Si Bintang Kelas Jadi Cleaning Service
Gedung
pencakar langit berlantai 17 itu gagah berdiri di tengah ibukota, tanda
kemewahan bagi yang bekerja di sana. Ya, bagaimana tidak, sebuah perusahaan
swasta pertambangan milik negara lain yang berkolaborasi dengan pekerja anak
negri menjadi dambaan setiap orang yang bertaruh bersaing untuk bisa menjadi
karyawan di sana, meski hanya menjadi seorang tenaga bersih-bersih ataupun
pesuruh.
Afanza
biru bermahkota berhenti di pintu depan lobi gedung itu. Turunlah seorang
wanita berpakaian layaknya seorang wanita berkelas yang menjabat sebagai atasan
di kantor ini. Itu juga terlihat dari penyambutan satpam yang dengan sigap
segera menghampiri mobil itu dan membukakan pintu menyambut dengan penuh
hormat.
"Selamat
pagi, Bu Sarah," kata seorang laki-laki berseragam security memberi
anggukan rasa hormatnya. Turun dari mobil, melangkah sang wanita itu memberi
balasan dengan tersenyum.
Selagi
dia melangkah mendekati pintu lift, tatapannya tertuju pada sosok wanita sebaya
dengannya yang berseragam cleaning service. Sarah memfokuskan penglihatannya
sejenak. Dia terdiam, namun keyakinan hatinya membuat Sarah mendekati wanita
itu.
"Alya,"
ucapnya ragu menatap wanita berpakaian biru tua dengan celana panjang hitam
sedang memegang alat pembersih lantai. Wanita itu menoleh balik menatap Sarah
yang telah yakin bahwa di hadapannya adalah Alya, teman sewaktu dia bersekolah.
"Sarah,"
kata Alya beradu tatap dengan Sarah yang masih terus menatap tak percaya dengan
apa yang dilihatnya.
Ya,
Sarah memang sangat terkejut takala melihat Alya berada di kantor yang sama,
namun jabatan mereka jauh berbeda. Sarah yang kini telah menjadi sekretaris
direktur, sedangkan Alya hanya sebagai cleaning service. Padahal dulu sewaktu
sekolah, Alya selalu menjadi juara kelas. Bahkan, Alya sering kali diikutkan
dalam lomba bidang studi, dan kebanyakan dari lomba yang diikutinya, Alya
selalu mendapat juara. Ini terlihat dari barisan piala yang memenuhi ruang
kepala sekolah, di masa SLTP sampai SLTA siapa guru yang tak kenal Alya
Wulandari, siswa terpandai di sekolah pada angkatannya.
Sarah
tersenyum menatap Alya yang juga memberikan senyumnya.
"Kamu
kerja di sini juga, Al?" tanya Sarah meyakinkan rasa penasarannya. Alya
mengangguk.
"Kok
bisa sih kamu kerja di sini dan cuma jadi CS aja?" tanya Sarah sedikit
nyinyir. Alya menunduk menjawab singkat, "Iya."
"Udah
berapa lama kamu kerja di sini?" kembali Sarah bertanya. Alya mengangkat
wajah menoleh ke arah lain karena tak ingin beradu tatap dengan Sarah yang
menampakan raut penghinaan.
"Baru
lima bulan," Alya menjawab sekenanya dan langsung dia berpamitan.
"Maaf,
Sarah, saya mau meneruskan pekerjaan dulu," dan Alya pun melanjutkan
membersihkan lantai gedung dimana dia berada. Sarah diam sejenak memandang Alya
yang menyibukkan diri dengan aktivitasnya lantas Sarah kembali melangkah menuju
lift.
"Kok
bisa ya, Alya jadi OB, padahal kan dia pinter banget. Sedangkan otak aku aja
pas-pasan tapi bisa kerja enak di sini," ucapnya sendiri setelah duduk di
kursi kerjanya.
"Kasihan
kamu, Alya. Untung dulu waktu sekolah aku enggak terlalu mencolok pinter jadi
enggak terlalu miris kalau kerjaannya tak sebanding otaknya," terus Sarah
bergumam sendiri sambil menyalakan komputernya.
Tangan
trampil Sarah mulai menjelajahi area pekerjaanya di layar monitor dan ketika
sedang fokus dia dikejutkan oleh suara Rizal yang menegurnya.
"Pagi,
Sarah cantik," goda Rizal mendekati meja Sarah dengan senyum manis sebagai
pelengkap rayuannya. Sarah tersenyum kecut melirik sejenak ke arah Rizal lantas
kembali dia memainkan jemarinya di atas keyboard.
"Ra,
tebak kemarin gw ketemu siapa di kantor ini?" tanya Rizal yang telah duduk
dihadapan Sarah. Sarah melirik Rizal dari tatapannya seakan dia ingin
mengatakan "siapa," namun Sarah tetap asyik berselancar dalam dunia
kerjanya.
"Alya.
Ya, Alya teman kita SLTA yang jadi bintang sekolah itu," Rizal memberi
kabar itu dan berharap Sarah terkejut. Sarah tersenyum kecil.
"Aku
tadi di bawah juga ketemu dia," Sarah menjatuhkan punggungnya di sandaran
kursi meraih gelas di hadapannya dan meminumnya.
"Kasihan
ya dia," lanjut Rizal yang duduk dengan mengoyangkan kursi hingga
laki-laki ini bergerak berputar kanan kiri.
"Kasihan
kenapa?" tanya Sarah menatap Rizal.
"Ya
iyalah, kontras amat sih pekerjaannya sama kemampuan otaknya, mending kaya gw
yang dulu tukang nyontek eh sekarang gw udah jadi tenaga IT mekanik di kantor
ini," kata Rizal membanggakan dirinya.
"Lo,
enggak boleh punya pikiran gitu zal, namanya sombong tuh," timpal Sarah
kembali melanjutkan pekerjaannya.
"Dah
sana deh, aku masih banyak kerjaan nih," kata Sarah yang mulai
menenggelamkan dirinya pada tugas kantor dan Rizal berdiri melangkah
meninggalkan Sarah.
"Alya,"
seru Sarah ketika melihat Alya berada di tepi jalan saat jam pulang kerja. Alya
yang telah lebih dahulu berada di depan membalikan badan menatap Sarah.
"Tunggu,
Al," Sarah mempercepat langkahnya hingga keduanya berdiri bersisian.
"Apa
kabar kamu, Al?" ucap Sarah sambil mengatur nafasnya.
"Baik,"
singkat Alya menjawab.
"Iya,
aku tahu kamu sehat kan. Sekarang kamu segar bugar ada di samping aku,"
Sarah berkata sedikit bercanda, Alya tersenyum.
"Maksud
aku, kenapa kamu juga ada di kota ini lagi?" tanya Sarah.
"Maaf,
bukannya kamu pindah ya ke Bandung setelah lulus sekolah?" lanjut Sarah,
Alya hanya mengangguk dan tersenyum. Hal ini justru membuat Sarah jadi
bertambah penasaran.
"Ya
udah, kita ngobrol dulu yuk, Al, dimana gitu," ajak Sarah yang
menghentikan sebuah taksi yang melintas tak jauh sebelum mereka berada.
"Maaf,
Sar, aku tidak bisa," jawab Alya, hal ini membuat Sarah terkejut karena
tak menyangka Alya akan menolaknya. Namun karena mobil bermahkota itu telah
berhenti tepat di hadapan Sarah, terpaksa gadis ini naik ke dalam mobil
sendiri.
"Aneh,
kenapa dan ada apa ya sama Alya?" gumam Sarah sendiri ketika telah duduk
di dalam mobil.
"Ka,
lo masih inget Alya si bintang sekolah kita dari SLTP dan SLTA enggak?"
tanya Sarah ketika menelpon Ika sahabat kecilnya yang juga satu sekolah dengan
Alya.
"Iya
inget gw, emangnya kenapa, Ra?" tanya Ika.
"Dia
kerja sekantor sama gw dan Rizal, tapi dia jadi CS," balas Sarah dan
membuat Ika sedikit terkejut.
"Ah,
masa sih, Ra, dia kan otaknya encer banget masa cuma jadi CS aja," timpal
Ika tak percaya.
"Gw
tadinya mikir kaya gitu juga ka, tapi filing gw ada yang dirasakan sama Alya
deh," kata Sarah mencoba menggali masalah.
"Maksud
lo?" tanya Ika penasaran.
"Ada
sesuatu yang terjadi sama Alya, gw tahunya dia pindah itu karena diterima di
ITB, tapi kenapa ya sekarang dia enggak gunain ijazahnya," Sarah berkata
lagi sambil dia sendiri menerka ada apa dengan Alya.
"Yah
udah, Ra, besok lo selidikin aja tuh bocah sama Rizal kan kalian
se-kantor," Ika memberi ide namun Sarah malah tertawa.
"Hahahaha,
sama Rizal jadi detektif?"
"Ogah
amat, cowo playboy gitu entar malah Alya jadi korban dia lagi," lanjut
Sarah dan kedua sahabat ini tertawa bersama.
Sarah
sengaja datang lebih pagi hari ini karena berniat menemui Alya sebelum jam
kantornya. Sarah telah duduk di ruang tempat para karyawan bagian cleaning
service mengadakan briefing pagi sebelum memulai tugas masing-masing, namun
tempat itu masih sepi, hanya ada tiga orang CS yang sudah siap untuk bertugas.
"Pagi,
Bu Sarah," sapa seorang laki-laki yang merupakan kepala bagian cleaning
service. Sarah tersenyum.
"Maaf,
Ibu cari siapa ya?" tanya Anton.
"Alya,"
singkat Sarah menjawab dan sebelum Anton berkomentar atas jawaban Sarah, Alya
melangkah masuk. Segera Sarah berdiri dan mendekati Alya.
"Pagi,
Al, nanti jam makan siang aku tunggu di kantin lantai 5 ya," Sarah
langsung mengutarakan kemauannya.
"Apa
apa ya, Bu Sarah?" sopan Alya bertanya menatap Sarah, Sarah tertawa kecil
sambil menepuk bahu Alya.
"Santai
aja, Al, aku kan teman kamu jadi ingin reuni, bolehkan?" ucap Sarah lantas
melangkah pergi, namun baru dua langkah dia berbalik badan.
"Jangan
lupa ya, Al, atau aku minta nomer HP kamu," Sarah kembali mendekati Alya
mengeluarkan ponselnya.
"Berapa,
Al, nomer kamu?" kata Sarah yang telah siap memasukkan nomer yang akan
Alya sebut. Dengan cepat Alya menyebutkan digit nomer ponselnya satu persatu.
"Tuh
dah, aku simpan ya, Al," ucap Sarah sambil kembali memasukkan gawainya ke
dalam tas lantas dia melangkah meninggalkan ruangan para CS di kantor ini.
Suasana
kantin sedikit ramai. Sarah sengaja mengajak Alya duduk di sudut ruangan agar
leluasa ngobrol meski jam istirahat mereka hanya tinggal 45 menit lagi karena
telah dihabiskan untuk sholat Dzuhur.
"Kamu
bawa bekal sendiri, Al?" tanya Sarah yang melihat Alya membawa bodybag
ketika telah duduk berhadapan. Alya mengangguk membuka kotak makannya, Sarah
tertegun menatap teman sekolahnya.
"Ibu
kamu apa kabar, Al?" tanya Sarah lagi sambil menyendok gado-gado lantas
menyuap ke mulutnya.
"Sudah
meninggal setahun yang lalu," Alya menjawab sambil menikmati nasi dengan
lauk yang dia bawa dari rumah.
"Innalillahi
wa innalillahi rojiun, turut berduka ya, Al," kata Sarah menghentikan
kunyahannya, Alya tersenyum, "iya."
"Kamu
sudah nikah?" kembali Sarah bertanya.
"Aku
sudah punya anak satu laki-laki baru usia tujuh bulan," jelasnya membuat
Sarah mengangguk dan kembali menyantap gado-gadonya.
"Terus
anak kamu di rumah sama siapa, Al?" tanya Sarah lagi.
"Eh,
maaf, aku banyak ngepoin kamu nih," kata Sarah sedikit tersipu.
"Santai,
Sarah," Alya meneguk air minum dari botol yang juga dia bawa dari rumah.
"Aku
titip sama tetangga yang mau ngasuh karena suamiku juga sudah meninggal pas aku
hamil dua bulan," kata Alya kembali memakan bekannya, Sarah terdiam.
"Maaf,
Al, aku ngebuka luka kamu lagi," ucap Sarah dan Alya tersenyum.
"Kenapa
kamu tidak pake ijazah S1 kamu, Al, untuk ngelamar kerja di sini?" Sarah
terus bertanya seakan dia ingin membuang rasa penasarannya.
"Kuliahku
DO, Sarah, karena kurang biaya, uangnya dipake untuk ngobati penyakit kanker
ibu," kata Alya.
"Sewaktu
kuliah aku nyambi kerja tapi kondisi ibu tidak bisa ditinggal sendiri, makanya
aku mutusin berhenti kuliah dan kerja aja," Alya mulai bercerita kisahnya
mengapa sampai bisa bekerja di sini.
"Pas
waktu kerja aku dijodohkan guru ngaji sama anaknya dan kami pun menikah. Takdir
ALLAH tak bisa ada yang tahu, tiga bulan aku nikah ibu meninggal dan aku serta
suami kembali ke kota ini lagi berniat memulai usaha warung nasi dari modal
yang diberikan oleh mertuaku," Alya menghentikan ceritanya meneguk air minumnya.
"Empat
bulan kemudian aku hamil dan dua bulan selanjutnya suamiku meninggal karena
jatuh dari atas genteng rumah tetangga ketika sedang diminta tolong memperbaiki
atap rumahnya. Suamiku mengalami kritis seminggu lantas dia kembali pada Sang
Kuasa," Alya merapikan kotak makannya sedangkan Sarah sejak tadi ta'zim
mendengarkan cerita Alya.
"Aku
kerja di sini juga diajak sama anaknya tetangga aku yang juga jadi CS di sini.
Makanya sekarang aku kerja di kantor yang sama dengan kamu, Sarah," ucap
Alya yang telah selesai merapikan semua peralatannya.
"Maaf,
Sarah, aku duluan ya, enggak enak sama Pak Anton dan teman lainnya kalau
kelamaan istirahatnya," Alya berdiri berpamitan sedangkan Sarah hanya diam
menatap haru Alya yang berbalik badan melangkah meninggalkan.
"Alhamdulillah,
terima kasih Ya ALLAH," ucap Sarah yang masih duduk menatap pintu dimana
Alya menghilang.
"Ternyata
dunia itu tak seindah apa yang kita sangka, alhamdulillah ALLAH memberikan
semua kenikmatan ini padaku," Sarah berkata sendiri dengan hatinya yang
merasa jauh beruntung dari Alya.