Mahkota Emas
Kamila Azahra, seorang gadis cilik berusia 11 tahun, adalah
tunanetra. Matanya buta sejak lahir. Mila,
begitu ia biasa disapa, bersekolah di Sekolah Luar Biasa (SLB) kelompok A,
khusus untuk anak tunanetra. Pentas seni perpisahan siswa kelas enam tinggal
seminggu lagi. Mila dan teman-temannya giat berlatih dibimbing Bu Yuni, wali
kelas lima.
"Bu, boleh Mila membacakan puisi di tengah teman-teman
bernyanyi?" tanya Mila sebelum mereka memulai latihan hari ini.
"Tentu saja, Mila," jawab Bu Yuni sambil membantu
Mila duduk. "Ibu boleh tahu apa puisimu?"
"Tentu, Bu," jawab Mila sambil membuka tas dan mengeluarkan
notebook-nya.
Bu Yuni tersenyum setelah selesai membaca puisi yang Mila
berikan. "Keren Mila," ucap Bu Yuni bangga sambil menepuk bahu Mila.
Mila tersenyum karena merasakan sentuhan semangat dari wali
kelasnya. Latihan hari ini berjalan sesuai rencana. Anak-anak berlatih penuh
semangat dan sangat berantusias.
Hari pementasan tiba. Semua siswa dari kelas satu hingga
kelas enam sibuk mempersiapkan diri untuk mementaskan aksi yang telah mereka
siapkan masing-masing. Satu per satu setiap kelas maju tampil sesuai giliran.
Tiba saatnya siswa kelas lima unjuk penampilan mereka. Berbaris sebelas anak
naik panggung satu per satu dan di atas panggung mereka berjajar sesuai seperti
saat mereka latihan. Mila berdiri di tengah dan memegang mikrofon. Bu Yuni memang
memilih Mila karena di antara murid-muridnya, dialah yang paling berani selain
memang Mila salah satu siswa berprestasi.
Petikan gitar Galih memulai intro lagu "Bunda" yang
dipopulerkan oleh Melly Goeslaw. Gilang memang pandai bermain alat musik gitar.
Lantunan syair "Bunda" terdengar merdu, lembut, dan memberi rasa.
Mila mulai membacakan puisi karyanya di tengah lagu.
*Kegelapan mewarnai hari-hariku sebagai tunanetra.*
*Air mata telah habis tuk meratapi kenyataan.*
*Sayatan sembilu mengiris hati tatkala sentuhan lembut
tanganmu, Bunda.*
*Jeritan raga menembus angkasa menerbangkan duka kesedihan.*
*Kabut putus asa kian menipis dari guyuran kasih sayangmu,
Bunda.*
*Tertatih penuh kepastian ku raih impian.*
*Berjuta harapan menggelantung dalam angan.*
*Tunjukkan potensi diri dalam karya dambaan.*
*Bunda...*
*Anakmu memang buta fisik, tetapi aku tak buta bersyukur.*
*Di genggamanku asa dan harapan akan kuwujudkan tuk
kebanggaan.*
*Kesempurnaan fisik memang tak ku miliki.*
*Namun kesempurnaan hati membakar semangat tuk bahagiakanmu,
Bunda.*
*Kasih sayangmu adalah lentera penerangku.*
*Sentuhan lembutmu adalah embun penyejuk laraku.*
*Kebersamaan denganmu adalah cambuk energi tuk aku berkarya.*
*Tak akan tergantikan dengan apa pun dirimu, Bunda.*
*Terima kasih, Bunda.*
Di akhir puisi, sebelas anak menjeritkan kalimat "Aku
Sayang Bunda" dengan penuh rasa dan kembali menyanyikan syair
"Bunda" hingga selesai. Galih menutup petikan gitarnya dengan
sempurna mengakhiri pertunjukan siswa kelas lima. Tepuk tangan riuh terdengar
sebagai apresiasi penampilan siswa kelas lima, serta tak dipungkiri banyak
hadirin yang hadir terlarut dalam suasana sambil meneteskan air mata.
Sebelum turun, Mila dan Galih berdiri bersisian. Keduanya membacakan
surat Ar-Rahman secara bergantian. Lantunan yang sangat merdu itu lebih
meneteskan air mata. Selesai Mila dan Galih membaca surat Ar-Rahman, Bu Yuni
naik ke atas panggung, memeluk, dan mencium anak didiknya. Kemudian, ia meminta
orang tua Mila dan Galih naik ke atas panggung.
Bu Yuni menyerahkan sebuah mahkota dari kertas manila yang
dihiasi ornamen dari kertas origami, buatan Mila dan Galih sendiri. Bu Yuni
meminta Mila dan Galih memakaikan mahkota itu kepada orang tua mereka
masing-masing. Tepuk tangan semua hadirin mengiringi momen Mila dan Galih
memakaikan mahkota tersebut. Bu Yuni memberikan kesempatan pada Mila dan Galih
untuk mengungkapkan perasaan mereka kepada orang tua masing-masing.
"Bu, maafkan Mila ya yang tak bisa melihat dan selalu
merepotkan Ayah, Ibu, dan terima kasih untuk segalanya, terutama kasih sayang
Ayah dan Ibu. Mila berharap bisa selalu membahagiakan Ayah dan Ibu. Mila ingin
memberi mahkota emas kelak nanti di surga untuk Ayah Ibu. Mila sayang Ayah dan
Ibu," kata Mila terbata-bata menahan tangisnya.
Ibu Mila terisak dan langsung memeluk putri semata wayangnya
begitu juga sang ayah yang bergantian setelah ibu ikut memeluk Mila dan
menciumi gadis ciliknya. Hadirin pun larut dalam keterharuan.
Giliran Gilang yang mengungkapkan perasaannya kepada kedua
orang tuanya. "Mama dan Papa, maafkan Gilang ya yang selalu merepotkan.
Gilang janji untuk selalu berusaha membuat prestasi agar Mama dan Papa bangga
pada Gilang. Meski mata Gilang buta, tetapi Gilang tetap akan selalu membuat
karya terbaik. Gilang juga ingin memberi Mama dan Papa mahkota dari emas nanti
di surga," tutur Gilang tegar mengungkapkan rasa.
Mama Gilang merangkul bahu putranya dan membawa dalam pelukan
hangatnya. Sebutir dua butir air mata itu pun menetes.
Setelah aksi Mila dan Gilang, serentak kesebelas siswa kelas
lima itu bersorak lirih sangat menyentuh namun penuh semangat ketulusan.
"Terima kasih, Ayah Ibu, Mama dan Papa."
Pecahlah keharuan dalam sesi pementasan kali ini karena evoria suka dalam rasa haru mewarnai
gedung serba guna di sekolah luar biasa ini.