Mawar Merah Tanda Cinta

Table of Contents

Fajar menyingsing di Timur, cahayanya kian menguat memberi semangat seluruh penghuni bumi. Awan yang berarak mengias langit dengan hembusan angin pagi nan sejuk menambah bukti kebesaran ILLAHI ROBBI. Semangat ini juga tampak dari raut seorang gadis berkerudung biru muda serasi dengan busana yang dikenakanya, gadis berkacamata itu bernama Kamelia. Lia, gadis remaja berusia 19 tahun dengan aktivitas seorang mahasiswi fakultas bahasa yang menyambi mengajar di sebuah Taman Kanak-Kanak di dekat kampus dimana dia berkuliah.

 

Seperti biasa, ayunan kaki Lia sampai di halte bus, diam sejenak memandang sekeliling mencoba mencari teman seperjalanan. Sayang, halte bus pagi ini sepi, dia meneruskan pandangan matanya ke arah kedatangan bus, tak lama menunggu yang dinanti tiba. Metromini S 75 jurusan Pasar Minggu Blok M terlihat mendekat, Lia melambaikan tangan memberhentikan bus yang akan membawa dirinya ke tempat mengajar. Bus berhenti, Lia bergegas naik ke dalam bus yang sudah sedikit penuh. Namun, tersisa tiga bangku kosong. Lia memilih duduk di bangku belakang dekat jendela, dan bus pun kembali bergerak.

 

Di halte berikutnya, bus berhenti, naiklah seorang pemuda membawa gitar. Pengamen ini seperti biasa mengucap salam santai dan menyanyikan sebuah lagu cantik dari grup band Kahitna diiringi petikan gitarnya. Sekilas, Lia mengarahkan pandangan ke pengamen itu sambil bergumam dalam hati, "Lumayan juga suaranya bagus." Lia mengerakan ujung kakinya mengikuti irama sambil bersenandung dalam hati. Pengamen itu menyelesaikan satu lagu yang dia bawakan, setelahnya dia mengeluarkan setangkai bunga mawar merah dikemas cantik dengan berhias pita kuning dari saku celananya, lantas dia berkata, "Maaf bapak, ibu, kakak, semua para penumpang bus. Kali ini saya mengamen bukan meminta recehan dari kalian, namun kali ini saya ingin menyampaikan tanda cinta dari seseorang untuk gadis idaman yang sangat dia cintai."

 

Pengamen melangkahkan kaki menuju penumpang yang dimaksud. Seluruh pandangan penumpang mengikuti langkah pengamen itu hingga akhirnya pemuda tanggung ini berhenti di dekat Lia, "Mba Lia, ini ada titipan cinta tulus dari Mas Agus." Laki-laki berbaju kasual sederhana ini berkata sambil menyerahkan setangkai bunga di tangannya. Lia kaget, mukanya memerah, namun bunga cantik itu telah berpindah ke tangannya. Riuh ramai seluruh penumpang bertepuk tangan, diwarnai siulan dari beberapa penumpang laki-laki, ledekan, ditambah acungan jempol dari beberapa penumpang lainnya. Bahkan seorang pelajar SLTA yang duduk di samping Lia menepuk bahunya sambil berkata, "Selamat ya, Mba. Wah, romantis banget." Pelajar itu tersenyum menatap Lia yang tertunduk. Lia tak tahu bagaimana cara mengatasi situasi yang membuat rona merah wajahnya kian terlihat, degap jantungnya semakin kencang, tertunduk, hanya itu yang dapat dia lakukan.

 

Di halte berikutnya, pengamen itu turun sambil mengucap terima kasih pada supir dan kondektur bus, Lia tetap diam membisu, tertunduk menurutkan sisa perjalanan, meski masih ada satu dua penumpang yang menggoda dirinya. Bus tiba di tujuan yang Lia tunggu, gadis berzodiak Libra segera turun ditemani godaan penumpang yang masih ada dan menyaksikan kejadian setangkai bunga mawar. Lia berusaha tersenyum, melangkah, tak memperdulikan. Satu hari dihabiskan Lia dengan jadwal rutin, hingga saatnya kembali ke rumah. Lia telah memutuskan mempersiapkan diri untuk mencari Agus dan meminta penjelasan dari nya. Tak sulit mencari Agus, Lia sudah hafal kebiasaan laki-laki yang selalu menggodanya takala dirinya ingin pulang. Sudah lama sejak Lia masih sekolah Agus tak pernah absen menunggu kedatangannya dan mengatakan, "Lia, sabar ya, tunggu aku dengan cinta."Selalu kata-kata itu tak lebih hingga Lia sangat hafal kelakuan laki-laki tetangga rumahnya.

 

Agus tak melanjutkan sekolah, bekerja sebagai tukang parkir di swalayan depan gang jalan menuju komplek perumahan. Selain itu, Agus juga mengojek. Lia tahu dari kabar teman-teman Agus bahwa dia memang serius suka pada Lia, namun Lia tak pernah merespon, hanya memberi senyum manisnya saat berpapasan dengan Agus. Benar saat Lia sampai di ujung gang, dia telah melihat Agus duduk di tempat biasa, tersenyum ketika Agus melihat Lia datang mendekat, "Maksudnya apa sih, Gus?" Lia memulai perkataan sambil melempar setangkai mawar merah ke pangkuan Agus. Agus mengambil dan berdiri menjajari Lia sambil tersenyum kembali, menyerahkan bunga mawar cantik, "Ooohhh... dah kamu terima ya, ini untukmu, Lia."

 

Lia memasang muka tak suka, namun setangkai mawar merah itu telah berpindah tangan pada dirinya, "Oke, untuk menebus kesalahan aku," Agus berusaha mencairkan suasana. "Bagaimana kalau kita makan bakso Pak Tarjo," tambahnya, menatap Lia dengan pandangan berharap. Lia tak menjawab, dia membalikan badan, mengangguk, melangkah menuju tempat yang dimaksud, Agus tertawa pelan, bersiul, mengikuti langkah Lia. Di warung bakso Pak Tarjo, Agus mengungkapkan perasaan hatinya pada Lia setelah mereka saling diam selama menikmati semangkok bakso dan segelas air minum, "Aku serius Li... Meski aku tahu keluarga kamu tak akan menyetujui hubungan kita, tapi..." Agus menghentikan perkataannya, laki-laki bertubuh kurus berpenampilan semrawut diam memandang wanita dihadapannya, tak berkedip, melempar senyuman, dia melanjutkan, "Aku juga ragu, apakah kamu mau menerima cintaku."

 

Lia yang telah mampu menguasai diri, pikirannya, hanya membalas semua perkataan Agus dengan senyuman. Lia tak ingin berlama-lama dalam situasi tak karuan ini, gadis berlesung pipi ini pamit pulang, tanpa berkomentar apapun, meninggalkan Agus yang tetap memandang kepergianya. Lia tak berani menyimpan setangkai bunga mawar itu dirumah karena takut dengan berbagai pertanyaan ibu, terpaksa Lia memberi bunga mawar itu pada Dewi, gadis cilik tetangga sebelah rumahnya. Sulit sekali Lia memejamkan matanya di malam harinya. Kejadian di dalam bus itu masih terbayang jelas di pelupuk matanya, bagaimana tidak... baru pertama kali Lia mendapatkan kejutan super memalukan baginya, "Agus. Agus. Agus. Kenapa sih mesti kamu orangnya," gumam Lia sambil menutup wajahnya dengan bantal. Lama kelamaan Lia terlelap dalam mimpinya. Tugas mengajar hari ini selesai, Lia berjalan menuju halte bus.

 

Dari jarak yang tak terlalu jauh, Lia sudah melihat Agus, "Ngapain lagi tuh orang," gumam Lia yang terus melangkah. Agus berdiri, menyambut kedatangan Lia dengan memberi senyuman, "Hai cantik, bolehkah aku jemput kamu?" sapa Agus yang menjajari, berdiri di samping Lia. Hanya senyum yang Lia beri. Ya memang sejak kejadian memberi setangkai mawar, Agus mulai berani menjemput Lia di tempat mengajar, meski hanya menunggu di halte bus. Awalnya Lia jengah sekali dengan perlakuan Agus, namun entah apa, kenapa, bagaimana, mengapa kini lambat laun Lia justru mencari Agus apabila laki-laki penggodanya tak Lia jumpai.

 

Apakah ini yang dinamakan cinta? Apakah Lia sudah jatuh hati pada perjuangan Agus meraih mencairkan benteng pertahanannya? Yang pasti, hubungan Lia dan Agus terjalin secara tersembunyi karena keduanya takut resiko apabila orang tua Lia sampai tahu tentang perjalanan cinta mereka. Semua orang tua selalu menginginkan anaknya mendapat jodoh yang jauh lebih baik. Ya, Agus hanya pemuda tak jelas latar pendidikan, tak sepadan status ekonomi yang belum pasti, karena pekerjaan Agus hanya sebagai tukang parkir, nyambi ngojek, latar keluarga yang berlabel negatif, serta masih banyak pertimbangan lainya membuat Lia tak berani jujur bercerita pada ibu tentang hubungannya dengan Agus. Terpaksa, dua sejoli ini merajut cinta secara tersembunyi.

 

Sudah hampir dua minggu Lia tak melihat Agus, bahkan keberadaannya seolah ditelan bumi. Lia sudah bertanya pada teman-teman Agus, namun tak satu orang yang memberikan jawaban memuaskan. Lia bertanya-tanya, dimana Agus????... Selagi Lia berada di warung Bu Siti untuk membeli keperluan dapur, tak sengaja Lia mendengar pembicaraan dua tetangganya yang mengatakan bahwa Agus hari Sabtu kemarin telah menikah di Sumedang, sontak Lia terperanjat menjatuhkan dua butir tomat. Sigap Lia menguasai diri, langsung mengambil tomat yang jatuh, menyelesaikan transaksi, bergegas pulang.

 

Dalam perjalanan pulang ke rumah, Lia bertemu Mas Adi, "Lia, tunggu sebentar," kakak pertama Agus menghentikan langkah Lia, mendekat, mengulurkan tangan, memberi sebuah amplop, "Ini ada titipan dari Agus." Mas Adi sambil tersenyum, Lia tak menjawab sepatah kata, diam, mengambil amplop putih, berlalu, meninggalkan Mas Adi, melangkah cepat ke rumah. Sampai di rumah, Lia langsung menuju kamar, segera membuka, membaca surat dari Agus. Dalam surat itu, Agus mengatakan bahwa dia terpaksa menerima perjodohan dari pamannya karena prustasi ingin menikahi Lia, namun tak berani berhadapan dengan orang tua Lia untuk meminta restu. Di akhir kata, Agus menulis, "Maafkan aku, Lia. Ternyata cinta tak selalu memiliki. Aku sangat mencintaimu, cantik," kata manis yang menyakitkan gerutu Lia. Lia meremas kertas di tangannya perlahan, merobek menjadi serpihan, membuang ke tempat sampah. Kisahnya dengan Agus telah berakhir.

 

Waktu terus bergulir, detik berganti menit, menit berganti jam, jam mengubah hari, hari mengganti bulan, dan tahun bergerak pasti. Usia Lia sudah layak menikah, dan ibu terlalu sering membahas hal satu ini. Bagaimana tidak, ibu tak pernah tahu laki-laki mana yang telah ada di hati Lia, karena hingga kini Lia masih sendiri. Ya trauma di hati Lia pada kaum adam telah memendamkan dirinya untuk tidak jatuh cinta, ya... trauma Lia karena ayah meninggalkan ibu sebab tergoda wanita lain, dan ketika seorang laki-laki yang katanya mencintai dirinya, eh malah menikah dengan perempuan lain, trauma ini sulit sekali keluar dari hati Lia.

 

Suatu hari ibu mengajaknya bicara serius, "Lia, kamu sudah layak menikah, tapi kenapa kamu tak pernah mengenalkan ibu pada laki-laki yang kamu suka," kata ibu bertanya pada Lia yang duduk di sampingnya. Lia melirik, tersenyum, "Lah, Lia kan emang enggak punya pacar, Bu," ringan dia menjawab. "Emangnya kamu mau sendiri terus?" tanya ibu menoleh, menatap putri bungsunya. "Ya enggak sih," singkat Lia menjawab. "Tapi emang belum ketemu kali, Bu, jodoh Lia," lanjutnya tersenyum. "Gimana kalau ibu jodohkan sama Dimas, anaknya Tante Natan," ucap ibu serius, sontak Lia menoleh, menatap ibu lekat. "Ibu sudah ketemu Dimas, ganteng lo dia, dan sudah mapan," kata ibu, Lia kembali fokus pada televisi di depan. "Ibu kan ingin kamu bahagia dan bisa punya rumah tangga," lanjut ibu. "Dimas itu sholeh, dia dosen di UI, dan belum punya pacar, katanya dia enggak mau pacaran, maunya ta'aruf, makanya Tante Natan pas ngeliat kamu, dia minta ibu tuk jodohin kamu sama Dimas, anaknya," ucap ibu, Lia hanya bisa diam.

 

Pertemuan keluarga akhirnya dilaksanakan setelah Lia memutuskan untuk menerima perjodohan itu. Selain bertemu langsung dengan Dimas, Lia juga sholat istikharah meminta petunjuk dari ALLAH tentang masalah perjodohan ini. Dari pertemuan keluarga, disepakati bahwa tiga bulan lagi Lia dan Dimas menikah. Dimulailah semua persiapan pernikahan itu, bahkan Lia telah mengambil cuti sebulan sebelum acara pernikahannya.

 

Pagi ini di rumah Lia terlihat kesibukan, karena sebentar lagi akan ada pengajian ibu-ibu untuk mendo'akan Lia yang akan melangsungkan akad nikah dua hari lagi. Satu persatu ibu-ibu mulai berdatangan, mereka duduk di tempat yang telah disediakan. Lia, dengan busana muslimah berwarna putih gading terlihat cantik meski dengan dandanan sederhana. Gadis berusia 26 tahun ini menyambut tamu dengan penuh sukacita, terlihat dari rona bahagia parasnya yang jelita. Tiba-tiba, ponsel Lia berdering, dia segera menepi dan mengambilnya, tertera nama Ibu Natan di layar monitor. Lia segera menekan tombol hijau, mengucapkan salam. "Assalamu'alaikum," lembut Lia memulai percakapan, namun jawabannya adalah isak tangis dari suara Ibu Natan. Lia berusaha tenang, namun debaran jantungnya tiba-tiba ikut mengencang, "Ada apa, Bu?" Lia bertanya, lagi-lagi isak tangis itu jawabannya, namun kali ini dalam terpotong-potong, Bu Natan menjawab, "Lia, Dimas meninggal."

 

Lunglai Lia dibuatnya, hingga ponselnya terjatuh. Gadis ini menangis sejadi jiwanya. Hancur harapan Lia untuk membangun kebahagian bersama Dimas. Dikala hatinya mencoba untuk jatuh cinta, justru luka lagi yang dia dapat. Brondongan duka menikam Lia. Lima bulan setelah batal menikah karena calonnya lebih dulu meninggal dunia sebelum acara pernikahannya, duka itu dirasakan kembali, sang ibu meninggal secara mendadak. Tanpa sakit, ibu ditemukan sudah tak bernyawa saat sedang mengerjakan sholat. Pukulan berat Lia terima dengan keikhlasan, karena Lia memang wanita yang telah terlatih untuk ikhlas menjalani takdir hidupnya, tetap beraktivitas menjadi seorang guru.

 

Sepulang mengajar, Lia masih menyibukkan diri dengan mengajar privat. Hari ini, Lia hendak pergi ke rumah Wulan, murid lesnya. Lia mampir ke SPBU untuk mengisi bahan bakar motor Varionya, Namun tiba-tiba ada suara yang memanggilnya setelah Lia selesai mengisi bensin dan hendak pergi, "Lia, tunggu." Lia menoleh dan betapa terkejutnya Lia saat seorang laki-laki berpenampilan rapi, baju koko lengan panjang berwarna biru muda dengan celana panjang hitam mendekatinya, "Agus," Lia berkata pelan, tak percaya. Agus menyuruh Lia menepi, dan mereka ngobrol sejenak di pinggir jalan. Pertemuan sesaat, karena Lia harus kembali melanjutkan perjalanan ke rumah Wulan. Dari pertemuan itu, keduanya hanya saling pandang diam sejenak, tak percaya Kembali bertemu, Agus mengajak Lia menghabiskan waktu di warung pecel ayam. Lia tersenyum, langsung mencecar Agus dengan pertanyaan mengapa kini dia berubah dan bagaimana kehidupan keluarga serta berbagai pertanyaan lainya tanpa jeda. Agus tertawa, "Hahahahahahha.... santai, cantik, aku akan ceritakan semuanya." Dia menceritakan semua masalah hidupnya, istrinya minggat pergi dengan laki-laki lain, namun surat perceraian telah dia tandatangani. Kini, Agus telah memiliki warung bakso di tiga cabang, dan di sore hari mengajar ngaji di masjid untuk anak-anak sekitarnya. Lia diam, tak percaya pada perubahan Agus.

 

"Sekarang giliran kamu yang harus bercerita," Agus berkata sambil menikmati segelas air jeruknya. Lia tak banyak bercerita, batalnya pernikahan karena calon suaminya lebih dulu meninggal dunia dua hari sebelum acara pernikahannya, dan ibu yang telah tiada hingga saat ini Lia hanya tinggal sendiri karena Mbak Tika telah ikut suami pindah ke Surabaya. Agus diam sejenak, memandang wajah wanita pujaannya, dan berkata turut berduka. Lia senyum mengangguk. Tiba-tiba, Agus meraih tangan Lia yang sedang memegang gelas, "Kalau begitu, bagaimana kalau kita kembali merajut cinta lama," Agus mempererat genggaman tangannya, "Aku masih selalu mencintai kamu, Lia," tatapan matanya tajam, hangat, melelehkan hati Lia, "Kamu mau kan, Lia?"

 

Kini bukan hanya satu tangan, namun kedua tangan Lia sudah erat dalam genggaman tangan Agus, masih dalam pandangan mata berharap. Lia seolah terhipnosis, diam, menikmati genggaman tangan Agus yang bertambah erat, lembut ada cinta. Sedetik, dua detik, semenit, hanya diam, saling pandang, tetap menikmati indahnya genggaman tangan itu. Perlahan, Lia mengeluarkan tangannya, menarik nafas, tersenyum, mengangguk. Lia berpikir, tak ada salahnya dia kembali membuka hati pada Agus, karena memang masih tersimpan cinta lamanya pada Agus. Tak banyak obrolan lainya di warung pecel, karena keduanya bergegas memutuskan pulang.

 

Agus sengaja tak membawa motornya, sehingga dia bisa mengantar Lia pulang, karena kini Agus yang mengendarai sepeda motor Varionya. Tiba-tiba, Agus perlahan menghentikan motornya di sebuah pedagang bunga, Lia turun. "Ngapain kita, Gus?" Lia salah tingkah, ada perasaan aneh, berdebar kencang jantung Lia saat Agus tersenyum, "Sabar, cantik, nanti kamu juga tahu," dan Agus pun segera membeli setangkai mawar merah. Setelah membayar dan mengucapkan terima kasih pada bapak pedagang bunga, Agus berdiri berhadapan dengan Lia, "Cantik, bunga mawar ini tanda cinta aku seperti dulu," Agus meraih tangan Lia dan memberikan setangkai mawar merah itu.

 

Sontak berpasang mata di sekeliling yang memandang mereka, berseru, bertepuk tangan, bersiul. Merah raut muka Lia, namun kali ini dia bahagia sekali. Kejadian di bus delapan tahun lalu terulang lagi, namun kali ini Agus sendiri yang menyerahkan setangkai mawar merah itu padanya. Senyum manis Lia menghias bibir, berlesung pipi menambah kecantikan wajahnya, Agus membalas senyum itu, dan melangkah kembali ke motor. Lia mengikutinya naik ke motor, melanjutkan perjalanan kembali ke rumah Lia. Kali ini, kisah cinta Lia dan Agus berjalan mulus, hingga mereka bisa meresmikan hubungan sebagai suami istri. Cinta lama itu hadir kembali, setelah liku-liku perjalanan waktu kembali mempersatukan dua sejoli, dan setangkai mawar merah adalah ungkapan cinta tak bersyarat.


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

1 komentar

Yuk komennya, boleh banget kalau mau request atau yang lainnya. kami harapkan Masukan berupa kritikan dari kalian dengan bahasa yang membangun
Comment Author Avatar
Senin, 05 Agustus 2024 pukul 12.00.00 WIB Delete

So sweet banget ceritanya kali ini