Sesaat Nikmati Bahagia
Pelataran
lobi mal Kalibata terlihat ramai, hilir mudik pengunjung sibuk dengan aktivitas
masing-masing. Kursi yang sengaja tersusun memang disiapkan untuk pengunjung
yang hanya ingin bersantai di lobi atau duduk sejenak menunggu kerabat. Termasuk
seorang gadis berkuncir kuda yang terlihat sedikit gelisah.
"Kemana
sih nih orang," gerutu sendiri dengan jemari yang sibuk bermain di
ponselnya untuk mengirim pesan pada seseorang. "Niat enggak sih nih orang
mau ketemuan," terus saja dia menggerutu sendiri. Pesannya terkirim namun
tak ada balasan. Kesal, akhirnya dia menelpon orang yang ditunggunya.
Nada
sambung terdengar yang berarti ponsel orang itu aktif, namun lama ditunggu
akhirnya nada panggil terhenti, itu artinya si pemilik ponsel tak mengangkat.
Bertambah kesal si gadis berkaos kuning ini yang bernama Marsya.
"Lima
menit lagi enggak nongol, gw tinggal tuh orang," katanya sendiri, lalu
memasukkan gawainya ke dalam tas. Tak lama kemudian, seorang laki-laki berkaos
bola Chelsea mendekat menghampirinya.
"Hai,
Marsya," sapanya dalam senyuman, menatap Marsya yang terkejut langsung
mengadahkan wajahnya ke arah laki-laki yang berdiri di depannya. "Kamu
Tony," ucap Marsya terpatah karena terpana. Tony mengangguk, lalu dia
duduk di sisi kanan Marsya.
"Maaf
ya," ucapnya datar sambil memberi tangannya tanda dia mengajak bersalaman.
Marsya tersenyum meski hatinya masih kesal, dan dia menerima uluran tangan Tony
hingga keduanya berjabat tangan. Marsya memang baru pertama kali bertemu dengan
Tony yang dia kenal tidak sengaja di ponsel.
Berawal
ketika Marsya melihat ada panggilan tak terjawab di ponselnya dari nomor yang
tak terdaftar di kontak ponselnya, hingga dia menelpon balik nomer tersebut.
Ternyata itu nomor Tony, yang merupakan teman tetangga kantor Widya, sahabat
kecilnya. Widya dan teman sekantornya sedang makan siang bersama, dan salah
satu teman Widya yang bernama Pras mengajak Tony ikut. Sewaktu sedang ngobrol,
Widya meminjam ponsel Tony dan menelpon beberapa temannya termasuk Marsya.
Sejak
pertama kali bertelepon antara Marsya dan Tony, mereka sering berbalas pesan,
hingga keduanya memutuskan untuk bertemu di mal Kalibata. Namun, hubungan
mereka tanpa diketahui oleh Widya.
Sebuah
restoran siap saji menjadi pilihan mereka untuk menghabiskan pertemuan pertama.
Marsya, yang telah berusia 27 tahun, memang berniat mencari suami bukan mencari
pacar. Dalam kamus percintaannya, dia telah trauma untuk pacaran karena sudah
dua kali dia ditinggal kawin oleh laki-laki yang katanya cinta padanya, namun karena
tak ada keberanian meminang Marsya pada kedua orang tuanya yang menginginkan
Marsya mendapat suami seperti kakaknya.
Ya,
memang kakak Marsya jauh lebih unggul dari dirinya, Miana namanya, yang sering
membuat telinga Marsya pengang karena mamanya selalu memuja kakak satu-satunya
itu. Memang tak dipungkiri, Miana memang jauh lebih cerdas dari Marsya. Sejak
sekolah dasar, Miana selalu menempati peringkat teratas, dan piala kemenangan
Miana adalah bukti prestasinya yang lain. Sedangkan Marsya, berkemampuan
standar meski tak pernah mendapat juara, namun Marsya tak pernah tinggal kelas,
bahkan dia juga bisa masuk perguruan tinggi negeri, meski bukan fakultas
favorit.
Miana
juga telah menikah dengan seorang dokter, sehingga secara finansial, kehidupan
Miana sangat berkecukupan. Itulah sebabnya Doni dan Nando, mantan pacar Marsya,
tak berani meminang Marsya karena persyaratan yang diajukan orang tua Marsya
sangat berat. Terlebih lagi, Doni, yang cuma bekerja sebagai satpam di sebuah
kompleks perumahan, sedangkan Nando mundur karena tak menyukai prinsip yang
digunakan oleh keluarga besar Marsya, bahwa harta lah yang akan membuat
bahagia.
Ya,
memang keluarga Marsya terbilang berkecukupan, hingga sebuah rumah dengan
fasilitas teknologi terkini mereka sediakan sebagai pemanja di rumah. Sebuah
Pajero Sport dan Alphard menjadi kendaraan Pak Satrio dan istrinya, sedangkan
Marsya diberikan Honda Jazz. Gaya hidup kedua orang tua Marsya sering kali
bertentangan dengan hatinya. Marsya adalah gadis yang amat sederhana, dia
jarang sekali menggunakan mobilnya atau fasilitas kemewahan keluarganya. Gadis
berzodiak Libra ini lebih menyukai menggunakan transportasi umum, dan Marsya
lebih senang menghabiskan waktunya untuk berada di sebuah panti asuhan dimana
dia di sana mengajar sukarela. Kebiasaan Marsya inilah yang sering menjadi
pemicu perdebatan dengan Pak Satrio, ayahnya.
Ketika
berbalas pesan dengan Tony sejak awal, Marsya sudah menantang keseriusan Tony
untuk menikah. Tony, yang juga ingin segera menikah, menyanggapinya. Namun,
Marsya tak pernah bercerita keadaan sebenarnya keluarga dia.
Semangkok
mie ayam telah ludes disantap Marsya, yang kini asyik menikmati minumannya.
Marsya, yang periang, sering mengoda Tony, yang justru merasa tak yakin pada
setiap pesan ketika mereka saling berbalas pesan sebelum pertemuan ini. Ya,
Tony tak menyangka bahwa teman chattingnya adalah seorang gadis cantik berkulit
halus dengan raut muka oriental, dengan kelebihan lain yang tampak dari gaya
Marsya ketika dia berhadapan langsung.
"Kok
anteng aja, enggak rame kaya di telepon," ucap Marsya mengaduk-aduk jus
sirsaknya. Tony tersenyum. Jujur, dia minder setengah mati berhadapan dengan
gadis secantik Marsya yang tak sama sekali dia bayangkan. "Jangankan jadi
istri, jadi teman aja udah syukur," gumamnya dalam hati. "Maaf,"
hanya itu yang mampu Tony ucap, dan dibalas tawa riang Marsya.
"Kamu
kikuk amat sih kenapa?" tanya Marsya serius. Dengan patah-patah, Tony
menjawab, "Kamu terlalu sempurna untuk aku, Sya." Dia tertunduk, dan
Marsya pun menutup mulutnya. "Sorry, Ton, kita semua sama di mata
Tuhan," katanya serius sambil menyedot minumannya. "Takdir itu bisa
dirubah, asalkan kita serius untuk mengubahnya," lanjut Marsya. Dia
mengungkapkan semua perasaannya. Pertemuan ini membuat Tony semakin mengagumi
Marsya bahkan tekadnya semakin bulat untuk menikahi Marsya yang tetap menantang
keseriusannya, hingga di ujung pertemuan mereka memutuskan besok akan bertemu
lagi tapi Marsya mengajak Tony ke rumah Widya, dan Tony menyetujuinya. Namun,
sebelum ke rumah Widya, Marsya minta pada Tony untuk menjemputnya di rumah.
Tony, yang belum mengetahui keadaan keluarga Marsya, menyetujuinya.
Kesokan
harinya mereka benar bertemu lagi, namun Marsya tak tega bila Tony datang ke
rumah terlebih lagi bertemu dengan mamanya. Makanya Marsya meminta Tony
menunggu di halte bus yang telah mereka sepakati. Setelahnya mereka pun menuju
ke rumah Widya dengan Honda Supra X tua yang dikendarai Tony.
Widya
tercengang saat Marsya dan Tony sudah berada di teras rumahnya. Dari tatapan
matanya, Widya menandakan ketidak sukaan dengan kehadiran mereka yang datang
berdua. "Cha, ikut gw," Widya berdiri berbalik badan dan melangkah
masuk ke dalam rumah, diikuti Marsya. "Jangan bilang lo udah berhubungan
sama si Tony," Widya ketus mengungkapkan ketidak sukaanya melihat Marsya
berjalan bersama Tony. Marsya tersenyum mengangguk-anguk, membuat Widya menepuk
jidatnya.
Hubungan
Marsya semakin dekat dengan Tony, yang sering menemani dia saat mengajar di
panti, bahkan Tony sering membantu pihak panti untuk merapikan peralatan yang
digunakan. Marsya merasa nyaman sekaliketika bersama Tony. Bagaimana tidak,
Tony selalu menguatkan dia takala Marsya berkeluh kesah tentang keluarganya.
"Ah,
aku ini kaya burung disangkar emas aja, semua fasilitas didapat tapi tidak
dihargai ketika aku bekerja," keluh Marsya ketika sedang berada di rumah
makan Padang setelah mengajar. "Makanya aku pengen secepatnya menikah,
trus kan bebas dari mama papa. Kan anak perempuan itu kalau udah nikah wajib
ikut nurut suami," tambahnya. Tony hanya bisa diam karena dia tahu bila
orang tua Marsya takkan menyetujui bila dia melamar Marsya. Beberapa kali Tony
ke rumah, kesan penghinaan selalu terlontar dari perlakuan mamanya yang hanya
mencibir keberadaan Tony saat menjemput Marsya. Awalnya ciut nyali Tony, tapi
semangat Marsya serta rasa cintanya pada gadis ini, maka Tony mengumpulkan
segenap keberanian untuk datang ke rumah Marsya.
"Tapi
Cha, gimana cara aku bisa melamar kamu, kalau datang ke rumah aja mama kamu
bersikap gitu," kata Tony tak henti memandang wajah cantik di hadapanya.
Marsya diam sejenak, raut mukanya seolah dia berpikir mencari cara dalam
menyelesaikan permasalahan ini. "Kamu ngomong aja ke keluarga kamu dan
minta tolong ke mereka buat datang ke rumah," saran Marsya. Tony diam, dia
berpikir karena dia sudah menceritakan bahwa di Jakarta ini dia hidup sebatang
kara.
Tony
adalah seorang yatim piatu karena sejak dia berusia dua tahun ayahnya meninggal
dunia dan di kala Tony berusia 9 tahun, ibu pun ikut menyusul sang ayah. Tony
anak bungsu dari tiga bersaudara, dan kedua kakaknya menetap di Padang. Tony
pindah ke Jakarta karena diangkat anak oleh sebuah keluarga yang masih
terhitung kerabat, namun keluarga itu tak begitu memperhatikan Tony. Sejak
sekolah, mereka hanya memberinya uang saku dan uang bayaran sekolah tanpa
pernah bertanya apalagi datang ke sekolah untuk acara seperti pembagian raport.
Ibu angkatnya hanya menelpon ke sekolah dan meminta segala urusan biar Tony
sendiri yang menyel menyelesaikanya. Makanya Tony hanya menamatkan SLTP saja
dan setelahnya dia kerja semeraut hingga dia bertemu Pak Hadi yang mempercayainya
sebagai supir pribadinya.
"Aku
coba ya Cha," jawabnya ragu, dan Marsya hanya tersenyum getir penuh harap.
"Cha,
Cha, memang enggak ada orang lain yang bisa jadi suami kamu," kata Bu
Anita ketus ketika keluarga Pak Satrio sedang makan malam dan Marsya
mengungkapkan keinginannya untuk menikah dengan Tony. "Atau nanti gw
kenalin lo sama temannya Mas Gatan aja, yang dokter juga," timpal Miana
yang ikut makan malam di rumah mama karena suaminya ada tugas ke luar kota.
"Betul tu Na, coba kamu cariin jodoh buat adik kamu," sahut Pak
Satrio mengelap mulutnya menatap sinis ke Marsya. "Papa bukannya enggak
mau punya mantu miskin, tapi papa tuh kasihan kalau anak papa hidupnya jadi
gembel," lanjut Pak Satrio lantas bangkit dari duduknya. "Suruh Tony
ke sini malam Minggu besok," kata Pak Satrio sambil berlalu dari meja
makan, Bu Anita dan Miana terkejut dengan ucapan Pak Satrio namun mereka hanya
diam dengan terus melanjutkan aktivitas di meja makan, sedangkan Marsya
mengepalkan tinjunya dalam hati, "Yes."
Tony
sudah duduk berhadapan dengan Pak Satrio, dia hanya bisa tertunduk meski
sesekali menatap Pak Satrio penuh rasa sedangkan Marsya duduk di samping
papanya, Bu Anita sedang keluar rumah hingga hanya mereka bertiga yang ada di
ruang tamu itu. "Saya bukannya melarang kamu menikahi Marsya, tapi apakah
kamu berani menjamin kalau anak saya bisa bahagia dan hidup serba
kecukupan," kata Pak Satrio penuh wibawa. "Saya hanya bisa berusaha,
Pak, tapi ALLAH lah yang telah menjamin rejeki setiap hamba-NYA," jawab
Tony, Pak Satrio mendesah. "Saya tidak butuh kamu ajarin," katanya
lagi. "Maaf Pak, saya hanya ingin mengungkapkan keyakinan saya untuk
menikahi Marsya karena saya yakin ALLAH akan mencukupi semua kebutuhan dan
keperluan setiap mahluk-NYA," Tony mencoba berani berkata. Pak Satrio
menggelengkan kepala dan bangkit berdiri tanpa kata, dia berbalik badan
melangkah meninggalkan Marsya dan Tony yang tetap diam mematung.
Kehadiran
Tony benar-benar memberikan perubahan positif pada Marsya. Kini gadis penyayang
anak-anak ini telah berhijab. Ini berawal ketika Tony memperkenalkan Marsya
pada Pak Wahyu, seorang ustad di mana Tony selama ini belajar agama. Istri Pak
Wahyu yang bernama Bu Wati lah yang sering kali menguatkan hati Marsya saat
menceritakan keadaan orang tuanya. Awal Marsya berhijab, sang mama memprotes
keras. "Cha, kamu yakin dengan keputusan pakai kerudung seperti itu,"
kata Bu Anita ketika pertama kali melihat Marsya mengenakan busana muslim.
Marsya tersenyum mengangguk. "Kan kemarin Cha sudah jin sama mama dan kata
mama terserah," ucap Marsya polos, Bu Anita menggelengkan kepala tanpa
menjawab. "Pasti ini gembel itu yang nyuruh kamu ya," kata Pak Satrio
menatap Marsya tak suka. "Ini perintah ALLAH, Pa," kata Marsya.
"Ah, enggak usah bawa-bawa Tuhan segala deh, Cha," timpal Pak Satrio.
"Udah biarin aja, Pa, dia mau apa, Cha kan sudah dewasa jadi biarin
aja," Bu Anita meredakan obrolan. "Gimana Pa, Cha bolehkan menikah
sama Tony?" Marsya mencoba bertanya pada papanya yang menyibukkan diri
dengan menekan-nekan tombol televisi mengganti siaran. "Kan adi mama sudah
bilang, kalau kamu sudah dewasa jadi papa terserah kamu asal ada
syaratnya," ucap Pak Satrio asyik menatap layar besar di depan, Marsya
menelan ludahnya karena dia berpikir pasti ujung-ujung syarat itu adalah
materi, Marsya tertunduk menunggu kelanjutan perkataan papanya. "Kamu
silahkan menikah, tapi papa tak akan memberikan serupiah pun uang untuk acara
kamu, papa hanya mau datang jadi wali nikah kamu, dan setelah nikah silahkan
kamu ikuti suami kamu. Jangan sekalipun si gembel nginap apalagi tinggal di
rumah ini," lanjut Pak Satrio. "Kamu gimana, Ma?" tanya Pak
Satrio menoleh ke istrinya, Bu Anita tampak berpikir sejenak. "Ya udah,
kalau papa setuju, Mama gimana papa saja," Bu Anita berucap, membuat
Marsya mengacungkan tinjunya di pahanya sendiri, "Yes." Sama seperti
papa, Mama juga tidak akan memberikan uang sepeser pun ke kamu dan si Tony,
jangan sekalipun datang ke rumah ini," lanjut Bu Anita. "Kamu urusin
sendiri, tinggal bilang papa kapan hari pernikahan kamu, biar papa siapkan
waktu, tapi jangan ngedadak ya," ucap Pak Satrio, melanjutkan kembali
menikmati siaran televisi.
Dengan
segala perjuangan baik secara fisik maupun spiritual, akhirnya Marsya
memutuskan untuk menikah dengan Tony. Tepat di hari yang telah ditentukan,
jadilah Marsya diperistri Tony, akad nikah sederhana di kantor kua berlangsung
sangat dingin karena hanya Pak Satrio yang hadir, itupun karena dia akan
menjadi wali nikah Marsya, sedangkan Bu Anita tidak mau datang apalagi Miana
dan suaminya. Pak Wahyu dan Bu Wati yang menjadi saksi pernikahan itu yang juga
dihadiri Pras dan dua teman kantor Tony.
Raut
muka bahagia terpancar dari paras jelita Marsya yang berbalut gamis putih.
Meski sangat sederhana tanpa make-up, namun sejatinya kebahagian itu sedang
Marsya rasakan.
Seumur
jagung baru saja hidup baru Marsya rasakan dengan Tony. Meski tinggal di rumah
petakan, namun Marsya selalu menikmati detik harinya bersama suaminya. Tony
telah membuktikan keseriusannya mencintai Marsya. Dia adalah laki-laki yang
penuh tanggung jawab, bahkan dia adalah imam yang Marsya impikan. Bagaimana
tidak, sekarang hati Marsya jauh lebih teduh ketika iman lebih tertancap,
karena Tony membantu dia memperkuat ketaqwaannya. Pasangan suami istri ini
sering terlihat sholat berjama'ah, bahkan selepas Maghrib, keduanya terdengar
melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Kini Marsya sangat bersyukur dengan
kehidupan yang sedang dia jalani. Uang tak jadi persoalan penting buat Marsya,
karena dia mulai membiasakan diri untuk menerima apa yang diberi suaminya, dan
Tony dengan segenap usahanya berupaya membahagiakan sang istri.
Kebahagian
Marsya terdengar oleh Widya temannya, yang kemudian datang ke rumah kontrakan
mereka. "Maaf, Cha, gw Cuma sebentar," kata Widya ketika duduk di
teras rumah, padahal Marsya sudah menyuruh masuk, tapi dia tetap menolak.
"Gw Cuma mau ngeluarin unek-unek aja," katanya mengalihkan pandangan.
"Sehari sebelum lo nikah, Kak Ana datang sama Tante Anita dan memarahi gw.
Mereka bilang gw adalah comblang kalian," ucapnya tidak suka. Marsya
tersenyum.
"Nah,
sekarang gw minta lo sama Tony jangan pernah temuin gw lagi apapun yang
terjadi," Widya berdiri beranjak melangkah meninggalkan Marsya yang
tertegun menatap kepergian sahabat kecilnya.
Ketika
Marsya telah menjadi istri Tony, justru semua orang malah menjauhinya. Namun,
Marsya menerima itu dengan senyuman, yakin bahwa Allah pasti akan memberi yang
dia butuhkan, bukan yang dia inginkan. Sekarang semua orang terdekatnya
menjauh. Malam ini, Marsya menunggu Tony seperti biasa, yang baru pulang
setelah jam sembilan setiap hari Kamis malam itu karena Tony mengikuti pengajian
di masjid dekat kantornya. Namun, ini sudah jam sepuluh, namun kenapa Tony
belum juga pulang.
Marsya
mulai cemas, rasa kuatirnya kian menylimuti. Sudah dicoba menghubungi ponsel
Tony, namun nada dering menandakan bahwa ponselnya tak aktif. Berkali-kali Marsya
melihat arah jalan, namun tak ada juga tanda kedatangan suaminya. Setiap deru
suara motor, dia berharap itu adalah suara motor Tony, tapi tetap saja bukan.
Malam kian beranjak, kini jam telah menunjukkan tengah malam, namun Tony belum
juga pulang. Marsya gelisah, hingga dia tak bisa sama sekali memejamkan mata.
"Kemana
Mas Tony ya," gumamnya ketika dia hendak sholat. Marsya ingin membuang
rasa kuatirnya dan menyerahkan sepenuhnya hanya pada Allah. Makanya
diputuskanlah dia sholat yang dilanjutkan membaca Al-Qur'an. Dalam perasaan
cemasnya, Marsya terus memohon perlindungan untuk suaminya. Tepat jam satu
malam, pintu rumah diketuk seseorang, Marsya mengintip dari balik tirai, betapa
terkejutnya dia ketika yang dia lihat adalah seorang laki-laki berseragam
polisi. Tidak membuang waktu, Marsya membuka pintu.
"Selamat
malam, Bu," sapa seorang polisi yang bernama Andika. Marsya menjawab
terpatah penuh tanya. "Malam, Pak." "Kami mencari rumah Pak
Tony," Pak Andika memberikan sebuah dompet yang Marsya kenali sebagai
dompet milik suaminya. "Itu dompet suami saya," jawabnya bertambah
tak mengerti. "Kalau begitu, kami tunggu Ibu untuk merapikan diri, baru
kita ke rumah sakit," kata Pak Andika, yang membuat Marsya tambah tak
mengerti.
"Ini
ada apa ya, Pak?" tanyanya penasaran.
"Pak
Tony ditemukan tewas di tepi jalan Kapten Tendean karena tabrak lari," Pak
Andika menjelaskan, membuat Marsya nyaris pingsan. Dia menahan sesak
ketidakpercayaannya dengan menutup mulut.
"Bapak
enggak becanda kan?" Marsya berusaha meyakinkan diri, Pak Andika tersenyum
menggeleng. "Makanya kami menjemput pihak keluarganya karena kami hanya
menemukan alamat rumah ini tanpa ada barang lainnya. Sepertinya setelah
ditabrak, Pak Tony dirampok juga," jelas Pak Andika, membuat Marsya
menangis.
Marsya
duduk tertegun di hadapan gundukan tanah yang baru saja menutupi jasad
suaminya, dengan terus terisak tanpa henti. Marsya terlihat sangat letih, wajah
pucat tak beraura tampak tertutup dalam duka yang sangat dalam. Sampingnya
berdiri Bu Anita dan Pak Satrio, yang menepuk bahunya, sedangkan Pak Wahyu dan
Bu Wati berada di depan. Mereka saling menatap nisan yang bertulis Tony
Pramono.
Posting Komentar