Ada Senyum Setelah Air Mata
Kuusap wajah ini dengan sebelah telapak tanganku, rasanya debu
luka ini kian menebal saat perih irisan duka terus menggerogoti hati. Diam ku
termenung, entah apalagi harapan yang bisa ku genggam, seakan semesta tak
mengijinkan aku merasakan seperti dulu lagi. Inikah namanya sebuah ujian
ataukah ini sebuah siksaan?
Aku sadar dosaku telah menggunung, sekujur tubuh bermandikan
kesalahan namun hati ini telah memberontak tuk keluar dari jurang kesesatan.
Aku tahu kesempatan itu masih terbentang seluas nafas berhembus. Aku tahu kasih
sayang Tuhan tak akan datang dengan gratis, semua harus melewati sebuah ujian.
Laksana seorang anak didik, semakin tinggi jenjang pendidikannya, semakin berat
soal ujian yang harus diselesaikan. Setahap demi setahap ku mulai membuka
lembaran baru, kucoba jalani perintah Ilahi sekuat aku melakukannya, meski
tertatih ku gapai hidayah itu, namun sujud syukurku saat aku menggunakan media
sosial, ada saja petunjuk yang Allah beri tuk menenangkan hati, membimbing
langkahku ditengah keputusasaan. Tausiah itu menguatkan kalbuku tuk terus
mengerjakan perintah Ilahi, seperti yang diajarkan Rasulullah.
Tak ada yang gratis. Rahasia Allah tak pernah ada yang tahu,
hitungan matematika Allah pun tak bisa diprediksi. Jadi kita hanya bisa
menunggu dengan segala keyakinan bahwa takdir yang diterima itulah yang
terbaik, dan yang paling penting adalah Allah lah yang lebih maha tahu apa yang
menjadi kebutuhan kita hingga apa yang kita terima itulah rejeki yang memang
kita butuhkan bukan yang kita inginkan. Namun mengapa saat ini perih itu aku
rasakan dari orang terdekatku sendiri, bahkan dia adalah pintu kehidupanku.
Inilah bayaran yang harus ku beri pada Allah agar Dia kan selalu
merangkulku dengan kasih sayang-Nya, dengan lebih ku dekatkan diriku yang
berlumur dosa, ku gigihkan lagi ibadahku, ku kencangkan dari yang wajib hingga
sunah, dengan harapan pertolongan itu kan datang tepat saat aku sedang
membutuhkannya. Fitrah manusia, aku yang lemah dalam ketidakberdayaan memikul
cobaan yang terus silih berganti datang, sering kali aku mengeluh meski aku
tahu itu salah. Aku manusia bodoh yang selalu memikirkan bagaimana cara aku
memenuhi kebutuhan keseharianku, padahal Allah telah menjamin semua kenikmatan
untuk hamba-Nya. Inilah diriku yang mencoba menggapai ridho-Nya, meski nafsu
masih tersemat dalam sujudku. Inilah diriku yang masih terombang ambing dengan
kefanaan dunia ini. Lantas mesti apa dan harus bagaimana?
Ya Allah, bimbing hati ini agar tak tersesat lagi. Terangkan
pemikiranku hingga aku tak terlena lagi. Hapus luka ini dan kuatkan keyakinan
ku pada-Mu hingga derita ini akan sirna. Ya Allah, tempatku bergantung, ku
gantungkan semua harapanku hanya pada-Mu. Engkau lah yang paling mengerti
diriku sebenarnya, kuatkan iman taqwa ku agar Engkau memilih aku sebagai
hamba-Mu yang selalu Engkau sayangi. Apapun yang terjadi, kepasrahanku hanya
pada-Mu.
Sakit memang perih ujian ini, namun aku yang letih masih terus
mengadu pada-Mu, Ya Allah. Bimbang hati ini dalam dilema yang tak tahu dimana
ujungnya, namun ku serahkan semua keraguan ini hanya pada-Mu, Ya Allah.
Simalakama, entah mana yang harus kulakukan, aku tak mau menentang badai karena
aku tak ingin mengikuti dendam dan amarah yang selama ini membungkus hasratku
dalam asa sebuah pemberontakan. Apakah diamku ini kan berkemilau seindah cahaya
yang terpancar dari sebuah mercusuar harapan terpendam? Apakah aku selalu terkekang
dalam sangkar emas hingga semua sayapku rapuh, namun kapankah sayap tak
sempurna ini bisa ku kepakan hingga aku terbebas dari penjara yang
mengatasnamakan kasih sayang.
Saat ini yang terpikir olehku adalah menghapus air mata yang telah
melaut dalam irisan luka, dan aku tak ingin buah hatiku ikut menanggung beban
yang tak semestinya dia rasakan. Semoga pelita itu kan bersinar dalam naungan
limpahan rahmat dari Tuhan semesta alam karena satu janjiku bila aku takan
berpaling dari-Mu, Ya Allah. Ada pelangi setelah badai, ada kemudahan di balik
kesulitan, dan pasti ada kebahagiaan dari luka yang terdalam. Semoga semua ini
kan sirna seperti malam yang kan berganti fajar, dan ketika surya bersinar
senyum suka kan ku beri setulus kebahagian yang ku terima.