Cincin bermata tiga bagian 5
Senja
mulai beranjak datang, sinar jingga cantik terlihat menghias cakrawala nan
luas. Keluarga Pak Setiawan tengah bersiap tuk menanti azan Maghrib. Sore ini
Pak Setiawan pulang lebih cepat dari biasanya, laki-laki berusia 49 tahun ini
telah memiliki tiga cabang toko pakaian pria di tiga mal dalam kawasan ibukota.
Ketiga buah hati Bu Ratmi dan Pak Setiawan juga terlihat tengah bersiap-siap
untuk sholat Maghrib berjama'ah.
Azan
Maghrib berkumandang, Pak Setiawan memulai ibadah bersama keluarganya. Namun
tiba-tiba suara bel rumah berbunyi, bergegas Bi Wulan segera membukakan pintu.
Ternyata Bu Arya dan keluarganya yang datang.
"Ikut
sholat ya, Mbak," kata Arya langsung bergabung bersama keluarga Pak
Setiawan, diikuti Anto suaminya dan Sifa putri tunggal mereka. Selesai sholat,
kedua keluarga ini berkumpul di ruang tamu karena ternyata Arya mengajak
seorang kenalannya.
Laki-laki
berjenggot lebat serta kumis yang melintang ditambah alis matanya yang hitam
pekat dengan kaos hitam bergambar tengkorak duduk menatap keluar jalan dari
teras rumah. Arya langsung meminta orang itu untuk masuk.
"Pak
Otong, masuk yuk!" ajak Arya saat menemui Pak Otong yang sedang asyik
menikmati cerutunya. Aroma cerutu yang pekat memenuhi rongga udara di teras
rumah juga ditambah bau aneh yang keluar dari aroma badan sang laki-laki
berblangkon hitam. Laki-laki ini terbatuk sebentar lantas dia menaruh cerutunya
di atas meja menoleh ke arah Arya.
"Kita
ngobrol di luar aja, Bu Arya, suasana dalam rumah berkabut," jawabnya.
Arya tertegun sejenak berdiri mematung. "Ada kekuatan gaib yang
menyelimuti rumah ini, makanya kita selesaikan masalah cincin itu di luar
saja," Pak Otong sekali lagi berkata sambil dia bangkit berdiri bersiap
melangkah. Arya tersentak ketika tatapan Pak Otong yang menoleh ke arahnya
beradu, seakan ada magic terselebung dari tatapan itu, bola mata Pak Otong yang
memerah nampak memancarkan seberkas sinar perak hingga membuat wanita yang bekerja
sebagai suster ini terperanjat gelagapan namun dia segera membalikan badan
melangkah masuk ke dalam rumah.
"Mbak,
kita keluar yuk, bawa cincin itu dan Kak Lia ikut ya," kata Arya ketika
menemui keluarganya. Tanpa berbasa-basi, Pak Setiawan, Bu Ratmi, Lia, Pak
Anton, dan Sifa mengikuti Arya ke luar rumah.
Lapangan
sepak bola seluas 15x30 meter dalam kawasan kompleks perumahan Bumi Persada
tempat tinggal Pak Setiawan menjadi tempat dua keluarga ini berkumpul.
Suasananya sepi karena ini adalah malam Jum'at, entah sebuah kebetulan atau
hanya perasaan Lia, gadis berkerudung ping ini merasa tengkuknya merinding dan
hembusan angin kian menerpa telinganya. Padahal suasana saat ini sedikit panas,
langit hanya hitam tanpa bintang, dan cahaya bulan pun tampaknya enggan keluar.
"Ih,
kenapa sih nih," gumamnya dalam hati. Lia duduk di antara Pak Setiawan dan
Bu Ratmi, sedangkan tepat di hadapan Lia adalah Pak Otong. Sejak pertemuan
pertama, tatapan Pak Otong tak lepas ke Lia, dia mengamati Lia dengan caranya
yang aneh. Mereka duduk di pojok lapangan tepat di bawah pohon jambu. Lia hanya
bisa menundukkan kepala atau menoleh ke kanan kiri membuang tatapannya agar tak
beradu dengan Pak Otong. Dia merasa menjadi terdakwa bila melihat ke arah Pak
Otong, seolah Pak Otong akan menyerangnya dengan sesuatu yang Lia sendiri tak
tahu.
"Mana
kedua cincin itu," katanya dengan cerutu yang masih terselip di antara
bibirnya yang berkomat-kamit. Pak Setiawan segera membuka sebuah kotak yang dia
ambil dari saku celananya lantas dibukanya cincin itu dan diberikan kepada Pak
Otong, begitu juga Arya yang mengambil cincin itu dari dalam tasnya. Pak Otong
menerima kedua cincin bermata tiga yang sama persis itu, dia mengamatinya
dengan seksama terlihat dari raut mukanya yang menegang saat kedua cincin itu
berada di telapak tangannya, mulutnya terus berkomat-kamit, sesaat kemudian dia
merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah bungkusan hitam.
"Mana
kendi dan bunga setamanya," ucapnya. Arya segera meraih body bag yang
dibawanya lantas mengeluarkan apa yang Pak Otong minta lalu menyerahkannya. Pak
Otong ingin memasukkan dua cincin itu ke dalam kendi yang telah dipersiapkan
namun sebelumnya dia lebih dulu meludahi cincin itu tiga kali dan ini yang
membuat perut Lia seolah bergejolak, dia merasa mual, ingin rasanya dia muntah
ketika mendengar suara desisan mulut Pak Otong meludah namun dia hanya bisa
mengernyitkan dahinya menutup mulutnya dengan sebelah tangan menahan agar tak
muntah di tempat itu. Bu Ratmi yang sadar akan keadaan putrinya merangkul Lia
dan membawanya dalam pelukannya, wanita ini mengalirkan energi kasih sayang
seorang ibu dari tepukan yang dia beri ke punggung Lia.
"Istigfar
terus sayang," ucap lembut Bu Ratmi yang membisikan kata semangat pada
putri sulungnya. Lia hanya bisa diam memejamkan mata.
Semua
pandangan terfokus pada gerak-gerik Pak Otong yang memulai ritualnya, pria yang
berpenampilan layaknya dukun ini dengan mulut yang terus berkomat-kamit menatap
kedua cincin yang terus dia pegang di telapak tangannya yang mengadah ke atas.
Sesaat kemudian dia menaruh dua cincin itu di atas sehelai kain berwarna hitam
yang diambilnya dari saku celana lalu dia membuka kantung plastik yang berisi
racikan bunga setaman, aroma wangi bunga tersebar ketika kantung plastik itu
sempurna terbuka. Cekatan tangan Pak Otong memasukkan sebagian bunga itu ke
dalam kendi yang ada di depannya lantas dia mengambil lagi dua cincin itu dan
bermaksud memasukkan cincin itu ke dalam kendi, namun kejadian aneh tiba-tiba
membelalakan tatapan semua orang di sana, bagaimana tidak tiba-tiba dari tiga
mata di masing-masing cincin mengeluarkan percikan api yang membuat Pak Otong
menarik tangannya dan membuang cincin itu, dia memaki penuh emosi dalam bahasa
yang tak jelas, Pak Setiawan segera menarik putrinya berdiri dan dikuti oleh
yang lainnya. Cincin itu terus memercikan api dari ketiga mata yang berada di
dalam lingkaran cincin, anehnya percikan itu berwarna merah seperti semburan
darah. Pak Otong berusaha mematikan percikan api itu dengan mengibaskan kain
hitam yang terus dia kipaskan ke arah dua cincin yang tergeletak di tanah namun
bukannya mati justru percikannya bertambah besar, sontak Pak Setiawan
menyiramkan air dari sebotol air yang dia bawa dari rumah, gerakan Pak Setiawan
membuat Pak Otong melotot seakan ingin menelan Pak Setiawan.
"Siapa
yang suruh menyiram cincin itu," geraman suara Pak Otong jelas menandakan
dia emosi.
"Maaf
maaf maaf Pak, saya refleks," ucap Pak Setiawan merasa bersalah. Tak ada
reaksi apapun dari guyuran air yang Pak Setiawan siram, cincin itu tetap
membara, mengeluarkan percikan api berwarna merah darah.
Pak
Otong terus berkomat-kamit tak jelas sambil menaburkan racikan yang berbau
wangi menyengat, terus menerus dia taburi cincin itu dengan serbuk racikan yang
juga terus menghadirkan aroma wangi yang lama kelamaan membuat kepala Lia
menjadi pusing.
Gadis
ini memegang kepalanya bergumam, “Astaghfirullah.” Terus dia mengucap kata itu
dengan memejamkan mata hingga tanpa kendali Lia membuka mata berdiri tegak dan
melemparkan butiran tasbih yang sejak selesai sholat dia terus genggam. Sebuah
hembusan terdengar berbarengan manik-manik berjumlah 33 itu melesat tepat ke
arah dua cincin itu dan ada kabut putih menyelimuti tasbih yang lelayang
semakin mendekati sang cincin. Dentuman keras terdengar ketika tasbih berwarna
putih itu mendarat tepat di atas kedua cincin itu dan seketika percikan
berwarna merah darah itu lenyap.
Semua
mata tertegun dengan kejadian itu, terlebih lagi Pak Otong yang menarik
tubuhnya mundur beberapa langkah. Belum sampai di sini, pergerakan Lia yang dia
sendiri tak menyadarinya, dengan pasti gagah Lia melangkah mendekati kedua
cincin. Saat telah berada di depan cincin itu, Lia jongkok dan berucap,
“Bismillahirrahmanirrahim.” Lia menatap lekat kedua cincin itu lantas tangan
kanannya meraih cincin bermata tiga mengambil keduanya lalu meletakkan di atas
sebelah telapak tangannya. Lia membaca ayat kursi tiga kali lantas dia berucap,
“Ya Allah, cincin ini adalah bukti kekuasaan-Mu dan tak akan ada yang mampu
melawan kehendak-Mu.” Lia menarik nafas sejenak menatap langit yang sepi akan
taburan gemintang lantas kembali dia menatap kedua cincin itu. “Atas izin-Mu,
Ya Allah, selesaikan permasalahan ini dan kembalikan siapapun yang
mengendalikan cincin ini balik ke tempat semula.” Sekali lagi Lia berkata
lantang sambil terdengar dia membaca ayat kursi. Pak Setiawan tak tinggal diam,
menyadari apa yang dilakukan putrinya, dia segera jongkok di samping Lia dan
melantunkan surah pendek al-Qur’an. Begitu juga Bu Ratmi yang tak mau kalah
dengan anak serta suaminya, dia ikut jongkok di sisi lain samping Lia. Dengan
kekuatan doa pada Ilahi Robbi dari ketiga orang ini, tiba-tiba dari ketiga mata
cincin keluarlah asap hitam yang beraroma anyir, benar-benar sangat amis sekali
aroma yang dikeluarkan dari keenam mata cincin itu dengan asap yang terus
mengepul ke udara. Melihat kejadian ini Pak Setiawan, Bu Ratmi serta Lia
semakin menguatkan bacaannya, mereka kompak membaca ayat kursi secara bersamaan
hingga asap hitam itu lambat laun kian menipis bahkan lenyap sama sekali.
Tiba-tiba
kedua cincin itu menyusut dan berubah menjadi sebuah tulang, Lia jatuh terduduk
bahkan nyaris dia pingsan namun sigap Pak Setiawan menangkap punggung putrinya
hingga Lia jatuh di pelukan ayahnya. Bu Ratmi segera mengambil dua tulang dari
telapak tangan Lia dan dia meminta Arya dan Anto untuk menguburkan kedua tulang
itu. Namun gerakan Anto tertahan saat ingin menggali lubang. “Biar tulang itu
untuk saya,” suara parau itu terdengar mendekati Anto yang akan mulai menggali
lubang, Anto menoleh dan tepat di sampingnya Pak Otong telah mengadahkan
tangannya meminta tulang itu. Tanpa berpikir, Anto segera memberikan dua tulang
itu ke Pak Otong yang setelahnya berlalu pergi tanpa kata.