Cinta lama jadi kenyataan bagian 4
Seminggu
telah berlalu sejak Weni bertemu kembali dengan Latif, setelah sepuluh tahun
tak berjumpa dan tak saling berkabar. Hari ini, Weni sengaja mengajak Latif
bertemu untuk bertukar novel. Kesamaan hobi membaca novel itulah yang dulu
menjadi awal terjalinnya kisah cinta mereka yang tak sampai. Weni sengaja
memilih halte sebagai tempat pertemuan sore ini. Dia telah menetapkan hatinya
untuk tidak jatuh cinta lagi pada Latif, apalagi menjalin hubungan yang lebih
serius. Pengalaman masa lalu, ketika Latif pertama kali memperkenalkan Weni
pada orang tuanya, adalah pelajaran yang tak mungkin dilupakan. Penolakan orang
tua Latif yang akhirnya memutuskan perjodohan untuknya telah meninggalkan luka
mendalam di hati Weni. Untuk itu, dia tak akan memulai sebuah perjalanan cinta
yang menurut perkiraannya tak akan berujung menyenangkan, apalagi bahagia.
Weni
telah sampai di halte, namun halte itu masih terlihat sepi. Hanya ada lima
orang yang berdiri di tepi halte menunggu transportasi yang mereka inginkan.
Mata Weni menyapu sejauh pandangannya bisa menjangkau, namun tetap saja dia tak
melihat keberadaan Latif. Weni memilih duduk di bangku dalam halte. Dia
mengambil gawainya dari dalam tas dan melihat jam.
“Ah,
baru jam lima kurang sepuluh,” ucapnya untuk dirinya sendiri, lantas dia
memasukan kembali benda persegi panjang itu ke dalam tasnya.
“Kecepetan
aku datangnya,” kembali dia berkata pada dirinya sendiri sambil kembali menyapu
sekitarnya dengan pandangan mata.
Tak
berapa lama, sebuah bus berhenti di depan halte. Kelima orang yang berdiri
sejak tadi naik ke dalam bus itu. Kini, halte itu hanya ada Weni seorang.
Weni
menghela nafas sambil menolehkan kepalanya ke ujung halte. Dia tertegun sejenak
karena di kejauhan tampak seorang pria berjalan menggunakan tongkat sebagai
alat bantunya. Weni menatap serius ke arah pria berkemeja abu-abu muda yang
santai melangkah mendekati halte. Rasa penasaran bercampur haru membuat Weni
tak ingin sedetikpun terlewati memperhatikan gerak-gerik sang pria yang semakin
dekat ke halte. Dalam hati, Weni bergumam,
“Masya
Allah, tuna netra jalan sendirian, berani ya dia.”
Tak
lama kemudian, pria yang juga mengenakan topi hitam itu sampai di halte dan
langsung berdiri di tepi halte. Dari gerakanya tampak ia akan menanti
kendaraan. Weni masih terus memperhatikan pria yang dari postur tubuh serta
wajahnya Weni memperkirakan dia sebaya dengan pria itu. Tinggi badannya sekitar
170 cm dengan kulit bersihnya serta raut wajah tenang seolah tak mengambarkan
keterpurukan kesulitan dia sebagai tuna netra.
Hati
Weni bergetar. Entah mengapa, ingin rasanya Weni membantu pria itu.
“Coba
aku bantu dia ah,” ajakan hatinya membuat Weni melangkah mendekati pria itu.
“Maaf
Mas, mau kemana?” tanya Weni setelah berdiri bersisian dengan pria itu. Sang
pria menoleh kaget, namun dia tersenyum dan menjawab,
“Eh
Mba, saya mau ke Cinere.” Jawabnya lantas dia menatap ke arah kedatangan mobil.
“Oh,
mau naik angkot 61 ya?” kembali Weni menjawab.
“Iya
Mba,” singkat pria itu menjawab.
“Emang
dari mana Mas?” Weni mencoba bertanya untuk memuaskan rasa penasaranya.
Pria
itu menoleh ke Weni tersenyum.
“Dari
rumah teman Mba,” jawabnya.
“Oh,
udah terbiasa sendiri ya Mas?” tanya Weni lagi.
“Eh,
maaf nih, jangan tersinggung ya,” ucap Weni yang tersadar bahwa dia takut pria
itu salah paham. Sang pria tertawa.
“Santai
Mba, kan meski buta tapi harus mandiri lah,” jawab pria itu santai dan membuat
Weni semakin kagum.
Terdiam
sesaat, Weni membuang pandanganya ke arah kedatangan mobil. Tepat di saat itu,
dari kejauhan Weni telah melihat angkot yang dimaksud pria itu. Weni
melambaikan tangan memberhentikan angkot itu.
“Mas,
itu ada angkotnya dan sudah saya setop,” ucap Weni menoleh ke pria itu memberi
tahunya.
“Terima
kasih Mba,” jawab pria itu bersiap untuk naik ke angkot. Angkot berhenti tepat
di depan mereka.
“Pondok
Labu Cinere,” seru sang supir menawarkan tujuan angkotnya. Pria itu menoleh ke
Weni.
“Saya
duluan ya Mba,” katanya sambil melangkah mendekati angkot dan segera naik ke
dalamnya. Weni memperhatikan tanpa berkedip dan masih tetap dalam rasa
kekaguman. Angkot itupun bergerak berjalan meninggalkan Weni yang masih diam
mematung.
Tersadar
setelah angkot itu menjauh, Weni menarik nafas dan membalikan badan melangkah
kembali duduk di dalam halte.
Mengisi
waktu, Weni mengambil novel dari dalam tasnya. Sebelum membaca sambil membuka
halaman buku, dia menyapu sekelilingnya dengan tatapan mencari keberadaan
seseorang. Di halte sudah ada tiga orang wanita yang berdiri menunggu di tepi
halte. Weni akhirnya menenggelamkan pikiranya ke dalam kisah yang dia baca.
“Ah,
mending baca dulu ah sebelum Latif datang,” gumamnya lantas dia membiarkan
imajinasinya mengikuti alur cerita di novel itu.
“Sory
Wen, kelamaan ya nunggunya?” sebuah suara menyentakan Weni tersadar dari buaian
cerita yang dibacanya. Weni refleks menolehkan kepala menatap seorang pria yang
telah duduk di sampingnya. Latif tersenyum.
“Eh
Tif,” singkat Weni berucap sambil menutup bukunya.
“Dah
lama ya nunggunya?” tanya Latif.
“Enggak
kok,” jawab Weni.
“Loeh,
itu buku yang mau aku kasih ke kamu, kenapa kamu sudah punya?” ucap Latif yang
melirik ke pangkuan Weni membaca judul buku yang Weni pegang. Weni menatap
bukunya tersenyum.
“Oh
ini, ini punya adik iparnya Mba Windha, kemarin sewaktu aku ke rumah Mba Windha
ada buku ini, ya aku pinjam aja,” jawab Weni sambil menimbang-nimbang buku itu.
“Ya
sayang, padahal aku yang mau kasih buku itu ke kamu, karena aku asli dapat
tanda tangan penulisnya sendiri,” kata Latif sambil membuka tasnya dan
mengambil sebuah buku. Dia membuka buku itu dan memamerkan bahwa benar dia
mendapat tanda tangan penulis di halaman terdepan buku itu. Weni
memperhatikannya.
“Kok
bisa kamu dapat tanda tangan itu?” tanya Weni penasaran.
“Waktu
ada acara launching plus bedah buku ini, aku mengikutinya. Jadi di event itu
khusus pembeli buku dapat tanda tangan penulisnya langsung,” jelas Latif.
“Wah,
keren banget. Kapan ya penulis mau ngadain acara kaya gitu lagi?” komentar
Weni.
“Oh
ya, ini buku yang kemarin, aku sudah selesai ngebacanya,” kembali Weni berkata
sambil membuka tas dan mengambil buku lainnya lantas menyerahkan pada Latif.
Latif menerimanya.
“Aku
juga ada hadiah untuk kamu Wen,” kata Latif setelah menerima buku itu dan
memasukan ke dalam tasnya. Setelahnya dia mengeluarkan sebuah buku. Weni
memperhatikan gerakan Latif.
“Ini
buku baru Wen, penulisnya seorang ibu rumah tangga dan seorang tuna netra,”
kata Latif seolah dia mempromosikan buku itu. Weni tertegun menerima buku itu
dan membaca tulisan yang tertera di cover buku itu.
“Rara
Jelita, penulis Rina Indrawati,” ucapnya memperhatikan cover buku yang
bergambar dua gadis yang memegang tongkat serta seorang wanita laksana seorang
peri.
“Ceritanya
cukup menyentuh, menceritakan petualangan si kembar tuna netra untuk mencapai
sebuah misi,” jelas Latif menatap Weni yang sedang membaca bagian belakang
cover buku.
“Ini
buat aku?” tanya Weni menatap Latif dan dijawab anggukan oleh Latif.
“Makasih
ya Tif, tapi jangan buru-buru minta aku kembalikan atau aku bayarin aja buku
ini,” kata Weni. Latif tertawa.
“Kan
tadi aku sudah bilang, itu hadiah untuk kamu Wen.”
“Oh
ya, gimana kalau kita jalan dulu yuk? Aku bawa mobil dan aku parkir di mini
market itu,” ajak Latif sambil dagunya menunjuk ke arah gedung di sebrang
halte. Weni menggeleng.
“Sory
Tif, aku sudah janji sama Galang, anak Mba Windha,” jawab Weni sambil memasukan
buku novel ke dalam tas.
“Oh,
Mba Windha sudah punya anak berapa?” tanya Latif sedikit kecewa.
“Sekali
melahirkan Mba Windha dapat anak kembar,” jawab Weni tertawa kecil.
“Kalau
begitu, aku anter kamu pulang aja ya?” pinta Latif.
“Enggak
usah Tif, aku naik angkot aja,” jawab Weni sambil merubah posisi duduknya.
“Oh
ya Tif, aku minta kamu jangan salah paham. Eh, maksud aku hubungan kita Cuma
teman tidak lebih dari itu. Makanya lebih baik kita enggak usah terlalu sering
berkomunikasi,” kata Weni menatap lurus ke depan. Latif tertegun.
“Maksud
kamu?” tanyanya menatap wajah Weni.
“Aku
enggak ingin menaruh harapan yang sia-sia. Kan sejak awal kehadiran aku tidak
diterima oleh keluarga kamu. Jadi lebih baik kita hanya jadi teman saja. Lebih
dari itu, mohon maaf, aku enggak ingin berharap sesuatu yang tidak mungkin aku
bisa dapati,” jawab Weni sambil beranjak berdiri dan Latif pun mengikuti.
“Aku
duluan ya Tif, makasih bukunya,” kata Weni menoleh ke Latif lantas dia berjalan
ke tepi halte untuk menunggu angkot yang akan membawanya pulang ke rumah. Latif
diam hanya bisa memperhatikan Weni yang telah berdiri sedikit menjauh darinya.
Debaran
jantung Weni bergemuruh. Dia berusaha menenangkan hatinya yang telah berhasil
mengungkapkan isi hatinya. Namun tetap tanganya serasa memegang bongkahan es
karena telapak tanganya terasa sangat dingin sekali. Beruntung tak lama
kemudian angkot yang ditunggunya tiba. Weni melambaikan tangan lantas menoleh
ke Latif yang masih berdiri di tempat semula memperhatikannya.
“Aku
duluan ya Tif,” ucap Weni tersenyum berpamitan. Latif hanya bisa mengangguk dan
memberi senyum.
Angkot
berhenti agak sedikit ke depan dari arah Weni berdiri. Weni melangkah sedikit
cepat memburu angkot itu dan langsung naik ke dalamnya.
Latif
tertegun. Dia sama sekali tak menyangka akan sikap yang Weni beri untuknya.
Meski dia sendiri pun tak akan berani memulai kembali menjalin hubungan dengan
Weni, namun ada setitik harapan untuk bisa menjadikan Weni sebagai pelabuhan
hatinya.
“Ah
Weni, mungkin Tuhan memang tak akan pernah menyatukan kita. Semoga kamu akan
mendapatkan kebahagiaan yang semestinya,” ucap Latif sambil melangkah
meninggalkan halte bus itu.
Posting Komentar