Masih ada kesempatan

Table of Contents

Dua pemuda sedang asyik menikmati sepiring kacang rebus yang ditemani segelas es sirup. Di sore yang cerah itu, mereka memilih untuk duduk di taman dekat rumah, menikmati suasana dan berbagi cerita. Aldi dan Gatan, keduanya bersahabat sejak masih duduk di taman kanak-kanak. Sejak saat itu, persahabatan mereka tak pernah pudar meskipun telah beranjak dewasa dan sibuk dengan kegiatan masing-masing.

 

“Di, gue lagi naksir cewek nih,” ucap Gatan sambil meraih gelas di hadapannya. Aldi menoleh, menatap sahabatnya.

 

“Siapa, Tan?” tanyanya sambil mengunyah kacang rebus.

 

“Nia,” jawab Gatan singkat.

 

“Anak mana?” kembali Aldi bertanya.

 

Setelah meneguk minumannya, Gatan menceritakan bahwa dia mengenal Nia di rumah Tante Tami, adik ibunya. Nia adalah murid Tante Tami di SLTA tempat Tante Tami mengajar.

 

“Wah, boleh juga tuh, Tan. Dah gercep keburu diambil orang,” Aldi merapikan kulit kacang yang berjatuhan di lantai.

 

“Maunya sih gitu,” ucap Gatan sambil menjatuhkan punggungnya di sandaran sofa.

 

“Doain gue ya, Di,” tambahnya, menatap lurus ke depan dengan tersenyum simpul.

 

“Doi pasti keceh banget ya, Tan?” tanya Aldi mencoba menebak dan Gatan menjawab dengan senyuman.

 

Mata pemuda berambut cepak bak seorang angkatan perang ini memejamkan mata membayangkan wajah Nia yang tersenyum padanya.

 

“Hai, Nia,” sapa Gatan ketika berpapasan dengan gadis incarannya di halte bus dekat sekolah. Gatan sengaja menunggu Nia di waktu pulang sekolah.

 

“Eh, Kak Gatan,” sahut Nia seraya tersenyum kecil menatap Gatan, lalu membuang pandangannya ke arah kedatangan bus.

 

“Kamu mau ke rumah Bu Tami?” tanya Gatan yang telah berdiri bersisian dengan Nia.

 

Nia menoleh sesaat ke arah Gatan, lalu kembali memfokuskan tatapannya menanti kedatangan bus yang ditunggunya.

 

“Enggak, Kak. Kemarin hanya nganterin buku Bu Tami aja,” jelas Nia.

 

“Kalau gitu, gimana kalau kita makan siang dulu yuk,” ajak Gatan.

 

“Maaf, Kak, Nia buru-buru,” jawab Nia.

 

Sesaat kemudian bus yang dinanti Nia datang. Dia melambaikan tangan untuk memberhentikan bus dan ketika bus telah berhenti, Nia segera naik tanpa berkata apapun pada Gatan. Gatan hanya menelan kekecewaannya. Gatan berjalan di lorong mal, berusaha membuang rasa kecewanya dengan mencuci mata di mal. Selagi dia ingin masuk ke sebuah kedai kopi, matanya terbelalak menyaksikan dua sosok orang yang tengah asyik bercengkerama.

 

Romantis sekali, seorang pemuda sedang menyuapi es krim kepada gadis berpakaian seragam SLTA yang duduk di hadapannya. Gatan mempertegas penglihatannya. Dia ingin memastikan bahwa apa yang dilihatnya benar-benar adalah Aldi dan Nia. Dia berjalan masuk ke dalam kedai itu, berusaha secara sembunyi memerhatikan gerak-gerik keduanya. Dengan memanfaatkan tiang tembok, Gatan duduk membelakangi keduanya. Namun, dia dapat jelas mendengar percakapan sejoli ini.

 

“Tadi aku ketemu keponakannya Bu Tami di halte dan dia ngajakin makan siang,” kata Nia sambil menikmati es krim.

 

“Oh, Gatan. Pantas saja kemarin dia cerita lagi naksir cewek namanya Nia, murid Bu Tami,” ujar Aldi menimpali sambil mengambil tisu seraya mengelap bibir Nia yang belepotan ice cream.

 

“Oh itu ternyata kamu, berarti aku akan bersaing nih sama Gatan,” tambahnya. Refleks Nia menjauhkan mukanya, sedangkan Aldi malah tertawa.

 

“Itu ada es krimnya di bibir kamu,” ucap Aldi yang berhasil membersihkan sisa es krim di bibir Nia.

 

“Gatan itu temanku dari TK,” kata Aldi yang kini menyuap sendiri es krim. Nia hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum kecil. Potongan pembicaraan ini membakar emosi Gatan. Dia segera berdiri dan melangkah meninggalkan kedai kopi itu.

 

“Loh, bukannya itu motornya ada, Bi?” kata Aldi ketika berada di rumah Gatan dan ingin menemuinya. Namun, Bi Jum mengatakan bahwa Gatan tidak ada di rumah. Bi Jum merengut berbalik badan.

 

“Kalau Mas Aldi nggak percaya, ya sudah, terserah,” ucap Bi Jum yang melangkah masuk dan meninggalkan Aldi yang masih berdiri di depan pagar.

 

Penasaran, dia lantas mengambil ponselnya dan menelepon Gatan, tetapi panggilannya ditolak. Aldi mencoba sekali lagi, tetap saja Gatan menolak panggilannya, bahkan nomor Aldi langsung diblokir oleh Gatan. “Aneh nih anak, kenapa sih?” Aldi memaki tak jelas.

 

“Tan, tunggu! Lo mau ke mana?” tanya Aldi ketika berpapasan di kantin kampus. Gatan hanya tersenyum singkat dan menjawab, “Balik.” Aldi menatap temannya itu dengan rasa penasaran, tetapi deringan ponselnya membuatnya memilih untuk membiarkan Gatan pergi.

 

“Gatan kenapa, ya?” gerutunya sendiri setelah ia menyimpan kembali ponselnya. “Ada yang nggak beres nih.”

 

Sambil bergumam, Aldi berjalan keluar dari kantin. Dia tak patah arang dan tetap mencari keberadaan Gatan. Saat tiba di rumah Gatan, Aldi melihat Gatan bergandengan tangan dengan Nia, menuju sepeda motor. Tanpa memarkirkan motor, Aldi malah langsung menancap gas untuk meninggalkan rumah Gatan.

 

Aldi berdiri berdampingan dengan Gatan dan para pelayat lainnya. Di depan mereka terdapat gundukan tanah merah yang baru ditaburi bunga, dengan sebuah nisan bertuliskan nama NataNia Malika. Aldi meraih lengan Gatan dan menatap teman kecilnya. Gatan membalas dengan senyuman, lalu keduanya saling bergandengan tangan.

 

“Maafin gue ya, Di,” kata Gatan ketika mereka sudah duduk berdua di halte bus dekat pemakaman.

 

“Iya, Tan. Gue juga minta maaf, ya,” balas Aldi. Keduanya saling berangkulan, menepuk punggung temannya. Aldi dan Gatan telah menyadari kesalahan masing-masing. Mereka tergoda oleh Nia, gadis yang menjadi taruhan persahabatan mereka. Tragedi tabrak lari yang menimpa Nia sendiri membuka mata mereka bahwa Nia adalah gadis yang mudah dipengaruhi oleh pria yang menyukainya.

 

Ketika kecelakaan itu terjadi, Nia berada bersama Taufik. Meski Taufik hanya mengalami luka ringan, Nia mengalami kondisi kritis. Setelah menjalani perawatan di ruang ICU, Nia akhirnya meninggal dunia pada hari kedua. Aldi menarik tubuh Gatan mendekat ke arahnya dan mereka berpelukan. Kedua teman kecil itu kemudian mengaitkan jari kelingking mereka satu sama lain seperti dua bocah kecil yang sedang berdamai.

 

“Berjanjilah, kita tak akan pernah melakukan kesalahan yang sama lagi, Tan.” Pinta Aldi yang menepuk bahu sahabatnya dengan sebelah tanganya dan Gatan pun melakukan hal yang sama.

 

 


Rina Indrawati
Rina Indrawati Rina Indrawati, seorang ibu rumah tangga yang menjadikan menulis sebagai terapi jiwa. Ada kebahagiaan tak terhingga yang dirasakannya setiap kali berhasil merangkai kata menjadi sebuah tulisan. Kebahagiaan itu pula yang mengantarkannya melahirkan dua buku solo: Rajutan Awan (2021) dan novel fiksi Rana Jelita (2024). Pengalamannya juga diperkaya dengan keikutsertaan dalam berbagai event antologi. Saat ini, Rina sedang fokus mengembangkan tulisannya di situs literasi rajutanaksara.com. Ingin mengenal Rina lebih dekat? Jangan ragu untuk menghubunginya: Ponsel: 08118411692 Instagram: rinaindrawati16 TikTok: rinaindrawati6

Posting Komentar