Merajut cinta

Table of Contents

Lembaran koran perlahan terbang dari tangan Shinta saat dia mencari namanya yang tidak tertera di deretan nama yang diterima sebagai mahasiswa perguruan tinggi negeri. Air mata menetes membasahi pipi gadis yatim piatu ini. Kekecewaan kian menambah kesedihan, bersanding dengan kenangan kedua orang tuanya, beserta kakak laki-laki dan adik perempuan yang dia miliki di masa lalu. Siluet masa kecil terkembang laksana layar yang memutar kisah keluarga bahagianya.

 

Haris dan Lidya, sepasang suami istri yang hidup harmonis bersama ketiga buah hati mereka. Haris bekerja sebagai dokter spesialis anak, dan Lidya bekerja sebagai ketua cabang dari bank swasta ternama. Kesibukan mereka berdua tidak menjadi penghalang kebahagiaan mereka dalam mengurus tiga anak mereka penuh perhatian. Urusan anak adalah prioritas untuk pasangan yang menikah pada awalnya karena perjodohan. Komitmen dan kebersamaan selalu terbangun hingga cinta hadir di hati keduanya. Raka Aditya adalah putra pertama mereka. Sejak kecil, dia sudah dikenalkan pada seni bela diri pencak silat. Beranjak usia, Raka sering diikutsertakan dalam lomba, dan dari beberapa lomba, juara berhasil diraih. Selain itu, hapalan surat Al-Qur'an cukup baik. Shinta Amanda Putri, anak kedua, sejak kecil diikutsertakan pada sanggar tari. Sama seperti kakaknya, Shinta juga memiliki deretan piala sebagai tanda kemenangannya. Shinta terlatih membaca Al-Qur'an, dan menghafal surat dalam Al-Qur'an selalu dilakukan setiap hari. Si bungsu, Tiarazahra Anissa, berbeda dengan kedua kakaknya. Ara lebih terlihat kemampuan akademisnya. Sejak di sekolah dasar, Ara selalu mendapat peringkat pertama di kelasnya. Bahkan pada saat kelulusan sekolah dasar, Ara menjadi siswa dengan nilai evaluasi terbaik sekecamatan tempat tinggal keluarga yang memprioritaskan pendidikan lebih dari segala-galanya. Bahagia penuh cinta terlihat dari keluarga Haris dan Lidya.

 

Liburan sekolah, mereka merencanakan pergi berlibur ke rumah orang tua Lidya yang letaknya di kota Bandung. Jakarta-Bandung tidaklah terlalu jauh, untuk itu mereka selalu menggunakan mobil pribadi untuk menuju ke sana, begitu juga kali ini. Kemandirian sudah ditanamkan Haris pada ketiga anaknya sehingga bila ingin bepergian, Raka, Shinta, dan Ara terbiasa menyiapkan keperluan pribadi mereka. Entah mengapa kali ini Shinta tidak bersemangat ikut ke rumah nenek. Bu Lastri, orang tua Lidya, adalah nenek kesayangan Shinta. Jika diajukan tempat berlibur, pastilah Bandung menjadi pilihan pertama Shinta, namun kali ini tidak.

 

“Mba, sudah selesai belum merapikan keperluan untuk di rumah nenek?” Lidya bertanya pada putrinya yang masih bermalas-malasan saat ibu cantik ini masuk ke kamar Shinta. Dan dilihatnya putri keduanya masih asik membaca. “Iya, Bu, nanti aja, Ita beberesnya,” jawab Shinta sambil tetap menikmati novel trio detektif favoritnya. “Kamu kenapa kok tumben ngga bersemangat gitu?” tanya Lidya. Ibu ini mendekati Shinta dan duduk di sampingnya. Shinta menggeleng sambil menutup novel dan bersandar di bahu wanita yang telah melahirkannya. “Ngga apa-apa Bu, Ita cuma malas aja,” jawab gadis berusia 15 tahun itu. Ibu tidak meneruskan percakapan, wanita yang baru saja pulang kerja menikmati pelukan hangat bersama putrinya.

 

Setelah salat Subuh, rombongan kecil berangkat menuju Bandung. Raka meminta izin pada ayah agar dia yang mengendarai mobil. “Yah, boleh ngga aku nyetir mobil, cuma sampai jalan raya aja deh Yah,” pinta si sulung. Usia Raka 19 tahun dan dia telah memiliki surat izin mengemudi. Ayah menyetujuinya. “Kenapa ngga, tapi hanya sampai di gerbang tol aja ya Mas,” jawab ayah. “Yes,” Raka mengepalkan tangan tanda kegembiraannya. Meluncurlah mobil keluarga ini. Memasuki jalan tol, Raka menepikan mobil dan menyerahkan kursi supir pada ayahnya. Kini Haris, ayah tiga orang anak ini, mengambil alih kemudi mobil. Tawa canda sederhana penuh bahagia terdengar dari percakapan mereka. Kecuali Shinta yang hanya sesekali saja menimpali obrolan keluarga, ibu yang sudah mengetahui gelagat putrinya sering mencuri pandang ke belakang karena Shinta duduk di bangku belakang. Ayah dan Raka duduk di bangku depan, Ara dan ibu duduk di bangku tengah.

 

Entah pada kilometer berapa kejadian ini terjadi, sebuah mobil pembawa bahan bakar terguling dan terbakar. Tabrakan beruntun tak terelakkan, termasuk mobil CRV yang digunakan keluarga Haris ikut menjadi korban dari kecelakaan ini. Haris dan Raka tewas di tempat kejadian, Lidya menghembuskan napas terakhir saat dalam perjalanan menuju ke rumah sakit, sedangkan Ara menyusul ayah, ibu, dan kakaknya saat menjalani pengobatan di rumah sakit tiga hari setelah kejadian. Luka yang dialami Shinta lumayan parah, namun dia selamat dari tragedi yang merenggut nyawa keluarganya. Kejadian ini membuat Shinta menjadi anak yatim piatu, tinggalah nenek dan kakek di Bandung sebagai keluarga Shinta. Kehilangan keluarga membuat Shinta harus pindah ke Bandung, tinggal bersama nenek dan kakek karena rumah di Jakarta yang penuh kenangan atas kesepakatan terpaksa dijual.

 

Kegagalan untuk melanjutkan pendidikan di universitas negeri membuat Shinta berpikir, "Sekarang aku harus apa?"

 

Nenek yang penuh kasih sayang selalu mendampingi Shinta, memberikan ide. “Ta, gimana kalau kamu membuka sanggar tari aja, itukan sesuai bakat yang kamu miliki,” ucap Bu Lastri saat baru datang dan ikut duduk di depan Shinta yang sedang menutup melipat lembaran koran sekaligus menyimpan lagi kenangan bersama keluarganya.

 

“Ita mau sih Nek, tapi Ita masih bingung,” Shinta menjawab dalam raut duka.

 

“Yah, ngga kuliah bukan berarti kamu tidak bisa meraih kesuksesan,” Bu Lastri menatap lembut cucu semata wayangnya. Shinta mengangguk. Tekad untuk terus memberikan prestasi terbaik sebagai bakti pada orang tua membuat Shinta merealisasikan ide nenek. Awalnya gadis ini melamar menjadi guru tari pada sebuah taman kanak-kanak yang letaknya tidak jauh dari rumah nenek. Selain itu, Shinta juga telah ikut bergabung di sanggar tari Rama Shinta cabang Bandung. Tiga tahun Shinta menikmati pekerjaannya sebagai guru tari di TK Melati dengan sederet piala menghias ruang kepala sekolah sebagai bukti bahwa siswa di sekolah ini telah memenangkan kejuaraan tari dari berbagai pentas yang diikutinya. Selain menjadi guru tari, Shinta masih sering berlatih di sanggar tari tradisional. Dari sanggar Rama Shinta yang diikutinya, Shinta terpilih menjadi guru tari untuk mengajar di kedutaan Indonesia di Paris. Langkah awal karier Shinta sebagai guru tari dimulai, sekaligus kesempatan mengelilingi dunia dapat dia rasakan. Pentas tari yang diikuti sanggar tari binaan Shinta sangat difavoritkan untuk pentas pada event tertentu di negara tetangga, bahkan Shinta telah menapaki kakinya di lima benua. Karier cemerlang telah diraih gadis 28 tahun ini, namun belum juga menambatkan hatinya pada seorang laki-laki.

 

Kepergian kakek membuat Shinta mengajak nenek untuk ikut serta ke Paris. Nenek selalu memberikan perhatian penuh kasih sayang untuk Shinta, termasuk meminta Shinta menikah.

 

Ada pementasan tari di Bali, namun sebelum acara pihak penyelenggara meminta Shinta dan beberapa tim survei ke lokasi. Pesawat yang membawa rombongan dari Paris singgah di Jakarta. Shinta menggunakan kesempatan ini untuk ziarah ke makam keluarga. Saat kaki hendak melangkah meninggalkan pemakaman, dia dikejutkan oleh suara yang menegurnya. “Shinta Amanda, apa kamu benar Shinta putri Pak Haris?” tanya seorang laki-laki seusianya yang telah berdiri di hadapan Shinta. Raut wajah kaget wanita cantik berbusana muslim biru muda serasi dengan hijabnya menjawab, “Iya, saya Shinta.” Dia menjawab sedikit kikuk karena pikirannya menerka siapa laki-laki ini. Sebelum laki-laki tampan yang memakai baju koko lengan pendek berwarna abu-abu muda dipadu celana panjang hitam menjawab, Shinta langsung bertanya lagi, “Maaf, memang kamu siapa ya?” tanya Shinta, tapi kali ini ditambah senyum manisnya. Laki-laki ini mengulurkan tangan dan berkata, “Saya Ardi, anak angkat Pak Haris dan Bu Lidya yang tinggal di panti asuhan Bu Irma.” Laki-laki yang bernama Ardi menjelaskan siapa dirinya hingga akhirnya kedua orang ini berjalan meninggalkan pemakaman dan mencari rumah makan agar mereka dapat ngobrol lebih leluasa.

 

Shinta sudah mengetahui bahwa kedua orang tua mereka memang menyantuni seorang anak yatim piatu di panti Bu Irma, bahkan sebagian harta waris jatuh ke tangan Ardi dengan tujuan agar Ardi terus bisa melanjutkan pendidikan. Pertemuan pertama begitu memberi kesan. Kedekatan dari mana entah datangnya seolah mereka sudah sering bertemu, padahal sekalipun Shinta tidak tahu bagaimana yang namanya Ardi, hanya cerita dari ayah ibu saja sering dia dengar. Ardi kini bekerja sebagai dosen pada universitas negeri di Jakarta, dan dia juga belum menikah. Obrolan santai ini terputus karena Shinta mendapat telepon untuk segera kembali ke hotel tempatnya menginap.

 

Langit telah berubah warna karena Sang Surya berganti Sang Bulan, menerangi jagad raya serta taburan bintang memperindah gelapnya malam. Selesai menelpon nenek menceritakan pertemuanya dengan Ardi dan serta cerita lainnya, Shinta masih tetap memegang ponselnya. Ingin rasanya dia menelpon Ardi. Entah rasa apa yang menyelimuti hati Shinta sejak awal melihat Ardi dan menghabiskan waktu dua jam bersamanya. Getaran aneh mengusik pikiran dan hati gadis berhidung mancung serta lesung pipit menambah kecantikan dirinya. Shinta bergumam dalam hati, "Apakah ini cinta pada pandangan pertama?" Dalam keraguan dia menaruh ponsel di atas meja kecil di samping ranjang. Shinta tidak jadi menelpon Ardi. "Malu ah nanti Ardi ke-GR-an lagi," gumamnya sambil menutup mata dan tidak lama kemudian dia terlelap dalam mimpi.

 

Ardi memang mencari keberadaan Shinta. Dia telah mengetahui bahwa kini Shinta telah tinggal di Paris dan menjadi guru tari tradisional. Ardi sangat ingin sekali bertemu Shinta untuk mengucapkan terimakasih pada kebaikan kedua orang tua Shinta yang telah membuat dirinya mampu mengenyam pendidikan, dan kini Ardi telah menjadi dosen ternama. Saat bertemu di pemakaman, Ardi tidak percaya ternyata Shinta jauh lebih cantik dari apa yang dibayangkan. Malam ini Ardi juga tidak mampu memejamkan mata, pertemuan pertama dengan Shinta melumpuhkan hatinya pada kerinduan. Ardi ingin sekali bertemu Shinta dan mengungkapkan perasaannya, dia tahu bahwa cinta pada pandangan pertama itu benar-benar ada. Malam ini dilewati Ardi dengan hasratnya dalam mimpi.

 

Pukul tujuh pagi, Shinta sarapan di restoran hotel. Kakinya melangkah menuju meja di sudut ruangan. Tika, rekan seperjalanan sekaligus tim kerjanya telah duduk bersama suami tercinta yang ikut serta dalam rombongan ini. Untuk itu Shinta lebih senang duduk sendiri. Sepiring nasi goreng berserta lauk pauk tersaji bersama jus melon segelas air putih dan beberapa potong buah segar tepat ada di hadapan gadis berpakaian senada berwarna kuning. Sebelum Shinta menyantap hidangan lezat di meja, ponselnya berdering. Nenek mengabsen kabarnya. Obrolan singkat pelepas rindu telah selesai. Sebelum Shinta memasukan ponselnya, ternyata ponselnya berdering lagi, ini dari Ardi. Shinta menatap sejenak layar ponsel dan diangkatlah panggilan ini. Canggung pertama memulai percakapan jarak jauh, namun lagi-lagi entah apa yang menyatukan mereka hingga obrolan via ponsel ini menemani Shinta menghabiskan semua menu yang ada di atas meja. Berbunga hati kedua manusia yang memiliki perasaan sama, cinta pada pandangan pertama. Urusan di Jakarta selesai, Shinta beserta rombongan terbang menuju Bali.

 

Hotel Nirmala tampak indah terlihat dari pertama kali Shinta menginjak kaki di hotel berbintang lima ini. Setelah lapor diri, Shinta dan rombongan dibantu petugas menuju kamar masing-masing. Pertemuan dengan pihak penyelenggara masih tiga jam lagi, berarti Shinta bisa memanjakan diri menikmati suasana hotel berinterior ukiran dan hiasan Bali. Ada kolam renang, sarana olahraga, restoran yang cukup besar, serta yang tidak kalah menarik adalah pesona alam yang membuat rasa syukur pada kebesaran Sang Illahi semakin besar. Shinta memilih menghabiskan waktu dengan duduk di taman yang menyajikan kesegaran udara dan memanjakan mata dalam suasana asri. Tika dan suami pergi berkeliling hotel seolah mereka menghabiskan waktu berbulan madu kembali. Shinta mengambil ponsel hendak menelpon nenek, namun belum sempat gadis cantik berlesung pipit ini menekan nomor nenek, malah ponselnya berdering. Ardi... itu nama yang tertera di monitor ponselnya. Shinta tersenyum sendiri sambil bergumam, "Ngapain dia telpon, tapi aku juga ingin nelpon dia siiihhhh..."

 

Shinta menekan tombol merah memberi salam, "Assalamualaikum." Pembuka obrolan Ardi pun menjawab, "Waalaikumussalam. Ganggu ngga nih?" tanya Ardi.

 

"Ngga, emangnya ada apa?" tanya Shinta. Obrolan santai menemani kesendirian Shinta sebelum menutup telepon. Ardi berkata, "Ta, tiga jam lagi aku tiba di Denpasar dan aku sudah pesan kamar di hotel yang sama dengan kamu," tegas Ardi mengutarakan sementara Shinta nyaris tersendak tidak percaya dengan apa yang didengarnya.

 

"Ya udah Ta, sampai ketemu di Bali. Assalamualaikum," Ardi mengakhiri pembicaraan via ponsel dan, "Waalaikumussalam," pelan Shinta menjawab sambil menutup sambungan.

 

Shinta diam menatap sekeliling, berhayal, "Ini pasti akan menyenangkan menghabiskan waktu di Bali bersama Ardi."

 

Urusan pementasan selesai, Shinta serta rombongan memiliki waktu dua hari berlibur di Bali. Selesai salat Magrib, ponsel Shinta berdering lagi, lagi-lagi Ardi yang menelponnya. Shinta mengambil ponsel dan menekan tombol sambungan ponsel.

 

"Assalamualaikum," lebih dulu Ardi membuka percakapan.

 

"Waalaikumussalam," jawab Shinta singkat.

 

"Ta, aku tunggu kamu di lobi hotel 20 menit lagi ya, bisa kan?" kata Ardi dan itu membuat Shinta benar-benar kaget hingga mukena yang Shinta pegang terjatuh.

 

"Apa di? Kamu sudah sampai?" Shinta refleks menjawab.

 

"Iya, setengah jam yang lalu. Makanya aku tunggu kamu 20 menit di lobi sebab aku mau siap-siap dulu," tambah Ardi meyakinkan Shinta.

 

"Okelah, nanti aku ke sana," Shinta menjawab. "Assalamualaikum," tambah Shinta mengakhiri obrolan dengan Ardi. Diam sejenak, Shinta lantas gadis cantik ini mengirim pesan ke Tika untuk menjelaskan bahwa dia tidak ikut makan malam karena ada teman dari Jakarta yang akan ditemuinya.

 

Shinta memandang dirinya di depan cermin untuk memastikan penampilannya. Stelan baju tunik dan celana panjang senada berwarna coklat susu berpadu hijab dengan warna sama benar-benar akan membuat mata kaum Adam berdecak kagum pada kecantikan Shinta malam ini. Begitu harapan Shinta. "Semoga Ardi akan terpikat pada penampilan aku saat bertemu nanti," gumam Shinta. "Ah, semoga cintaku tidak bertepuk sebelah tangan," tersenyum sendiri memandangi dirinya di cermin.

 

Bola mata Shinta berkeliling mencari sosok Ardi ketika dia memasuki lobi hotel yang cukup luas dan banyak aktivitas dilakukan orang-orang yang juga berada di lobi hotel ternama di kota Denpasar. Selagi dirinya mencari keberadaan Ardi, tiba-tiba bahunya ditepuk seseorang. Sontak terperanjat gadis cantik ini, segera dia membalikan badan. Mata kagetnya perlahan bersanding dengan senyum manis terlonjak saat Ardi tepat di hadapannya. “Maaf Ta, bikin kamu kaget,” Shinta membalas senyum itu menatap Ardi, terpesona akan penampilan Ardi dengan kemeja biru langit, celana panjang biru tua, rambut lurusnya tersisir rapi, serta aroma parfum yang mengoda.

 

“Iya nih, kamu iseng aja,” singkat Shinta menjawab.

 

“Hahahahahahahh… maaf.” Tawa riang terdengar merdu di telinga Shinta.

 

“Yuk, kita cari tempat yang enak buat ngobrol,” ajak Ardi melirik Shinta, melangkah, dan Shinta pun mengikutinya.

 

“Kita makan aja gimana?” pinta Shinta, dan Ardi menyetujuinya. “Ide bagus. Tahu aja kalau aku lapar,” jawab Ardi mengoda jahil, dan lagi-lagi Shinta hanya membalas dengan senyum.

 

Langkah keduanya tiba di restoran yang letaknya di samping lobi hotel. Memasuki restoran, Ardi memilih meja dengan dua kursi yang menghadap jalan menjadi pilihan mereka untuk menghabiskan waktu berdua dalam makan malam dengan obrolan mengesankan. Sungguh pertemuan bahagia dirasa keduanya karena cinta yang mereka rasa saling bersambut. Obrolan terhenti tak kala nenek menelpon mengingatkan Shinta untuk tidak terlalu larut untuk tidur dan beberapa pesan nenek yang tak pernah absen saat nenek menelpon Shinta. “Sory, itu kebiasaan nenek,” Shinta menyimpan kembali ponselnya, Ardi tersenyum. “Apa kabar Nek Lastri?” tanyanya.

 

“Alhamdulillah sehat, saking sayang nya pada cucu tercantiknya selalu aja nenek mengabsen hahahahahah,” Shinta mencoba bergurau, dan Ardi pun ikut tertawa. Sebenarnya Shinta enggan sekali beranjak dari tempat duduk dan meninggalkan Ardi, seolah dia ingin menghabiskan malam ini ngobrol berdua dengan pangeran yang telah mengobrak-abrik hatinya dengan cinta, namun mau bilang apa, ini memang sudah malam. “Di, dah malam nih, balik ke kamar yuk,” ajak Shinta sambil merapikan dirinya. Ardi menyetujuinya, dia ikut bangkit melangkah bersisian dengan Shinta menuju lobi hotel, terus melangkah ke depan lift. Menunggu pintu lift terbuka, dan tak lama setelah pintu lift terbuka, mereka masuk ke dalam dengan tiga orang tamu lainnya. Kamar Shinta di lantai 2 sedangkan kamar Ardi di lantai 4. Shinta berpamitan saat lift menuju lantai 2 dan pintu lift terbuka. “Aku duluan di,” Ardi mengangguk, dan kini perpisahan di lift terpaksa memisahkan sepasang anak manusia yang telah jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

Lobi keberangkatan bandar udara internasional Ngurah Rai penuh dengan turis asing yang akan kembali ke tanah air setelah mereka menghabiskan waktu di negeri Dewata ini. Shinta serta rombongan tiba di bandara ini, dan ketika Shinta ingin masuk ke ruang tunggu, dia melihat Ardi sudah ada di sana. Shinta bergegas melangkah mendekati Ardi, dan lagi-lagi pertemuan mengesankan terjadi untuk sekian kalinya. “Hai Di, kamu udah lama?” tegur Shinta saat tiba di hadapan Ardi.

 

“Ngga. Kalau untuk nunggu tuan putri, berapa lama pun akan hamba setia menanti,” Ardi mengoda hingga Shinta tertawa.

 

“Hahahahahah… masa sih…” balas Shinta. Ardi mengangguk. “Ta, aku ingin memberi sesuatu ke kamu. Ini serius Ta,” Ardi merogoh saku celananya, mengeluarkan sebuah kotak berwarna biru dan memberikan pada Shinta. Shinta diam menatap Ardi, seakan dari tatapannya dia ingin bertanya, “Apa ini Di?” Ardi mengerti apa yang Shinta pikirkan, dia mengangguk. “Buka Ta,” pinta Ardi. Shinta perlahan membuka kotak itu, terkesima ternyata sebuah cincin emas putih bertulis nama nya manis ada di dalam kotak itu. Shinta lagi-lagi menatap Ardi, dan Ardi pun mengambil cincin itu memasangkan di jari manis Shinta. Ajaib, pas sekali cincin itu melekat seolah telah diukur sebelumnya.

 

“Ta, aku melamar kamu. Kamu maukan jadi istriku?” lantang Ardi mengutarakan lamaran itu hingga Shinta tak mampu berkata apapun, hanya tersenyum mengangguk. Dua sejoli ini terlihat sangat bahagia sekali. Mereka ingin menghabiskan sesaat waktu terindahnya tanpa memperdulikan sekitar, bahkan orang-orang yang memperhatikan mereka tepis dengan rona bahagia. Panggilan dari pengeras suara mengakhiri kebersamaan dua sejoli ini. Shinta pamit karena dia sudah ditunggu pesawat yang akan membawa dirinya kembali ke Paris. “Di, aku pulang dulu ya, nanti kita berkabar lagi,” senyum manis terus terkembang meski Shinta tetap berharap bisa lebih lama lagi dengan Ardi.

 

“Iya Ta, hati-hati ya. Salam untuk nenek,” Ardi menepuk bahu Shinta dan Shinta pun membalas tepukan yang sama di bahu Ardi.

 

Sampai di rumah, Shinta menceritakan lamaran Ardi. “Gimana Nek?” manja Shinta bersandar di lengan nenek ketika mereka ngobrol menonton televisi.

 

“Nenek setuju, bila perlu kalian secepatnya menikah,” nenek menjawab, mengusap kepala cucu semata wayangnya. Shinta langsung mencium nenek, bersorak riang, “Terimakasih nenekku sayang!” Nenek tersenyum, mengangguk, meraih Shinta, membawanya dalam pelukan hangat.

 

Shinta mengabari berita bahagia ini pada Ardi bahwa nenek menyetujui dan meminta mempercepat pernikahan. Dan Ardi juga berpikir seperti itu hingga hari bahagia telah diputuskan. Hidup tak seindah apa yang dimau. Ponsel Shinta berdering saat dia sedang menikmati kebersamaan dengan nenek di suatu sore. Diangkatlah nomor tak dikenal berasal dari Indonesia. Ternyata itu Kesya, teman satu panti dengan Ardi. “Assalamualaikum, dengan Mba Shinta?” orang di seberang percakapan bertanya.

 

“Iya, benar. Ini siapa ya?” balik Shinta yang bertanya.

 

“Saya Kesya Mba, teman sepanti Ardi,” orang itu menjelaskan. “Ada apa Kesya?” kembali Shinta bertanya.

 

Sesaat hening, Shinta bingung.

 

“Halo Kesya, kamu masih di sana?” Shinta bertanya.

 

“Iya Mba, maaf saya ingin memberi kabar duka,” Kesya kembali diam sementara Shinta penasaran.

 

“Kabar duka… apa itu Sya?” Shinta tak sabar, dia mencecar.

 

“Ardi meninggal setelah salat Subuh. Dia korban tabrak lari Mba,” Kesya menjawab berusaha tenang. Bagai tersambar petir mengiris hati kabar duka ini Shinta dengar. Tak percaya, Shinta mencoba bertanya sekali lagi.

 

“Maksud kamu apa Sya, jangan main-main.”

 

“Saya serius Mba, jenazah Ardi pun telah dikebumikan karena kondisinya cukup parah dan kasus ini sudah dalam penyelidikan pihak polisi,” jelas Kesya lebih meyakinkan. Shinta menghempaskan badan ke sandaran sofa, menangis. Sakit sekali dadanya, hatinya benar-benar terluka, kacau semuanya. Kabar ini mengakhiri harapannya. Bagaimana tidak, Ardi meninggal padahal hari pernikahannya tinggal 45 hari lagi. Duka ini mengingatkan Shinta saat dia harus kehilangan orang-orang terkasih. Shinta meratapi kisah duka dalam pelukan nenek, pupus harapan untuk merajut bahagia bersama Ardi dalam bingkai rumah tangga.

 

Waktu terus bergulir, Shinta berusaha semaksimal mungkin mengikhlaskan kepergian Ardi. Shinta memang selalu berpikir maju, semangatnya bak bara api terus memancarkan percikan hingga rasa duka kehilangan Ardi sirna dalam ketegarannya, ikhlas menerima takdirnya. Aktivitas terus dia jalani sebagai guru tari serta pimpinan sanggar tari Rama Shinta yang berkantor di kota Prancis. Hari-hari dijalani wanita ini penuh rasa syukur hingga dia dapat berdamai dengan hatinya, juga kehadiran nenek segalanya untuk Shinta mengisi waktu kesehariannya.

 

Ada berkas yang harus Shinta selesaikan di kantor kedutaan Indonesia. Gadis manis ini melangkah masuk, namun tak sengaja dia menabrak seorang laki-laki yang membawa beberapa berkas. Secepat kilat Shinta meminta maaf. “Sory,” singkat Shinta berkata, dengan cekatan dia membantu membersihkan berkas yang tercecer di lantai. Laki-laki berparas Indonesia itu tak marah karena dia tahu Shinta tak sengaja, ditambah dialah yang kurang hati-hati. “Tidak masalah,” jawab laki-laki itu dalam bahasa Indonesia. “Saya yang ceroboh, tidak hati-hati,” tambahnya lagi sambil terus merapikan kertas yang bercecer.

 

“Kamu dari Indonesia?” tanya Shinta berdiri setelah semua kertas yang berserakan terkumpul. “Iya, saya dari Bandung,” laki-laki itu ikut berdiri merapikan kertas yang telah dia pegang.

 

“Saya Zidan,” Zidan memperkenalkan diri, mengulurkan tangan.

 

“Saya Shinta,” Shinta menerima uluran tangan membuat mereka bersalaman.

 

“Boleh minta nomor telepon?” Zidan menatap Shinta berharap. Anggukan Shinta tanda menyetujuinya, lantas Shinta mengambil ponsel dan mereka saling bertukar nomor.

 

“Maaf, saya buru-buru. Nanti di waktu santai saya telepon kamu,” Zidan berkata, melambai, melangkah meninggalkan Shinta. Senyum Shinta sebagai jawabannya.

 

Dua hari setelah bertemu Zidan di kantor kedutaan, akhirnya mereka membuat janji untuk bertemu di sebuah restoran Indonesia.

 

Shinta sudah datang terlebih dahulu, barulah sekitar tujuh menit Zidan datang menghampirinya.

 

“Maaf Ta, telat,” Zidan segera duduk di hadapan Shinta.

 

“Santaai aja, kamu mau makan apa?” Shinta tersenyum menyodorkan sebuah buku daftar menu makanan.

 

“Ikutan kaya kamu aja deh Ta,” Zidan menjawab sambil menatap Shinta.

 

“Kamu cantik banget, sama seperti dulu. Bahkan sekarang jauh lebih cantik dan dewasa,” ucap Zidan tak melepas tatapannya. Shinta melotot mendengar ucapan Zidan.

 

“Apa kata kamu?” bantah Shinta balik menatap Zidan.

 

“Eh, maksud aku… kamu sudah mengenal aku dari dulu,” Shinta bertanya. Percakapan mereka terhenti manakala seorang pramusaji datang membawa pesanan yang mereka pilih. Setelah pramusaji itu pergi, Shinta dan Zidan mulai menikmati makanan di hadapannya.

 

“Iya Ta, kita teman di Nurul Fitri,” Zidan membuka ingatan Shinta sambil mengunyah makanannya. Shinta mencoba mengarahkan pikirannya ke masa dia sekolah.

 

“Aku Zidan yang suka ngejailin kamu, dan inget ngga waktu baju kamu basah kesiram teh karena kesenggol Pak Tatang trus aku ketawain dan kamu timpuk aku pake roti?” Zidan tertawa kecil. “Aku masih inget banget tuh raut muka sewet kamu hahahahahaaha,” lanjut Zidan. Shinta baru menemukan kisah itu, mengingat kembali memori remajanya.

 

“Astagfirullloh… tapi kok penampilan kamu beda banget sih?” tanya Shinta menatap Zidan, menyelediki.

 

“Eh maksudnya dulu kan kamu semeraut kaya anak ngga keurus,” Shinta tersenyum malu.

 

“Trus sekarang aku ganteng gitu?” goda Zidan tertawa. Shinta nyaris tersedak mendengar jawaban Zidan.

 

“Sory Ta… tapi bolehkan aku berubah?” Zidan membenarkan pendapatnya. Shinta mengangguk, tersenyum dalam hati. Dia membatin, “Iya sih, beda banget sama dulu penampilannya, dan benar juga dia lumayan ganteng.” Shinta terdiam.

 

“Kenapa Ta, ada yang salah ya?” Zidan menatap Shinta, dan Shinta reflek menggeleng.

 

Obrolan lain pun berlanjut selama hampir dua jam hingga telepon Shinta berdering, dan setelah menutup telepon, Shinta berpamitan. Pertemuan ini berakhir dengan Zidan menemani Shinta sampai pintu depan restoran.

 

Jalinan persahabatan dibangun keduanya, berlanjut sejak pertemuan itu. Dan di suatu sore, Zidan mampir ke apartemen Shinta. Sambutan hangat nenek terasa lebih menyenangkan.

 

Bandung menjadi obrolan santai mereka mengenang masa lalu, dan kerinduan tanah air jelas memberi semangat percakapan keduanya karena nenek hanya ikut nimbrung sebentar, lantas membiarkan Shinta dan Zidan berdua di ruang keluarga.

 

Saat mereka sedang asyik-asyiknya ngobrol mengenang Bandung, tiba-tiba nenek jatuh di kamar mandi dan berteriak, “Aaaaahhhhhh… tolong….” Sontak Shinta berlari ke kamar mandi, disusul Zidan. Didapati nenek yang telah tergeletak di lantai. “Nenek….” Pekik Shinta keras, duduk memapah tubuh nenek, namun nenek pingsan. Segera mereka membawa nenek ke rumah sakit. Sesampai di rumah sakit dan setelah melakukan beberapa birokrasi, nenek masuk di ruang ICU. Kondisi nenek tidak stabil, usia juga menjadi faktor utama. Shinta menyimpan air mata dan berusaha tegar, namun dia tidak sekuat apa yang dirinya inginkan. Air mata setetes demi setetes membasahi pipi lembutnya, tangisan itu keluar meratapi kondisi nenek. Zidan mendampingi penuh perhatian serta kelembutan sikap hingga Shinta tidak merasa sendiri.

 

“Sabar ya Ta, percaya nenek akan baik-baik saja,” Zidan menepuk bahu Shinta, memberikan dukungan. Shinta mengangguk terisak.

 

Di ruang tunggu, Shinta masih bersama Zidan, tiba-tiba seorang suster mendekat. “Maaf dengan keluarga Bu Lastri,” perawat itu berkata dalam bahasa setempat. Shinta berdiri, mengangguk. “Benar Suster, ada apa?” jawab Shinta juga memakai bahasa yang sama.

 

“Silahkan masuk, Bu Lastri ingin bicara pada cucunya,” terang wanita yang memakai pakaian medis, dan berbalik melangkah menuju ruang tempat nenek dirawat. Shinta dan Zidan mengikuti di belakangnya. Sampai di depan pintu, perawat itu berkata.

 

“Hanya satu orang saja, dan silahkan pakai lebih dahulu pakaian ruangan,” jelasnya, menatap Shinta dan Zidan. Shinta menoleh ke Zidan, dan Zidan mengangguk tanda dia yang akan tunggu di luar. Shinta segera masuk setelah mengikuti birokrasi ruangan. Shinta melangkah menemui nenek. Shinta menahan air mata, dia berusaha riang setelah berada di dekat nenek yang terbaring lemas dengan berbagai alat medis melekat di tubuh. Wanita yang selalu bersama dan memberi ketulusan cinta untuk Shinta tersenyum. “Ta, nenek punya permintaan,” lemah nenek berusaha berkata. Shinta mengenggam jemari nenek, menatap bertanya. “Apa Nek?”

 

“Sebelum nenek pergi, nenek ingin lihat kamu menikah,” lagi-lagi terbata nenek bicara.

 

“Segeralah menikah dengan Zidan, dia laki-laki sholeh dan pasti dia akan selalu menjaga kamu,” nenek terhenti, namun dia berusaha melanjutkan ucapannya.

 

“Berjanjilah Ta, kalian bisa menikah secepatnya, bila perlu besok,” lanjut nenek sambil terpejam. Shinta tertunduk mendengarkan permintaan nenek, namun Shinta pun tak kuasa menolak. Dia mengangguk. Perawat datang meminta Shinta segera keluar karena waktu sudah habis. Shinta mencium punggung tangan nenek, berpamitan.

 

Langkah gontai Shinta lemas keluar dari dalam ruangan, melangkah mendekati Zidan yang telah menyambutnya lebih dulu. Mereka kembali duduk di sofa ruang tunggu.

 

Shinta hanya diam sekembali dari ruangan nenek, wajahnya seperti memikirkan sesuatu dan matanya sesekali mencuri pandang ke wajah Zidan. Sesaat keduanya hanya terdiam, namun Zidan menyadari sikap Shinta yang sebentar-bentar menatapnya. “Ada apa Ta?” akhirnya Zidan membuka obrolan, menatap Shinta. Shinta balik menatap Zidan lurus, tak berkedip.

 

“Ada apa Ta?” kembali Zidan bertanya. Kini Shinta menggeleng, mengangguk, tersenyum.

 

“Kamu baik-baik aja kan Ta?” Zidan mencoba menyakinkan kondisi Shinta.

 

“Aku baik aja,” pelan Shinta menjawab, menutup mata. Zidan tetap menatap, tak mengerti, ikut-ikutan diam menunggu reaksi sikap Shinta.

 

Cukup lama situasi diam, sunyi, hening antara keduanya.

 

“Ta, kalau mau cerita aku siap menjadi pendengar,” Zidan mencoba mengorek sesuatu dari Shinta. Shinta menarik napas, menghembuskan.

 

“Aku bingung Dan,” jawab Shinta lirih. Zidan diam, menatap lekat Shinta, matanya mengisyaratkan, “Katakan Ta, aku siap bantu.”

 

Tiba-tiba perawat kembali mendatangi mereka dan berkata, “Dengan keluarga Bu Lastri,” wanita berpakaian medis berkata dalam bahasa setempat. Shinta dan Zidan langsung berdiri, mengangguk.

 

“Bu Lastri ingin bertemu dengan cucu laki-laki yang ada di ruang tunggu ini,” lanjut perawat itu dalam bahasa setempat. Shinta dan Zidan refleks menoleh, beradu tatap, namun Zidan lebih dulu mengerti maksudnya.

 

“Saya Suster,” ucap Zidan sambil menepuk bahu Shinta. Shinta yang masih belum mengerti menatap Zidan, bertanya apa maksudnya. Zidan menoleh ke Shinta. “Nenek ingin bertemu aku mungkin Ta,” Zidan menerangkan. Shinta menarik napas, mengangguk, sementara perawat itu berbalik badan melangkah, dan Zidan mengikutinya sementara Shinta kembali duduk di sofa.

 

“Dan, kamu mau kan menikahi Shinta?” Bu Lastri lemah berkata setelah Zidan berada di dekatnya dan menggenggam tangannya. Zidan diam, menatap Bu Lastri.

 

“Iya, nenek ingin melihat Shinta ada yang menemani,” Bu Lastri melanjutkan, sementara Zidan diam dalam kebingungan.

 

“Berjanjilah Dan, kamu mau menjaga Shinta dengan menikahinya,” Bu Lastri mengeratkan genggaman tangan, menandakan minta persetujuan dari Zidan. Zidan tertunduk.

 

“Besok kalian harus menikah, jadi secepatnya kamu cari seorang ustaz untuk menikahkan kalian secara agama terlebih dahulu,” sedikit tergopoh Bu Lastri menyampaikan keinginannya. Tak banyak kata yang terucap dari Zidan. Pemuda lajang ini keluar setelah perawat menegur tanda waktu habis. Zidan melangkah menemui Shinta dan duduk di samping Shinta.

 

Shinta bertanya dalam hati saat melihat dari kejauhan raut muka Zidan yang berbeda.

 

“Kenapa Dan, apa kata nenek?” Shinta langsung mencecar pertanyaan ketika Zidan telah duduk. Zidan menoleh sebentar ke arah Shinta, kemudian dia membuang pandanganya ke arah lain. Shinta tak sabar bertanya sekali lagi. “Ada apa Dan, apa kata nenek?” Shinta menatap lekat ke Zidan.

 

“Apa nenek menyuruh kamu menikah dengan aku?” Shinta menegaskan pertanyaannya.

 

Zidan tersenyum, mengangguk.

 

“Maaf Dan… permintaan nenek berlebihan ya,” ujar Shinta lirih, menarik napas. Zidan tersenyum menggeleng. “Ngga kok Ta, aku sebenarnya juga ingin cepat menikah, namun belum ada

 

... pasangan, dan jujur sejak pertemuan pertama di kantor kedutaan aku terpesona dengan kecantikan kedewasaanmu,” Zidan menghela napas.

 

“Aku ingin mengungkapkan perasaanku, namun aku takut kamu tolak,” Zidan memandang Shinta penuh arti.

 

“Aku mau menerima amanat nenek, bersedia menikahi kamu. Apakah kamu mau menjadi istriku Ta?” Zidan meraih tangan Shinta, mengenggamnya, mencium punggung tangan Shinta. Shinta diam, refleks menatap Zidan, dan butiran bening jatuh mengalir di pipi halusnya. Jam 10 pagi di ruang ICU rumah sakit Pitié-Salpêtrière di kota Paris. Setelah meminta izin pihak rumah sakit dan tim medis, terjadilah akad nikah sederhana yang hanya ada seorang penghulu serta dua saksi, yaitu perawat ruangan rumah sakit ini. Zidan dengan lantang mengucapkan kata ijab kabul bersama seorang penghulu dengan mas kawin uang tunai sebesar tiga juta lima ratus delapan puluh lima ribu yang diminta Shinta. Resmillah mereka menjadi suami istri. Senyum bahagia terpancar dari rona wajah nenek. Bu Lastri tersenyum manis, menggenggam tangan Shinta dan Zidan. “Terimakasih ya Dan, kamu mau menikahi Shinta dan tolong jaga dia untuk nenek,” lirih Bu Lastri berkata pada kedua cucunya, tersenyum, namun tiba-tiba mesin detak jantung berdenyit lurus. Sontak Zidan dan Shinta berteriak. Perawat berdatangan hingga tim medis mengatakan bahwa Bu Lastri telah meninggal dunia. Luka yang teramat pedih, duka yang menyakitkan kembali Shinta rasakan. Kehilangan orang terkasih untuk selamanya. Nenek telah berpulang pada Sang Illahi dalam senyum merekah di bibir wanita berusia 76 tahun. Terlihat tenang sekali, damai di akhir usianya. Shinta menangis sejadi-jadinya meratapi kepergian nenek. Zidan berusaha menenangkan Shinta yang telah resmi menjadi istrinya. Proses mengurus jenazah hingga pemakaman telah dilaksanakan. Kini tinggalah Shinta dan Zidan yang merasa duka kehilangan nenek, tapi mereka harus memulai fase kehidupan baru sebagai pasangan suami istri.

 

Lima tahun telah berlalu. Kini Shinta dan Zidan kembali ke Indonesia dan menetap di Bandung, membuka restoran sebagai langkah awal mereka memutuskan untuk meninggalkan pekerjaan sebelumnya. Kehidupan bahagia dalam balutan cinta kasih, kebersamaan telah terbukti dari hadirnya putri sulung mereka, dan saat ini Shinta sedang mengandung buah hati kedua dari pernikahan dengan Zidan.

 

Shinta berdiri di depan pintu rumah yang luas, sederhana, bernuansa minimalis ini. Wanita cantik itu tersenyum bersama suami dan anak pertamanya, sambil mengusap perut yang telah terlihat membesar. Shinta mengucap syukur karena Allah telah mengijinkan dia mengikuti mesin waktu yang telah menggulirkan dirinya dalam kebahagiaan bersama keluarga tercinta. Shinta sadar pasti akan ada mesin waktu lainnya yang akan dia jalani, namun keyakinan pada kuasa Sang Pencipta membuat Shinta siap mengarungi mesin waktu selanjutnya.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar