Siluet kepalsuan enyalah dari angan

Table of Contents

"Li, udah tahu belum bahwa nyokapnya Didi meninggal?" Tuti berkata sambil mengaduk es teh manisnya. "INNALILLAHI wa innalillahi rojiun." Sedikit tersedak, Lia mendengar ucapan Tuti, teman kecilnya. Tuti mengangguk. "Kapan?" singkat Lia menimpali. "Tiga hari yang lalu," Tuti menandaskan tegukan terakhir es teh manisnya. Lia diam sejenak, menatap Tuti seakan ingin bertanya, "Tuh, gimana cara gw kasih ucapan turut berduka?" Tuti tersenyum, seperti bisa menebak pikiran temannya, "Lo, pengen ngucapin turut berduka, Li?" "Emangnya bisa?" giliran Lia yang menghabiskan es teh manisnya. "Kenapa ngga?" Tuti tertawa kecil, menggoda Lia. "Lo telpon Ramidi aja," ide Tuti meluncur dengan tawa semakin riang, menggoda. Balasan senyum kecut Lia berikan. "Gimana mau telpon dia, dimana Didi sekarang aja gw ngga tahu," Lia menarik nafas, menghempaskan perlahan, "Apa lo punya nomor Didi?" Tatapan Lia berharap Tuti memberi nomor telepon yang dia inginkan. Tuti mengangguk, meraih ponselnya. Lantas jemarinya lincah menari di atas papan layar sentuh. "Tuh dah gw kirim," Tuti merapikan tas, berdiri, "Yuk balik, gw mau jemput Qodri." "Dah, lo duluan aja, biar gw yang bayar," Lia berdiri. Mereka berpelukan, cium pipi kanan kiri, kemudian Tuti melangkah meninggalkan warung bakso Slemat. Sementara Lia diam, menatap ponselnya. Lia dan Tuti berteman sejak keduanya masih di taman kanak-kanak hingga SLTA, kini mereka telah menikah. Siang ini tak sengaja mereka bertemu di pasar tradisional, hingga memutuskan melepas reuni dengan makan bakso Slamet. Ramidi, atau Didi sapaan kecilnya, adalah cinta pertama Lia. Kisah indah terjalin mulus tanpa cacat. Namun, entah angin dari mana yang menghembuskan Didi menikahi wanita lain lantas menghilang ditelan bumi. Mendengar kata Didi, hati Lia berdesir. Kenangan itu melintas lagi, bahkan meski Lia telah menikah dengan Wahyu, serta kehadiran buah cinta melengkapi kebahagian keluarga kecilnya. Didi laksana monster bahagia, siluet bayangan sosoknya selalu menghantui hati Lia, seakan pengharapan ingin bertemu Didi selalu menggebu.

 

Seminggu berlalu, dan setiap Lia memakai ponselnya, keinginan untuk menelepon Didi menderu kencang. Akal sehat Lia membendung hasrat itu, hingga Lia belum sama sekali menelpon Didi. Pagi ini, setelah mengantar Mentari, putri semata wayangnya, pergi sekolah, dan Wahyu, suaminya, juga pergi bekerja, serta urusan pekerjaan rumah tangga sudah Lia selesaikan. Di kesendirian, Lia memainkan ponselnya. Dia menarik nafas panjang, menatap ponselnya, meyakinkan hatinya bahwa ini adalah kesempatan untuk menelepon Didi. Jemari Lia menekan tombol panggilan. Sesaat terdengar nada sambung, lantas, "Assalamu'alaikum," suara yang sangat Lia rindukan jelas terdengar, masih sama tak berubah. Lia benar-benar mengenali suara yang selalu dia inginkan. Diam sesaat, menelan keraguannya, Lia menjawab salam itu, "Wa'alaikum salam." Lia menghela nafas, mencoba menguasai perasaannya. "Apa kabar, A'?" sambung Lia, gayung bersambut. Tak dipungkiri, kerinduan keduanya membuat percakapan via ponsel terasa indah. Lia mengakhiri obrolan karena bel rumahnya berbunyi. Bukan kelegaan yang Lia rasakan setelah ngobrol lebih dari satu jam bersama Didi, justru kini Lia merasa ada keanehan di dirinya. Dia tahu apa yang dilakukannya adalah salah, namun bayangan sosok Didi sulit sekali enyah dari hatinya, terlebih lagi dari cerita Didi bahwa anak pertamanya diberi nama Aulia Artdisa, disa singkatan dari Didi dan Safitri. Ya, nama Aulia Safitri adalah nama dirinya, jelas Didi beri untuk anak perempuannya. Hari terus bergulir, siluet Didi datang pergi, tak bisa ditepis. Dan sesekali Lia mengirim pesan, selalu hangat disambut. Bahkan Didi mengajak Lia untuk bertemu, gelombang keraguan menyapu hati Lia, membawa kebimbangan apakah dia mau menerima tawaran Didi untuk bertemu. Perang batin terus bergejolak, jujur di hati yang selalu tersimpan, Lia ingin sekali bertemu Didi, namun akal sehatnya melarang, karena kini mereka sudah memiliki kehidupan masing-masing, jadi untuk apa memulai satu kesalahan baru yang akan menyakitkan di ujungnya. Perang kebimbangan terus Lia rasakan, ditambah bujukan Didi lengkap membulatkan kenekatan Lia, menyusun rencana agar suami dan putrinya tak mengetahui bila Lia pergi ingin menemui Didi, cinta pertamanya. Hari yang disepakati tiba, Lia turun dari dalam taksi yang berhenti di lobi sebuah pusat perbelanjaan. Santai, Lia melangkah memasuki gedung Mal Kalibata, tiba-tiba, "Lia," suara itu mendesirkan hati Lia yang berdegub kencang. Lia menoleh, tersenyum, seorang laki-laki bertubuh tinggi berkulit sedikit gelap melangkah mendekatinya, tersenyum manis mengoda. "Apa kabar, Lia?" Didi mengulurkan tangan. Detakan jantung Lia semakin tak berirama, tangan dingin gemetar membalas uluran tangan Didi, "Alhamdulillah baik," singkat Lia menjawab, tertunduk, tak kuasa membalas tatapan mata jahil Didi. Saat mereka saling berjabat tangan, emosi kegugupan Lia memuncak, ketidakpercayaannya bisa kembali bertemu dengan seseorang yang selama ini memang ingin Lia temui. Bahkan ketika Didi menggenggam erat tangan Lia, perang bergemuruh di hatinya, membuat Lia salah tingkah, gemetar, dan keringat dingin, rona merah di raut muka Lia, jelas tampak bahwa dia berusaha menenangkan dirinya, tak hanya sebuah genggaman tangan. Kemudian Didi dengan santai menggandeng Lia, melangkah memasuki Mal Kalibata. Ingin rasanya Lia menepis tangan itu, namun entah magnet mana, kuat sekali menahan tangan Lia yang terus dalam genggaman Didi, namun lagi-lagi akal sehat Lia kuat memberontak, melepaskan genggaman itu, hingga keduanya hanya berjalan bersisian. Nyaris tiga jam mereka menghabiskan kerinduan dengan makan di sebuah restoran siap saji, dengan obrolan yang tak bertopik. Awalnya hanya saling diam, tatapan Didi menikam pasti di tempat tersendiri di hati Lia, dan Lia hanya bisa tertunduk. Jengah atas perlakuan Didi, lama kelamaan Lia bisa menguasai dirinya, dan kenyamanan bahagia jelas tampak dari dua sejoli ini. Kerinduan perlahan tertapik, obrolan yang menceritakan aktivitas saat ini masing-masing berganti diceritakan. Sekarang Didi telah bekerja sebagai masinis kereta api jarak jauh, tujuan yang sering dia tempuh adalah Jakarta-Solo ataupun Jakarta-Kutoarjo. Keluarganya semua tinggal di Brebes, karena kedua anaknya bersekolah di pondok pesantren, dan istrinya pun tinggal di kampung, dengan alasan biar lebih dekat dengan sekolah anak-anak mereka. Sebenarnya, Didi memiliki tiga anak, namun si sulung meninggal dunia sewaktu berusia 2 tahun. Tinggalah Didi yang sebulan atau dua bulan atau tiga bulan pulang kampung, menemui istrinya, dikala dia libur panjang, karena waktunya habis untuk dinas, dan libur yang hanya bersela sehari, digunakan dia untuk istirahat. Sesekali senda gurau terjadi, saling meledek, bercanda, menimpali cerita, hingga tak terasa sudah jam satu siang. "Kita sholat Dzuhur dulu yuk," ajak Didi saat melihat jam di ponselnya. Lia mengangguk, merapikan diri, berdiri, melangkah mengikuti Didi yang sudah dua langkah di depan. "Li, kamu mau bantu A'a Nana ngga?" ucap Didi saat mereka ingin berpisah, dan sudah berdiri di lobi mal. "Bantu apa?" jawab Lia, menoleh ke Didi, mereka berdiri menunggu taksi. "Uang untuk bayar sekolah anaknya," timpal Didi, dilanjutkan dia menceritakan singkat keadaan ekonomi kakak laki-lakinya. Lia merogoh tas, diambilnya beberapa lembar rupiah, dan menyodorkan pada Didi. "Maaf, A', Lia ngga bisa bantu banyak, hanya ini," senyum Lia saat memberikan uang itu, dan tak lama kemudian sebuah mobil bermahkota berhenti tepat di depan mereka. Lia membuka pintu mobil, melangkah masuk, melambaikan tangan, bersalam, menutup kembali pintu mobil, dan afanza biru itu melesat meninggalkan Mal Kalibata, sedangkan Didi tersenyum, membalas lambaian tangan Lia, berdiri mematung sejenak, menatap kepergian Lia, lantas berbalik badan, melangkah menuju parkiran motor. Selama perjalanan, Lia mengutuk dirinya sendiri, perasaan bersalah pada suami menghantam telak di hatinya. Kepala Lia menggeleng-geleng, menarik nafas panjang, menghembuskan, dan dia berjanji bahwa ini adalah pertemuan terakhirnya dengan Didi. Lia tak ingin menghianati kesetiaan ketulusan suaminya, Lia tak ingin merusak rumah tangganya sendiri, hanya karena siluet masa lalunya dalam cinta pertama. Bukti nyata menyadarkan Lia di detik terakhir perjumpaan dengan Didi adalah UANG. Itu juga mengingatkan Lia pada kisah masa lalu, bahwa Didi menjauhi Lia, tak kala ibu Lia berhutang pada Didi, dan tidak menepati janji untuk membayar utang tepat waktu, hingga Didi menyuruh kakak perempuanya menagih pada Lia, dan sejak itu nyaris Didi menghilang tanpa kabar hingga berita pernikahan Didi melengkapi akhir kisah cinta mereka. Memang Lia tak akan pernah mampu menepis bayangan Didi, namun biarlah waktu yang akan menghapus kenangan itu, Lia berjanji pada diri sendiri tak akan melakukan kebodohan yang akan merusak kebahagian keluarga kecilnya. Rutinitas keseharian Lia tak berubah, termasuk siluet momok Didi tetap setia menghantui pikirannya, bahkan Didi hadir dalam mimpi indahnya. Lia berusaha wajar menanggapi angan-angan pada Didi. Yah, tak mudah melupakan kisah bahagia, dan bila setengah mati berjuang melupakan, justru semakin lekat bayangan itu, sulit tertapik. Sesekali Lia dan Didi saling berbalas kata lewat pesan yang terkirim. "Li, kamu mau kasih THR ngga ke anak-anaknya A'a Nana?" pinta Didi di salah satu pesan saat mereka berdua sedang online. Lama Lia tak menjawab pesan itu, dan lebih dari tiga kali Didi bertanya hal yang sama, bahkan dia menjelaskan dengan alibi agama. Ya, ini bulan Ramadhan, hanya tinggal sepuluh hari lagi Idul Fitri tiba, itulah sebabnya Didi mengatasnamakan THR (Tunjangan Hari Raya). Lia mendiamkan pesan itu beberapa hari, selain kesibukan kesaharian Lia, juga sadar Didi hanya mencari dirinya yang berujung uang. Kehidupan ekonomi Lia nyaris berbeda dengan 20 tahun yang lalu, sekarang Lia memiliki toko busana Muslim, sebuah rumah, dan keuangan yang menunjang. Apakah Didi ingin memanfaatkan posisinya, batin Lia. Lia tak mungkin bisa bertemu Didi dalam waktu dekat, apa alasan Lia ijin pada suami dan anaknya? Itu yang selalu Lia pikirkan, terlebih Lia tidak memiliki M-banking, lantas gimana caranya? Otak Lia berpikir, terpengaruh bujuk kata Didi. Hanya ada satu cara agar Lia bisa memberi uang itu. "A'a datang ke toko aja, nanti alamatnya Lia kasih," ucap Lia di sebuah pesan yang Lia kirim untuk memutuskan permasalahan ini. "Trus gimana dengan suami, anak, serta karyawan kamu?" balas Didi, Lia menjelaskan bahwa lima hari sebelum Idul Fitri, Lia dan keluarga sudah berangkat ke Aceh untuk pulang kampung, dan toko tutup dua hari sebelum Lebaran, jadi Didi bisa ambil di waktu itu, dan uangnya sudah Lia titip ke karyawan, bilang aja minta titipan Bu Lia untuk Ramidi. Didi menyetujuinya, itu berarti urusan ini selesai, namun lagi-lagi pembelajaran Lia dapat, dan itu adalah UANG. Lia sadar mengapa Didi selalu merespon pesan yang Lia kirim menggebu ingin bertemu, namun berujung uang. Mengapa uang yang menjadi pemicu hubungan, dan permasalahan uang lah yang memutuskan cinta Lia. Kesadaran ini lahir dan membulatkan niat Lia untuk benar-benar mengubur Didi, Lia menghapus nama Didi di daftar kontak dalam ponselnya, inilah cara terbaik menurut Lia agar dia tak berhubungan lagi dengan Didi, dan biarlah siluet tak diinginkan itu hanya hadir dalam angan-angan dan mimpi Lia, bukan dalam kehidupan sebenarnya. Terbukti sejak kejadian itu, saat Didi datang ke toko, mengambil uang, mengucap terima kasih, Didi menghilang seperti dulu, enyah tak berkabar, kesadaran Lia benar-benar menggugah hatinya untuk melepas Didi, biar siluet tak diinginkan itu sirna perlahan dalam guliran waktu, dan Lia ingin terus merasakan bahagia bersama suami dan putri semata wayangnya.

 

Seminggu setelah hari raya, Tuti datang ke rumah Lia untuk silaturahmi bersama dua teman sekolah Lia, reuni ini sungguh menjadi hadiah Idul Fitri bagi Lia, karena dua sahabat kecilnya, yaitu Iin dan Ika, juga sama-sama sudah lama tidak saling bertemu. Di sela-sela obrolan sebelum pulang, Tuti memberi kabar yang membuat Lia diam, tak percaya. "Li, gw dapet kabar kemarin, Ramidi meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas, dia korban tabrak lari di daerah Kalimalang tengah malam," kata Tuti sambil berbisik ketika berpamitan pulang. Sontak Lia menarik tubuh Tuti hingga keduanya berpelukan. Sejenak Tuti membalas rangkulan Lia yang menandakan ketidakpercayaannya, lantas sesaat kemudian Tuti menarik dirinya dan menepuk bahu Lia. "Yah, itu udah jalannya dia, Li, sekarang lo benar-benar kehilangan dia selamanya," ucap Tuti lagi, lalu semua teman pun pamit pulang.

 

Lia mengantar teman-temanya pulang hingga mereka semua naik motor masing-masing, lia menatap luasnya langit, mengernyitkan dahi dan tersenyum mengucap “innalillahi wa innalillahi rojiun” dihela nafasnya lantas dia melangkah masuk ke dalam rumah dengan satu pola pikir barunya yang terlahir dari kesadaranya bahwa kini didi memang akan hanya menjadi siluet bayangan yang mengiyangkan dia pada sebuah pengharapan palsu  dan kini kenyataan sesungguhnya harus lia hadapi dalam rasa syukur.

 

Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

1 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Minggu, 11 Agustus 2024 pukul 12.20.00 WIB Delete
Wow...perasaan saat baca bisa masuk dalam ceritanya. semangat terus Mbak Rina