Petunjuk mimpi dari rai
Tasya
membolak-balik halaman buku yang dipegangnya. Wajah ovalnya tertuju pada sebuah
novel, tetapi tatapan kosong jelas terlihat dari raut wajahnya. Bibir tipisnya
bergumam tak jelas, sesekali ia menggelengkan kepala, memberi tanda keraguan.
Bahkan, sesekali gadis belia ini mengusap wajahnya dengan sebelah tangan.
“Sya,”
sebuah suara menyadarkan kegelisahannya, ditambah sentuhan tangan lembut
menepuk bahunya. Refleks, gadis berkacamata ini gelagapan dan menoleh ke kanan,
menatap seorang wanita yang tersenyum padanya.
“Kamu
kenapa?” Wanita itu menarik kursi dan duduk di samping Tasya. Tasya menarik
napas, mengembuskannya, dan menjatuhkan punggungnya ke sandaran kursi.
“Masih
kepikiran sama Raihan,” sambung wanita itu sambil mengambil novel dari tangan
Tasya. Gadis belia ini membiarkan wanita berambut ikal sebahu itu merampas buku
yang sedang dipegangnya.
“Wah,
bukunya Rina Indrawati ya, yang penulis tunanetra itu,” kata wanita bertahi
lalat di atas bibir kirinya sambil menatap sampul buku dan membaca tulisan yang
tertera.
Tasya
tak menjawab, dia memejamkan mata seolah tak memedulikan keberadaan adik bungsu
dari papanya. Wanita itu bernama Tia. Dia menutup buku yang telah dia buka
lembar demi lembar halamannya, lalu menoleh menatap keponakannya yang tampak
seperti tertidur.
“Sudahlah,
Sya. Kamu mesti ikhlasin Rai biar dia tenang di sana,” ucap Tia sambil menatap
lekat Tasya dan meletakkan kembali buku itu. Raut muka Tasya kosong, dia tetap
memejamkan mata.
“Sya,
kamu dengerin Mimi, ‘kan?” sambungnya ketus karena menunggu keponakannya tak
merespon keberadaannya. Tasya tersenyum getir, mengangguk, lalu menggeleng.
Tia
mengembuskan napas kesal, mulai melangkah meninggalkan Tasya. “Bete ah, Mimi.”
“Sorry,
Mi,” ucap lirih Tasya membuka matanya, menatap Miminya.
Sudut
mata Tasya mengisyaratkan sesuatu. Tia berhenti menahan langkahnya, menoleh
sejenak, lalu terdiam.
“Aku
ikhlas kok, Mi. Tapi sudah dua malam Rai datangin aku dalam mimpi,” ucap Tasya
sambil mengubah posisi duduknya. Sejenak, Tia yang disapa Mimi oleh Tasya
membalikkan badannya dan menatap keponakannya itu penuh pertanyaan.
“Rai
meminta tolong untuk menyelidiki kematiannya, Mi,” kata Tasya sambil membuang
pandangannya ke langit. Tia tertegun sejenak, tak menyangka pada ucapan Tasya.
“Rai
bilang dia berada di sebuah gudang tua di vila Om Fadli,” lanjut Tasya.
Kali
ini, Miminya kembali duduk di sampingnya, terdiam, memfokuskan pendengaran
serta pandangannya pada Tasya.
“Rai
masih hidup, Mi,” lanjut Tasya, menoleh dan menatap tantenya. Tatapan mereka
beradu, sejenak Tia mencerna permasalahan itu dan kemudian tersenyum.
“Sya,
kan, kemarin kamu juga ikut hadir di pemakaman Raihan. Pihak polisi telah
menyatakan bahwa jasad yang ditemukan dalam mobil itu memang Raihan,” kata Tia
sambil menggenggam tangan Tasya, mengalirkan rasa tenang.
“Itukan
mobil yang Rai kendarai. Meski hancur, dari olah TKP serta otopsi jasad Rai,
pihak berwajib bisa memutuskan demikian,” sambung Tia sambil memberikan
senyuman kepada keponakannya.
“Bukan,
Mimi, itu bukan jasad Rai,” bentak lembut Tasya membela, kemudian dia berdiri.
“Aku
mau ke vila Om Fadli,” kata Tasya seraya perlahan meninggalkan Tia yang
tercengang.
Tasya
menunduk, mengaduk-aduk sepiring nasi goreng di hadapannya. Dia diam, batinnya
memberontak ingin melawan keputusan papa yang tak mengizinkan dia pergi ke vila
Om Fadli.
“Tasya,
Papa tahu kamu syok dengan kejadian Rai, tapi ini memang sudah menjadi takdir
Sang Ilahi,” kata Pak Retno sambil menatap putri sulungnya yang terus
mengacak-acak nasi goreng, menu sarapan pagi keluarga itu.
“Mimpi
itu bunga tidur, Sya,” timpal seorang wanita yang duduk di samping Pak Retno.
Wanita itu adalah Ibu Ratih, Mama Tasya. Tasya mengangkat wajahnya dan menatap
mama yang duduk di seberangnya.
“Tapi
kalau itu mimpi, kenapa berulang, Ma? Dan setiap kali mimpi itu sama persis,”
ucap Tasya membela diri.
“Itu
mungkin hanya sebuah kebetulan saja,” jawab Mama singkat sambil merapikan
piring setelah selesai makan. Pak Retno tertawa kecil sambil mengelap mulutnya.
“Kamu
sudah dewasa, Sya. Jadi gunakan pemikiranmu dengan logika, jangan andalkan perasaan,”
kata Pak Retno sambil berdiri hendak meninggalkan meja makan.
“Weekend
ini Tasya mau ke rumah Om Fadli dan minta diantar ke vilanya,” kata Tasya
tegas, membuat Papanya menahan langkah dan menatapnya dengan sorot marah.
“Untuk
apa? Kalau hanya untuk menyelidiki membenarkan mimpimu, lebih baik jangan,”
tegas Pak Retno sambil menatap Tasya.
Tatapan
keduanya beradu. Tak kuasa melawan sorotan mata tajam sang Papa, Tasya hanya
kembali menunduk, menelan kekecewaannya. Tia yang duduk di samping Tasya menepuk
pahanya, memberi isyarat agar Tasya tenang. Tasya membuka pintu kamar,
melangkah menuju pintu utama.
Langkahnya
terhenti saat Tia menegurnya, “Kita bareng, Sya.”
Tia
menjajari langkah Tasya yang membalas senyuman dari ajakan tantenya. Kedua
wanita itu berjalan ke halaman rumah dan menaiki Toyota BRV merah.
“Sya,
beneran kamu mau nyelidiki kasus, Rai?” tanya Tia yang memegang kendali mobil.
“Iya,
Mi,” jawab Tasya singkat. Gadis Gemini itu asyik menikmati pemandangan
kemacetan lalu lintas di kawasan tengah kota.
“Mimi
siap bantu kamu,” ucap Tia sambil membunyikan klakson mobilnya karena ada
sepeda motor yang menghalangi laju mobilnya.
Refleks,
Tasya menoleh ke arah Tia, menatapnya untuk meyakinkan apa yang baru
didengarnya. Seakan mengerti apa maksud tatapan keponakannya, Tia tertawa
kecil.
“Iya,
benar. Mimi siap jadi detektif buat kamu,” timpalnya riang. Tasya tersenyum
kecut, mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Serius,
Sya. Besok Jumat sore kita langsung ke vila Om Fadli,” ucap Tia dengan nada
serius, membuat Tasya bergairah.
“Beneran,
Mi?” Tasya kembali menatap miminya penuh harapan. Tia mengangguk.
“Terus,
izin Papa Mama gimana, Mi?” kata Tasya lunglai, terbersit bayangan papa dan
mamanya. Tia tertawa sedikit keras.
“Santai,
Cantik. Mimi bisa atur,” ucap Tia sambil menepuk tangan kanan keponakannya.
“Yes!”
seru Tasya riang, seraya mengacungkan tinjunya.
Toyota
BRV berhenti dengan manis di sebuah halaman rumah bernuansa minimalis, dinding
rumah yang bercat krem muda dengan daun pintu cokelat kayu yang tertutup. Sepi,
tak ada satu pun orang di sana.
“Kok
sepi, Mi,” kata Tasya, menyapu sekeliling dengan pandangannya. “Katanya Tante
Dewi dan Tante Mala mau ikut.”
“Sabar,
Sya. Kita kecepetan datangnya,” jawab Tia mematikan mesin mobil dan merapikan
dirinya.
“Terus
kita gimana, Mi?” Tasya kembali bertanya. Tia tertawa kecil, meraih tas
selempangnya.
“Yah,
kita tunggu,” katanya seraya menekan tombol otomatis pintu mobil, kemudian
keluar dan diikuti Tasya.
“Mi,
serem amat nih rumah,” kata Tasya yang duduk di samping tantenya sembari
menunggu yang lain datang.
“Ini
vila apa rumah sih, Mi?” sambung Tasya sambil menyelidiki situasi di
sekitarnya.
Bola
matanya berkeliling menelusuri setiap jengkal pandangan di hadapannya. Dedaunan
kering bertebaran tak karuan, debu juga menempel tebal di setiap benda di
sekitar rumah itu, termasuk lima kursi kayu jati dan sebuah meja bundar yang
kini diduduki Tasya dan Tia. Sebelum duduk, Tia telah membersihkan kursi itu
dengan kanebo mobilnya.
“Menurut
kamu gimana?” Tia balik bertanya.
“Apa
tempat ini seperti mimpi kamu?”
Tia
menyimpan ponselnya ke dalam tas. Tasya mengernyitkan dahi, mencoba berpikir,
dan mengingat mimpi yang sudah tiga kali datang dalam tidurnya.
“Kamu
belum cerita ke Mimi. Apa mimpi kamu itu?”
Tia
menatap keponakannya penuh harap agar Tasya mau menceritakan mimpinya. Tasya
memejamkan mata, menggeleng, menarik napas, lantas menutup mukanya dengan kedua
belah telapak tangannya. Tia menanti apa yang akan Tasya katakan meski merasa
ada sebuah beban yang Tasya simpan, seakan Tasya tak ingin kembali ke dalam
mimpi itu.
Tia
bangkit berdiri, menggeser kursinya mendekati kursi Tasya. Lantas dia kembali
duduk dengan meraih bahu Tasya dan membawanya ke dalam pelukannya. Tasya hanya
sesaat menikmati hangatnya pelukan miminya, lantas dia menarik diri dan kembali
bersandar di kursi jati yang didudukinya.
“Rai
ada di dalam sebuah lubang di bawah tanah gudang vila dan dia hanya berkata
bahwa dia ada di vila Om Fadli,” ucap Tasya tertatih seraya mengeluarkan beban
yang dia simpan.
“Sebenarnya
tempat ini enak tapi enggak keurus jadi rada serem, ya,” kata seorang wanita
berpostur sedikit kekar. Dia adalah Kemala, teman Tia sewaktu kuliah. Tia yang
bekerja sebagai dokter spesialis anak ini tertawa kecil.
“Lah,
lo gimana, sih, La? Bukannya lo yang paling berani di antara kita bertiga,”
kata Tia memalingkan sorot matanya ke Dewi, meminta dukungan.
Dewi
hanya membalas tatapan itu dengan anggukan. Kini Tia dan Tasya telah ditemani
oleh Mala dan suaminya yang merupakan AKP di sebuah polres kecamatan kota,
sedangkan Dewi juga membawa suaminya.
“Ke
mana sih Pak Ujang, lama amat,” kata Mala sambil mondar-mandir di teras rumah.
“Tasya,
Mi mau pipis,” ucap Tasya mengalihkan suasana. Tia diam berpikir, di mana ya
Tasya bisa buang air kecil sementara pemegang kunci rumah ini belum juga
datang.
“Di
mana ya, Sya? Mimi bingung,” kata Tia sambil berdiri, melangkah ke depan teras,
dan memandang sekeliling mencari tempat untuk ke kamar mandi. Di sekeliling
mereka sepi, jarak rumah satu dengan yang lainnya cukup jauh. Hanya barisan
pohon mahoni dan beberapa pohon buah saja yang bisa dilihat.
“Bisa
tahan sebentar lagi nggak, Sya?” tanya Tia berbalik badan menatap keponakannya.
“Kayaknya
nggak bisa, deh, Mi. Ini udah di ujung,” sahut Tasya mengernyitkan mukanya,
menahan kantung kemihnya yang sudah ingin keluar.
“Gimana
kalau kita coba kelilingi rumah yang dibilang vila ini? Siapa tahu ada tempat
yang bisa Tasya pakai buat pipis,” timpal Dewi memberi saran, dan keempat
wanita itu mulai menelusuri halaman yang tak terurus, sedangkan dua lelaki
hanya berdiri memantau dari teras.
Tia
dan Mala berjalan terlebih dulu, sedangkan Tasya serta Dewi berada di belakang
mereka. Tasya tiba-tiba menghentikan langkahnya, dia memegang perutnya lalu
berlari kecil menuju sebuah pintu yang terbuka sedikit. Tia, Mala, dan Dewi
tertegun, tetapi mereka langsung mengikuti Tasya dari belakang.
Tasya
mendorong daun pintu perlahan. Sebuah ruang kosong pengap berdebu dengan
tumpukan kayu kering serta benda lainnya seperti rongsokan terlihat. Tasya
terus melangkah sedikit cepat karena dia sudah tidak tahan lagi. Beruntung
ketika Tasya masuk dan menengok ke kanan, dia melihat sebuah ruangan kecil
seperti kamar mandi. Tanpa berpikir panjang, Tasya langsung masuk ke dalam. Dia
memutar kran air dan beruntung kran air itu bisa digunakan serta airnya jernih.
Tasya langsung menutup pintu dan melaksanakan hajatnya meski ruangan itu kotor
tak terurus. Ketika tasya ingin membuka pintu dia tersadar pada ingatannya
dalam mimpi.
“Ini
ruangan tempat aku melihat Rai,” gumamnya sambil mencoba menghadirkan siluet
mimpi itu dengan memejamkan matanya. Hadirlah Rai yang tersenyum. Wajahnya
pucat memutih, tetapi lesung pipinya tetap menjadi pemanis wajahnya.
“Rai,
di mana kamu?” seru Tasya lembut sambil membuka matanya.
Seketika
itu juga dia melihat sebuah lubang berdiameter sekitar 10 cm menganga di balik
engsel pintu.
Mata
Tasya terbelalak dan refleks berteriak, “Mimi!”
Tia,
Dewi, dan Mala yang berdiri di depan kamar mandi langsung menerobos masuk. Tia
langsung meraih Tasya dan memeluknya, sementara Dewi dan Mala mengamati
sekeliling ruangan sebesar 125 x 200 cm itu yang tampak kotor. Sarang laba-laba
menutupi langit-langit, di sekitar jendela telah tumbuh lumut yang juga tampak
kusam, ditambah debu yang menebal.
“Ih,
jorok banget nih kamar mandi,” ucap Mala sambil mengibas-ngibaskan tangannya,
menepis sarang laba-laba yang juga ada di sekitar tembok.
“Kamu
kenapa, Sya?” tanya Tia sambil menepuk bahu Tasya yang masih terpaku menatap
lubang yang dilihatnya.
“Sya,
kamu dengar Mimi.”
Tia
kembali berusaha menyadarkan keponakannya. Mala menarik tangan Tia dan Tasya,
memaksa mereka keluar dari ruangan itu, sementara Dewi menelpon dua laki-laki
di teras rumah. Tasya menolak keluar. Dia menahan tubuhnya dan tetap kaku
menatap lubang itu, tetapi tangannya mengulur ke depan dengan jari telunjuk
menunjuk lubang yang dilihatnya, persis seperti yang ada dalam mimpinya. Tia
dan dua temannya mengikuti arah jari Tasya, kini mereka sama-sama tercenung.
“Itu
lubang apa!” seru Tia tertahan. Mala mendekati lubang itu mencoba meneliti
dengan saksama.
“Ini
kayaknya sarang binatang,” ucap Mala sambil menepis sarang laba-laba di sekitar
lubang.
“Bukan,
Tante,” ucap Tasya dengan suara yang tegas.
Ketiga
wanita yang mendampinginya sontak menoleh ke Tasya yang masih mematung,
memandang lubang di hadapannya.
“Enggak,
Sya. Ini lubang sarang binatang,” ucap Mala kembali berkomentar, dan tangannya
berhasil menangkap beberapa semut. “Nih, coba lihat, banyak semut.”
“Tapi
aneh ya, La, semut itu,” sahut Dewi menimpali, seraya memperhatikan hewan kecil
di tangan Mala dengan saksama.
“Apanya
yang aneh, Wi? Ini, kan, cuma semut biasa,” ujar Mala menepiskan telapak
tangannya dan membuang semut tersebut.
Tasya
melangkah mendekati lubang itu. Tangannya menepiskan sarang laba-laba, lalu dia
memasukkan jemarinya ke dalam lubang. Dia meraba-raba lubang itu berulang kali
hingga tiba-tiba menemukan sebuah tombol kecil yang nyaris tak teraba.
Perlahan, Tasya menekannya. Dalam sekejap ubin lantai kamar mandi bergeser,
membentuk sebuah lorong dengan anak tangga yang menjulur ke arah dasar lubang.
Ilham dan Kenzi yang telah berada di sana langsung mengambil posisi di depan.
Sebagai AKP kepolisian, Kenzi sigap meneliti masalah baru yang sedang dihadapi.
“Rai
ada di ujung lorong itu, Mi,” seru Tasya, menutup mulut tak percaya dengan apa
yang dilihatnya. Sama persis dengan apa yang ada di hadapannya.
Lubang
persegi empat itu hanya berukuran 50 x 50 cm, menganga siap menerkam. Kenzi
sigap mengeluarkan peralatan yang telah dipersiapkan. Sorotan senter dia
fokuskan ke dasar lubang, tetapi tak terlihat apa pun. Tasya memberontak dari
rangkulan Tia, mencoba melangkah mendekati bibir lubang. Dewi menahan lengan
Tasya saat disadarinya gadis itu ingin terjun melompat.
“Jangan,
Sya, kamu jangan nekat,” seru Dewi, memperkuat cengkeramannya pada lengan kiri
Tasya. Tasya menoleh sejenak ke Dewi, lalu memandang Tia.
Tasya
mau turun. “Tasya mau selamatkan Rai,” katanya dengan suara merajuk, sembari
menguatkan keyakinannya untuk tetap turun ke dasar lubang.
Tia
memberikan isyarat pada Tasya untuk bersabar, tetapi tekadnya yang bulat
membuat Tasya tak memedulikan isyarat tersebut. Dia langsung melompat menuruni
anak tangga satu demi satu dengan semangat. Setelahnya, Kenzi pun ikut
melompat, disusul Mala, dan yang terakhir adalah Tia. Dewi ragu menoleh ke
Ilham dengan tatapan penuh pertanyaan. Senyum Ilham memberi jawaban hingga
kedua suami istri ini ikut melompat menuruni anak tangga.
Keanehan
terjadi karena setelah enam orang ini melompat menuruni anak tangga, lantai
kamar mandi itu menutup kembali. Mereka tertegun diam, saling memandang, dan
menyesali keputusan mereka.
Kenzi,
yang berdiri tepat di belakang Tasya, berkata, “Tenang, kita bulatkan tekad
terus berdoa.”
Tasya
hanya berhenti sejenak, lalu kembali menuruni anak tangga hingga ke dasar
lubang, dan yang lainnya ikut menyusul. Kenzi dengan senternya meneliti seluruh
dinding ruangan yang hanya berukuran 2 x 2 meter setelah mereka sampai di dasar
lubang. Mereka saling menyapu pandangan di seluruh penjuru ruangan. Tia memeluk
bahu Tasya dengan erat, tetapi lagi-lagi Tasya melepaskan diri dari rangkulan
tantenya. Lantas dia melangkah ke pojok kanan tembok. Yang lain hanya diam memerhatikan
gerak-gerik Tasya. Sinar senter Kenzi cukup menerangi ruangan itu walau tidak
memadai.
Tasya
memejamkan mata, menghadirkan kembali siluet mimpinya. Dia menarik napas,
menghembuskannya, lalu meraba dinding di hadapannya. Tasya menekan-nekan permukaan
dinding itu, sama seperti yang dia lakukan dalam mimpinya. Tak terjadi apa pun
selama lima menit meski Tasya terus menekan permukaan dinding. Tia mendekati
keponakannya, memegang bahu Tasya.
“Apa
yang kamu cari, Sya?” tanya Tia lembut.
Tasya
tak merespons, dia hanya sekali menoleh ke tantenya dan tersenyum, lalu kembali
menekan-nekan permukaan dinding. Tetap tak terjadi apa pun, sunyi senyap.
Mala—yang sigap mengerti apa maksud gerakan Tasya—ikut menekan permukaan
dinding pada tempat yang berbeda. Sementara itu, Kenzi mondar-mandir meneliti
situasi. Dewi dan suaminya hanya diam menyaksikan gerak-gerik teman-temannya,
mengikuti sorot sinar senter Kenzi.
“Sya,”
ucap Tia sambil menepuk bahu Tasya yang masih saja menekan jemarinya ke permukaan
dinding.
“Coba
kamu pejamkan mata, konsentrasi.”
Tasya
menoleh sejenak dan tersenyum membalas ide Tia. Gadis berusia 25 tahun ini
lantas menarik napas panjang, membuka kacamatanya dan memberikannya pada Tia
yang mendampinginya. Hembusan napas terdengar dari deru jantung Tasya. Kini dia
memejamkan mata, berkonsentrasi, memicu ingatannya agar menghadirkan kembali
mimpi itu.
“Rai
... di mana kamu?” lirih Tasya berucap. Dia menggigit bibirnya, berusaha
berkonsentrasi, tetapi tetap saja tidak bisa mengingat apa pun.
Ruangan
tertutup itu lambat laun terasa pengap. Mala mulai menggerutu, “Kita gimana
ini, Pa?”
Dia
mengajukan pertanyaan pada suaminya. Dewi mulai mengibas-ngibaskan tangan,
berusaha menghadirkan angin, sedangkan Tia terus merangkul bahu Tasya yang
masih terpejam. Tasya menggeleng, membuka mata, dan jatuh terduduk. Sontak
semua orang tertegun dan langsung mendekati Tasya—duduk mengelilinginya.
“Gimana,
Sya? Kamu lihat apa?”
Mala
yang terlebih dulu bertanya. Tasya bungkam, hanya sudut matanya yang membalas
pertanyaan Mala, kemudian kembali diam mematung. Perang batin terus bergemuruh,
emosinya memancing peluh yang membasahi sekujur tubuhnya.
“Pa,
gimana kita keluar dari tempat ini?” tanya Mala pada suaminya.
Kenzi
tak menjawab. Laki-laki bertubuh kekar ini berdiri, melangkah menelusuri tiap
jengkal ruangan itu, dan meneliti dengan senternya.
“Masa
iya kita berenam terkubur hidup-hidup di ruangan ini,” ucap Mala sambil menarik
napas panjang. Dewi dan Ilham saling berpandangan, membayangkan pertanyaan
tersirat dari tatapan itu.
“Gimana
nih, Pa?” Lagi-lagi Mala berucap pada suaminya, air mukanya tampak cemas dalam
keputusasaan.
“Sabar,
Ma. Pasti ada jalan penyelesaiannya,” ucap Kenzi sambil melangkah mendekati
istrinya dan duduk kembali di sampingnya.
“Sya,”
kata Tia yang terus merangkul bahu Tasya yang masih diam memejamkan mata dengan
gumaman yang tak jelas.
Tasya
memperingatkan sambil mengusap peluh di dahinya. “Sudah, relaks dulu, jangan
dipaksa.”
Dia
menarik napas dan duduk lelah di dinding seraya tersenyum getir. “Ruangan ini
belum selesai, masih ada jalan ke tempat lain,” katanya dengan pandangan penuh
makna.
Semua
orang memandangnya penuh tanya. “Sudah satu jam kita di sini, bagaimana caranya
menemukan ruangan berikutnya?” potong Mala, memecah kesunyian.
Tidak
ada yang menjawab; semua terdiam dalam pemikiran masing-masing, kecuali Kenzi
yang merangkul bahu istrinya untuk memberikan ketenangan. Tiba-tiba, Tasya
menoleh ke lantai, melihat semut bercahaya seperti kunang-kunang. Dia
memperhatikan gerak-gerik semut itu dan tangan langsung bergerak mendekati
tempat itu. Tanpa berpikir panjang, Tasya menekan permukaan lantai, dan
seketika dinding tembok terbuka lebar.
“Akhirnya
kita bisa bernapas,” seru Mala riang.
Dewi—seorang
dosen—melangkah meneliti tempat itu, tertegun dengan pemandangan sekeliling
mereka. Kenzi sudah bergerak lebih dulu sejak mereka keluar dari ruangan, dan
sekarang keenam orang itu berada di sebuah lahan berumput hijau luas, dengan
langit cerah yang memayungi mereka.
“Ini
tempat apa ya?” tanya Dewi sambil meneliti sekitarnya.
Tasya
menunjuk sebuah bangunan tua di kejauhan. Semua memandang ke arah yang
ditunjuknya, tanpa perlu dikomando, mereka bergegas menuju tempat itu. Bangunan
seperti garasi mobil tertutup rapat dengan gembok besar mengunci pintunya.
“Rai
ada di dalam,” ucap Tasya sambil mendekati pintu, mencoba membuka gembok besar
itu.
Tia
mendekati Tasya bersama Kenzi. Laki-laki itu langsung bekerja mencari cara untuk
membongkar gembok tersebut. Tia menarik mundur tubuh Tasya dan merangkulnya.
“Tenang,
Sya. Berdoa semoga kita bisa membuka gembok ini,” ucap Tia lembut sambil
memberikan kekuatan pada keponakannya.
Ilham
ikut membantu Kenzi mencoba berbagai cara untuk menghancurkan gembok dan
membuka paksa pintu tersebut. Namun, nihil. Meski sudah mencoba berbagai cara,
gembok tetap saja bergelantung manis mengunci rapat pintu rolingdoor. Keempat
wanita yang menyaksikan usaha Kenzi dan Ilham itu diam, menunggu dengan penuh
ketegangan. Tasya menelan kekecewaannya, lalu jatuh terduduk di hamparan
kerikil yang menjadi jalan di depan bangunan itu. Tia dan kedua temannya ikut
duduk di samping Tasya.
“Tasya,
tahu mi,” kata Tia tiba-tiba.
Gadis
yang bekerja sebagai teller di sebuah bank swasta itu loncat berdiri dan
berlari ke sisi kanan bangunan itu, diikuti oleh semua orang.
Di
sebuah lubang ventilasi udara, Tasya berteriak dengan sekuat tenaga, “Rai, aku
datang menjemputmu!”
Namun,
tidak ada respon sama sekali. “Rai, aku menjemputmu!”
Tasya
mencoba berteriak sekali lagi, tetapi tetap tidak ada reaksi. Tia meraih bahu
keponakannya, merangkulnya dengan penuh kekuatan. Tasya justru lunglai, tetapi
Kenzi berhasil menahan tubuhnya. Mereka membawa Tasya untuk duduk dan
menenangkannya.
“Maafkan
Tasya, Mi,” lirih Tia, memejamkan mata.
Tia
menepuk-nepuk bahu Tasya dengan penuh kasih sayang.
“Pa,
aku haus,” kata Mala, menatap suaminya.
“Gimana
caranya kita dapatkan air minum?”
“Ini
benar-benar petualangan,” timpal Dewi yang duduk di samping Tasya.
“Iya,
Mi. Tasya juga haus,” kata Tasya yang sudah melepaskan diri dari rangkulan Tia.
Tia
menggaruk kepalanya, berpikir keras dari mana mereka bisa mendapatkan air
minum. Kenzi sigap, lalu berjalan mencari sesuatu untuk memenuhi kebutuhan air
minum mereka. Sementara semua orang sibuk mencari solusi, tiba-tiba Tasya
berdiri dan sekali lagi berteriak sekuat tenaga. Tasya mengangkat kepalanya ke
langit, memohon pertolongan pada semesta. Dewi, yang berdiri di sisinya,
memberikan sugesti keyakinan.
“Sabar,
Sya. Pertolongan pasti datang tepat waktu,” ucap Dewi sambil menatap langit.
“Ikutlah,
Tasya,” lanjutnya, memandang Tia sebelum melangkah menuju halaman belakang
bangunan itu.
Tanpa
menunggu jawaban, Tia dan teman-temannya mengikuti langkah mereka. Di bagian
belakang bangunan, Tasya mendekati tembok yang belum diplester dan menekan
permukaannya. Teman-temannya mengikuti gerakannya, tetapi setelah 15 menit
tanpa hasil, kelelahan dan keputusasaan mulai menyelimuti mereka. Tasya menarik
napas panjang. Matanya melihat sebuah sumur timba tidak jauh dari tempat mereka
berdiri.
“Kita
minum air dari sumur itu saja,” ujarnya, menunjuk sumur tersebut.
“Aku
ragu, Sya. Sumur itu sudah lumut, aku khawatir airnya keruh,” sahut Kenzi
mengingatkan.
“Kita
coba saja, Pa. Lebih baik dari pada kehausan dan dehidrasi,” timpal Mala yang
langsung menghampiri sumur.
“Lumayan,
‘kan? Biarlah air mentah, asalkan bisa menghilangkan dahaga,” kata Mala riang,
setelah berhasil mengusir kehausannya.
Kenzi
langsung menimba air dari dasar sumur dan setelahnya membiarkan istri serta
teman lainnya meminum air dari dalam sumur.
Kelima
temannya mengikuti dan meminum air dari sumur itu. Meski tepiannya sudah
ditumbuhi ilalang liar dan lumut, air sumur itu terlihat sangat jernih. Tasya
berjongkok di tepi sumur, memindahkan sebuah batu bata merah yang terletak di
sana. Saat batu itu terangkat, dia melihat sebuah tombol persis seperti yang
ada di belakang engsel pintu kamar mandi. Tanpa ragu, Tasya menekan tombol itu.
Tiba-tiba, sumur itu bergeser, dan dari kejauhan mereka melihat seorang pemuda
sedang bermain dengan seekor kucing putih.
Tasya
terkejut saat melihat Rai, laki-laki yang seharusnya akan menikahinya lima
bulan mendatang, sehat dan bahagia bersama seekor kucing. Mereka berada di
tempat yang telah mereka cari, dan Rai terlihat benar-benar menikmati
kebersamaannya dengan kucing itu.
Kucing
putih itu sadar bahwa keberadaannya telah terbongkar, dan memberikan peringatan
pada Rai bahwa seseorang yang dinantinya telah datang menjemput. Rai tersenyum,
menatap Tasya dengan tatapan bahagia. Mereka saling tersenyum penuh
kebahagiaan.
“Tasya,
aku mau turun ke sana,” ucap Tasya kepada Tia yang berada di sampingnya. Tia
menggeleng, menunjukkan bahwa lubang itu terlalu dalam dan tidak memiliki
tangga seperti sebelumnya.
“Jangan,
Sya!” seru Mala sambil memegang lengan Tasya.
Tasya
menatap Tante Mala dengan kekecewaan, tetapi tetap bertekad untuk melompat ke
dalam lubang berdiameter sekitar satu meter.
“Tapi
Rai, Mi,” ucap Tasya, memandang Rai yang juga menatapnya.
Tiba-tiba,
suara tepuk tangan terdengar mendekat. Semua orang memalingkan pandangan ke
arah sumber suara.
“Bagus.
Bagus. Bagus,” ucap seorang pria yang mendekati mereka.
Dia
adalah seorang atlet lari, terlihat segar setelah berolahraga pagi dengan
pakaian olahraganya yang sempurna. Sebuah handuk kecil melingkar di pundaknya,
dan celana training serta sepatu kets menempel rapat di tubuhnya yang tinggi
175 cm.
“Fadli,”
seru Tia terbata-bata, menatap pria yang baru saja dia ceraikan karena
perselingkuhan.
“Sekarang
bukan hanya satu, tapi enam orang akan terkubur hidup di dalam lubang itu,”
ucap Fadli dengan tegas, berdiri hanya satu meter dari keenam orang yang
berdiri tegang.
Fadli
mengangkat tangan dan bertepuk tiga kali. Seketika, sepuluh algojo muncul dan
mengepung keenam orang itu. Kenzi yang berusaha meredakan situasi malah
dilemparkan ke dalam lubang pertama kali, diikuti oleh Mala yang
berteriak-teriak dan Dewi, Ilham, Tasya, dan Tia bergantian dijatuhkan ke dalam
lubang itu. Sebelum Tia dilemparkan, Fadli mendekatinya dan dengan perlahan
membisikkan sesuatu di telinganya.
“Ini
balasanmu atas perceraian kita,” kata Fadli tajam sambil menggerakkan
jemarinya.
Tanpa
ampun, algojo melemparkan tubuh Tia ke dalam lubang, diikuti oleh
teman-temannya. Fadli menatap keenam orang yang saling bertentangan, mencoba
untuk duduk dan menguasai dirinya. Kejadian aneh terjadi; Rai yang sebelumnya
sehat dan ceria kini terbaring kaku, wajahnya pucat, dan kucing putih yang
biasanya menemaninya lenyap tanpa jejak.
“Selamat
tinggal, manusia bodoh. Selamat menemui malaikat pencabut nyawa kalian,” ucap
Fadli dingin, penuh kemenangan, lalu menekan tombol dan menutup lubang itu.
“Rai!”
seru Tasya tergagap, melihat Rai terbaring tak berdaya dengan wajah pucat.
Mereka
semua menatap Rai, walaupun merasakan sakit dan kebingungan yang tak
terkendali. Tiba-tiba, suara meong kucing putih terdengar dari sudut ruangan.
Kucing itu tiba-tiba muncul dan menyapukan ekornya di sekitar tubuh Rai, dan
seperti ajaib, Rai kembali pulih seperti semula. Tasya langsung memeluk Rai
dengan erat, melupakan segala kesedihan di hadapan lima pasang mata yang
menyaksikan.
“Terima
kasih, Sya. Akhirnya kamu datang,” kata Rai sambil memeluk Tasya dengan penuh
cinta, mencium keningnya.
Tasya
membalas dengan senyum bahagia, senang bisa bertemu lagi dengan calon suaminya,
pria yang akan menikahinya dalam lima bulan mendatang.
“Rai,
bagaimana kamu bisa sampai di sini? Dan berapa lama kamu sudah di sini?” tanya
Mala tak sabar. Rai menjawab dengan senyum.
“La,
sekarang tidak perlu mencari penyebabnya. Yang penting, bagaimana cara kita
keluar dari tempat ini?” kata Dewi, sambil menatap kucing yang berdiri di
antara kaki Rai.
“Aku
tidak tahu, Tante,” jawab Rai sambil mengajak Tasya duduk, diikuti oleh yang
lain, termasuk kucing yang ikut duduk di samping Rai. Semua orang terdiam
sejenak dalam pikiran mereka masing-masing. Tiba-tiba, kucing itu bangkit,
mendekati Kenzi, mengibaskan ekornya, dan menatap tajam.
“Apa
kamu ingin aku menghubungi polisi dan memberi tahu mereka keberadaan kita
sekarang?” ucapnya, disambut dengan kekaguman dari semua orang.
Mala
memandang suaminya dengan tatapan tak mengerti. “Kamu ngomong apa, Pa?”
ujarnya.
Rai
tersenyum lalu menjawab, “Kita ikuti saja apa yang si Putih perintahkan, Om.”
Dia
melangkah mendekati kucing putih yang tengah berjongkok, mengusap-usap bulunya
yang halus. Si Putih menyambut dengan gembira dan menikmati belaian tangan Rai.
“Entah
sudah berapa lama aku di sini, dan si Putih ini sangat membantuku bertahan
sampai saat ini,” kata Rai sambil terus mengelus kucing putih yang menggerakkan
ekornya panjang.
“Rai,
tidak ada sinyal,” kata Kenzi sambil bermain-main dengan ponselnya.
Si
Putih melompat ke pundak Kenzi dan menempelkan ujung ekornya ke layar ponsel.
Kenzi sedikit terkejut, tapi akhirnya memahami maksud si Putih. Dia mencoba
lagi mencari nama yang dituju, lalu menekan tombol panggilan. Si Putih berjalan
mengelilingi semua orang beberapa kali sebelum akhirnya melompat dan tiba-tiba
sebuah portal lorong terbuka.
Dengan
tatapan tegas, si Putih memerintahkan mereka untuk masuk ke dalam lorong itu.
Perintahnya langsung diikuti; Kenzi masuk pertama, diikuti oleh Mala, Ilham,
Dewi, Tia, dan Tasya. Rai hanya diam, memandang si Putih yang masih terbang di
atas.
“Pus,
ikutlah bersama kami,” ajak Rai pada si Putih, tetapi matanya menatap galak.
Si
Putih menyuruhnya segera menyusul yang lain. Dengan langkah sedih, Rai melompat
masuk ke dalam portal lorong, sesekali menoleh pada si Putih. Mereka terbang
sebentar di lorong itu, hingga akhirnya cahaya dari kejauhan semakin terang dan
angin menderu. Mereka mendarat di sebuah teras rumah Mala. Wanita itu, yang
baru saja menikah, spontan bersorak kegirangan saat menyadari mereka berada di
rumahnya sendiri.
“Sidang
pengadilan telah memutuskan hukuman seumur hidup bagi Fadli,” ucap hakim dengan
penuh tegas.
Ketukan
palu hakim mengakhiri kasus penculikan dan pembunuhan berencana terhadap Raihan
dan enam orang lainnya: Tasya, Tia, Kenzi, Mala, Dewi, dan Ilham. Berkat
bantuan si Putih, ketujuh orang ini berhasil selamat, meskipun Tia tetap
menuntaskan masalah ini di meja hijau. Akad nikah berjalan lancar dilanjutkan
resepsi pernikahan Raihan dan Tasya, pasangan mempelai tampak bahagia di atas
pelaminan.