Segelas embun di padang pasir
Sinar
mentari telah condong ke barat, langit senja indah jingga melukis cakrawala.
Permadani alam ini tak seindah hati Ratih yang tengah gundah gulana. Gadis
berkerudung biru tua ini duduk diam di halte bus, raut wajahnya tampak letih
dan menyimpan beban yang tak terlukis. Ratih mendesah nafas, menggelengkan
kepala menundukannya seakan dia ingin meregangkan otot kepalanya yang sedikit
berdenyut. "Kemana lagi ya aku harus cari kerja," ucapnya pada diri
sendiri.
Ya,
Ratih seharian ini memang tengah mencari pekerjaan. Dia telah menanyakan di
beberapa toko, rumah makan, serta warteg apakah masih menerima pegawai, namun
belum ada satupun tempat yang dia datangi mau menerimanya sebagai pekerja.
Bahkan hari ini Ratih telah mencoba masuk ke beberapa perumahan kompleks untuk
mencari pekerjaan di sana. Dalam benaknya, dia berpikir siapa tahu di antara
rumah mewah itu ada yang membutuhkan asisten rumah tangga, namun tetap saja
nihil hasilnya hingga petang ini dia belum juga mendapat pekerjaan.
"Innalillahi wa innalillahi rojiun, susah banget YA ALLAH untuk mencari
riski-MU," gumamnya sendiri mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.
Hilir mudik kendaraan di depannya hanya membuat pikirannya semakin kusut,
seakan membawanya dalam persoalan baru.
"Gini
ya, rasanya jadi gelandangan," lanjutnya berbicara dengan dirinya sambil
menepuk-nepuk kepalanya. "Jangankan dapat kerja, dapat tempat tinggal,
dapat uang aja belum, mana lapar banget deh," gerutunya lagi. Gadis
berlesung pipi ini sekali lagi mendesah nafas, mengajak dirinya untuk tetap
kuat, dia menyapu pandangannya ke sekeliling entah mencari apa. Lambat-lambat
terdengar suara sholawat dari pengeras suara di masjid dan ini menyadarkan
Ratih pada sesuatu. "Bentar lagi magrib, aku harus cari tempat sholat dulu
aja," katanya lantas dia berdiri melangkah ke arah sumber suara untuk
mengerjakan sholat magrib.
Ratih
merapikan mukena yang dia pinjam dari masjid ini setelah selesai mengerjakan
sholat magrib, lantas setelah dia menaruh kembali mukena itu dia melangkah
keluar masjid, namun langkahnya tertahan takala pandanganya melihat seorang ibu
yang tengah kusyuk membaca Al-Qur'an. Meski suara sang ibu teramat pelan, namun
getar hati Ratih membawa langkahnya mendekati sang ibu. Ratih duduk di samping
kanan wanita yang memakai mukena putih, menyadari kehadiran Ratih, sang wanita
itu menyelesaikan bacanya lantas menoleh ke Ratih. "Maaf ibu, saya tak
bermaksud mengganggu ibu, saya hanya suka sekali mendengarkan orang membaca
Al-Qur'an," kata Ratih lebih dulu karena dia merasa bersalah. Sang ibu
tersenyum. "Saya tidak terganggu kok, emang saya sudah selesai
membacanya," jawab sang ibu. "Saya Ratih, Bu," ucap Ratih sambil
mengulurkan tangan, ibu itu membalas dan mereka saling berjabat tangan hingga
Ratih dengan sopan mencium punggung tangan sang ibu. "Saya Izza, kamu bisa
panggil saya Bunda Izza," kata ibu yang ternyata bernama Izza dengan
menepuk bahu Ratih. "Kamu darimana dan mau kemana?" tanya Bunda Izza
menatap Ratih. "Abis cari kerja Bun dan sekarang mau pulang," ucap
Ratih. "Oh, nah sekarang kita keluar yuk, tak baik ngobrol di dalam
masjid," ajak Bunda Izza yang tengah merapikan alat sholatnya dan beranjak
mengajak Ratih keluar.
"Kamu
pulang kemana?" tanya Bunda Izza ketika mereka telah berada di teras
masjid sedang memakai alas kaki. "Entah lah Bun," singkat Ratih
menjawab dengan desahan nafas, dan ini membuat Bunda Izza terkejut melotot ke
arah Ratih. "Apa maksudnya?" tanya Bunda Izza ingin tahu, Ratih tersenyum
berusaha tegar. "Saya dari Krawang, Bun," jawab Ratih pelan.
"Subhanallah, jauh juga ya," balas Bunda Izza yang telah selesai
memakai sepatu sandalnya dan berdiri bersisian dengan Ratih.
"Terus
sekarang kamu mau kemana, tidak mungkin kalau kamu sekarang pulang ke Krawang,
itu jauh loh," Bunda Izza melanjutkan ucapannya, Ratih tersenyum.
"Iya Bun, saya sendiri masih belum tahu mau kemana Bun, tapi enggak kerasa
saya jauh juga ya jalannya untuk nyari kerja," ucap Ratih. "Saya
pamit duluan ya Bun, maaf tadi ikut dengar Bunda ngaji," lanjut Ratih
berkata sambil mengulurkan tangan untuk berpamitan. "Eh, kamu temanin
Bunda makan dulu yuk," ajak Bunda Izza yang menolak bersalaman dengan
Ratih dan malah mengajak Ratih untuk makan. Sebenarnya Ratih memang sangat
lapar, namun dia sungkan untuk menerima ajakan orang yang baru saja dia temui.
"Maaf Bun, saya langsung pamit saja," ucap Ratih berusaha mengelak,
Bunda Izza tertawa. "Bunda tahu kamu pasti lapar, tapi sungkan,"
katanya masih dengan tawa kecil, Ratih pun tersipu malu. "Dah, enggak
boleh nolak rejeki, yuk kita makan pecel ayam di sebrang, tuh ada
warungnya," Bunda Izza berkata sambil meraih lengan Ratih, mengandengnya
melangkah menuju ke warung pecel ayam di seberang masjid.
Warung
itu masih sedikit sepi, hanya ada lima orang yang duduk di sana menunggu
pesanannya, termasuk Bunda Izza dan Ratih yang memilih duduk di sudut dalam.
"Kamu mau makan apa?" tanya Bunda Izza yang telah duduk berhadapan
dengan Ratih. "Nasi pake tempe tahu aja Bun," jawab Ratih. "Ih,
kok cuma pake tempe tahu," ledek Bunda Izza dengan tawa kecilnya yang
membuat Ratih tersipu. "Mba, nasi uduknya dua sama ayam bakar ya,"
kata Bunda Izza pada pelayan yang menghampirinya. "Eh, minumnya apa
ya?" lanjut Bunda Izza berpikir sejenak. "Saya air putih hangat aja
Mba," Ratih lebih dulu berkata sebelum Bunda Izza memesan. Bunda Izza
tertawa lagi. "Ya udah Mba, saya juga air putih hangat saja,"
timpalnya menggeleng.
"Malam
ini kemana tujuan kamu di Jakarta?" tanya Bunda Izza mengisi obrolan
sambil menunggu pesanan. Ratih menghela nafas menggeleng. "Lah, kalau
tidak punya tujuan gimana kamu nanti tidurnya?" kembali Bunda Izza
bertanya. "Di masjid aja kali Bun," jawab Ratih sekenanya karena dia
pun masih belum tahu di mana malam ini harus beristirahat sedangkan dia sama
sekali tidak punya saudara ataupun kenalan di kota Jakarta ini, dan inilah
pertama kali Ratih menginjakan kakinya di ibukota.
"Ratih.
Ratih. Ratih, kamu nekad banget ya merantau tanpa tujuan," Bunda Izza berdecak
kesal dengan kenekatan Ratih. "Nah sekarang kamu ceritain kenapa sampai
kamu senekad itu, pastilah ada alasanya bukan cuma ngasal aja," kata Bunda
Izza menatap Ratih ingin tahu. "Eh iya, sudah berapa hari kamu di
Jakarta?" kembali Bunda Izza bertanya sebelum Ratih sempat menjawab
pertanyaan dia sebelumnya.
Akhirnya
Ratih memulai ceritanya. "Saya baru kemarin sampai di Jakarta dan semalam
saya nginap di masjid Bun di daerah Keramat Jati," katanya membuka cerita.
"Saya sengaja ke Jakarta karena bapak saya yang menuntut saya untuk cari
kerja yang jelas karena di Krawang pun saya hanya jadi kuli pabrik dengan
penghasilan hanya tiga puluh ribu sehari, makanya bapak merongrong saya terus
untuk minta uang lebih dan dia mengusir saya dari rumah katanya saya boleh
kembali lagi kalau sudah bawa uang banyak," Ratih menghentikan ceritanya,
dia membuang tatapannya karena ingin menyembunyikan air matanya. "Ih jahat
banget bapak kamu itu," sela Bunda Izza.
"Emang
berapa sih umur bapak kamu dan, dia sehat kan?" tanya Bunda Izza, Ratih
mengangguk. "Umurnya 48 tahun Bun," jawab Ratih, Bunda Izza
terbelalak melotot ke Ratih. "Masih muda sekali, emang umur kamu
berapa?" "19 tahun Bun," Ratih menjawab, obrolan mereka terhenti
takala seorang pelayan datang membawa makanan mereka.
"Kita
makan dulu ya," Bunda Izza mulai menikmati sepiring nasi uduk dengan ayam
bakar sebagai lauknya, begitu juga Ratih yang terlihat lahap sekali menyantap
makanannya. "Ibu kamu di mana?" tanya Bunda Izza setelah selesai
makan, Ratih mendesah nafas terlihat mendung mengelayut di sudut matanya, dia
mengeleng. "Kata bapak, aku ditemukan di tempat pembuangan sampah sewaktu
bayi," kata Ratih yang membuat Bunda Izza melongo.
"Maksudnya???" tanya Bunda Izza. "Iya Bun, bapak seorang
pemulung dan pas dia ngais sampah di tempat pembuangan dia menemukan sebuah
kardus mie instan yang di dalamnya ada bayi perempuan, karena kasihan bapak
membawa pulang bayi itu dan diberi nama Ratih," jelas Ratih sedikit
memberi senyuman yang menandakan bahwa bayi itu adalah dirinya.
"Bapak
memang tidak pernah menyakiti aku secara fisik namun sejak usia enam tahun aku
sudah disuruh cari uang, kadang aku mulung atau ngamen," lanjut Ratih
sambil sesekali menyeka air matanya. "Tapi pas aku berumur delapan tahun
ada seorang ibu yang menyuruhku bekerja di warung nasinya dan dari Umi Minah
aku banyak belajar karena bapak tidak menyekolahkan aku," sejenak Ratih
diam menelan rasa sedihnya. "Tapi tiga tahun yang lalu Umi meninggal jadi
aku tidak bisa kerja lagi di warung nasinya karena tidak ada anak Umi yang mau
meneruskan warung itu jadinya warung nasi tutup," Ratih sekali lagi
menjeda ceritanya, Bunda Izza serius menyimak kisah yang Ratih ceritakan.
"Aku sempat mulung lagi tapi ada teman ngamenku yang kasih tahu bahwa di
pabrik es batu lagi cari orang ya udah aku kerja di sana dengan gaji tigapuluh
ribu sehari," Ratih berhenti lagi dan meneguk sisa air putihnya.
"Kamu
mau minum lagi?" tanya Bunda Izza, Ratih mengeleng. "Enggak usah
Bun," singkat dia menjawab lantas meneruskan ceritanya. "Sejak aku
kerja di tempat Umi, bapak mulai berubah, dia sudah malas-malasan bekerja
alasannya capek dan gantian aku yang harus cari uang tanda terima kasih karena
dia sudah mungut aku dari tempat sampah dan ngerawat aku sejak dia temukan,"
ucap Ratih yang mulai sedikit terisak, Bunda Izza memberikan tissue.
"Kalau aku kasih sedikit uang dia selalu nungkit dan ngitungin uang yang
buat makan dan keperluan aku dari bayi," Ratih tak kuasa lagi meneruskan
ceritanya, dia benar-benar terisak tanpa suara, hanya airmatanya pertanda duka
yang dia simpan terlalu menyakitkan hatinya, Bunda Izza menepuk punggung tangan
Ratih membesarkan hatinya. "Kasihan kamu nak," ucap Bunda Izza lirih
merasa iba dengan apa yang Ratih ceritakan.
"Tapi
maaf tih, Bunda tidak bisa bantu kamu banyak," Bunda Izza membuka tasnya.
"Ini Bunda ada sedikit uang, kamu pake aja buat makan," katanya
menyerahkan beberapa lembar uang seratus ribu, Ratih mengelap pipinya yang
basah oleh airmata. "Tidak usah Bunda, ini dibeliin makan aja udah alhamdulillah,"
Ratih berusaha menolak secara sopan, namun tangan Bunda yang memegang uang
langsung menggegamkan uang itu ke tangan Ratih. "Ambil, kamu enggak maukan
mati kelaparan di kota ini," katanya, Ratih dengan malu menerima uang itu
karena dia memang sudah tak sama sekali memegang uang, kemarin sewaktu pergi
dia hanya membawa seratus ribu saja dan telah habis. "Subhanallah, terima
kasih Bunda," Ratih tertunduk menahan tangisnya yang lebih terasa
menyakitkan baginya, namun kali ini tangis yang dia rasakan adalah sebuah rasa
syukur atas pertolongan ALLAH untuknya. "Sudah jangan nangis mending
sekarang kita ke masjid sepuluh menit lagi masuk waktu sholat Isya," kata
Bunda Izza menenangkan Ratih kemudian Bunda Izza beranjak berdiri mendekati
Ratih dan memeluknya. Laksana terguyur segelas embun yang sangat menyejukan,
Ratih menikmati pelukan Bunda Izza.
Selesai
sholat Isya, Bunda Izza dan Ratih duduk di teras masjid. "Kamu mau ke arah
mana?" tanya Bunda Izza menoleh ke Ratih yang duduk di sebelahnya, Ratih
menggeleng. "Enggak tahu Bun, ikutin apa kata hati ini aja," ucap
Ratih memandang hilir mudik kendaraan yang berlalu di jalan depan masjid.
"Maafin Bunda ya Ratih, tidak bisa bantu kamu lebih banyak," kata
Bunda Izza menepuk paha Ratih, Ratih tersenyum. "Uang yang Bunda kasih aja
jumlahnya banyak banget, jujur aku belum pernah pegang uang sebanyak itu,"
ucap Ratih menatap Bunda penuh rasa, Bunda Izza tersenyum. "Itu rejeki
kamu, hati-hati aja pegangnya," jawab Bunda Izza.
"Sebenarnya
Bunda ingin ngajak kamu pulang, tapi malam ini Bunda harus ke rumah
sakit," lanjut Bunda Izza menatap lurus ke depan, Ratih menyimaknya.
"Atau kamu ikut saja Bunda ke rumah sakit, kan itung-itung kamu nemenin
Bunda jadinya Bunda enggak sendirian deh jagain Lisa adik Bunda," kembali
Bunda Izza berkata menoleh ke Ratih menatapnya penuh rasa senang karena merasa
ada teman yang akan menemaninya di rumah sakit, Ratih mengangguk. "Yah
udah Bunda, boleh kalau emang gitu," Ratih menyetujuinya.
Jadilah
malam ini Ratih ikut Bunda Izza ke rumah sakit untuk menjaga adik Bunda yang
sedang dirawat dan sejak ini pula Ratih menjadi bagian dari hidup Bunda Izza
karena Bunda Izza meminta Ratih untuk menjaga Lisa adiknya yang terkena gagal
ginjal hingga seminggu sekali harus menjalani cuci darah. Ratih sangat
bersyukur bisa mengenal Bunda Izza kini setidaknya kehidupan Ratih sudah tidak
lagi menjadi sapi perah untuk Pak Tejo ayah angkatnya.
Penulis:
Rina Indrawati
Editor:
Tim Admin