,” lanjut Latif yang membuat Weni menutup mulut dengan sebelah tangan.

 

“Innalillahi,” jawab Weni singkat.

 

“Makanya aku disuruh Bapak mewakili keluarga untuk pergi ke bandara untuk mengetahui kelanjutan kasus ini,” kata Latif.

 

“Oh gitu, semoga mereka selamat ya,” Weni berkata penuh simpatik.

 

“Kemungkinan besar sih tidak Wen karena jatuhnya ke laut,” jawab Latif.

 

“Ya udah Wen, nanti kamu sendiri saja ya,”

 

“Atau aku kirim ojek online ke rumah kamu ya?” kata Latif memberikan sebuah ide. Weni tertegun.

 

“Maksudnya?” tanya Weni.

 

“Hahahahahaha, jangan salah paham Wen. Maksud aku mau kasih satu tiket lagi yang aku punya, siapa tahu kamu bisa ajak orang lain,” ucap Latif. Weni tersipu.

 

“Oh gitu, kalau kamu ijinkan aku mau deh Tif. Kebetulan adik iparnya Mba Windha juga suka tuh sama Mas Indra,” jawab Weni.

 

“Oke, setelah nutup telpon aku langsung cari ojeknya dan kirim ke rumah kamu ya,” kata Latif.

 

“Makasih ya Tif, dan berpikir positif saja. Yakin keputusan Allah itu enggak ada yang bisa dipungkiri,” ucap Weni dan obrolan kecil lainnya hingga akhirnya pembicaraan jarak jauh itu selesai.

 

Weni menatap gawainya.

 

“Ya Allah, Olif,” gumamnya.

 

“Apakah dika sudah tahu ya masalah ini?” lanjutnya. Dia berpikir apakah ingin mengabari dika atau tidak. Weni mendesah, meletakkan kembali ponselnya.

 

“Aaahhh, biarin aja lah. Toh, dika pasti sudah dikabarin sama keluarganya,” ucap Weni lagi. Lantas, dia berdiri bersiap merapikan kamar tidurnya.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar