Cincin bermata tiga bagian 10

Table of Contents

"Maaf, Bu Arya, saya tidak suka ada saingan begini. Bukannya Bu Arya sudah meminta saya menyelesaikan sifa, tapi kenapa ada orang lain yang mengganggu semedi saya, apalagi mau jadi saingan saya. Ngusir si penunggu mata tiga itu," kata Pak Otong pada Arya yang berdiri berhadapan ketika Arya berusaha menenangkan Pak Otong yang marah akan sikap Lia. Dengan amat terpaksa, Arya berusaha bersikap sebijaksana mungkin, tak ingin menyinggung perasaan orang pintar yang katanya bisa mengobati orang yang kena teluh atau santet dengan jenis apapun ini selembut mungkin.

 

"Maaf, Pak, kakak dan keponakan saya merasa iba dengan sifa sehingga mereka juga berniat ingin membantu. Lagian, kan kakak saya yang lebih dahulu mendapat cincin itu sekaligus terkena imbas kejahatan dari cincin itu," Arya mencoba memberikan pendapatnya dengan menahan kesabaran.

 

"DAN bapak sendiri kan juga melihat bagaimana kedua cincin itu berubah menjadi tulang," lanjut Arya menatap lurus ke bola mata Pak Otong yang membulat dengan tepian kelopaknya berwarna merah. Pak Otong balik menatap Arya namun entah kekuatan apa yang membuat Pak Otong terdiam saat kedua tatapan itu beradu.

 

"Dengan rasa hormat saya sama bapak, tolong beri kesempatan Lia untuk menolong anak saya," lanjut Arya masih terus menatap Pak Otong. Arya tak kuasa lagi membiarkan Pak Otong dengan cara kerjanya, terlebih mengikat sifa adalah ide dari Pak Otong yang hanya berdiam saja dengan alibi semedi tanpa memberikan bukti pekerjaannya meski hasilnya hanya sifa yang tenang tanpa pemberontakan.

 

"Trus bagaimana soal pembayaran saya?" tanya Pak Otong yang mereda volume suaranya. Arya menarik nafas mendesahnya perlahan.

 

"Saya transfer setengah dari perjanjian kita karena bapak belum tuntas menyelesaikan masalah sifa hingga tuntas," jawab Arya.

 

"Oh enggak bisa Bu, ini kan bukan salah saya. Pihak keluarga Ibu saja yang sok jagoan mau nyai-ngin saya," Pak Otong membela diri menolehkan pandangannya ke arah Bu Ratmi yang berdiri di samping Lia.

 

"Saya minta utuh sepuluh juta tanpa terpotong serupiah pun," lanjut Pak Otong mengadahkan tangannya. Arya melotot namun Pak Otong balik memelototi hingga keduanya tampak seperti saling tak terima. Anto yang mengetahui perdebatan itu segera melerai mendekati istrinya dan berkata, "Mana nomer rekeningnya, Pak," sambil mengambil ponselnya dari dalam saku celananya. Pak Otong tersenyum dan menyebutkan digit nomer rekeningnya, Pak Anto cekatan mentransfer sejumlah uang yang diminta Pak Otong dan selesai dia memperlihatkan bukti transfernya.

 

"Itu, Pak, sudah berhasil ya, atau silahkan Bapak cek di m-banking Bapak, jumlahnya sepuluh juta," Pak Anto kembali memasukkan ponselnya, Pak Otong tanpa sepatah kata berlalu meninggalkan kamar itu.

 

Di teras rumah, langkahnya tertahan hati kecil Pak Otong penasaran sebenarnya cara bagaimana yang akan Lia dan pasukannya lakukan untuk menolong sifa hingga dia berbalik badan melangkah kembali ke kamar sifa.

 

Sepeninggalan Pak Otong, Bu Ratmi dibantu Bi Sri dan Umi Yani segera merapikan kamar sifa yang penuh taburan serbuk tak jelas dengan aroma wewangian serta membuang sisa pembakaran dupa yang tersimpan di bawah ranjang sifa serta membersihkan ranjang yang sifa tiduri. Gadis itu masih terikat diam tanpa gerak dan suara, hanya tatapan kosong yang terfokus ke depan. Trampil Bu Ratmi dapat mengganti sperai dengan cara mengangkat menggeser tubuh sifa yang tak melawan. Mala dan Lia tidak tinggal diam, mereka semua kerja bakti membersihkan kamar sifa hingga semua kembali rapi, bersih dan wangi seperti semula. Sementara Ustad Abas dan Abi Tarno duduk di sofa bertukar pikiran dengan Pak Anto, ayahnya sifa. Tak butuh waktu terlalu lama untuk mengembalikan suasana kamar menjadi lebih nyaman karena pasukan wanita bekerja super semangat demi menolong sifa.

 

"Buka saja ikatannya, Bu," kata Ustad Abas ketika mereka semua telah siap berada di kamar sifa. Arya segera membuka masker dan tali yang mengikat tubuh sifa, sifa diam tanpa perlawanan, bahkan dia tersenyum saat tatapannya beradu dengan tatapan Arya. Naluri seorang ibu membuat Arya langsung memeluk sifa dan menciuminya.

 

"Sayang, ini mama, sifa ingetkan sama mama," Arya berkata sambil memeluk erat sifa dengan isak yang berusaha ditahannya, namun getar suaranya jelas dia menangis. Sikap dingin sifa terlihat jelas dari rautnya yang pasi, namun entah kekuatan apa, sifa menyandarkan kepalanya di bahu mamanya, bahkan dia sempat memejamkan matanya seolah dia sedang menikmati pelukan itu. Semua pasang mata menatap ke arah ibu dan anaknya, terdersit rasa iba dalam semua hati orang yang berada di kamar sifa.

 

"Yuk kita mulai rukiyahnya, semua masih punya wudhu kan," kata Abi Tarno memulai acara. Semuanya mengangguk dan mengambil posisi masing-masing.

 

"Mamanya sifa juga ikut membaca ya," kata Abi Tarno dan dijawab Arya dengan anggukan.

 

"Tapi saya baca apa, Pak?" tanya Arya masih memeluk sifa.

 

"Apa saja yang ibu bisa, asalkan ibu yakin bahwa ALLAH akan membantu kita, karena pertolongan-Nya lah yang sedang kita butuhkan," lanjut Abi Tarno yang telah duduk berdampingan dengan Ustad Abas di sisi kanan ranjang sifa. Bu Ratmi dan Umi Yani duduk di ranjang sifa sebelah kiri karena untuk berjaga-jaga menahan sifa apabila terjadi yang tak diinginkan, sedangkan Lia dan Mala duduk bersila di sisi kanan ranjang sifa, sementara Pak Anto ada di samping Arya. Satu orang lagi yang ada di kamar itu adalah Pak Otong, laki-laki ini hanya berdiri mematung di depan pintu kamar, dia ingin menyaksikan apa yang akan terjadi selanjutnya.

 

Ustad Abas mulai membaca ayat-ayat suci Al-Qur'an, berawal dari membaca Al-Fatihah berlanjut membaca surat lainnya, Abi Tarno menikuti bacaan Ustad Abas, sementara Lia dan Mala hanya diam membaca dalam hati masing-masing. Di hadapan Lia sengaja ditaruh sebaskom kecil air itu atas permintaan Lia. Dzikir terus terucap hingga lima belas menit berikutnya, tiba-tiba Lia merasa perutnya bergejolak mules seakan ada sesuatu yang meremas-remas isi perutnya, dia mencoba menahan dengan meringis menahan rasa sakitnya, sedetik dua detik dia terus meringgis menahannya, namun tiba-tiba Lia muntah sejadi-jadinya di lantai, bajunya kotor terkena muntah karena dia belum sempat berdiri. Semua orang, terlebih Mala, spontan berteriak, "Lia, kenapa kamu?" Mala merangkul bahu Lia yang setelah tiga kali muntah lantas lunglai di bahu Mala. Bi Sri merabas masuk segera membersihkan muntahan Lia, yang anehnya mengapa muntahan Lia berwarna hitam pekat dan berlendir merah, sedikit jijik Mala mengernyitkan dahi dan mengeser duduknya memapah Lia untuk pindah posisi.

 

Ustad Abas segera mendekati Lia dan memberi segelas air putih yang sengaja telah dia persiapkan. Dibantu Mala, Lia meminum perlahan air itu hingga habis, Bu Ratmi mendekati putrinya menepuk bahu Lia serta memijit tengkuknya. "Kamu pasti kuat, sayang, dilawan ya," pinta Bu Ratmi terus memijit tengkuk Lia dan Lia mengangguk.

 

Sejenak Lia diam, namun setelahnya dia berdiri dibantu Mala dan Bu Ratmi, lantas dia berjalan ke kamar mandi. "Lo mau ngapain, Li?" tanya Mala yang ikut berjalan menemani Lia. "Gw mau wudhu, La. Lo juga wudhu lagi ya, kita duha bareng empat rokaat," kata Lia menjelaskan.

 

Keanehan terjadi bersamaan Lia muntah, adalah raut muka Sifa yang perlahan kembali memerah setelah pucat pasi semalaman. Bahkan Sifa bisa bicara dengan memanggil "mama, papa" dalam tatapan rindu. Arya segera memeluk Sifa dan terisak tanda bahagia, begitu juga Anto yang menciumi kepala putri semata wayangnya. "Sifa lapar, ma," ucap Sifa yang menarik tubuhnya dari rangkulan Arya. "Kamu lapar, sayang?" tanya Arya lembut dengan nada masih terisak, Sifa mengangguk.

 

Lia dan Mala telah selesai mengerjakan empat rokaat sholat duhanya, kini dua sahabat yang telah berteman sejak keduanya masih di sekolah dasar tampak kusyu membaca surat Yasin, sementara Ustad Abas dan Abi Tarno kembali membaca ayat-ayat Qur'an sebagai media untuk meruqyah Sifa. Bu Ratmi dan Umi Yani juga ikut membaca Yasin di dekat Mala dan Lia, sedangkan Anto, Arya, dan Bi Sri sibuk melayani Sifa yang minta makan. Sifa makan sangat lahap seolah dia sudah lama berpuasa, sepiring nasi goreng serta teh manis hangat dan tiga potong semangka masih kurang.

 

"Sifa masih lapar, ma," katanya meminta makan lagi, cekatan Bi Sri membuatkan mie instan dan langsung ludes dimakan Sifa, ditambah dia meminta jus. Tangan trampil dan cekatan Bi Sri asisten rumah tangga yang telah bekerja di keluarga ini selama lima tahun sigap melayani memenuhi permintaan Sifa.

 

Pak Otong tetap diam mematung di sisi kanan pintu masuk kamar Sifa, dia terus memantau karena penasaran apa lagi yang akan terjadi di keluarga ini. Lia terus tak henti membaca surat Yasin dan nyaris tiga kali balik, namun takala di ayat ke-79 tiba-tiba Sifa memelototi mamanya yang berada di hadapannya. Bola mata Sifa membulat tampak raut yang beraroma kebencian, tangan Sifa menebas piring dan gelas yang ada di hadapannya bahkan Sifa nyaris mencekik Arya bila tidak Anto menahan tubuh Sifa, anak ini mulai mengamuk lagi namun dia tidak mengeluarkan kata-kata apapun kecuali tangannya mengibas-ngibaskan semua barang di dekatnya.

 

Mala sempat menghentikan bacanya melihat apa yang dilakukan Sifa, namun Lia tetap kusyu melanjutkan hingga ayat terakhir, dan selesainya Lia berkata, "Assalamualaikum... siapapun kamu, saya Lia dengan izin ALLAH meminta segeralah kamu keluar dari tubuh Sifa," lantang Lia berkata sambil bangkit berdiri, dia mendekati baskom yang berisi air lantas dia melanjutkan perkataannya, "Kamu punya dunia, Sifa juga punya dunia sendiri, cepat keluar atau aku guyur kamu dengan air doa ini," suara Lia mantap, tegas, dan penuh wibawa memegang baskom dan siap untuk melakukan sesuatu. Semua mata menatap Lia, termasuk Sifa yang merubah posisi duduknya menghadap Lia. Mata Sifa melotot seakan biji matanya mau keluar, sinis, galak, menatap Lia.

 

"Aku tahu itu bukan mata Sifa, karena Sifa adikku adalah anak yang memiliki bola mata indah, penuh kasih sayang, bukan kebencian," Lia terus berkata. "Nah, sekarang mau keluar atau beneran aku guyur," bentak Lia kesal karena Sifa terus saja memelototinya tanpa berkedip.

 

Akhirnya, perlahan Lia mulai memercikkan air dari dalam baskom ke arah Sifa. Awalnya, Sifa diam hanya terus memelototi Lia, namun lama-kelamaan karena Lia terus menghujaninya dengan air dari dalam baskom, kembali tangan Sifa mulai mengibas-ngibaskan, bahkan sambil Sifa berteriak, "cukup, cukup, cukup, cukup!" Kata itu terus Sifa teriakan, dan ini membuat Lia semakin semangat menghujani percikan air itu ke arah tubuh Sifa yang duduk di atas ranjang.

 

Mala yang pada awalnya tertegun bengong dengan apa yang terjadi, kini kesadarannya pulih. Dia bangkit berdiri, mendekati Lia, dan melakukan hal yang sama. Kedua gadis ini terus memercikkan air ke tubuh Sifa yang terus mengibas-ngibaskan tangannya. Lia menarik nafas, dia merasa belum sempurna melakukan hal ini hanya dengan memercikkan air saja, takan mungkin melepaskan cincin itu. Otak Lia berputar sambil dia terus bertasbih, menyebut nama ALLAH, meminta pertolongannya, sedangkan Ustad Abas dan Abi Tarno terus memperkuat bacaan rukyahnya.

 

Lima menit hanya memercikkan air saja, dan Sifa bereaksi dengan mengibas-ngibaskan tangan. Akhirnya, Ustad Abas berkata, "Cukup, Lia, hentikan. Ini bukan jalan yang terbaik." Katanya sambil berdiri, Lia serta Mala menghentikan gerakannya, dan ketika air tidak lagi menghujani tubuhnya, Sifa pun segera terdiam lagi.

 

"Jangan ikuti nafsu dan egoismu, Lia. Cobalah kamu benar-benar ikhlas melakukan ini karena ALLAH," Ustad Abas berkata sambil menatap Lia yang tertunduk. "Coba, Bu Arya, ajak Sifa berkomunikasi, buat dia senyaman mungkin," kembali Ustad Abas berkata, namun kali ini dia tunjukkan ke Arya yang masih duduk di samping Sifa.

 

"Sayang, kamu dengar mama kan?" tanya Arya yang melakukan apa yang diperintahkan Ustad Abas. Sifa mengangguk.

 

"Baju Sifa basah, ma, juga sprei-nya," ucap Sifa lirih, memegang bajunya yang memang basah karena dihujani Lia dan Mala dengan air dari dalam baskom.

 

"Oh ya, kalau gitu kita ganti ya, sayang," lembut Arya segera berdiri, bersiap mengganti baju putrinya. Semua orang, dimintanya keluar dari tatapan yang Arya sapukan ke semua orang.

 

"Maafin Lia, Ma," ucap Lia lirih ketika sudah duduk di samping mamanya. Bu Ratmi hanya melirik sebagai jawabannya.

 

"Maafin Mala juga, Tante," Mala ikut berkata, mengakui kesalahannya.

 

"Sudah, tidak usah kita bahas lagi, sekarang kita fokuskan gimana cara melepaskan cincin itu," kata Pak Setiawan yang menjawab, suami Bu Ratmi yang baru saja datang dan langsung duduk di samping Ustad Abas.

 

"Saya papanya Lia, Pak," Pak Setiawan menyalami Ustad Abas dan Abi Tarno sebelum dia duduk.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

2 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Anonim
Minggu, 25 Agustus 2024 pukul 13.03.00 WIB Delete
Jadi penasaran deh kelanjutannya
Comment Author Avatar
Anonim
Minggu, 25 Agustus 2024 pukul 20.03.00 WIB Delete
Seruu nihh..liaa ..bener tuh kata pak ustadz kalau meruqyah jangan terbawa nafsu. Lanjuuutt..